Chapter 2 - Sweetheart

Pedang kayu itu terpatah menjadi dua bagian, membuat serpihan kayu mengotori lantai ruang latihan. Aku terpaku memandang perbuatanku sendiri. Pandanganku beralih ke telapak tanganku dan lantai penuh serpihan secara bergantian, seolah mencoba memproses kejadian yang baru saja terjadi. Lawan untuk latihanku juga tertegun pada tenaga yang kukerahkan. Kami berdua memiliki berpikiran yang sama: "Bila aku/dia tidak menghindar secepat mungkin, tubuhnya bisa mengalami cedera yang luar biasa."

Guru pembimbing ekskul kami juga terkejut. "Oke, untuk saat ini, hasilnya imbang. Kalian berdua bisa beristirahat. Sebelum itu, Moritake-dono*, bersihkan serpihannya." Shishou** menoleh ke alumni yang fokus memandang cara berdiri giliran selanjutnya. "Ryoutani-dono, tolong temanin Moritake-dono."

Temanin? Aku bukan semacam anak kecil yang akan tersesat.

"Baik, Shishou!" Kami berdua menjawab secara bersamaan.

Haku-senpai*** menunjuk perlengkapan yang aku gunakan disepasang tubuhku. Dia membantuku melepaskan semua pengaman yang terletak di tubuhku, menyisahkan hakama hitam. Hakama yang kami gunakan merupakan seragam khusus ekskul kendo agar menunjukkan unsur tradisional yang pekat.

Letak gudang dimana alat kebersihan berada tidak terlalu jauh dari ruang klub. Jadi aku berencana untuk bertelanjang kaki untuk kesana, tapi mengingat kepribadian alumni yang sangat kukenal ini, dia pasti akan menatapku seolah aku adalah alien yang tersesat di bumi. Aku mengenakan uwabaki**** dengan asal. Lagipula, aku akan melepaskannya lagi saat kami kembali ke gudang.

Selain terkenal karena termasuk sekolah elit, Komatsu-Gako terkenal karena prestasi di bidang non-akademi, terutama di bidang bela diri. Lebih banyak ekskul bela diri daripada ekskul seni atau olahraga lainnya. Sangat terlihat kalau sekolah pilih kasih terhadap ekskul lainnya, dan mengabaikan ekskul berprestasi lainnya. OSIS angkatan ini sedang memperbincangkan itu untuk kemajuan Komatsu-Gako ke depan.

"Kau mematahkan pedang bambu untuk ketiga kalinya, Yuuna. Bambu, lho, bukan kayu reyot yang selalu dimakan rayap," celetuk Haku-senpai dengan senyuman khas penuh arti.

"Itu pertanda bahwa aku harus berhenti berlatih sementara," balasku santai. Aku jelas tahu apa maksudnya mengatakan itu. Ayolah, manusia biasa lainnya pasti bisa mematahkan bambu menjadi dua.

Siswi alumni itu hanya bergumam lembut, seperti tengah menyandungkan lagu pengantar tidur karya anonim. "Teruslah hidup dalam denial, Yuuna, padahal kau sendiri tahu apa yang salah dengan dirimu."

Akhirnya, aku menoleh ke arah kakak kelas yang sangat suka memancing keributan dengan cara menyulut emosi mereka. Dia suka melakukan itu karena kemarahan adalah cerminan dari sikap mereka yang sebenarnya. Sementara itu, dia menyembunyikan kepribadiannya di balik senyuman.

Tanpa menerka-nerka, aku bisa menduga bahwa sikap miliknya tidak jauh dari manipulatif.

"Tidak ada yang salah dariku, Senpai. Mau aku bisa berubah menjadi putri duyung, alien dari galaksi lain, atau setan. Pada akhirnya, aku hanya manusia." Ada jeda singkat sebelum aku menambahkan sesuatu dengan pelan. "Walau... aku memiliki kelebihan yang unik."

Tawa lembut yang penuh tipuan terdengar darinya. Aku baru sadar bahwa Haku-senpai memotong rambutnya, membuat lehernya terekspos oleh angin musim dingin di awal bulan Maret. Sebegitu aku tidak peduli dengan lingkungan, kah?

Aku mengambil sapu yang terletak di sudut ruangan, dan melangkah keluar, tidak memedulikan Haku-senpai yang berjalan di belakang seperti seorang pengawas. Aku bisa merasakan senyuman manipulasi terlukis di bibir merahnya, sementara matanya tidak lepas dariku untuk melihat setiap pergerakan kecil yang aku lakukan.

