Chapter 1 - Fragment of Oneself

Burung berkicau sangat merdu di ranting pohon seakan menyambut pagi yang indah ini. Langit pagi terlihat sangat indah dengan awan yang bergerak di langit dengan pelan tapi lembut. Matahari hari ini terlihat sangat cerah seperti tersenyum dengan lebar, dan sukses membuat mataku menyipit melihatnya.

Aku kembali melangkahkan kakiku setelah mengagumi langit hari ini. Betapa irinya aku pada matahari yang dapat tersenyum se-cerah itu. Suasana hatiku sudah hancur saat mengingat mimpi yang terpatri dengan jelas di dalam benakku, dan aku masih bisa merasakan sensasi perih di perutku seolah ditusuk sampai menembus punggungku.

Tiba-tiba sebuah langkah kaki terdengar seakan dia sedang berlari kearahku. Aku langsung menoleh ke belakang dan menemukan Mirai tersenyum kearahku sambil melambaikan tangannya.

"Pagi, Yuuna." Sapanya dengan suaranya yang tegas tapi lembut.

"Selamat pagi, Mirai." Balasku sambil menundukkan kepalaku.

Kami berdua berjalan bersama ke sekolah sambil berjalan kaki karena rumah kami dekat dengan sekolah. Hanya melewati beberapa blok, keluar dari perumahan ini, dan menyebrang beberapa jalan besar menuju sekolah kami di salah satu distrik di kota.

Aku lupa bilang, Mirai adalah teman masa kecilku sekaligus tetanggaku.

Komatsu-Gako adalah sekolah menengah pertama swasta. Tidak ada hal khusus dari sekolah ini, kecuali sekolah ini masuk ke salah satu SMP elit di kota. Banyak yang berminat datang ke sekolah ini, tapi mereka harus melalui tes yang sangat susah. Aku yang termasuk murid senior disini saja bingung sendiri mengapa aku bisa masuk ke sekolah ini.

Mungkin aku hokki saat itu atau aku dalam fase cerdas, dan fase itu sudah kadaluarsa.

Aku langsung duduk di mejaku yang berada di barisan tengah, sedangkan Mirai berada di barisan kedua dari depan. Suasana kelas masih sepi padahal kami berangkat lebih telat dari biasanya. Apa kami berdua yang terlalu rajin atau mayoritas murid di kelas ini malas? Aku kurang yakin.

"Yuuna, aku ingin ke kelas sebelah. Mau ikut?" Tawar Mirai sambil menunjuk dinding dimana letak tujuannya berada. 

Kelas disamping kami berupa kelas unggulan yang penuh dengan murid ambisius. Aku selalu bingung mengapa Mirai bisa berada di kelas ini, sementara teman kami yang satu lagi di kelas unggulan yang selalu penuh dengan hawa persaingan. Mirai pernah mengatakan kalau aku cocok di kelas itu karena aku termasuk murid rajin.

Rajin dari Okinawa. Boro-boro mengerjakan tugas di hari pertama guru kasih, aku mengerjakan tugas saja sehari sebelum deadline.

Suara tepukan yang begitu nyaring menghentikan kereta batinku. Disana berdiri Mirai di depan papan tulis dengan ekspresi wajah yang—bagaimana aku menjelaskannya?—terlihat begitu canggung, seolah mencoba menahan sesuatu yang ada di ujung lidahnya. Aku baru sadar kalau kerah belakang seragamnya sedikit terangkat, menunjukkan kesan kalau dia terburu-buru menggunakan seragamnya.

Seolah baru saja membaca pikiranku, Mirai langsung memperbaiki kerah kemejanya. Itu... membingungkan.

"Wajahmu terlihat pucat," celotehnya.

"Itu tidak masuk akal, Mirai. Wajahku selalu pucat," balasku dengan tegas. "Ini genetik dari Ibuku, mungkin karena Ibu memiliki darah Eropa."

Mirai meringis pelan sebelum menggeleng lambat. "Bukan pucat itu, maksudku pucat seperti orang yang lagi sakit. Apa kau sedang tidak enak badan?"

