That Day in Summer I Will Never Forget

Tak banyak yang kuinginkan untuk masa-masa SMA-ku. Jadi bintang tim basket, punya minimal satu atau dua teman dekat, dan mungkin populer di antara para gadis.

Aku telah mencapai semuanya. Sejak pertama kali aku menginjakkan kaki ke sekolah ini, Senior Kimura sang kapten tim basket langsung membidikku, aku pun dengan senang hati mengiakan.  Semenjak debutku di turnamen antarsekolah, setiap hari ada saja buket bunga, hadiah-hadiah kecil, atau sekadar surat penyemangat di lokerku. Tak semuanya memiliki nama, tapi dari semua yang ada namanya, kebanyakan dari mereka adalah para gadis.

Selepas turnamen antarsekolah—kami menang!—aku mulai sering masuk kelas. Orang-orang di sini tampaknya sudah mulai memiliki tempat duduk tetap. Kurang ajarnya, hanya ada satu kursi di depan yang tersisa untukku. Padahal aku kepengin tidur di kelas!

Di tengah-tengah kelas dengan keadaanku yang antara sadar tak sadar, guru tersebut memanggil namaku. Jangankan paham, kata-kata yang dia ucapkan cuma numpang lewat di otakku. Saat aku tengah kebingungan, gadis di sebelahku menyentuh lenganku. Tampaknya dia yang menjawab pertanyaan guru sejak tadi.

Dengan wajah serius, ia membuka telapak tangannya yang menampakkan sebuah kata. Aku yang tak punya pilihan lain pun menyebut asal kata tersebut.

"Bagus, Nakagawa. Lain kali jika tahu kau duduk di depan tolong jangan tidur."

Hah? Jawabanku benar?

Gadis di sebelahku itu kembali memandang lurus ke depan. Padahal, aku hendak berterima kasih padanya.

Pada jam makan siang aku menghampirinya. Sebelumnya ia diajak oleh sekelompok perempuan untuk makan siang bersama, tapi ia menolak dan makan sendiri di kelas.

"Terima kasih untuk yang tadi, ya."

Ia yang kaget mendongak menatapku. "Oh, iya, sama-sama." Baik ekspresi maupun nada bicaranya tak menyiratkan keramahan.

Tiba-tiba ia mengernyit. "Bukankah kau anggota tim basket putri?"

Ketika ia menyebutkan hal tersebut, aku pun jadi bersemangat. Apakah dia salah satu penggemarku?

Aku mengangguk bangga. "Apakah kau menontonnya?"

"Ah, cuma sebentar, tapi orang-orang di sini banyak yang membicarakanmu." Ia menyunggingkan senyum kecil.

"Betulkah?!" ucapku semangat. Aku menyeret kursiku ke dekatnya.

"Gadis-gadis di sini bilang 'Jika Nakagawa laki-laki mungkin aku akan mendekatinya'." Ia memamerkan seringai tipis.

"Apakah kau salah satu dari mereka?"

"Tidak," jawabnya singkat yang membuatku agak kecewa.

Gadis itu melirik ke arahku. "Eh, apakah kau tidak membawa bekal?"

Aku menggeleng. "Tidak, aku lupa."

"Kalau begitu ambil saja sandwich-ku jika kau mau," tawarnya.

"Tidak usah." Aku melambai-lambaikan tangan.

Itu percakapan pertama kami. Aku lupa menanyakan namanya saat itu. Tapi di kelas selanjutnya aku mengetahuinya saat disebut oleh guru.

Dia terlihat seperti kutu buku. Berkacamata, aktif menjawab pertanyaan, cenderung menyendiri, dan jauh dari kata ramah. Namun, dari hal-hal yang ia lakukan pada orang tak dikenal sepertiku, aku tahu dia sebetulnya peduli terhadap orang di sekitarnya.

Semakin hari, kami makin akrab. Meski sebagian besar waktu aku hanya meminjam catatan dan tugas-tugasnya untuk kelas yang aku lewatkan, kami sering berbincang ketika ia memberikan catatannya padaku. Ralat, aku memanfaatkan waktu itu untuk berbincang dengannya.

