Chapter 18 - Behind The Envelope

Houseki Gakuen adalah sekolah terluas di prefektur, bahkan satu pulau ini. Dengan halaman yang luas dan privat. Bahkan ada gelar tersendiri diberikan oleh pemerintah sejak akademi ini menangkap perhatian netizen di seluruh dunia. Dengan wilayah seluas itu, pihak sekolah pasti memberikan fasilitas yang lengkap untuk setiap murid; ruang makan, gedung olahraga, ruang tersendiri untuk setiap ekskul, dan fasilitas yang dapat dilakukan untuk kegiatan sekolah. Perpustakaan saja berdiri sendiri, memisahkan diri dari gedung utama.

Tetapi dari sekian tempat istirahat yang bisa digunakan untuk berkumpul, ruang OSIS harus mengorbankan diri sebagai tempat berkumpul beberapa murid.

Sebenarnya ada alasan khusus mengapa ruang tersebut menjadi multifungsi di tangan oleh beberapa murid. Bukan karena mereka menjadi keren dan berkuasa bila hinggap di situ, seperti hantu penghuni. Tetapi karena fasilitas di ruang OSIS cukup nyaman, tempat mengisi daya baterai, kulkas mini, dan fasilitas yang sangat menyenangkan hati si pemalas.

Damien--si Ketua OSIS, sekaligus pemegang kunci ruangan tersebut--harus menahan fakta itu bulat-bulat, meskipun ini baru hari pertama sekolah. Keadaan ruangan tidak berisik atau terjadi sebuah kekacauan disana. Tapi pemandangan ada beberapa orang yang bukan anggota OSIS tengah bersantai di ruangan tersebut cukup mengganggu matanya. Teguran atau sindiran yang diberikan jatuh begitu saja di telinga mereka, seolah teman-temannya tuli dadakan.

Dia menghembuskan nafas gusar, memandang Solon yang tengah memainkan sebuah game online dengan ekspresi wajah tidak tebaca. "Jun dimana?"

"Pertanyaan retoris." Damien mencibir pelan mendengar ucapan Veron yang tengah selonjoran tanpa malu di atas sofa. Pemuda dengan aura menyegarkan mengadahkan lehernya. "Sudah tahu jawabannya, ngapain tanya? Kau kangen?"

"Aku sedang mencari alasan yang akurat untuk mengusir kalian."

Salah satu siswa yang duduk tenang di samping Solon tertawa pelan. "Maaf menganggumu, Damien. Tapi sejak kejadian upacara kelulusan akademi, kita jadi agak terobsesi dengan ruangan."

"Itu enggak baik. Kalian harus menghilangkan obsesi itu, segera!" Si Ketua OSIS memberikan tatapan datar.

Perintah itu terabaikan begitu saja oleh ketiga kouhai-nya.

Zenith melafalkan mantra sihir, dan Damien berharap agar pemuda itu tidak melakukan hal gila saat mengeluarkan sesuatu dari Inventaria. Hembusan nafas yang mengundang kebingungan terdengar saat Zenith mengeluarkan sebuah objek yang tidak berbahaya sama sekali, yaitu surat tanda penerimaan di Houseki Gakuen.

"Kau mau apakan surat itu?" Tanya Veron dengan rasa ingin tahu. Dia bahkan rela beranjak dari posisi telentang hanya untuk melihat teliti perbuatan Zenith.

"Hm, aku hanya merasa ada yang janggal saat menerima ini. Apa suratmu seperti ini juga tahun lalu?" Tanya Zenith pada Damien yang sibuk menyusun formulir.

"Aku bahkan enggak tahu perbedaan apa yang tengah kau bandingkan," ujar Damien.

Surat yang berbentuk sertifikat berada di tangan Zenith langsung pindah tempat ke genggaman Solon. Dalam kedipan mata, lidah-lidah api mulai muncul di sudut surat tersebut, membuat jeritan tertahan keluar dari orang-orang di ruangan tersebut atas perbuatannya.

"Apa yang kau lakukan, bodoh?!" Sahut Veron yang siap untuk memadamkan api itu. Kepalan tangannya menciptakan bola air, dan dia tidak akan segan melempar benda cair itu ke wajah Solon.