"Huh... enggak kok!"

Ada sedikit keraguan di wajahnya, tapi Mirai tidak bertanya lebih lanjut. "Kau ingin ikut ke kelas sebelah atau... kau sedang menunggu sesuatu?"

Temanku yang satu ini benar-benar menyeramkan. Bagaimana dia bisa sadar kalau aku sesekali melirik gelisah ke barisan belakang pojok? Apa dia semacam cenayang.

Aku menatap penuh selidik ke arah Mirai yang tidak melepaskan pandangannya dariku. Entah sejak kapan, Mirai mulai bertingkah aneh, tidak seperti biasanya. Dia tidak berada di rumah saat aku datang ke kamarnya, padahal dia paling malas untuk keluar kalau tidak ada urusan penting. Saat aku menelopon teman kami yang satu lagi, dia menyatakan Mirai tidak ada bersamanya. Tidak mungkin Mirai ke sisi gelap tahap remaja, dia tidak sebodoh itu untuk mencoba hal aneh-aneh, karena dia tahu konsekuensinya bila ketahuan keluarganya. Bisa dicoret dari KK.

"Aku ikut! Aku juga nggak ada kerjaan!" Aku mendorong kursiku sampai menciptakan decitan yang begitu mengilukan saat aku beranjak. Dengan langkah ringan, aku menghampiri Mirai yang sudah mendorong pintu kelas.

Berbeda dengan keadaan kelas kami yang sepi, isi kelas tetangga kami sudah setengah terisi, bahkan sekarang lebih ramai dari biasanya. Terkadang murid ambisius di kelas ini sibuk dengan buku atau tidur. Melihat beberapa mereka mengerjakan dan menyalin sebuah tugas di sekolah adalah sesuatu yang janggal. Aku belum pernah melihat situasi seperti ini, apalagi di kelas unggulan di sekolah elit.

Kami berdua mendatangi salah satu siswi yang terlihat ngebut dengan tulisannya sampai alisnya menekuk. Aku bisa melihat keringat mulai bercucuran di keningnya. Sepertinya dia sangat bekerja keras.

"Selesai," gumamnya dengan penuh kelegaan. Dia mengangkat kepalanya, menatap kami berdua yang menghampirinya. "Oh, ohayou! Tugas ini benar-benar susah, padahal beberapa minggu ujian akhir."

Aku tersenyum pahit. "Jangan ingatin."

Teman dekat kami tertawa lembut melihat wajahku yang terlihat mengumpati ucapannya. "Maaf, aku hanya kesal saja. Guru yang satu itu suka sekali memberikan beban pada murid-muridnya! Dadakan pula!"

"Untung saja kita sudah menyelesaikan tugas revisi itu," ujar Mirai tanpa repot menyembunyikan kelegaannya yang terdengar menyindir teman dekat kami. Siswi itu mencibir pelan.

Rasanya tidak nyaman bila aku selalu mengatakan "teman dekat" atau "siswi itu" untuk mendeskripsikannya.

Siswi yang kubicarakan sebelumnya adalah Eri Fujiwara, bishoujo di angkatan kami setelah primadona SMP angkatan di aras kami sudah lulus. Di antara kami bertiga, sudah pasti Eri paling populer, ditambah dengan keluarganya yang terkenal sebagai kolekter barang antik yang tidak pernah absen meyumbangkan salah satu koleksi mereka di pelelangan legal. Aku yakin mereka juga punya rumah liburan di suatu tempat.

"Kau datang di waktu yang tepat, Mirai! Buku gambarku untuk pelajaran seni nanti ketinggalan di rumah, dan aku memerlukan bantuanmu!" Eri memandang Mirai dengan penuh harapan.

Apa hubungannya dengan Mirai bila bukunya tertinggal?

Mirai mendelik. Tubuhnya spontan menjauh dari Eri yang mendekatkan dirinya kepada Mirai. "Aku bukan tranpsortasi pribadimu."