Hari itu aku datang ke kafe tempat kami janjian. Ia sudah ada di sana dengan buku catatannya.

"Nakagawa!" panggilnya.

Aku pun mempercepat langkah untuk menghampirinya.

"Bukankah kau ada kelas tambahan?" Matanya menyusuri tubuhku dari kepala hingga ujung kaki.

"Iya, kenapa?" Aku pun keheranan melihatnya menatapku lekat-lekat.

"Kau pulang dulu sebelum ke sini?"

"Ah, iya, aku ganti baju," jawabku menyadari hal yang ia maksud.

"Bukankah rumahmu cukup jauh dari sini?" selidiknya.

"Aku ... benci pakai seragam!" Kepalan tanganku menghantam meja.

"Menurutku bagus-bagus saja," ucapnya enteng.

"Roknya terlalu pendek untukku," sanggahku.

"Yah, aku setuju untuk itu." Ia tak menyanggah. "Tapi selain itu kau tampak normal saja."

"Aku tampak seperti laki-laki dengan rok, bukankah begitu?" lirihku.

Ia malah terkekeh kecil. "Sedikit. Aku tak akan salah mengiramu sebagai laki-laki, tapi nyatanya kau lebih populer di kalangan perempuan daripada laki-laki."

"Bukankah kau juga, Ueda?" Aku balik bertanya. Ia kerap berkata bahwa dia juga dapat surat cinta dari cewek-cewek. Jika dilihat dari tampangnya, alis tebal dan hidung mancungnya memang membuat wajahnya kelihatan sedikit maskulin. Sifat yang tenang dan dapat diandalkan juga menjadi daya tariknya.

"Tak sebanyak dirimu, tapi belakangan ini ada gadis yang menaruh surat atau bunga layu di lokerku, sebelumnya juga pernah ada." Ekspresinya tampak seperti mengingat-ingat.

"Apakah itu orang yang sama?" sosorku dengan nada agak tinggi. Dia belum pernah membicarakannya padaku.

Dengan suara yang sama tenangnya, ia menjawab, "Tampaknya seperti itu. Tulisannya sama, dan dia memakai kertas yang sama. Aku belum tahu orangnya sih."

"Kata-kata seperti apa yang dia tuliskan?" timpalku.

"Dia cuma bilang 'aku kagum padamu', 'semangat', 'kau sangat keren', seperti itu," jelasnya.

"Oh, di surat terakhir sebelum libur musim panas dia bilang 'aku sangat suka padamu, maukah kau bertemu denganku di belakang gedung lama sepulang sekolah?'" tambahnya dengan seringai tipis.

Aku yang tak berpikir panjang langsung bertanya histeris, "Lalu, kau menemuinya?"

Karena suaraku yang terlalu keras, ia menaruh telunjuk di bibirnya. "Tidak, maaf aku bohong, dia tidak bilang begitu. Jika aku menemuinya apakah kau cemburu?" godanya.

Aku pun menunduk, lalu refleks mengangguk. "Jika aku bilang iya bagaimana?"

Ia terkesiap. "Nakagawa?"

"Ueda, apakah tidak apa jika kubilang aku mencintaimu?"

Tiap huruf dari kalimat tersebut masih tersusun rapi di otakku. Entah apa yang ada di kepalaku saat itu. Kalimat itu meluncur deras tanpa direncanakan.

Aku mendongak demi menatap wajahnya yang kini menampakkan ekspresi kebingungan, lalu ia menunduk dalam-dalam hingga aku tak bisa melihat wajahnya.

Kata-kataku mungkin akan merusak pertemanan kami. Namun, aku tak bisa membiarkan diriku terlihat semakin tolol dengan pengakuan tiba-tibaku yang kemungkinan besar akan digantungkan.

"Maaf, kau pasti kaget. Tapi, jika tidak apa-apa, bolehkah kau menolakku saat ini?" sesalku.

"Tidak, aku akan memikirkannya dulu, sekarang aku akan pergi bekerja." Mataku membeliak kala ia mengatakan hal tersebut. Apakah itu berarti aku masih memiliki kesempatan?

"Ini buku tugasku yang kau pinjam, bisakah kau kembalikan besok atau lusa?" Ia menyerahkan buku tulisnya padaku.

