Chapter 16 - Out of Control

Besok adalah hari pertama sekolah, hari pertama duduk di kelas, hari pertama beradaptasi dengan lingkungan akademik yang akan kulihat selama tiga tahun ke depan sampai bosan. Aku tidak yakin apakah pelajarannya yang diberikan memiliki level yang sama dengan sekolah lain. Tetapi aku yakin bila kelas malam yang akan dilaksanakan sudah beda dari kelas lainnya, karena itu berhubungan dengan hal mistik yang selama ini dianggap legenda bagi warga lain.

Lily merekomendasikanku beberapa tempat yang akan sering dikunjungi murid akademi selama di tahun pertama, salah satunya perpustakaan. Selama aku berjalan, tidak banyak murid tahun pertama membicarakan fasilitas gudang ilmu tersebut, mereka hanya sibuk membicarakan beberapa murid yang Vanessa sebut sebagai penguasa tingkat tertinggi popularitas.

Membicarakan Vanessa, aku juga belum bertemu dengannya hari ini. Aku juga tidak berusaha untuk mencari keberadaannya, karena dia adaah figur terkenal di publik, dan aku bisa saja diserang penggemarnya bila mereka melihatku mengajaknya dengan asal. Terutama aku hanyalah 'anak baru'--'si bukan apa-apa' di akademi ini.

Pemandangan di sekitar perlahan berubah. Langit di atas kepala terlihat lebih luas, karena biasanya ada saja gedung akademi yang luas mencoba masuk ke dalam lapangan pandanganku. Tidak ada pepohonan di sekitar, tapi aku menangkap barisan pohon yang cukup jauh dariku. Beberapa meter dari sini, aku bisa melihat kolam renang yang digunakan klub renang. Pasti sudah penuh dengan bunga sakura dan airnya pun dingin di musim ini.

Aku dimana?

"Seharusnya aku ikut dengan Mirai dan Cera saat mereka mengajak," gumamku dengan penuh penyesalan. Aku diam di tempat, menyusuri setiap sekitar untuk menemukan kefamiliaran agar mudah kembali ke titik awal.

Nihil. Tidak ada taman kecil dimana aku dan Vanessa bertemu dengan Zenith. Lokasi mencolok yang biasanya penuh dengan murid dari berbagai tingkat pun tidak ada. Tidak ada satu pun titik lokasi yang terlihat familiar. Vanessa belum pernah mengajakku ke tempat ini sebelumnya, pantas saja aura di sekitar sini terasa belum disentuh siapa pun.

Tapi ada satu tempat yang menangkap perhatianku. Sebuah rumah kaca, tidak sebesar rumah kaca yang ada di kota, namun masih mampu merawat  beragam tanaman. Sesuatu dalam diriku mengatakan jangan coba-coba melangkah masuk tanpa izin, jadi aku mengindahkannya. Lebih baik mengikuti apa kata intuisi, daripada mati seperti orang goblok di film horor yang belagak kuat saat menghadapi pembunuh.

Aku tidak mau mati konyol.

Jari-jari bayangan mulai muncul dari bawah kaki saat merasakan kegelisahanku. Tiba-tiba, derap langkah membuat seluruh saraf di tubuhku bekejar cepat, membalikkan badan dan siap berlari untuk melihat siapa yang berani mendekatiku.

"Oh, kau murid baru itu?"

Seorang pemuda dengan tubuh jangkung berjalan menghampiri. Degupan di jantungku tambah keras di setiap langkahnya, rasanya jantungku bisa meloncat keluar bila aku tidak coba menstabilkannya kembali. Ini degupan jantung di shoujo manga saat pemeran utama bertemu dengan love interest, degupan ini lebih tertuju pada tanda darurat.

Suara itu pun mengatakan hal yang sama. Lari lari lari--

Pemuda itu tertawa pelan saat melihat langkahku yang mundur, membuatnya tambah mendekat. "Apa aku terlihat begitu menakutkan?"

"Sangat." Jawaban itu spontan keluar, dan aku tidak menyesalinya sedikit pun. "Bisakah kau menjaga jarak sedikit? Aku yakin kau pernah mendengar batasan pribadi."