"Hitung-hitung kau dapat berkah setelah membantuku!" Eri mengguncangkan pundak Mirai dengan gemas. "Apa susahnya tinggal tele—"

Entah mengapa, Mirai langsung menutup mulut Eri sampai membuat kepala gadis berambut ikal natural itu tersentak. Mirai tidak melepaskan kontaknya dari Eri meski hanya sekilas saja. Seolah mereka tengah melakukan pembicaraan lewat tatapan.

Firasatku mengatakan bahwa Mirai menyembunyikan sesuatu dariku.

Eri menurunkan tangan Mirai dari mulutnya. "Kau benar-benar tidak ada harapan di situasi ini."

"Kenapa? Tentang keberadaan Mirai yang merupakan manusia berkemampuan?"

Itu pertama kalinya aku melihat refleks kepala mereka sangat cepat. Tatapan mereka yang terkejut dan makna lainnya membuatku merasa terbebani oleh atensi yang berlebihan ini.

Ini pertama kalinya juga aku mendengar suara Mirai gemetaran.

"Kau... tahu darimana?"

"Kau pernah melakukannya di depanku saat itu. Kau seperti... menghilang tanpa jejak. Apa kau tidak sadar dengan suara pintu kamarmu yang terbuka lebar?" Tanyaku dengan wajah bingung. Decitan pintu kamar milik Mirai selalu berhasil mengilukan telinga. Aku kagum bila dia tidak menyadarinya.

"Kukira itu angin..." Mirai bergumam pelan. "Jangan bicarakan ini di publik."

"Oke, siap. Tapi buku gambarku!" Eri kembali mengingatkan. Dia terlihat begitu putus asa saat dia memukul tangannya terkepal di telapak tangan kanannya.

"Iya, iya. Kau mau ikut, Yuuna? Sesekali kau bisa merasakan kemampuanku," ajak Mirai dengan senyuman tipisnya.

Aku tidak bisa melihat alasan mengapa aku harus menolaknya.

"Apa ini bisa membuatku mual?" Tanyaku, hanya sekedar pertanyaan iseng saja.

Aku mulai mendapat firasat buruk saat mendengar rintihan dari Eri. Gadis itu mengayunkan tangannya secara horizontal, seolah sedang menimbangkan sesuatu di antara jari-jarinya. "Tergantung ketahanan tubuhmu."

Oke, mungkin ada alasam mengapa aku bisa menolaknya bila sudah memasukkan imun tubuhku ke dalam alasannya.

-

Mirai memiliki sihir teleportasi. Dari kedua indraku, teleportasi miliknya meninggalkan jejak aura putih dan aroma tanah basah oleh air hujan. Kedua hal itu sangat mendeskripsikannya karena aku merasa itu hal kecil yang sederhana. Tapi cara kerja teleportasi miliknya lebih rumit dari yang kuduga bila tidak dikendalikan dengan baik. Mirai sendiri yang menceritakan perjuangannya saat menyadari kelebihannya untuk pertama kalinya.

Sepertinya ketahanan tubuhku tidak selemah yang aku kira. Tidak seperti Eri yang pertama kali merasakan teleportasi Mirai langsung mual. Dia saja yang terlalu lemah untuk merasakan sebuah peristiwa dimana tubuhmu berpindah ke satu lokasi ke lokasi lainnya hanya dalam kedipan mata saja.

Eri juga sama seperti Mirai. Dia tidak bilang dengan spesifik apa kekuatannya, tapi dia mempraktekannya langsung sebelum kami kembali ke sekolah. Dia mampu mengendalikan barang tanpa menyentuhnya sama sekali lewat gerakan jarinya yang terlihat seperti melukis di udara kosong. Aku merasa kagum. Bukan karena bakatnya, melainkan saat melihat Eri yang tidak merasa keberatan saat aku memintanya untuk menunjukkan satu trik sederhana. Dia terlihat begitu nyaman.

Tetapi pengendaliannya sihirnya tidak jauh berbeda dengan Mirai. Harus digenggam sepenuhnya bila tidak ingin kemampuan itu menguasai si pemilik.

