Chapter 12 - One Damn Thing After Another

"Bunga tumbuh di nadinya, memberikan kehidupan abadi,

Kecantikan menjadi sebuah kata yang tidak akan terpisah dari keberadaannya,

Sementara, hatinya membeku dan membusuk, kosong bagaikan gua yang gelap."

-

Siapa yang akan menyangka bahwa menjalin pertemanan dengan pemuda itu sama saja menjadi babysitter-nya? Bukannya dia menyesal sudah berteman dengan pemuda itu, tapi dia sering berharap agar temannya itu tidak bersikap kekanak-kanakan dan selalu menghilang tanpa ada berita. Rasanya Jun seperti orang Ibu yang beranak tiga, padahal dia laki-laki, belum menikah, dan tidak memiliki satu pun anak.

Keberadaan pemuda itu tidak ada dimana pun. Ruang makan? Leo sudah sarapan tadi, jadi dia yakin pemuda itu tidak akan menghabiskan lebih banyak waktu di sana kalau urusannya sudah selesai. Ruang kelas? Iya kali dia akan bersembunyi disana, pemuda itu terlalu malas untuk olahraga, apalagi jalan ke gedung sekolah yang memiliki jarak yang terasa seperti jalan pagi. Kamar asrama? Jun sudah mengedor-ngedor kamar tersebut, sampai teman sekamar pemuda itu mengatakan orang yang dia cari tidak ada. Jadi, dia harus pergi kemana lagi?

Jun menyapu rambutnya yang menghalangi pandangan, sekaligus meredakan kekesalan yang perlahan memuncak di dalam dirinya. Bila dia menemukan pemuda itu, sepatu yang dia kenakan sekarang akan lepas landas, berharap itu akan mendarat tepat di wajah pemuda itu.

"Pagi-pagi sudah stress aja. Pekerjaan di dapur sebanyak itu?"

Panjang umur.

Tanpa membuang lebih banyak kesempatan, Jun melepaskan sepatu yang dia kenakan, lalu melempar ke arah seorang pemuda yang duduk santai di atas ranting pohon. Dia dan reflek cepatnya, Leo menangkap sepatu tersebut.

"Kalau kau berencana untuk memberikanku sepatu, setidaknya kasih dengan cara yang normal," ujar Leo yang meletakkan sebelah sepatu itu di ujung ranting. "Apa kau akan menyerahkan yang satu lagi?"

"Kembalikan sepatuku!"

Leo melempar balik sepatu itu, dan Jun menangkapnya sebelum sepatu itu terlempar terlalu jauh.

"Kau darimana saja? Ayahmu menelponku tadi, mengatakan kalau ponselmu tidak bisa dihubungi! Setidaknya balas pesanku di saat kau ingin menyendiri!" Jun menggeleng kesal, tidak habis pikir dengan ketidakpedulian Leo pada sekitarnya. Sebuah kesadaran menghantamnya, "Jangan bilang kau mematikan notifikasimu?"

Pemuda bersurai gelap itu terdiam, lalu merogoh saku hoodie untuk melihat layar ponselnya. "Eh, iya, kumatikan."

Jun menghembuskan nafas sebanyak mungkin. Dia tidak boleh marah. Tidak jarang Leo selalu melakukan hal itu, tinggal di dunianya sendiri, mematikan notifikasi sampai orang-orang disekitar panik mencarinya. Pemuda itu suka dengan kesendiriannya yang tidak tersentuh, dan Jun akan menghormati jarak aman di antara mereka.

Tetapi, orang sabar memiliki batasnya. Waktunya untuk menghentikan peran babysitter menjadi teman biasa.

"Kau mencariku hanya perihal Ayah?" Jun mendongak kembali, melihat Leo yang menatapnya dengan datar. Pandangan itu menyiratkan kalau kedatangan Jun hanya membuang waktunya kalau tujuannya datang kemari hanya masalah kecil itu.

"Enggak. Kau belum membereskan barangmu, kamarmu sangat berantakan, dan Damien mengancam untuk membuang laptopmu keluar jendela." Itu bukan dusta, karena Damien menitipkan pesan itu saat Jun mengerang kesal. Memang dia kira semacam burung merpati pembawa surat?