"Baik, akan kukembalikan secepatnya."

Tak berapa lama kemudian dia beranjak dari tempat duduknya.

"Baik, aku pergi bekerja dulu, sampai jumpa lagi." Ia bergegas menuju pintu sambil melambaikan tangan, meninggalkanku sendiri dengan mocha frappe-ku yang semakin mencair.

Pada saat itu tak ada yang lain di otakku selain merutuki kebodohan diri sendiri.

***

Keesokan harinya sesuai janjiku, aku mengembalikan buku tugasnya.

Semalaman aku tak bisa tidur. Begitu banyak yang berkecamuk di kepalaku. Apakah aku memiliki kesempatan? Jika bukan aku, apakah dia rela meminjamkan buku catatan dan tugas musim panasnya?

Buku tugasnya sudah kusalin sejak petang. Namun, di kamar aku tetap terjaga, duduk mematung di hadapan buku tulis penuh coretannya tersebut. Tugas matematika yang pada tiap langkahnya ia jelaskan dengan kata-katanya sendiri, lebih mudah kumengerti dibanding celotehan guru di kelas tambahan yang kuhadiri siang itu. 

Aku tak pernah merasa memiliki kewajiban untuk memahami pelajaran-pelajaran di sekolah. Masuk ke sekolah top di kota ini pun aku mengandalkan sertifikat perlombaan basketku. Persetan dengan matematika, aku bertanya soal-soal tersebut hanya untuk berbicara padanya, si murid teladan. Namun, bagaimana caranya menjelaskan segala hal, membuatku tertarik untuk memahami pelajaran-pelajaran tersebut. Dia berhasil membuatku paham karena dia memahamiku, atau setidaknya kami satu frekuensi.

Tak lama kemudian lonceng dari kafe berbunyi pertanda masuknya seseorang. Gadis berkaus warna krem dan celana denim panjang itu tak mengarahkan pandangannya padaku sama sekali, tapi ia tetap menghampiriku.

"Ini buku yang kupinjam, terima kasih banyak." Aku segera menyerahkan buku yang sejak tadi ada di genggamanku itu.

"Terima kasih kembali, Nakagawa." Gadis itu masih berdiri, memegangi buku tulisnya erat-erat. Ia menghindari kontak mata denganku, tetapi seperti ada yang menahannya untuk tidak langsung pergi.

"Duduklah." Aku menggeser tubuh, menepuk-nepuk kursi di sebelahku.

Ia bergumam, lantas segera duduk di sampingku.

Berbeda dengan sebelumnya, kali ini ia menatap mataku dengan mantap.

"Nakagawa, aku ingin membahas yang kemarin."

Ketika itu jantungku seolah berhenti berdegup untuk sepersekian detik, lalu dipompa dengan cepat tanpa henti kemudian. Mataku tak berkedip barang sekali pun. Meski masih segan, kutatap kedua matanya dalam-dalam.

"Aku ... mungkin akan memberimu kesempatan." Ekspresinya terlihat yakin, akulah yang tak yakin maksud dari ucapannya.

"Jadi ...?" responsku meminta kepastian.

Kini ia memalingkan tatapannya, lalu menghela napas. "Bukankah itu cukup jelas? Kupikir aku juga menyukaimu."

"Kau keren, kau berteman dengan orang-orang keren, tapi kau selalu mengajak orang membosankan sepertiku ini mengobrol. Kita sangat berbeda, tapi kita tak pernah kehabisan topik saat berbicara," jelasnya jujur.

"Haruki ...," aku memanggilnya lembut.

Kedua manik yang berbinar di balik lensa kacamata itu kembali mengarah padaku.

"Bolehkah aku memanggilmu begitu mulai hari ini?"

Ia tersenyum, lalu mengangguk. "Aku juga akan memanggilmu Emiko."

Aku tak pernah menyukai jika orang selain keluargaku memanggil dengan nama depanku. Kata orang-orang, nama tersebut tidak cocok untukku. Namun, bisa apa aku jika dirinya yang memanggilku dengan nama itu.

˚⋅˖* ⊱❀⊰ *˖⋅˚

[09/01/25]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top