Blank and Frost
"Ah, sudah jam segini"
Anak laki-laki berambut coklat kacang itu segera menyelesaikan pekerjaannya mengumpulkan kayu untuk persediaan musim dingin yang telah berlangsung abadi di tempat ini. Tubuhnya yang berukuran standar dan tak berotot tampak terhuyung membawa kayu-kayu itu sendirian tanpa ada yang menolongnya sama sekali. Ia harus segera sampai di rumah sebelum malam. Karena nanti akan banyak serigala salju di tengah hutan kalau sudah beranjak malam.
Ia hampir saja sampai di tepi hutan tanpa hambatan ketika kakinya tiba-tiba saja menyandung gundukan besar yang luput dari pandangannya yang tertutup kayu. Membuatnya jatuh dengan kayu-kayu berserakan dimana-mana dan ada beberapa yang mengenai kepalanya.
"Aduduh..." ia memegangi kepalanya. Apes sekali ia sehari ini. Ia segera memeriksa kakinya takut keseleo. Namun bukan kakinya yang keseleo yang membuatnya kaget setelahnya. Melainkan 'sesuatu' yang menyebabkan dia jatuh yang awalnya ia kira hanyalah balok kayu ternyata merupakan sosok manusia.
Manusia itu penampilannya sedikit aneh dengan rambut putih dan ada tato berbentuk dua garis tipis melintang vertikal di bawah matanya hingga dagu. Ditangannya tengah memegang sebuah buku biru yang terbuka. Sepertinya dia tengah tak sadar diri. Sudah sewajarnya sih. Siapa pula yang mau tiduran di tanah bersalju ini menjelang malam begini. Apalagi ditengah hutan yang cenderung bahaya di malam hari.
Ia segera memeriksa sosok pemuda yang sepertinya lebih tua darinya itu. Berharap yang ia hadapi sekarang bukanlah mayat. Karena tak ada tanda-tanda luka sama sekali dari tubuhnya. Dan beruntung, sepertinya pemuda itu masih hidup, tapi bisa saja nantinya dia sekarat kalau terus tidur di tumpukan salju. Mau tak mau anak itu harus memperioritaskan pemuda itu dulu untuk sampai ke tepi hutan, baru kembali membawa kayu-kayunya.
Setelah bolak-balik berkali-kali dengan susah payah akhirnya ia sampai di rumahnya. Menghangatkan perapian kamarnya. Berusaha menghangatkan pemuda yang ditolongnya. Ia tinggal sendirian di rumahnya, jadi sepertinya tak masalah untuknya membiarkan satu atau dua orang tinggal bersamanya.
Setelah sibuk bersih-bersih dan memasak untuk makan malamnya, ia memutuskan untuk mengecek kembali keadaan si pemuda. Sepertinya dia mulai membaik. Menurutnya sepertinya ia akan bangun tak lama lagi. Selagi menunggu, mungkin anak itu memutuskan untuk mengintip isi buku pemuda itu saja. Entah kenapa saat ia melihat buku itu, ia merasa penasaran.
Rupanya isi buku itu hanya gambar pemandangan. Sedikit membuatnya kecewa karena ia telah berekspektasi tinggi mengira itu adalah buku sihir. Namun salah satu halaman cukup membuatnya tertarik karena di halaman tersebut tergambar pemandangan hutan salju yang persis sama dengan tempat ia menemukan pemuda ini. Semakin ia membuka halamannya semakin ia takjub dengan tempat-tempat yang tergambar yang sama sekali tak pernah ia pikirkan ada di dunia sebelumnya.
"Ngg..."
Anak laki-laki itu nyaris melempar buku yang dipegangnya ketika mendengar pemuda yang ia tolong akhirnya membuka matanya. Sepasang mata gelap itu menatap sekitarnya linglung dan berakhir menatapnya bertanya-tanya.
"Err.... Sudah bangun ya?" hanya itu yang bisa anak laki-laki itu katakan. Canggung.
******
"Ini dimana?"