Leo hanya mengedikkan bahu. "Itu masalahnya. Lagipula, kalau dia beneran melakukan itu, aku akan membalas balik."

Sudah dia duga, Leo akan menjawab acuh tak acuh. Pemuda itu tidak peduli dengan apa pun yang terjadi dengan sekitarnya, bahkan bila ada mobil atau seseorang yang bermasalah dengannya, Leo akan menganggap itu bukan masalah besar dan menghindarinya dengan mudah. Kecuali sebuah masalah yang berkaitan dengan sesuatu atau seseorang.

Jun yakin, saat upacara penerimaan para murid baru pun, Leo memilih mengurung dirinya atau pergi ke suatu tempat. Kemana pun asal menjauh dari interaksi sosial.

"Laptopmu terancam."

"Aku bisa beli yang baru."

Selamatkan kesabaran Jun sekarang! Siapa pun disana yang mendengarkan jeritan batinnya saat ini.

Pemuda yang menjadi sumber dari stress menumpuknya hanya kembali menyandarkan punggung ke batang pohon. Salah satu kakinya bertahan di atas ranting, sementara kaki lainnya bergelantungan dengan bebas. Kedua tangan berpegang erat pada sebuah novel yang diimpor langsung, terlihat jelas dari judul dan sinopsis yang belum diterjemehkan. Meskipun kedua mata tidak terbuka sempurna, Jun tahu bahwa Leo sedang membaca dengan keadaan tubuh yang loyo.

Dia harap Leo jatuh dari pohon.

Tiba-tiba, pemuda yang baru saja dia sumpahi melompat turun, dengan novel yang berpegang erat di tangannya. Novel tersebut menghilang udara saat Leo melafalkan sebuah mantra dalam hati.

"Aku akan membereskan kamarku." Jun bernafas lega mendengar tekad itu, tapi kelegaan itu tidak berlangsung lama setelah Leo melanjutkannya, "Kau akan membantuku juga, biar pekerjaannya ringan."

Jun mengerutkan kening. "Kenapa aku harus membantumu? Kau bahkan keluyuran saat tahu baru aku satu-satunya yang sampai di kamarku."

Leo melihat sekitar, mencoba mencari sebuah ide yang bisa dia pakai untuk bernegosiasi.

"Kalau kau membantu, aku akan membantumu membuat makan siang nanti!"

Sebuah senyuman mengejek terlintas di garis bibir. "Yakin? Bisa saja kau tidak mendapat jumlah porsi yang pas untukmu?" Jun bergumam.

"Itu bukan masalah besar. Aku juga tidak makan banyak akhir-akhir ini," balas Leo dengan ringan. Dia termenung saat melihat tatapan Jun yang menyelidik, saat itu dia sadar bahwa Jun hampir saja salah paham dengan pernyataannya. "Karena aku akan makan saat sore."

"Oh, kukira kau berencana melakukan sesi diet." Leo memutar bola mata saat mendengar penuturan Jun yang terdengar mengejek, seolah mengatakan apa yang harus dikurangi kalau berat badannya saja tidak naik-naik.

"So, we have a deal?"

Dengan senang hati, Jun menerima jabat tangan Leo. "Awas aja kau kabur."

Sebagai tanda janjinya, Leo merangkul pundak Jun. Seringai mengejek terlihat jelas disana, dan Jun sadar apa yang tengah diejek temannya itu.

"Semuanya terlihat di wajahmu, tiang! Aku tidak sependek itu," ujar Jun yang diakhir decakan pelan.

"Kau sendiri yang ngaku," balas Leo dengan tenang, lalu melepas rangkulannya.

Jun kembali menoleh ke arah pemuda tersebut. Entah makan apa, pertumbuhan Leo lebih cepat darinya hanya karena perbedaan milimeter dari tinggi mereka. Tidak hanya tingginya saja, tapi Jun menyadari lubang yang berada di telinga Leo.

"Kau tindik telinga?"

Pertanyaan itu keluar begitu saja dengan tenang, membuat Leo menghentikan langkahnya.