Perlahan, api itu memadam tanpa meninggalkan bekas bakaran, tapi itu tetap saja tidak meringankan kepanikan. Bel darurat hampir saja berbunyi, dan mereka akan mendapatkan hukuman yang lebih fatal dari Calix. Damien sudah siap menutup mata dari kasus tersebut, lalu siap pura-pura tidak kenal dengan ketiga temannya. Bisa-bisa reputasinya di akademi tersebut retak dan hancur.

Zenith yang pertama menenangkan diri. Dia mendekatkan diri ke arah Solon untuk melihat apa yang diperbuat pemuda tersebut pada surat tanda penerimaannya. Matanya membelak tidak percaya saat melihat rangkaian bahasa yang tidak dia kenal. Damien yang melihat ekspresi terkejut Zenith langsung ingin tahu apa yang dia lihat, disusul dengan Veron yang duduk di tangan sofa.

"Bukannya ini nama sihirmu?" Tanya Damien, yang terdengar tengah memastikan sesuatu.

"Enggak tahu. Emang apa yang ditulis disana?" Zenith mengerutkan kening, mencoba membayangkan setiap abjad huruf tersebut bila disamakan dengan huruf romawi yang dia kenal.

Solon menghembuskan nafas. "Minggir. Aku bisa sesak kalau kalian semakin mendekat."

Mendengar penuturan tajam itu, mereka langsung menjauh dari pusat perhatian, memberikan ruang pribadi kembali pada Solon yang terlihat ingin mendorong mereka kalau keinginannya tidak segera terpenuhi. Solon memberikan kembali surat itu kepada pemiliknya, lalu beranjak dari atas sofa untuk kembali ke kelas.

"Itu bacanya "Speedrun", seperti dalam Bahasa Inggris." Solon mendengar ucapan Damien yang tengah mengajari penuturan ucapan sihirnya.

"Kayak game itu?" Veron menyahut.

"Itu beda lagi, Hidrogen!"

Bunyi gesekan biola bersaman dengan dentingan piano mengejutkan mereka. Seluruh perhatian mereka fokus kepada pemberitahuan yang akan keluar dari speaker.

"Perhatian! Kepada seluruh murid yang mengikuti Bloody Party tolong segera datang ke ruang kepala sekolah. Kami tidak akan segan memberikan hukuman pada murid yang berbohong, dan tidak hadir di ruangan kepala sekolah. Sekian, terimakasih."

Keempat laki-laki itu saling melirik, mencurigakan satu sama lain, meskipun mereka tahu jawaban atas kecurigaan tersebut.

Damien menyugarkan rambutnya ke belakang, tidak menyangka bahwa hari itu akan tiba. "We're f*cked."

"Bahasanya!" Tegur Zenith yang masih setia duduk di sofa.

"Itu urusan kalian. Selamat berjuang!" Pemuda bersurai hitam menutup matanya, mencoba menenangkan pikirannya yang berantakan.

Solon memunggungi mereka untuk meraih kenop pintu, tapi pergelangan tangannya ditahan oleh Veron yang tersenyum seringai ke arahnya. Dia menekuk alis melihat ekspresi temannya.

"Kau dengar apa yang dikatakan Calix-sama. Kita semua disini akan sengsara bersama."

"Tapi itu masalah kalian. Jangan menyeret orang tidak bersalah ke dalam lubang ember."

"Gini, nih, contoh orang yang membohongi dirinya sendiri." Damien menunjuk hidung Solon, membuat pemuda bersurai kelam mendengus kesal. "Aku melihatmu ada disana. Kalau kau minta bukti, aku bisa kasih sekarang."

"Memang kenapa? Kalian mengikuti pesta itu?"

Pundak kedua pemuda itu kaku saat mendengar pertanyaan polos tersebut. Bisa-bisanya mereka lupa, kalau salah satu dari mereka di ruangan ini tidak mengikuti pesta "merah" tersebut. Veron tersentak saat mendengar umpatan pelan dari Solon yang terlihat ingin kabur dari ruangan tersebut secepat mungkin.

Zenith memandang ketiga temannya bingung, sebelum kesadaran muncul di permukaan pikiran. Dia menatap ketiga temannya yang selama ini dia anggap terlalu displin terhadap diri mereka sendiri, dan tidak suka hal-hal berbau keramaian.