"Kau tahu, Yuuna?"

"Nggak tahu! Jangan bicara denganku!" Aku mulai mempercepat langkahku. Semua orang yang melewati kami pasti melihatku terlihat berlari kecil di sekitar lorong karena kakiku yang kecil.

"Permintaan ditolak!" Seru Haku-senpai dengan suaranya yang terdengar seperti wanita di awal umur dua puluh tengah menawar brosur. "Oke, aku akan berhenti dengan permainannya. Aku ingin membahas tentang mimpi yang kau ceritakan."

Seketika langkahku berhenti mendengarnya. Aku menoleh ke arah Haku-senpai yang menunjukkan raut wajah serius, tidak ada singgungan di bibirnya. Sudah lama aku tidak melihat wajah itu setelah dia lulus dari sekolah ini.

Untuk informasi tambahan, aku dan Haku-senpai memiliki kesamaan, tapi perbedaannya kami berbeda generasi. Bukan angkatan atau umur yang kubicarakan tentang generasi ini, melainkan hal lainnya yang tidak dapat dimengerti orang awam. Haku-senpai memiliki kemampuan selain peningkatan di salah satu indranya, seperti aku. Ah, maksudku, "sihir".

"Saat ini, aku hanya bisa mengatakan kalau mimpi yang kau ceritakan ada hubungannya dengan mimpi yang terjadi lima atau empat tahun yang lalu."

Aku mendengus sebal. "Kalau itu, sih, aku tahu. Aku hanya memikirkan kenapa aku melihat dia di mimpi, padahal kami tidak begitu dekat."

Haku-senpai tersenyum samar, bukan senyuman lebar yang terlihat seperti mengancam lawan bicaranya. "Kau yakin dengan hal itu?"

Tidak. Aku tidak yakin tentang hal itu. Tetapi aku tidak mampu mengungkapkannya secara langsung. Semuanya terasa begitu tidak jelas sejak kejadian itu. Rasanya ada sesuatu yang diambil dariku secara paksa, dan aku tidak tahu bagaimana aku harus mendapatkannya kembali.

Aku juga tidak mampu melupakan tatapan yang dia berikan dalam mimpi membuatku mengalami déja vú.

Kemana aku harus pergi bila aku sendiri tidak begitu mengerti individu ini? Dunia juga tidak begitu baik hati langsung menurunkan jawabannya dari langit. Haku-senpai tidak ada harapan sama sekali, karena dia pelit membantu jiwa yang tersesat di labirin pikirannya sendiri. Jiwa tersesat itu aku, dan Haku-senpai adalah individu yang sesat.

"Bagaimana kalau kau tanya langsung ke dia?"

"Kau gila?!" Aku menatap garang ke arahnya, membuat Haku-senpai mengangkat kedua tangannya pasrah. "Aku pasti dianggap aneh sama dia! Cukup sekali saja aku dianggap sebagai Burung Biru Pembawa Kebahagiaan! Cukuup!"

Haku-senpai menatapku dengan datar. Amat datar. Tatapannya menyiratkan penilaian atas sikapku yang heboh seketika."'Aneh' dan burung apalah itu adalah dua hal yang beda."

"Panggilannya sama-sama norak!" Balasku tidak mau kalah.

Si alumni memutar bola mata dengan bosan. Ku doakan matanya juling bila dia sering melalukan itu. "Kau tidak akan tahu kalau belum dicoba."

"Aku tidak akan mencobanya."

"Heh, pengecut."

Aku hampir saja memukul Haku-senpai menggunakan sapuku bila dia tidak segera membuka pintu ruang ekskul. Bisa saja aku dikasih pelanggaran, padahal bulan depan aku sudah menyelenggarakan upacara kelulusan.

-

"Maaf mengganggu!"

Aku menendang pelan kamar Mirai, karena aku tidak memiliki niat untuk membuka pintu kamar itu dengan cara lebih normal. Si pemilik kamar sudah duduk di depan meja kecilnya dengan beberapa makanan ringan tersedia, seolah tahu kapan aku tiba. Dia juga tidak begitu terkejut saat aku menendang pintu kamarnya.

"Kau terlihat seperti dukun yang menantikan kliennya di pegunungan," komentarku.

"Jangan terlalu pedulikan detil tidak bergunanya," balas Mirai yang terlihat tersinggung karena aku menyamakannya dengan dukun di drama luar negeri. "Makan dulu. Aku yakin kau kemari tanpa makan siang dulu."