Tawa kekeh mengerikan mengisi udara. "Maafkan aku, kalau begitu," balasnya dengan arogan. "Tapi kau belum menjawab pertanyaan pertamaku."

"Seharusnya, perkenalkan dirimu dulu baru bertanya tentang orang lain. Semua murid di akademi ini tidak tahu sopan santun." Aku menjulingkan mata secara terang-terangan.

"Halo, aku Ravyn. Jadi, apa kau anak baru itu?"

Lupakan tentang rupawannya yang terlihat bisa membunuh siapa pun dengan lirikan, karena aku tidak ingin memuji sosok bernama 'Ravyn' ini hanya dari penampilannya, apalagi sikapnya yang mengerikan. Aku tidak peduli bila dia salah satu murid yang menjadi incaran orang, dan mereka menganggapku tidak bersyukur saat dia menghampiriku dengan motif tersembunyi. Aku hanya ingin pergi dari situasi ini.

Hanya kegelisahanku saja yang mulai kambuh seperti Mirai atau memang itu bukan ilusi, tapi aku dapat merasakan puluhan mata tertuju mata kami, menelusuri setiap pergerakan yang kukeluarkan. Aku dipantau dan terkepung!

Doaku terjawab. Seseorang menghampiri kami dengan ekspresi linglung.

"Um, permisi, apa kalian tahu arah gedung utama dimana? Aku tersesat."

Meski hanya sekilas saja, aku menangkap perubahan raut wajah pada pemuda tersebut. Perubahan yang terjadi beberapa saat itu membuatku merinding. Tatapannya begitu tajam dan penuh intimidasi, seolah mampu membunuh siapa pun bila dia tidak segera mengendalikannya.

"Maaf, saat ini kami ada urusan, kau bisa tanya--"

"Aku tahu! Kebetulan sekali aku ingin kesana! Bagaimana kita pergi bersama?" Hitung-hitung, aku bisa mendapatkan teman dari rencana kabur ini menggunakan siswa ini.

Raut wajah intimidasi itu masih ada disana, ditambah dengan tatapannya yang tidak lepas dariku. Ini mengerikan. Mengapa beberapa orang bisa tenang melihat tatapan tajam seperti itu? Aku pasti sudah terkapar di tanah bila tidak menahan diri agar tetap berdiri.

"Kita bisa berbicara kapan-kapan, Ravyn." Aku harap kita tak pernah bertemu lagi.

Tanpa meminta persetujuan, aku merangkul lengan siswi itu tersebut, lalu pergi dari sana secepat mungkin. Langkahku bergerak begitu saja tanpa arah, berharap agar jalur yang kupilih benar-benar tertuju pada gedung utama akademi. Kalau tidak, aku membawa anak orang tersesat bersamaku, dan rencana kedua untuk mendapat teman menjadi gagal.

"Untung saja aku datang di waktu yang tepat, kan?"

Mendengar ucapannya, aku berhenti melangkah. Rangkulan sok ramah itu terlepas begitu saja, bersamaan dengan senyuman meluntur yang terlihat dipaksakan. Aku menoleh ke arah siswi tersebut, yang tengah menunjukkan senyuman bangga, seolah dia adalah seorang pahlawan yang baru saja menyelamatkanku dari si antagonis. Tetapi harus aku akui, dia memang pantas sebagai pahlawan saat itu, karena aku sangat membutuhkan pertolongan.

Mungkin karena kepanikanku sebelumnya, aku baru sadar bahwa siswi tersebut memiliki wajah blasteran dengan surai pirang panjang. Dia menatapku dengan matanya yang lebar. Apa dia semacam boneka yang bisa hidup?

"Aku sangat berterimakasih untuk itu," ujarku sambil memberi langkah, takut dia merasa tidak nyaman dengan kelengketanku sebelumnya.

Siswi itu tersenyum manis. "Itu bukan apa-apa. Oh, ya, namaku Glow! Boleh aku tahu siapa namamu?" Dia mengulurkan tangannya.

Dengan pikiran tarik-ulur, aku menerima uluran tangan itu. "Yunania," ucapku dengan pengucapan yang tepat. "Panggil saja Yunia."