"Jangan bilang... kalian meminumnya?"

-

"Perhatian! Kepada seluruh murid yang mengikuti Bloody Party tolong segera datang ke ruang kepala sekolah. Kami tidak akan segan memberikan hukuman pada murid yang berbohong, dan tidak hadir di ruangan kepala sekolah. Sekian, terimakasih."

Aku tidak tahu apa maksud ucapan Gladiz tentang peringatan tersebut, apalagi dengan kata 'Bloody Party' yang menangkap perhatianku, karena cara pengucapan Gladiz terdengar sangat sempurna. Tetapi dampak yang diberikan oleh peringatan tersebut membuat kericuhan kecil di kantin. Bisikan mengisi udara, bersamaan dengan dentingan dari alat makan, membuatku sedikit kesal dengan kebisingan itu.

Mirai mengerutkan kening, ditambah tangannya mulai gemetaran. Aku mulai khawatir bila kebisingan ini dapat memicu kegelisahannya. Dan, kekhawatiranku benar-benar terjadi saat kaki Mirai mulai gemetaran, sementara kedua tangannya menutup telinga dengan erat, seolah mencoba memblokir seluruh pikiran orang yang masuk ke dalam pikirannya tanpa izin. Eri menyadari hal tersebut, dan mulai mencari sesuatu di sekitarnya. Keputusasaan tergambar di wajahnya.

Dengan gerakan cepat, aku merogoh saku mantel yang kukenakan untuk mencari benda tersebut. Sial! Earphone-ku ketinggalan di saku meja.

"Mirai, berhitunglah denganku!" Aku menyentuh kedua tangannya yang kedinginan. "Dari satu sampai sepuluh, habis itu hitung mundur. Apa kau bisa melakukannya?"

Meski responnya sedikit lambat, Mirai mengangguk pelan. Dia berhitung seperti anak kecil yang baru saja mengetahui angka, lambat dan berantakan, tapi itu lebih baik daripada melihatnya panik di kursi. Aku ikut berhitung bersamanya, sambil melonggarkan genggamanku dari tangannya, karena baru sadar bahwa Mirai tidak suka disentuh. Sebelum tanganku ditarik menjauh, kedua tangannya kembali menahan tanganku. Mungkin hari ini berbeda.

Aku melihat Eri tengah mengeluarkan sesuatu dari saku mantranya, sebuah permata berwarna hijau mengkilap di bawah sorotan lampu. Permata itu hancur berkeping-keping di dalam genggamannya, membuat berpikir apakah Eri memiliki otot yang kuat atau permata itu saja mudah pecah.

Aroma dan warna aura milik penyihir lain keluar dari permata tersebut, mulai mengelilingi sekitar kami dengan radius tiga meter. Aku juga sadar bahwa getaran tubuh Mirai sedikit lebih tenang.

"Itu... apaan?" Tanyaku kepada Eri yang menghela napas lega di kursinya.

"Permata tadi?" Aku mengangguk. "Itu replika dari salah satu penyihir, dan hanya pemilik penyihir itu yang dapat menciptakan replikanya. Sudah kuduga bahwa replika itu dapat berguna, tapi aku tidak menduga bila aku akan menggunakannya di situasi seperti ini."

"Sudah baikan?" Aku bertanya kepada Mirai yang sudah kembali menegakkan punggungnya. Bibirku mengatup rapat saat mendapat isyarat Mirai yang mengatakan dia sedang tidak ingin diajak bicara.

Waktu makan siang kami yang tenang (dan sedikit kacau) harus diganggu oleh kedatangan aura familiar. Aroma yang mampu mencekik leherku, menghilangkan seluruh pasukan oksigen yang tengah mengalami proses di paru-paru. Aura berwarna hijau lumut menjijikkan memenuhi seluruh pandanganku.

Lari lari lari-- Suara itu membisik. 

Bunuh bunuh bunuh-- Suara itu berteriak.

Di saat aku menoleh ke belakang, bersiap untuk kabur, pandanganku bertemu dengan figur tinggi yang menutupi seluruh pandanganku. Warna di wajah perlahan menghilang saat mataku bertemu dengan senyumannya yang terlihat begitu menghipnotis, dan bisa menghantui mimpi burukku.

