The Summer a Year After
Ketika pintu dibuka, interior dominan putih-merah muda bernuansa feminin menyapa kami.
"Oh, abang ini lagi. Tapi abang yang ini baru datang 'kan?" Salah seorang gadis cantik dengan atribut maid-nya menyambut kedatangan kami. Sorot jenakanya tak lepas dari wajahku.
"Ah, iya," jawabku dengan senyuman.
Ia membunyikan bel yang ada di dekatnya yang membuat seluruh pelayan mengucapkan selamat datang kepada kami. Mataku memindai satu per satu wajah mereka. Tidak ada gadis yang kukenali.
"Biar kuantar kalian ke tempat duduk, Tuan." Gadis itu menggaet lenganku, menyeretku ke tempat duduk kami, kemudian ia duduk di samping seniorku, berbincang akrab. Tampaknya dia memang sudah langganan di sini.
Seorang gadis lainnya muncul sambil membawa buku menu. "Silakan, Tuan," ucapnya seraya menunduk sopan.
"Terima kasih," ucapku sebelum dikejutkan oleh keberadaannya yang tiba-tiba berada di sampingku. Tak seperti kawannya, ia hanya duduk diam dengan wajah datar sambil melempar sorot mata dingin.
Aku tak bisa fokus memilih sesuatu untuk dimakan, bukan karena terus-terusan ditatap oleh wanita di sampingku. Tujuanku ke sini adalah untuk mencari seseorang. Kedengaran menyedihkan, tapi memang begitu kenyataannya. Aku sangat amat merindukannya. Jika urat maluku telah putus, aku akan berlari keluar dari sini dan mengatakannya pada seisi kota.
Pencarianku tak berlangsung begitu lama, mataku langsung melebar kala melihat sosok yang kucari sedang berada di meja seberang, tengah duduk dengan kaki yang disilangkan dan bersedekap di depan seorang pria paruh baya yang kelihatan berantakan. Sorot mata ketus itu tak pernah berubah.
"Haru-chan, kau memang yang terburuk ... tapi aku suka." Samar-samar terdengar suara pria itu.
Hey, itu panggilanku!
Dari jarak sejauh ini bahkan aku bisa mencium wangi parfumnya. Feminin wangi bunga-bungaan, segar buah-buahan, musk, sedikit wangi bedak. Meski aku tak tahu apakah dia memakai parfum itu saat ini. Aku hanya ingin wangi itu kembali ke dekapanku.
"Aku suka bau parfummu," ucapku kala itu di bangku taman pada malam hari.
"Oh, aku juga menyukai wangimu," komentarnya pada aromaku yang dominan bau buah-buahan. Itu hanya deodoran yang biasanya kugunakan.
Kami berpelukan cukup lama hingga bau kami seolah melebur satu sama lain, membuat wewangiannya menempel pada kemeja yang kukenakan saat itu. Aku tak mencuci kemeja itu hingga kami putus meski kurasa ia akan langsung mencuci bajumu selepas pulang. Andai dia tahu, wangi parfumnya lebih awet daripada deodoranku. Sebelum aku mencucinya, wangi tersebut masih menempel pada lengan kemejaku.
Ketika kedua gadis itu meninggalkan kami, Senior Kimura yang mungkin telah melihat perubahan ekspresiku berbisik, "Kau melihatnya?"
Aku mengangguk kecil. Mataku yang terbuka lebar tak mampu melepas pandang dari sosoknya yang saat ini sedang melempar kata-kata rayuan pada pria yang tampak sedang patah hati tersebut. Bahkan dalam hubungan kami ia tak pernah menggodaku seperti itu.
"Dia tak terlalu banyak bicara biasanya, mungkin sekarang ia sudah menemukan perannya." Senior Kimura akhirnya menemukan objek yang kupandangi.
"Aku penasaran apakah ia masih menggunakan parfum itu, fia wangi sekali," gumamnya.
Mataku melebar. "Parfum apa?"
Kini kami mungkin terlihat seperti orang aneh yang hobi mengendusi orang. Senior Kimura lah yang menularkan kebiasaan itu padaku.
"Seperti ... bebungaan, vanilla, amber," jelasnya.
Aku menghela napas berat. Sepertinya itu wangi yang berbeda.
"Mau kupanggil?"
Sebelum ia bergerak aku sudah menahan tangannya, lalu merengek, "Jangan!"
Lelaki bersuara berat itu tertawa kecil. "Bercanda."