Glow mengangguk cepat sampai beberapa surai rambutnya berterbangan. "Sebaiknya kamu berhati-hati di akademi ini, Yunia. Kadang... ada orang seperti dia yang mencoba melakukan sesuatu padamu."

"Sekolah ini enggak normal atau apa?" Gumamku dengan alis mengerut.

"Normal, kok! Hanya saja... ada beberapa kejadian yang diluar kendali staff akademi, jadi aku harap kau jaga diri baik-baik! Jangan khawatir, aku juga akan mencoba melindungimu!" Glow menepuk kedua pundakku sambil menunjukkan senyuman lebar.

"Um, ya, terima kasih," balasku. Apa ini normal di antara kedua orang asing?

Glow berpisah denganku. Tangannya melambai di atas udara, sementara senyuman lebar yang membuat matanya tertutup setengah masih terlukis disana. Dia berjalan mundur dengan sempurna tanpa menabrak apa pun, seolah dia memiliki indra keenam.

Itu... jalinan pertemanan yang unik. Aku seperti berada di game RPG dimana bertemu seorang NPC yang selalu memberi nasihat di saat karakterku ingin berpetualangan.

SYUT!

Sesuatu melesat dengan cepat dari belakang, menggores telingaku. Tanpa kusentuh, tetesan darah mengalir dari luka, memberikan sensasi perih yang membuatku meringis pelan. Tidak ada tisu atau sapu tangan di kantung celanaku saat ini, jadi aku terpaksa harus menahan darah yang mengalir menggunakan tangan. Sambil menahan sakit, aku menyusuri sekitar untuk melihat darimana asal tembakan itu.

Siapa pun pelakunya, pasti sedang bersembunyi untuk serangan selanjutnya. Bayangan di bawah kaki kembali keluar, bersiap untuk menahan atau melakukan serangan terhadap si pelaku.

Objek melesat itu kembali datang dengan suara yang membelah udara. Nafasku tercekat di tenggorokan saat anak panah berhenti tepat di depan wajahku dengan jarak beberapa senti menusuk mata. Anak panah itu dihalau ke tempat lain, menembus salah satu pohon yang terletak tidak jauh dariku.

Tenaga yang berada di kaki langsung menghilang, membuatku jatuh di atas tanah dengan degupan jantung tidak stabil. Harus berapa kali semesta memberikan kejutan kepadaku? Apa semesta sangat ingin melihatku sesangra? Mendingan aku membuang jantung ini dan biarkan organ itu membusuk!

"Apa kau tidak dengar peringatan saat sarapan?"

"Tentu saja! Jangan berkeliaran sendirian di luar gedung. Aku hanya lupa!" Seruku disela nafas yang ngos-ngosan. "Aku juga ingin kembali ke gedung asrama sekarang!"

"Jalur menuju gedung asrama di arah barat. Kau di jalur selatan, dimana gedung olahraga berada." Sosok yang berdiri di sampingku menjelaskan.

Aku menggerutu kesal. "Ya maaf! Aku memang buta a—"

Mataku membelak sempurna saat melihat siapa yang baru saja berbicara kepadaku dengan nada mengejek. Pemilik suara itu juga terlihat tidak kalah terkejut. Aku membuka mulut, kehilangan kata-kata saat melihat beragam ekspresi melesat di depan pandanganku.

"Kau sekolah disini juga... Shirogane-san?"

Pemilik nama keluarga itu meringis pelan.

Bagaimana aku bisa lupa sesaat? Dia adalah Shirogane-san. Alumni Komatsu-Gako, sama sepertiku. Murid yang berani menindik telinganya seminggu setelah ujian tengah semester dua, membuat beberapa guru diam seribu kata. Teman sekelas yang pernah bercerita kepadaku tentang masalahnya di atap sekolah. Teman sekelas yang pernah muncul di alam mimpiku, meski yang bisa kudengar hanya suaranya saja.

Shirogane-san yang berharap ingin bertemu denganku lagi, dan aku juga mengharapkan hal yang sama.