Ah, tanpa kusadari aku mengucapkan "sihir", walaupun istilah itu sebenarnya memang kata yang cocok saat aku melihat dan mencium aura mereka.

Keadaan kelas sudah mulai ramai setelah kami bertiga kembali dari rumah Eri. Aku sibuk terkesima dengan kandil raksasa di ruang makan rumah mewah tersebut sampai Mirai harus menarikku agar kami segera berteleportasi kembali ke sekolah. Pasti aku terlihat seperti orang kampung karena kagum dengan hal seperti itu, padahal aku juga punya kandil di rumah, meskipun tidak seheboh milik Eri.

Aku menoleh ke belakang, memastikan kursi di bagian belakang sudah terisi atau belum. Desahan kecewa keluar dari ujung bibirku saat tidak menemukan sebuah pertanda kalau pemilik kursi tersebut sudah tiba.

Kalau dipikir-pikir lagi, aku bingung mengapa begitu menantikan kedatangannya hanya karena kehadirannya di mimpiku semalam. Apa karena dia menangis saat itu?

Dan juga, tatapannya yang membuatku merasa rindu pada sesuatu atau seseorang tanpa alasan yang jelas. Aku merasa bahwa mimpi yang kualami semalam memiliki kaitan dengan mimpi yang pernah kualami di saat umurku genap sepuluh tahun.

"Huh... Shirogane-kun* hari ini tidak masuk, ya? Tumben."

"Mungkin saja dia terlambat. Lima menit lagi bel masuk, dia selalu tiba di waktu itu."

"Kau sampai menghitungnya?"

"Hei, itu normal kalo kau ingin mengetahui tentang gebetanmu lebih lanjut!"

Mendengar pembicaraan dari kumpulan siswi yang duduk di belakangku ada benarnya juga.

Sejak hari pertama dia datang, Shirogane-san** suka datang beberapa menit sebelum bel berdering. Tidak ada waktu yang pasti, tapi dia sering tiba sepuluh atau lima menit sebelum bel berbunyi. Banyak murid yang mengira bahwa rumah Shirogane-san dekat dari rumah, jadia dia tidak perlu tiba ke sekolah terlalu awal. Ternyata rumahnya berada di pusat Tokyo, dimana letaknya cukup jauh dari sekolah kami yang berbeda lima stasiun.

Kemampuan siswi-siswi penggemar Shirogane-san benar-benar hebat. Saking hebatnya, aku cukup khawatir darimana mereka menukan semua info terpercaya tersebut.

Panjang umur.

Siswa yang dibicarakan telah tiba. Gakuran miliknya tidak terkancing sampai menutupi leher seperti murid lainnya, jadi kemeja putih miliknya terpampang jelas. Ekspresi wajahnya cuek seperti biasa dengan salah satu earphone terpasang di telinganya. Aku tersenyum canggung sambil mengangkat tanganku dengan ragu saat pandangan kami bertemu. Kukira dia akan membalasnya dengan anggukan seperti biasanya, tapi dia ikutan mengangkat tangannya seperti yang kulakukan sebelum kembali fokus di lajurnya menuju kursi paling belakang.

"Eh?! Dia pasti melambai ke arahku!"

"Dih! Percaya diri banget! Itu pasti ke aku!"

Aku langsung menurunkan tanganku dengan malu, dan meletakkan kepalaku di atas meja. Rasanya aku ingin menghilang. Iya kali orang keren seperti dia akan melambai ke arahku! Malu-maluin banget!

Dengan sebal, aku mengayunkan kedua kakiku yang sengaja kubuat bergelantungan. Aku memerhatikan apakah ada kaki orang lain di sekitar agar aku tidak sengaja menendang tulang kering mereka. Cukup saat aku kelas dua SMP saja masa kelam itu menerjang, jangan saat masa-masa terakhir SMP juga. Kasihani jiwa gelisahku!

"Mirai," panggilku pada teman masa kecilku yang kebetulan duduk di sampingku. "Apa hanya imajinasiku atau wajah Shirogane-san terlihat terluka?"