Pemuda berambut putih itu tampak kebingungan begitu mendapati dirinya sekarang tengah berada di kamar berdindingkan kayu. Sangat jauh berbeda dengan dunia serba putihnya. Sepasang mata gelapnya tampak terbengong-bengong dengan sekitarnya sampai akhirnya matanya mendapati kalau dirinya tidak sendirian.
"Err.... Sudah bangun ya?"
Ia tampak sedikit kaget ketika melihat sosok anak laki-laki berambut coklat kacang dengan mata warna senada itu karena ini pertama kalinya ia melihat seseorang sepanjang yang ia ingat. Menurutnya anak laki-laki itu tampak lebih muda darinya karena ketika ia berdiri, anak laki-laki itu lebih pendek sedikit darinya.
Pemuda berambut putih itu akhirnya hanya bisa mengangguk menjawab pertanyaan anak laki-laki itu.
"Ini dimana?" tanyanya akhirnya. "Dan itu bukuku..." tanyanya lagi ketika menyadari buku birunya tengah dipegang anak itu.
"Ah... Maaf. Aku sedikit penasaran" kata anak itu reflek mengembalikan bukunya.
"Sudah waktunya makan malam. Apa kau lapar? Bagaimana kalau kita makan bersama" tawar anak itu dengan senyum ramah di wajahnya. Pemuda itu tampak ragu, namun akhirnya hanya bisa mengangguk.
Suasana masih sangat terasa canggung baginya. Karena ia sendiri tak tahu harus mulai darimana. Terlalu banyak pertanyaan yang menumpuk membuatnya linglung. Ia masih berpikir keras mau membicarakan apa sampai ia tertegun begitu ia menyendokkan supnya.
"Enak" katanya cerah. Kembali menyendokkannya kembali dengan antusias.
"Eh iya kah? Semua tamu yang pernah ku suguhi makanan sering bilang kalau masakanku malah kemanisan" kata anak laki-laki itu terkekeh malu.
"Mm... Sebenarnya memang kemanisan. Tapi masih bisa kumakan. Kurasa lidahku cocok di makanan manis" katanya mengamati makanannya.
"Ya kan?" kekeh anak laki-laki itu.
Tanpa diminta pembicaraan mereka pun jadi mengalir begitu saja membahas makan malam mereka. Sampai akhirnya pembicaraan pun berganti menjadi perkenalan.
"Ah ngomong-ngomong, senang berkenalan denganmu. Aku Frost. Panggil saja begitu" kata anak laki-laki itu mengulurkan tangan.
"Namamu?"
Pemuda berambut putih itu seketika tertegun. Nama? Ia sendiri tak tahu harus menjawab apa. Ia tak ingat apapun, tak tahu apapun. Ia tatap Frost yang tampak menunggu. Ia mencoba berpikir apa yang bisa jadi namanya.
Tak bisa ingat apapun,tak tahu apapun, semua tentangnya kosong tanpa petunjuk.
Kosong....
Tiba-tiba ia teringat satu-satunya petunjuk yang ia miliki. Buku birunya. Hanya sebuah kata yang bisa ia pikirkan sekarang.
"Err.... Blank?" katanya ragu. Tak begitu yakin karena menurutnya itu cukup aneh.
" Namamu aneh juga" dan sesuai dugaannya, Frost menganggap aneh nama itu. Mau bagaimana lagi, ia tak punya pilihan.
"Kenapa kau bisa pingsan di tengah hutan? Kau tahu kalau malam hutan itu banyak serigalanya" kata Frost menyusun piringnya.
Blank sendiri bingung kenapa bisa disitu. Yang ia ingat terakhir sebelum pingsan adalah ia diselimuti cahaya, kemudian berpindah ke tempat penuh pohon seperti tempat di salah satu halaman bukunya. Ia memang sedikit berjalan dari tempat ia pindah, kemudian berakhir semaput gara-gara kelaparan.
"Err... Sulit menjelaskannya. Kurasa karena kelaparan" katanya akhirnya menggaruk pipinya malu.
"Hoo kau pengembara ya?" tanya Frost tampak penasaran.