"H-Hai," sapaku canggung, tidak menduga bahwa kami akan bertemu disini. Terutama dengan keadaan dimana telingaku berdarah dan jatuh di tanah, sementara dia sedikit menunduk setelah sadar dari keterkejutannya.

Shirogane-san menyadari telingaku yang berdarah, lalu mengeluarkan sapu tangan miliknya yang berada di saku celana. "Maaf, setelah ini, kita akan ke UKS."

Kita? "Tunggu, tapi aku baik-baik saja!" Meskipun aku mengatakan begitu, aku tetap menerima sapu tangannya. "Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Nanti. Aku bahkan nggak tahu bagaimana harus menjelaskannya," ujar Shirogane-san dengan alis mengerut.

Suara objek yang membelah udara dengan kecepatannya kembali terdengar, sepertis suara peluit dari anak panah peringatan melesat dari karetnya. Aku tidak sempat berkedip saat melihat Shirogane-san menahan anak panah yang terbang ke arah kami menggunakan tangan kosong. Dalam genggamannya, anak panah itu membeku, berubah menjadi kepingan salju saat Shirogane-san mengeratkan genggaman.

Apa yang terjadi? Apakah ini ada hubungannya dengan ucapan Glow tentang di luar kendali staff akademi?

"Moritake-san, menunduk sebentar!" Serunya, yang langsung kuindahkan.

Puluhan anak panah menyerbu ke arah kami, tidak seperti sebelumnya yang dilempar satu per satu. Aku tidak mampu melihat semuanya karena sebuah lengan merangkul, melindungi mataku dari debu saat dia menghalau seluruh anak panah itu dalam sekali ayun. Sialnya, aku malah fokus pada degupan jantung yang berada di balik tumpukan daging dan barisan tulang.

Panas. Wajahku sangat panas. Aku ingin kabur secepat mungkin dari situasi ini.

Seolah sadar akan keadaanku, Shirogane-san langsung melepaskan rangkulannya, memberikan akses padaku untuk mengambil seluruh oksigen dengan rakus. Di saat aku sibuk bernafas, pemuda itu menyeka keringat menetes di kening, dan alisnya menekuk seolah tengah menahan rasa sakit. Aku membelak saat menyadari kaos abu-abu yang dia kenakan ternodai darah dari telingaku.

"Maaf," gumamku saat menyadari bahwa aku kembali merepotkan orang-orang di sekitarku. Aku sudah menodai sapu tangan dan bajunya dengan darahku, lalu merepotkannya dengan melindungiku. Definisi yang tepat sebagai seorang beban.

"Maafkan aku. Seharusnya kau tidak perlu menolongku tadi—"

"Kata yang tepat untuk situasi seperti ini adalah "terimakasih"," potong Shirogane-san.

Aku mengangguk pelan, memaksakan diri untuk mengeluarkan suara. "T-Terimakasih," gumamku. Secara naluri, aku menyentuh daun telinga lalu menjauhkan tanganku. Bodoh! Aku baru ingat bahwa telingaku terluka!

Kampret! Sensasi panas itu kembali datang. Waktu yang sangat buruk, sungguh!

Shirogane-san mengistirahatkan tubuhnya di dekat pohon dimana batang di atasnya bolong karena anak panah, menstabilkan deru nafas yang terburu. Aku berdiri di sampingnya, tidak tahu harus bagaimana, selain meratapi segala kejadian yang kualami hanya dalam satu hari. Apa aku pernah mengatakan kalau kami berdua tidak terlalu dekat? Makanya, situasi ini terasa canggung.

"Kau lama sekali," ujar Shirogane-san tiba-tiba. Aku bingung dengan siapa dia bicara sebelum menyadari seseorang yang berjalan ke arah kami.

Ini sekolah atau ajang pencarian idola? Visual semua! Apa dayaku menjadi satu-satunya kentang di sekolah elit ini?

"Aku baru saja datang, dan kau sudah menyuruhku untuk bekerja. Aku bahkan belum membereskan koperku." Pemuda itu mendengus pelan, lalu menunjukkan sebuah toples besar. "Jadi, ini yang menyerangmu tadi?"

"Itu apaan?" Pertanyaan itu keluar begitu saja, membuat kedua sepasang mata menoleh ke arahku.