"Oh, Ravyn, kau punya urusan dengan kami?" Tanya Eri sambil mengangkat salah satu alis. Eri benar-benar kenal dengan banyak orang.

Pemuda yang tidak sudi kusebut namanya tersenyum simpul. "Iya, aku ingin berbicara dengan Yuna." Bahuku merinding saat pandangan kami kembali bertemu. "Bukankah kau sendiri yang janji kita akan membicarakan lagi hari ini?"

Janji? Janji apa? Aku bahkan tidak berjanji apa pun padamu!

Eri memberikanku tatapan menggoda. "Aku tidak tahu kau kenal dengan Ravyn. Silahkan, Vyn, tapi kau harus mengembalikan dia dalam satu bentuk."

Itu tidak membantu!

Secara reflek, aku menggenggam sumpit yang berada di atas mangkukku, bersiap untuk mencolok matanya dengan sumpit aluminium ini. Aku tidak melepaskan pandangan darinya, meskipun mataku terasa gatal setiap menyadari keberadaannya. Bila dia ingin melakukan sesuatu padaku, aku tinggal mencolok tangannya.

"Jangan katakan kau lupa dengan janji kita?" Pemuda itu memasang senyuman sedih yang terlihat begitu menggoda untuk ditonjok.

Seolah mendengar jeritan batinku, Mirai ikutan meletakkan tangannya di atas tanganku. "Maaf, saat ini dia sibuk dengan urusanku. Kau bisa datang lagi nanti," usirnya.

"I-Iya! Aku belum menghabiskan jatah makan siangku! Kita akan bicara--"

Bagaikan hujan yang tidak bisa diprediksi oleh ramalan cuaca, aku beranjak berdiri, meninggalkan sumpit aluminium--senjata dadakanku. Jari-jari yang masih terjalin di antara jemari Mirai kutarik lepas, meninggalkannya di dalam kebingungan, sementara aku hanya berjalan menghampiri pemuda itu yang tengah tersenyum.

Aku tidak bisa menggerakkan tubuhku sesuai dengan keinginan. Seolah ada benang di tangan dan kaki, layaknya boneka yang bergerak sesuai dengan keinginan Puppeter. Dan, si Puppeter adalah... Ravyn.

Entah apa pun itu, aku langsung melepaskan pengaruhnya dari seluruh tubuhku, lalu memasang kuda-kuda untuk siap menghadangnya. Pemuda itu memberikan tatapan tidak senang saat melihatku mulai bergerak layaknya manusia biasa, manusia yang memiliki akal pikiran masing-masing.

"Apa maumu, sialan?!" Umpatan keluar begitu lancar saat mentalku mulai gelisah. Rahangku mengeras mengingat bahwa aku mudah dipengaruhi sihir itu.

Pemuda itu menggeleng pelan. "Kau keras kepala, ya. Tapi itu juga alasan kau tidak bosan kumainkan."

"Dih, masa kecil kurang bahagia begini contohnya," celetukku sambil menjulingkan mata. "Aku tidak ada janji, tidak ada yang ingin dibicarakan, dan aku tidak ingin berkenalan denganmu. Selamat siang!"

Auranya kembali bergerak cepat, begitu pun dengan refleks tubuhku. Aku kembali menatapnya dengan ganas, kedua tangan siap untuk melakukan perlawanan, dan aku tidak sadar dampak apa lagi yang terjadi dari refleks tersebut. Dia tertegun melihat raut wajahku, lalu menarik tangannya kembali ke tempat semula. Jadi, sebelumnya, dia ingin menahanku pergi dengan cara mencegat lenganku.

Sejak kapan refleksku secepat ini?

Pemuda itu mengeluarkan sebuah tawa saat dia menghela napas. "Sihirmu... memang nggak bisa diajak bekerja sama."

Aku mengerutkan kening, lalu menggerakkan sendi di leher untuk melihat apa yang dia bicarakan. Bayangan di bawah kakiku beranjak keluar dari tempat persembunyian, berdiri di sisi kanan-kiri dengan tinggi dua meter atau lebih. Ujungnya yang terlihat transparan terlihat siap untuk mencekik pemuda itu.