Aku tertawa pelan. Apa boleh buat? Aku tidak sabar untuk mengeluarkan seluruh pertanyaan agar rasa ingin tahu cepat hilang. Bisa-bisa nanti aku kepikiran sampai tidur bila jawabannya tidak ditemukan, dan terbawa mimpi.

"Ini... kau masak sendiri?" Aku berdecak kagum melihat hidangan di depanku terlihat begitu menggiurkan.

Mirai menunjukkan wajah bangga. "Tentu saja. Temanku mengajari tips gampang dan juga meminjam resepnya kepadaku. Coba dulu."

Pergerakan tanganku yang ingin meraih sumpit langsung berhenti. Teman? Aku tahu Eri pandai memasak, dan memiliki resepnya sendiri, hanya saja ada yang merasa janggal saat Mirai mengatakan "temannya". Dia tidak menyebutkan nama "teman" yang dia maksud.

"Apa... teman ini adalah orang yang kukenal?" Tanyaku dengan ragu.

"Suatu hari akan kukenalkan kalian berdua," ujar Mirai sambil memainkan sumpitnya seperti capit kepiting. "Tanpa kukenalkan, kalian juga akan bertemu dengan sendirinya."

Berarti teman yang dia maksud bukan orang yang kukenal.

Aku menjepit kumpulan nasi di dalam mangkok kecil metal. "Itu pun kalau kita bertemu."

"Aku sangat yakin kalian akan bertemu," ujar Mirai dengan percaya diri. Dia memasukkan satu suap nasi ke dalam mulutnya, lalu mengambil dua iris daging yang sudah dibumbui dengan taburan wijen untuk dimasukkan ke dalam mulut.

Dengusan pelan keluar dari ujung bibirku. "Apa kemampuanmu juga mengirakan masa depan, seperti namamu?"

Di tengah kunyahannya, Mirai menjawab, "Itu jokes bapak-bapak paling garing yang pernah kudengar."

Aku mengatupkan bibirku. Sebaiknya kita makan saja daripada aku lebih banyak mengeluarkan candaan tidak jelas seperti sebelumnya.

Kunyahanku berhenti di tengah jalan saat teringat sesuatu yang membuat suasana hatiku kembali mendobrak tulang-tulang di sekitarnya. Indra pengecap berhenti berfungsi untuk sementara, membuat nafsu makanku menurun hanya karena pikiran sesaat itu. Mirai sampai mendongak saat aku mulai menghembuskan nafas lewat hidung.

"Yuuna, kita berdua memiliki jumlah teman yang sama. Tapi teman bukan sekedar teman yang bisa kau ajak bicara santai sampai membicarakan rahasia seperti kita berdua sekarang," ucap Mirai tiba-tiba.

Dia pasti membaca pikiranku.

"Daripada membaca, aku mendengar pikiranmu." Mirai menambahkan dengan santai. Ditambah dengan senyuman simpul nan manis terlukis di bibirnya membuat semuanya menjadi menyebalkan. "Kudengar, kemampuan ini tidak sekedar mendengar apa yang tengah dipikirkan seseorang. Aku bisa menggali ingatan mereka bila meningkatkan sihirku lebih jauh."

Aku menggebrak meja sampai sumpit besi yang sudah seimbang di atas mangkuk jatuh bergelinding. Aku menangkap kedua sumpit itu sebelum menyentuh karpet kuning pastel. Reflek tanganku tidak kalah cepat dari leherku, tapi itu tidak membuat suasana hatiku tambah senang.

Spontan, aku menutup keningku dengan panik, mengundang tatapan bingung dari Mirai yang tidak pernah habis pikir dengan tingkahku yang heboh hari ini.

Bila Mirai memiliki kemampuan mendengar pikiranku, dia— Kumohon jangan! Kumohon katakan lah bahwa Mirai masih di tingkat amatir!

Raut wajah Mirai jatuh, sementara tatapannya tidak lepas dariku. "Tapi... terkadang aneh saja, Yuuna." Aku mengangkat salah satu alisku. "Kadang aku tidak bisa membaca pikiranmu. Seperti sekarang."

"Kau bercanda?" Tanyaku di tengah kunyahan.

"Tidak, aku serius. Apa kau punya semacam pengendalian pikiran agar orang sepertiku tidak dapat membaca pikiranmu?" Mirai memutuskan pandangannya ke arahku. Matanya menerawang ke salah satu boneka yang terletak di sudut kasurnya, tetapi pikirannya sibuk memikirkan sesuatu.