Pemuda yang menghampiri kami memasang wajah seolah aku baru saja bertanya apakah bumi itu datar. Maaf saja, ini akan terakhir kali aku mengakuinya, bahwa aku anak baru yang tidak tahu apa pun.

"Makhluk menyebalkan yang tidak pantas di muka bumi," balas Shirogane-san tanpa kedip atau menghela nafas.

"Itu terlalu kejam." Pemuda itu menatap Shirogane-san, lalu mengedik. "Tapi kau tidak salah karena mereka tidak berasal dari sisi dunia ini."

Aku menyipitkan mata untuk melihat makhluk di dalam toples tersebut. Raganya kecil, mengingatkanku pada peri di film animasi dengan sayapnya yang panjang dan transparan, lalu dia terlihat marah. Saat tangan kecilnya memukul toples tersebut, dia terpental jatuh ke dasar toples. Peri itu menggeram pelan, menatapku dengan penuh permusuhan.

Apa salahku?

"Peri?" Tanyaku sambil menelengkan kepala. "...Bagaimana mereka bisa muncul di sini? Apa maksudmu dengan 'bukan sisi dunia ini'?"

Pemuda itu menatapku dengan bingung, membuatku berpikir apa ada yang salah dengan ucapanku barusan. "Hm, aku juga enggak tahu untuk itu. Calix-sama hanya mengatakan agar murid di tingkat Proficient siap siaga untuk hal seperti ini. Aku yakin tidak hanya peri semacam mereka saja yang datang keluar."

Meskipun aku tidak mengerti beberapa hal yang dia katakan, aku hanya termangut. Aku paling bingung dengan panggilan Calix, seolah dia sosok yang paling dihormati disana, padahal selama ini aku berbicara dengannya pakai nada santai. Jika mereka tahu tentang ini, sudah pasti aku dicaci maki.

"Ayo, ke UKS. Darahnya tidak berhenti sejak tadi," ujar Shirogane-san, mengejutkanku yang sedaritadi melupakan keadaan telingaku. "Veron, tolong kasih itu ke Damien."

"Lah? Bukannya tadi kau bilang kau yang akan mengantarnya sendiri?!" Protesnya.

Shirogane-san mengeluarkan gestur yang menunjuk diriku sendiri. Pemuda yang dipanggil 'Veron' terlihat tidak puas dengan jawaban itu, tapi memilih untuk menyerah. Namun, seringai mengejek perlahan terbit di wajahnya.

"Oh, jadi ini—" Shirogane-san segera menutup mulut Veron menggunakan tangannya. Aku tidak tahu apa yang diucapkan atau tatapan yang diberikannya sampai Veron mengangguk pasrah, karena pandanganku bertemu dengan punggung Shirogane-san.

Setelah pertengkaran sunyi itu, Shirogane-san mengajakku ke UKS, beneran sekarang.

-

Ruang unit kesehatan sekolah seperti sebuah kamar rumah sakit. Bukan karena fasilitasnya atau apa, tapi aroma obat-obatan memuakkan dan dinding putih mendominasi, memberikanku sebuah ingatan yang tidak menyenangkan. Aku yakin pernah menceritakan kalian tentang koma yang pernah kualami, dan menyebabkan kejadian traumatis pada Mirai. Awalnya, UKS bukan sebuah masalah, tapi UKS di akademi ini terlihat seperti rumah sakit asli.

Menyadari sikap pengecutku, Shirogane-san berhenti melangkah saat melihatku terpaku di ambang pintu. Dia terlihat bingung bagaimana menghadapi sikapku.

"Kau tidak akan disuntik," ucapnya, seolah tengah menenangkan anak kecil. "Kau juga tidak akan diberi obat yang membuat lukamu perih saat disembuhkan." Dia melanjutkan.

Aku melangkah kecil, sedikit menunjukkan keraguan meski sebagian dari diriku merasa yakin dengan ucapan Shirogane-san. Seharusnya aku tidak bersikap bocah seperti ini. Dia sudah baik-baik mengantarku ke UKS dan menunjukkan jalan kembali ke gedung utama, tetapi aku malah menahannya dengan sikap kekanak-kanakanku hanya karena masalah masa lalu.