"Makanya, jangan sembarangan." Itu sisi percaya diri yang mulai meluap-luap di dalam diriku, tapi aku dan Tuhan tahu bahwa itu hanya gertakan biasa.

"Tadi, kau bertanya apa yang ku mau darimu?"

Ya, bagus. Dia menjaga jarak dariku, seperti yang semestinya.

"Aku tidak menginginkan apa pun darimu, selain beberapa jawaban dari pertanyaan." Pemuda itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Pertanyaan pertama, mengapa kau berteman dengan Emma? Apa karena kalian sama-sama amatir?"

Amatir? Menurutku, Mirai mengendalikan sihirnya cukup baik, tapi aku tidak bisa mengatakan hal yang sama tentang kemampuannya mendengar isi pikiran orang lain. Yang aku tahu saat ini, aku tidak suka bila sosok menyebalkan yang menganggu pemandanganku berbicara tentang Mirai.

Aku mendengus pelan. "Itu bukan urusanmu."

"Tentu, itu bukan urusanku. Hanya saja... agak aneh orang sepertimu berteman dengan bom waktu seperti dia. Apa kau tahu? Dia melanggar beberapa aturan, sebuah aturan fatal yang membuatnya pantas dianggap seorang kriminal. Orang tidak bermoral seperti dia tahu apa tentang perbuatannya sendiri."

"Sebagai teman akademimu, aku sarankan jangan terlalu dekat dengannya kalau tidak ingin mendapat masalah."

Lagi-lagi, mataku digelapkan oleh sekitar. Sesuatu di dalam diriku mengambil alih seluruh kendali atas tubuh, membuat kedua tangan meraih kerah mantel seragam, lalu menariknya agar mendekat ke wajahku. Perlahan, emosi yang tersimpan di dalam diriku kembali muncul di dalam permukaan. Dan, mereka berseru dengan sukacita saat aku membiarkan emosi memainkan kartunya.

Bunuh bunuh bunuh--

Persembahkan persembahkan--

Untuk kebebasan yang mutlak!

Tidak ada binar rasa takut di dalam matanya atau keinginan untuk melepaskan tanganku. Orang aneh. Dengan senyuman menjengkelkan itu, dia terlihat begitu takut dengan kematian.

Rasa kebahagiaan muncul saat alisnya menekuk saat suluran hitam mulai mencekik lehernya. Suluran itu terlihat berbaur dengan nadinya yang mulai muncul di permukaan kulit. Trik kecil atau biasa kusebut sebagai gertakan. Inilah yang kugunakan saat menyelamatkan Vanessa dari penguntit tersebut, meskipun efek yang diberikan lebih fatal kepada manusia karena mereka tidak memiliki perlindungan khusus seperti semi-penyihir atau jenis penyihir lainnya.

"Simpan opinimu untuk dirimu sendiri."

"Haha, kau menarik."

Aku menarik kepalaku menjauh, dan mendorong tubuhnya. Suara di dalam kepala masih menginginkan lebih banyak, memerintahkan sebuah pertumpahan darah, menodai ubin putih yang terlihat bersih dari noda.

Pada saat aku melepaskannya, aku baru sadar seluruh mata tertuju pada kami. Pemuda itu tertawa pelan atas atensi yang jatuh pada kami. Aku memandang gelisah ke arah Mirai dan Eri yang memandang kejadian dari jauh. Pancaran di mata mereka terlihat begitu susah untuk diketahui, tapi aku tidak ingin mencari tahu.

Satu-satunya pilihan yang kupunya hanya berlari.

Itu berlebihan! Aku kelewat batas!

Semuanya tambah buruk saat rasa nyeri di belakang kepala tiba. Aku mengerutkan kening, mengabaikan rasa sakit yang dapat membuat kepalaku berputar.

Itu tindakan yang salah. Seharusnya aku tidak kelewat batas. Seharusnya aku lebih sadar akan sekitar sebelum melakukan tindakan. Seharusnya aku mengendalikan emosiku lebih baik. Seharusnya... aku memblokir hipnotis itu. 

Tapi semuanya sudah terlambat.

Semuanya yang terbaik selama tidak ada yang menghalangimu.

Kebebasan macam apa yang kalian inginkan?!

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top