Aku sendiri tidak tahu mengapa Mirai tidak bisa menembus pikiranku. Menurutku, aku tipe orang yang mudah dipengaruhi atau dihipnotis, karena emosiku terkadang tidak stabil. Siapa pun bisa melihatnya. Contoh pertama, saat aku ingin memukul Haku-senpai menggunakan sapu karena dia mengataiku pengecut, meskipun apa yang dia katakan ada benarnya.

Sebaiknya kita berhenti memikirkan sesuatu yang dapat menurunkan hawa nafsu.

Mirai kembali menatap mataku, seolah bisa membaca pikiranku kembali. "Ya, aku terlalu serius untuk hal ini. Maaf."

"Ngapain minta maaf?" Aku mengerutkan kening. "Tidak ada salahnya mencari tahu hal yang tidak kau ketahui. Hanya saja, saat ini pikiranku sedang loading dan aku lapar, biarkan aku mengisi energi sebelum kita melanjutkan sesi tanya-jawab."

Kesunyian terjadi di antara kami, sebelum kekosongan itu kembali diisi oleh tawa pelan dari Mirai. Dia menggerakkkan kepalanya atas-bawah untuk menunjukkan kesetujuannya dalam hal ini.

Seluruh tenagaku sudah terkuras habis setelah latihan kendo, padahal beberapa hari lagi sudah upacara kelulusan. Aku akan bebas dari sekolah itu, meninggalkan masa lalu yang lumayan kelam, dan beberapa murid yang pernah bermasalah denganku. Saat liburan, aku akan sibuk memikirkan di sekolah apa aku akan melanjutkan studi.

Yah, waktu liburan tidak sepenuhnya beristirahat. Tidak ada kata 'liburan' kalau kau tinggal di sebuah keluarga yang memberikanmu banyak pekerjaan sampai tanganmu menjadi kasar.

Waktu berjalan begitu cepat, dan hidangan yang Mirai sajikan sudah habis sampai tidak ada satu pun nasi yang tersisa. Kami berdua begitu terkejut dengan rasa yang meledak di lidah kami. Biasanya, masakan Mirai selalu kekurangan bahan dan langkah-langkahnya selalu kebalik, tapi itu pertama kalinya aku merasa ini masakan paling enak yang pernah Mirai buat.

"Huh, ternyata kau bisa masak juga," celetukku ringan sambil membantu Mirai menyusun alat makan kami di atas nampan.

Dengusan pelan keluar dari hidungnya. "Menurutmu, siapa saja yang memberikan makanan selama Okaa-san tidak masak? Kazumi?"

Kazumi adalah adiknya Mirai. Dia berbeda dua tahun dari kami. 

"Lagipula, aku lebih pandai memasak darimu," ujar Mirai, membuatku melongos tidak terima.

"Siapa yang masak makan malam kepadamu saat Kaa-san dan Tou-san pergi pulang kampung?" Balasku, menggali ingatan dimana kami berdua di kelas tiga semester pertama. Mirai datang ke rumah tiba-tiba karena rumahnya kosong dan dia kesepian. Jadi aku harus memasak ekstra piring untuk kami bertiga.

Mirai memutar bola matanya dengan malas. "Kau hanya menghangatkan makanan yang dibuat Tante Emilia," umbarnya.

"Aku membuat supnya!" Aku kembali mengingatkan dengan kesal. Aku masih ingat saat Mirai terlihat begitu senang saat mencicipinya, tanpa tahu kalau aku yang membuatnya.

"Oh, ternyata kau yang buat?" Aku mengangguk cepat. Mirai menunjukkan kalau masakan terlalu biasa saja dari mimik wajahnya, membuatku menggerutu kesal. "Aku bercanda. Masakanmu enak, kok!"

Aku memutar arah pembicaraan kami ke tujuan awal. "Jadi, sihirmu ini... teleportasi dan berhubungan dengan pikiran seseorang?"

"Tidak sampai mengendalikan. Pengendalian mental seseorang itu kemampuan Eri, tapi dia belm sampai ke fase itu." Mirai menjelaskan.

Apa boleh begitu? Aku tidak begitu mengenal Eri, meskipun kami sudah berteman dua setengah tahun. Beberapa hal yang kutahu darinya adalah Eri berasal dari kaum elit, memiliki seorang kakak perempuan yang satu kelas dengan kakakku saa SMP, dan dia tengah menyukai seseorang. Itu hal remeh yang kutahu, karena orang lain yang tidak begitu mengenal Eri juga tahu itu.