Pemuda bersurai kelam itu menyentuh kedua telinganya, sebelum mengangguk dengan raut wajah bingung. Sebenarnya, dia menindik itu secara diam-diam karena rasa ingin tahu remajanya, dan Leo sangat ingat betapa syok salah satu pembantu rumah tangga dan Ayahnya mengetahui itu. Dia mengira bahwa Jun akan memberikan respon yang sama.

"Oh, keren," puji Jun dengan sedikit iri. "Satu lubang di masing-masing telinga."

Itu reaksi tidak terduga. Mengenal Jun seperti Ayahnya tapi versi berlebihan, dia tidak akan menduga Jun akan memberi respon santai tersebut.

"Enggak. Satu di telinga kiri, dua di telinga kanan."

Jun meringis pelan, membayangkan rasa perih saat membolongi telinga tersebut. "Tiga? Enggak sakit apa?"

Ada jeda singkat, seolah Leo tengah memikirkan jawaban yang pas untuk mendeskripsikan pengalamannya. "Aku deg-degan saat melakukannya, kalau itu yang ingin kau ketahui."

"Itu... nggak menjawab seluruh jawabannya." Jun memasang tampang datar.

"Coba aja sendiri kalo mau tahu," celetuk Leo sambil menyugar rambutnya ke belakang. Padahal baru musim semi, tapi matahari bersinar sangat terik hari ini.

Tanpa mereka sadari, beberapa meter dari tanah, seorang pemuda mendengar percakapan mereka dengan senyuman di wajahnya. Senyuman itu terbentuk dengan sempurna tanpa ada niat untuk bersembunyi, kedua sudut bibir terangkat terlihat ingin menyentuh telinga, mata yang menyipit seperti bulan sabit, dan tawa geli. Itu semua karena interaksi di antara kedua siswa yang menjadi bahan hiburannya.

Pemuda bersurai terang bagaikan matahari itu keluar dari tempat persembunyian. Sebenarnya, dia tidak ingin bersembunyi, tapi dia tidak ingin merubah suasana percakapan itu menjadi canggung karena kehadirannya.

"Tidak berubah sama sekali!"

-

"Oh, jadi kau yang bernama Emma itu?"

Mirai mengangguk dengan cepat. "Apa maksudmu dengan 'Emma itu'? Kau pernah mendengar nama itu sebelumnya dari orang lain?"

Aku menggeleng, lalu menjelaskan darimana aku mengetahui nama itu. Bila Mirai bertanya seperti itu, artinya dia sedang tidak bisa membaca--ralat, mendengar pikiranku, entah apa alasannya dia tidak mampu mendengar suara kereta yang di dalam batinku. Suara kereta yang kumaksud adalah kereta batin dengan ratusan gerbong berjalan teratur di relnya.

Sudah sehari sejak aku tiba di akademi. Kemarin, aku tidak melakukan banyak hal, selain jatuh ke kasur setelah membereskan beberapa barang yang penting terlebih dahulu.

Baru kami berdua yang menempati kamar. Senpai yang menjadi pemilik kamar sebelum kami belum menunjukkan diri, tapi aku merasa Mirai sudah pernah bertemu dengan senior tersebut.

Waktu kosong di antara kami diisi dengan percakapan tentang akademi. Kecurigaan mulai muncul di permukaan setiap mendengar Mirai membicarakan betapa luas wilayah akademi, bagaimana muridnya, dan pelajaran yang akan dijalankan. Aku mulai berpikir kalau sebelum menerima surat emas itu, dia pernah terjerat ke dalam akademi ini.

Berapa lama? Beberapa bulan? Ah, tidak. Aku yakin dia menyimpan ini dariku cukup lama, mungkin sekitar satu setengah tahun.

Apakah selama ini Mirai berbohong?

Hentikan! Ini pikiranku. Aku-lah si pengendali dari seluruh situasi ini.

Aku mengubah ekspresiku dengan cepat, tidak ingin Mirai khawatir dengan perubahan raut wajah yang tambah gelap di setiap detik. Sebaiknya aku mengeluarkan pertanyaan sebanyak mungkin atau mengganti topik pembicaraan. Kalau tidak, pikiran ini akan gila di setiap detik bila dibiarkan sendirian.