Di saat perjalanan tadi, Shirogane-san membekukan darahku yang mengalir menggunakan sihirnya. Dia mengatakan efek sihirnya hanya sementara, karena anak panah milik peri itu dilapisi semacam kutukan yang membuat orang yang terkena serangannya mengalami pendarahan yang tidak bisa berhenti. Bisa-bisa aku pingsan atau mati karena kekurangan darah bila Shirogane-san tidak segera bertindak.

"Belum hari pertama sekolah, kita sudah kedatangan tamu saja." Suara feminim menyahut dari dalam ruangan mengejutkanku, berbeda dengan Shirogane-san yang terlihat santai di setiap waktu.

Seorang perempuan yang terlihat lebih tua dariku melangkah keluar dari bawah meja. Ngapain dia duduk di bawah meja? Pandangannya sedikit terkejut saat melihat kami berdua.

"Kau apakan anak orang, Solon-kun?" Perempuan itu berkacak pinggang, sementara Shirogane-san membalas dengan mata julid. Ekspresi yang dipasang pemuda itu terlihat lelah untuk melakukan peredabatan tidak berguna.

"Aku bahkan tidak berani melakukan sesuatu kepadanya," gumam Shirogane-san dengan ekspresi pahit. Aku juga pasti bersikap seperti itu bila ada orang yang salah paham, meskipun hanya candaan saja, karena aku sangat susah diajak bercanda.

Tunggu... 'Solon'? Pengucapan yang dikatakan perempuan itu seperti orang barat, sangat fasih. Tetapi 'Solon' siapa? Namanya mirip seperti salah satu tokoh alkitab, Raja Salomo.

Aku memandang Shirogane-san yang masih setia memasang wajah datar, atau mungkin ekspresi lelah berinteraksi dengan orang lain. Dia juga tidak memberikan reaksi menunjukkan bahwa nama itu tertuju padanya.

Jadi... itu nama siapa?!

Perempuan itu mendorong Shirogane-san menjauh, terlihat jelas kalau dia tidak memedulikan jawabannya. Dia menyentuh wajahku secara hati-hati, dan menyadari luka sayat di telingaku. "Aduh, apa yang terjadi padamu?"

"Salah satu peri menyerangnya." Shirogane-san menjelaskan.

"Mereka memang suka bermain-main dengan kita, tapi ada juga yang ingin menyerangmu kalau mereka berpikir kau terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup." Perempuan itu mengeluarkan sesuatu dari dalam toples plastik. Mataku membelak saat menyadari bahwa objek lingkaran yang memantulkan cahaya adalah mutiara ASLI!

Spontan, aku melangkah mundur, mengundang tatapan bingung dari mereka berdua.

"Um, aku ingin menyembuhkan telingamu," ujar perempuan itu sambil menggerakkan mutiara yang berada dalam genggamannya.

"Bagaimana caranya?" Tanyaku, menatap perempuan itu dengan curiga.

"Anu..." matanya mulai pergi dari segala arah, dan menatap Shirogane-san yang tengah menggulung perban di lengannya. Aku baru sadar bahwa tangannya terluka saat dia melindungiku.

Sadar bahwa seluruh pandangan tertuju pandangannya, Shirogane-san menunjuk lemari besi, seolah mengerti tatapan pertolongan perempuan tersebut.

"Ah, iya! Menjadi langganan utama di sini membuatmu lebih hafal barang simpanan, daripada kami—petugas unit kesehatan!"

Langganan utama? Jadi, Shirogane-san sering berkunjung ke UKS? Dari wajahnya, dia tidak terlihat seperti orang yang ceroboh atau memiliki kondisi tubuh yang lemah, malah sebaliknya.

Perempuan itu meraih sebuag toples berisi daun-daun kering, dan set teh. Dia memberikan isyarat agar aku duduk di salah satu kasur yang berada di samping Shirogane-san sambil menunggunya menyajikan teh.