Oh, Eri benci bila rahasianya diumbar!

Mirai menunjukkan senyuman meyakinkan. "Eri yang mengatakan sendiri kalau dia ingin aku menyampaikan ini kepadanya. Ternyata dia berhati lembut juga, ya," gumamnya di kalimat terakhir.

"Berhati lembut?"

"Ya. Sepertinya Eri tidak ingin kau tertinggal di dalam kegelapan, seperti dirinya."

-

Ucapan Mirai tentang Eri membuatku berpikir keras. Mataku tidak bisa tertutup saat mengingat wajah Mirai saat mengatakan hal tersebut. Rasa bersalah mulai bersarang, walaupun aku tidak tahu dimana letak kesalahanku. Entah kenapa, semuanya tambah rumit sejak aku mengalami mimpi itu. Dan hal anehnya lagi, aku masih ingat kronologi mimpi itu sampai aku bangun.

Aku kembali menggulingkan tubuhku, mencoba mencari posisi ternyaman sebelum Okaa-san masuk ke kamar untuk memastikan apa aku sudah tidur atau belum.

Tertinggal di dalam kegelapan.

Apa maksudnya? Apa aku pernah membuat Eri merasa tertinggal? Bukankah seharusnya aku yang merasakan itu?

Mirai dan Eri tahu bahwa mereka memiliki sihir atau di kasus seperti ini aku mengatakan mereka seorang semi-penyihir. Sementara itu, aku berjalan di belakang mereka, memandang punggung yang terlihat begitu ogah untuk balik badan dan menghampiriku. Aku tidak tahu sejak kapan mereka menyadari itu, tapi aku tidak suka bila mereka tidak bertanya kepadaku terlebih dahulu.

Ayolah, aku bisa menjaga rahasia. Tidak mungkin aku menganggap mereka aneh. Bukankah seru bila kami bertiga menjadi aneh? Jadi aku tidak perlu merasa sendirian, lalu berpikir bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang mengerti diriku.

"Aku juga peduli dengan sekitar, ya!" gumamku dengan dongkol.

Aku merasakan sesuatu bergerak dari kolong tidurku, padahal celahnya sangat minim. Lampu di kamar mulai berkedap-kedip, dan dipenuhi oleh sebuah bayangan yang menutupi bola lampu secara total. Rasanya aku mengalami gerhana matahari di kamarku, bukan di langit.

Hawa dingin menggelitik tengkuk, padahal aku tidak menyalakan pendingin ruangan karena masih musim dingin. Ada pergerakan kecil di kamarku, mungkin sekitar satu atau dua orang, aku tidak begitu memedulikannya. Mau itu hantu yang tinggal di sudut kamar atau Natsumi-nee-san yang mencoba menakutiku, aku tidak ingin memusingkannya.

Dengan kesal, aku menaikkan selimut tebal sampai menutupi puncak kepala.

"Kapan-kapan, kita akan bermain lagi."

***

EXTRA

"Menurutmu, dia bagaimana?"

Gadis itu menatap pemuda yang sedaritadi tidak berani memandang matanya. Tidak ada satu pun teriakan atau bisikan terdengar dari benak pemuda itu, seolah meletakkan semacam penghalang yang lebih tebal agar gadis itu tidak mengintip sedikit pun ke dalam pikirannya. Jika sihirnya tidak bisa digunakan, rasanya percakapan di antara mereka sia-sia jika sang puan tak mengerti apa isi pikiran lawan bicaranya.

"Siapa?"

Mulut pemuda itu terbuka lalu tertutup kembali, menambah kejengkelan di hati gadis itu. Meskipun tahu maksud dari tatapan garang yang menyerangnya, pemuda itu tetap mengeluarkan senyum, seolah meminta agar gadis itu sabar sebentar saja.

"Kau menyukainya?"

Percakapan yang berputar-putar di sekitar pertanyaan sungguh menyebalkan. Maka, gadis itu beranjak berdiri dari kursi taman sambil mendecakkan lidah.

"'Tidak. Aku tidak menyukainya lagi.'" Mirai menatap pemuda itu datar. "Apa itu jawaban yang kau cari?"

***

Glosarium

*-dono
Sebutan gelar kehormatan di Jepang, biasanya digunakan oleh para samurai untuk memanggil tuan tanah tempat mereka mengabdi

**-Shisou
Gelar lain untuk instruktur bela diri

***-Senpai
Sebutan untuk seseorang yang lebih senior

****Uwabaki
Jenis sendal yang dipakai di dalam ruangan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top