Itu urusan Mirai, mau memberitahunya atau tidak. Hubungan pertemanan kami tidak ada terkaitannya sama sekali. Lagipula, setiap orang punya privasi yang tidak ingin orang lain ketahui, jadi aku akan mencoba menghormati garis tersebut. Aku tidak ingin merusak pertemanan kami hanya karena hal sepele seperti ini. Aku bukan anak kecil yang suka ngambek karena mulai merasa kesepian.

"Sebenarnya, ada semaca istilah khusus di antara murid. 'Anak baru' untuk mereka yang pertama kali menginjak kaki di akademi, jadi jangan kaget kalau misalnya kalau ada yang memanggilmu 'anak baru' atau 'freshie' atau sebutan lainnya." Mirai mengedikkan bahu, terdengar jelas ada nada candaan dalam ucapannya.

Tetapi aku tidak dapat menahan dirku untuk mengeluarkan komentar pahit itu.

"Oh, ya? Jadi aku saja yang dipanggil 'Freshie' sama mereka?"

Ah, aku merusak segalanya.

Raut wajah yang Mirai tunjukkan sudah menjawab betapa kacau respon yang aku berikan.

Kekanak-kanakan sekali dirimu, Yuuna.

Dan, jawaban yang diberikan Mirai membuat dadaku merasa sesak. "Ya, sepertinya begitu." Dia kembali melanjutkan. "Tapi kalau kau tidak suka, katakan saja padaku. Kita semua baru disini. Baru mengikuti pelajaran akademi di tahun pertama. Baru mengenal baru. Baru memilih kamar di asrama."

Aku mengangguk kecil. Kita semua anak baru disini.

Bukan berarti mereka baru di lingkungan akademi.

Hembusan pelan keluar dari hidung saat batin terdalam kembali berbicara dengan suara khasnya. Aku memilih untuk mengabaikan apa pun komentar yang dia keluarkan. Namun, aku diam-diam setuju dengan ucapannya.

Mirai berbohong kepadaku.

"Eh, aku menemukan lagu boy group yang keren? Aku yakin kau kenal dengan mereka!" Seruku sambil meraih ponsel pintar yang terletak di samping bantal. Jari mulai meluncur bebas di layar untuk mencari lagu yang kumaksud. Mirai pun mendekatkan dirinya ke arahku, terlihat ingin tahu lagu dan band yang kubicarakan tadi.

Aku sukses mengganti arah pembicaraan kami.

Bila menurut Mirai ketidakmampuan untuk mendengar batinku adalah kekurangan, maka aku akan menganggapnya sebaliknya.

Aku lega dia tidak mampu mendengar jeritan batinku. Karena tidak ada satu pun jiwa yang pantas mendengarkan mereka atau pun suaraku sendiri.

Ah, kenapa aku tiba-tiba serius? Ini bukan seperti diriku.

Mirai mengangguk, mengikuti irama dan tempo yang dikeluarkan lagu tersebut. "Aku tahu grupnya, tapi aku tidak tahu lagu ini," gumamnya, "Apa mereka baru mengeluarkannya?"

"Ketahuan belum riset." Aku tertawa pelan melihat ekspresi wajah Mirai. "Ini dari album kedua mereka? Lagunya nggak terlalu kenal, padahal harmonisasinya bagus banget!"

Percakapan itu berjalan lancar, lalu topiknya berubah kembali. Kamar tersebut hanya diisi oleh jeritan penuh semangat atau protes, tawa, dan bisikan lembut seolah akan ada yang mendengar perbincangan yang tidak terlalu rahasia ini.

"Kalau membicarakan drama, Eri tahu banyak," ujarku. Mengingat setiap update media sosial yang Eri tunjukkan bahwa mayoritas darinya adalah tentang drama yang menjadi perbincangan hangat netizen.

"Kau merindukannya?" Mirai menunjukkan senyuman mengejek, yang kubalas dengan pukulan ringan di bahu. "Kalau kau sangat merindukannya, Eri mengatakan dia akan datang sore nanti, sebelum jam makan malam."