"Iya. Sepertinya kemarin Le—Shirogane mendapat latihan yang cukup keras." Mirai memandangku dengan ragu, sebelum memasang wajah tenang. Dia pasti berpikir apakah aku merasa curiga dengan pengucapannya.

Jawabannya? Iya. Apa maksudnya dengan Le—Shirogane? Mirai ingin memanggil Shirogane-san dengan apa sebelum menggantinya dengan nama marga lelaki itu? Ini mencurigakan.

Jangan-jangan mereka sudah lebih dekat di belakangku dengan nama panggilan rahasia?!

Mirai memasang wajah datar saat menatapku. "Yuuna. Kau sedang tidak memikirkan hal yang aneh, kan?"

"Sok tahu!" Seruku tidak terima. Apa dia punya kemampuan selain teleportasi?

Gadis dengan potongan rambut pendek itu hanya menggeleng sambil menghela napas panjang. "Jangan pikirin hal yang aneh, semaunya tergambar di jidatmu." Aku langsung menutupi keningku dengan spontan sambil menatap garang ke arah Mirai. "Kalau kau ada pertanyaan lagi, kau bisa datang langsung ke rumahku pulang sekolah."

"Aku ada ekskul," jawabku cepat.

"Kita bertetangga, Yuuna. Kau bisa lompat ke halamam belakang rumahku seperti biasa." Aku menggeleng panik saat Mirai membawa cerita masa kecilku yang memalukan. Saat itu, aku sangat muda dan tak tahu malu, beda jauh dengan sekarang yang suka memikirkan hal kecil tidak berguna. "Aku tidak sedang meledekimu, kok!"

Aku menggerutu pelan. "Kau hanya salah tangkap saja."

Mirai tertawa singkat. "Ya, aku tahu. Tapi bila aku dapat jujur, aku lebih suka dirimu yang terbuka dengan perasaanmu."

Mendengar penuturan Mirai, pikiranku langsung sunyi. Banyak hal yang perlu diproses saat mendengar penuturan itu pertama kalinya. Tapi pikiranku menolak untuk menelaahnya lebih jauh. Jadi yang bisa kulakukan hanya ikutan tersenyum. Senyuman pasrah seolah memaklumi apa pun yang terjadi selama dunia ini berputar.

"Ya... aku juga merindukannya."

***

EXTRA

Tubuh tak berdaya tergeletak lemah di lantai yang dingin. Darah mengalir deras dari perutnya, menodai dasar gelap gulita, sekaligus memberikan pandangan mengenaskan terhadap keadaan tubunya. Raga pucat itu hanya menatap kosong, memegang erat pada benang jiwa yang akan terbang ke surga jika tidak menahannya dengan tenaga sisa.

"Ini yang akan terjadi? Menyedihkan."

Wanita asing muncul dari bayangan, tanpa langkah pelan atau deru nafas, dia muncul dari manifestasi udara kosong. Belas kasihan terpancar di kedua netra biru permata, bersinar redup di ruang gelap tanpa ujung. "Kenapa selalu seperti ini?"

Sosok kedua muncul, ikut menghampiri tubuh yang tidak bisa bertahan lebih lama. Kepala menggeleng lemah, merasakan hal yang sama seperti wanita yang jongkok di dekat tubuh sekarat. Sosok itu memiliki warna netra yang sama seperti wanita itu, juga dengan mata si raga yang akan mati dalam hitungan menit.

"Apa tidak ada akhir bahagia untuk kita?"

***

Glosarium

*-kun
Digunakan untuk memanggil anak laki-laki

*-san
Panggilan universal, biasanya digunakan untuk memanggil orang yang belum terlalu dikenal atau panggilan sopan.

A/N

Hai, hai! Ini cerita pertamaku bergenre fantasi. Aku harap kalian menyukainya dan menantikan chapter selanjutnya. Sebenarnya aku udah buat ini pas SMP... tapi aku remake.

Bila ada sedikit kesalahan, kalian boleh mengkritiknya dan bisa memberikan saran. Aku akan menerima semuanya dengan baik.

Jangan lupa di vomment, kay?

Salam apa hayo,
Astralia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top