Entah suaraku yang terlalu keras atau bagaimana, gadis yang sejak tadi kuperhatikan itu melirik ke meja kami. Kontan sorot mata kami bertemu. Matanya membulat untuk beberapa detik, tetapi ia dengan cepat mengalihkan pandangan.
Kami tak pernah berbicara lagi semenjak tahun kedua dimulai. Kami memang ditempatkan pada kelas yang berbeda. Ia pun tampak menghindariku ketika kami bertemu. Situasi ini pasti canggung baginya.
Ia sudah berusaha melupakanku, melanjutkan hidupnya senormal mungkin seperti sebelum aku hadir. Bahkan mungkin sekarang ia sudah melupakanku.
Kenapa aku kembali mengusik hidupnya?
Kenapa aku masih terobsesi padanya?
Kenapa aku belum bisa membuka lembaran baru dalam hidupku?
Sejak kami masih berpacaran aku rutin bercerita pada Senior Kimura tentang lika-liku hubungan kami. Meski ia jarang berkomentar, hanya dia yang kupercaya untuk menampung semua ceritaku tentang hal ini.
Waktu itu hubungan kami sedang di ambang perpisahan. Kali itu pertama kalinya aku memberi tahu Senior Kimura tentang siapa sebenarnya pacarku. Ia tak bereaksi macam-macam, hanya saja dia mengingat wajahnya sebagai pelayan di kafe langganannya ini. Di situlah aku urung untuk memperbaiki hubungan kami.
Aku tak pernah ingin menjadi seseorang yang posesif. Hanya saja ....
Jangankan membayangkannya dibalut kostum maid dan menggoda lelaki, bersolek saja tak terlintas di benakku. Maka, saat kencan pertama kali setelah kami resmi jadian, aku seolah melihat sisi lain dirinya yang merias wajah dan mengenakan yukata dengan anggun. Kukira aku harus merasa beruntung karena dia mengerahkan usahanya untuk tampil cantik di depanku, ternyata itu hanya pekerjaannya sehari-hari. Aku tak lebih istimewa dari pelanggan kafe ini.
"Psst, oi, Nakagawa," bisik Senior Kimura membuyarkan lamunanku.
"Hm." Aku yang semula terus menunduk sambil menggerakkan pisau bolak-balik meski pancake-ku sudah terpotong langsung mendongak menatapnya.
"Sepertinya hal ini malah memperburuk keadaanmu, maaf." Ia membuang muka, merasa bersalah.
"Bukan salahmu." Aku melepas pisau dan garpu dari genggamanku. "Aku yang menyeretmu ke dalam masalahku yang tak kunjung selesai."
Aku menghela napas sejenak, lalu mengedarkan pandang ke sekelilingku lagi. Gadis itu tak lagi terlihat.
"Pada akhirnya akulah yang harus menyelesaikan masalahku sendiri," racauku.
Tidak, masalahnya sudah selesai. Aku hanya tak ingin mengakui kalau semuanya sudah selesai.
"Mau pulang saja dan bungkus makananmu?" tawarnya.
"Tidak, aku lapar," jawabku sambil menyumpal mulut dengan irisan pancake.
Cowok itu terkekeh. "Ah, bagaimanapun kau juga cewek rupanya."
"Berhenti bilang begitu!" gumamku dengan mulut penuh.
Tiba-tiba ponselku berdering. Aku membalik ponselku demi melihat nama yang tertera di layar.
Haruki?!
Mengetahui sang penelepon, aku jelas tersentak. Aku terperanjat. Tanganku seolah terlalu gemetar untuk mengangkat teleponnya.
Tunggu, apakah harus kuangkat?
Sayangnya, ketika ibu jariku mantap menyentuh layar, ponselku berhenti berdering. Namun, sedetik kemudian ada pesan darinya.
Nakagawa-san, bolehkah aku memintamu untuk menunggu hingga istirahat?
˚⋅˖* ⊱❀⊰ *˖⋅˚
Hello!
Tiba-tiba aku publish cerita baru yang mungkin agak berbeda dengan cerita-cerita yang lain. This supposed to be a songfiction of "Good Luck, Babe!" by Chappell Roan, it was my most played song at that time, tapi karena mengendap cukup lama di draft dan banyak hal-hal yang aku tambahkan jadi mungkin agak keluar jalur dari lagunya. Cerita ini bukan novel, tapi cerpen panjang yang aku bagi jadi 5 chapter. Anyway this is my first attempt in making a girls' love story, jadi aku minta maaf kalau belum bisa menyampaikan feel-nya dengan baik.
[08/01/25]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top