Aku termangut sambil memajukan bibir, seperti bebak. Entah dari mana kebiasaan itu muncul.

"Membicarakan tentang Eri, apa nama penyihirnya dan dimana kamarnya?"

Sebuah dengusan yang diiringi senyuman muncul dari Mirai. "Darimana aku tahu kamarnya kalau dia belum datang," balasnya. Itu jawaban masuk akal, karena jawabanku kelewat bodoh. "Nama penyihirnya, kalau tidak salah, Cera."

Mereka benar-benar mendaftar di hari yang sama.

Percakapan itu tidak berlangsung lama dari yang kukira, karena Mirai mulai bosan mengurung di kamar meskipun ada Wi-Fi gratis. Aku menolak dengan mengatakan hanya ingin tidur saat Mirai mengajakku berjalan-jalan keliling wilayah akademi.

Di saat pintu tertutup rapat kembali, bayangan itu mulai keluar dari lenganku, lalu perlahan jatuh ke celah tempat tidur. Aku memperingati agar mereka tidak terlalu melakukan hal berlebihan, seperti mengeklaim kamar ini sebagai salah satu wilayah pribadi yang tidak boleh dikuasai penyihir lain. Bukan aku saja yang tinggal di kamar ini.

Dan juga, aku dapat merasakan kalau ada sesuatu dari Senpai yang akan menjadi teman sekamar kami, meskipun kami belum pernah bertemu sebelumnya.

"Emma... bukankah itu nama yang simpel?" Gumamku. Bayangan itu mengintip keluar dari kolong tempat tidur. "Aku tidak meledeki namanya. Itu pujian."

Aku bertelentang di atas kasur, memandang langit-langit dinding yang dicat dengan warna putih. Langit dinding kamar ini memiliki gaya yang sama dengan dinding akademi, hanya saja motif dinding kamar asrama merupakan labirin. Aku dengan kegabutanku mulai membayangkan jalan keluar yang berada di ujung labirin tersebut.

Ketukan pelan di jendela membuat kesabaranku sedikit dites. Aku melirik ke arah jendela yang berada di antara tempat tidur Mirai dan Senpai. Orang iseng macam apa yang akan mengetuk jendela yang berada di lantai tiga? Dan, bila benar-benar ada orang seperti itu, mereka tidak sayang dengan nyawa, karena aku akan mendorong mereka dari ketinggian ini.

Aku tidak akan segan.

Canda! Aku masih memiliki hati nurani. Akan kupastikan badan mereka mengembang beberapa sentimeter sebelum jatuh ke rerumput hijau.

Di saat aku membuka jendela, angin kencang berhembus sampai meniup beberapa buku. Rambutku juga acak-acakan karena angin tersebut. Apa-apaan ini?!

"Lily! Kau terlalu lama membuka jendelanya!" Keluh suara yang familiar. "Aku hampir saja jatuh kalau kau tidak segera-"

Ucapannya berhenti begitu saja saat kami saling pandang. Mataku membelak tidak percaya, lalu keinginan untuk lompat keluar jendela mulai muncul ke permukaan. Sosok itu juga memasang ekspresi yang sama. Tapi perlahan senyumannya mengembang saat pikirannya sudah memproses kejadian itu sepenuhnya.

"Tidak kusangka kita akan bertemu lagi, Yun-Yun! Di akademi ini pula!"

AAAAAKH!!!! TERNYATA DIA BENERAN VANESSA YANG KUKENAL!

"Kenapa kau ada disini?!" Tanyaku frustasi, menatapnya dengan horor.

Gadis itu memasang tampang polos. "Kenapa? Yaa, karena aku mendapat surat undangan ke akademi ini! Tapi sungguh, aku tidak menyangka kita akan bertemu di akademi. Ternyata kau juga-"

"Kenapa kau masuk seperti itu, sih? Disitu ada pintu! Apa kau tidak tahu cara mengetok?!" Aku menunjuk pintu kamar yang berada di lorong pendek. Itu cara paling normal untuk bertemu, bukan dari jendela seperti orang tidak ada akhlak.