"Nama penyihirmu siapa?" Shirogane-san yang memulai pembicaraan. Itu tidak biasanya, karena dia tipe orang yang diam dan hanya sedikit berbicara saat ada seseorang yang mengajaknya berbicara.

Mataku berkedip, lalu memasang senyuman tipis. "Kau dulu. Namaku terdengar membosankan kalau aku yang beritahu duluan."

Pemuda itu tersenyum, sama tipisnya dengan senyumanku. "...Solon."

Solon. Pengucapannya seperti lidah orang luar juga, seperti pengucapan nama Lily dan siswi tadi. Tapi kenapa harus pakai jeda seolah dia ragu akan identitas penyihirnya sendiri?!

Jadi itu beneran namanya. Dasar dodol!

"Namaku Yunania. Disingkatin jadi Yunia," ujarku sambil meragakan seberapa panjang nama penyihirku, lalu memendekkannya menggunakan tangan. "Agak membosankan, ya?"

"Yunia. Apa pengucapanku salah?" Aku tersentak mendengarnya. Aku juga tidak tahu apa yang benar atau salah karena mengikuti Mirai, jadi aku mengangguk. "Itu bukan nama yang umum."

Iyalah! Tidak mungkin ada orang Jepang menggunakan nama Yunania atau Yunia. Kecuali dia membicarakan sisi dunia lain yang dibicarakan Veron beberapa saat yang lalu.

Apa kau tahu artinya? Tapi aku menahan pertanyaan itu di balik lidah.

Aku melirik ke arah pemuda yang tengah mengoles obat merah ke seluruh lukanya. "Jadi, luka di bibirmu perbuatan peri itu juga?"

"Yang itu beda kasus. Bukannya sudah pernah kubilang karena latihan?" Shirogane-san melirik sekilas ke arahku, lalu kembali dengan aktivitas sebelumnya.

"Bisa saja kau berbohong," gumamku.

Shirogane-san megumamkan sesuatu di bawah nafasnya, terlihat jelas dia tidak ingin berbagi apa yang baru saja dia katakan. Maka, aku sibuk memandang tangannya yang terlihat telaten saat menggulung perban tersebut. Dari lengannya, aku beralih ke wajahnya yang penuh dengan debu karena kerusuhan yang diperbuat peri tersebut.

Kalau diingat lagi, Calix dan Gladiz tidak pernah membicarakan tentang hal ini.

Petugas UKS kembali dengan cangkir hangat di genggamannya. Aku menerima cangkir itu dengan cepat agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Meski masih sedikit ragu, aku meneguk teh tersebut, tidak memedulikan cairan panas itu mampu membuat lidahku melepuh.

Rasa perih di telingaku menghilang seketika, hanya menyisahkan luka kering yang butuh waktu untuk menghilang secara perlahan. Aku menatap perempuan itu dengan takjub. Menyadari sikap berlebihanku sebelumnya, aku menundukkan kepala.

"Maaf atas sikapku tadi, aku sudah meragukanmu," ujarku sambil menggenggam cangkir itu dengan lembut, takut harus melakukan denda bila aku tidak sengaja memecahkannya.

Tawa merdu mengisi di udara. Aku mengangkat kepala, memandang perempuan itu yang tertawa sambil memukul pundak Shirogane-san sampai pemuda itu terlihat ingin kabur dari situasi tersebut. Pasti perempuan itu menertawakan situasiku yang terlihat seperti orang bodoh.

"Dia lucu sekali, Solon-kun! Darimana kau pungut anak ini?" Candanya, yang dibalas dengan decakan pelan dari pemuda tersebut. Dia kembali memandang ke arahku. "Itu respon yang sering aku dapatkan, jadi aku sudah cukup terbiasa. Anak ini pun pernah bersikap kayak gitu saat aku memberikan mutiara untuk menyembuhkan lukanya." Perempuann itu kembali menggeplak punggung Shirogane-san.

Bukankah ini kekerasan?

"Namamu tadi Yunia, benar? Jangan sering berkunjung ke UKS. Meskipun enak juga memiliki pekerjaan, tapi melihat murid disini terluka sedikit membuat hatiku terluka." Perempuan itu tersenyum lembut sambil menepuk pundakku dua kali.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top