Vanessa mengikuti arah tunjukku, lalu kembali menatapku. "Tapi dari jendela lebih cepat!"

"Ya, lebih cepat membuatku mati karena jantungan!" Aku kembali menjatuhkan diriku ke kasur, terlalu lelah untuk melanjutkan percakapan tiada arti.

"Yun-Yun punya riwayat penyakit jantung?"

"Itu majas hiperbola, Vanessa!" Aku mengusap wajah dengan sebal, menahan seluruh frustasi yang memuncak seperti lahar gunung berapi.

Padahal hari pertama sekolah belum dimulai, dan aku sudah merasa menyesal menginjakkan kakiku di akademi ini. Dasar mental tempe.

"Yun-Yun tidak tertarik dengan sihirku?"

"Apa untungnya aku mengetahuinya?"

Entah bagaimana, tanpa melihatnya, aku tahu bahwa Vanessa tengah memasang merajuk yang pernah kulihat saat dia bersikeras untuk mentraktirku sebagai bentuk rasa terimakasih. Aku mengangkat kepala, memandang langit yang berada di luar jendela, awan tebal mulai bergumpal menjadi gelap. Padahal tadi cerah-cerah saja.

Aku mendengus pelan, lalu menoleh ke arah Vanessa yang menggembangkan kedua pipinya. Bisakah dia tidak memancarkan aura idol-nya di hadapanku saat ini?

"Kenapa aku harus tahu dengan sihirmu?" Aku beranjak dari posisi telentang, mengganti posisi menjadi duduk sambil menyandarkan punggung ke dinding. "Apa ini akan seperti barter?"

Tanpa diundang, Vanessa duduk di sampingku. "Yup! Seperti dengan pikiranmu!"

Memang tidak ada yang gratis di dunia ini.

"Tidak ada gunanya barter," gumamku. Perlahan-lahan, posisi tubuhku merosot, membuat kedua kakiku menyentuh lantai. "Aku sudah tahu sihirmu apa."

"Itu tidak adil! Aku belum tahu sihirmu!" Seru Vanessa. Raut wajah sebal masih setia terlukis disana.

"Kita sudah satu sekolah, Vanessa, dan..." Aku mengerutkan kening. Apakah Vanessa adalah senior yang Mirai bicarakan sebelumnya. Gadis itu memasang tampang bingung saat aku mendelik ke arahnya. "Kau kelas berapa?"

Vanessa bergumam pelan dengan kepala sedikit dimiringkan. "Bukannya kita seumuran?"

Bagus! Ternyata dia bukan Senpai yang akan sekamar dengan kami!

"Nah, kita akan memiliki kesempatan yang besar menjadi sekelas, dan kau akan sering melihatku, dan kau dapat melihat bagaimana sihirku bekerja," ujarku sambil memutar tangan searah jarum jam.

"Tapi itu terlalu lama!" Dia kembali merengek. "Aku harus menunggu tiga hari untuk itu!"

Aku beranjak berdiri, memasang ekspresi simpatik ke arahnya. Vanessa tertegun saat aku menepuk pundaknya beberapa kali. Pasti akan sangat susah menahan sabar hanya untuk hal seperti ini, aku cukup tahu perasaan itu, karena aku orangnya tidak terlalu sabar. Medium sabar.

"Begitu pun juga dengan hasil audisimu."

Serangan atas emosi mulai datang secara beruntun. Vanessa memukul kepalaku dengan bantal sampai aku terjatuh, tapi perbuatan itu tidak mampu tawaku berhenti. Ah, sial, kepalaku bisa pusing bila dia terus memukul tanpa merasa lelah.

Beberapa saat kemudian, Vanessa berhenti memukulku dengan bantal kecil yang terletak di samping kasurku. Dia kembali merapikan bantal tersebut, mengembalikan keempukan semula yang dimiliki objek tersebut, tapi raut wajah sebal masih terlukis disana. Anehnya, langit perlahan menjadi cerah. Aku tidak menemukan sedikit pun awan gelap.

Apa cuaca masuk ke dalam fase remaja labil?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top