"Err....dibilang pengembara sih ga juga" gumam Blank ragu.
"Trus?"
"Mmm....sulit menjelaskannya. Karena ku sendiri juga bingung" kata Blank menggaruk pipinya. Memutuskan untuk menceritakan semuanya. Karena ia mulai merasa isi kepalanya seperti penuh akan pertanyaan dan butuh seseorang yang bisa ia ajak bicara. Menurutnya sepertinya Frost orang yang cukup baik sebagai pendengar.
"Kurasa bagimu ceritaku tidak masuk akal..." katanya mulai membuka ceritanya.
******
"Jadi...kau bilang kau berasal dari halaman kosong bukumu?" kata Frost mengernyitkan dahi bingung. Sama bingungnya dengan lawan bicaranya sekarang yang hanya bisa mengangguk.
"Untuk sekarang hanya itu yang bisa kusimpulkan" kata Blank menunjukkan halaman bukunya yang bergambar hutan salju.
"Sebelumnya, ku bisa sampai disini karena tiba-tiba saja sebuah cahaya keluar dari buku tepat di halaman ini dan menarikku. Jadi kupikir satu-satunya halaman kosong di buku ini menjadi tempat ku berasal" tambahnya kemudian menunjuk halaman kosong bukunya. "Jangan tanya aku bagaimana bisa begitu. Aku sendiri juga bingung"
"Hmm..." Frost menyipit menatap buku biru itu. Dari raut mukanya terlihat jelas dia setengah percaya setengah tidak. Disatu sisi dia menganggap itu bualan belaka, disisi lain dia penasaran. Blank bisa paham itu.
Blank harus membuktikan kalau ia sama sekali tidak membual. Ia harap halaman kosong kertasnya dapat mengantarnya kembali ke tempat itu. Ia menyentuh halaman terakhir yang kosong itu dan seolah menjawab pertanyaannya, kejadian sebelumnya kembali terjadi. Bukunya kembali bersinar menyelimuti mereka berdua. Membawa mereka kembali ke tempat kosong itu.
"Oh, wow. Ini beneran" seru Frost kaget mengucek matanya berkali-kali memastikan penglihatannya. Seperti yang ia lihat, sepanjang mata memandang tempat itu hanya ada warna putih.
"Beneran kembali ya...padahal cuma dugaanku" gumam Blank kembali menatap bukunya terheran-heran. Sementara Frost sibuk lelarian memastikan sejauh mana warna putih dunia ini.
"Oi, sebentar. Kita bisa kembali kan" kata Frost beberapa menit kemudian kembali dengan muka pucat. "Disini bener-bener ga ada apa-apa. Terasa menyeramkan"
"Semoga saja..." gumam Blank setuju dengan pendapat Frost. Mencoba mencari halaman dimana ada gambar hutan salju. Namun sebuah kejanggalan terjadi. Blank sama sekali tak menemukan halaman itu.
"Dimana hutan salju tadi?"
"Maksudmu?" tanya Frost bingung.
"Halaman gambar yang ada hutan tempatmu itu hilang" kata Blank mulai bingung.
Seketika Frost panik. "Jangan bercanda, ku tak mau terkurung disini" teriaknya menarik-narik baju Blank.
"Ku juga tak mau membuatmu sepertiku" desis Blank mulai ikutan panik sampai akhirnya ia melihat sebuah gambar yang tampak familiar dibukunya.
"Frost...ini ruang makan rumahmu kan?" tanya Blank memastikan. Menunjuk halaman buku kepadanya.
Frost menyipit. Menatap gambar itu. Gambar di buku tampak seperti ruang makan yang berdindingkan kayu dengan perapian. Tampak seperti rumah-rumah di dunianya. Namun ada satu barang yang membuat Frost setuju dengan Blank. Jaket ungu bergarisnya yang ia letakkan sembarangan di kursi makan tampak begitu detail di buku gambar itu.
"Apa mungkin gambar hutannya sekarang berganti menjadi rumahku?" duga Frost menatap pemuda berambut putih itu.
"...Semoga begitu" kata Blank menghela nafas panjang. "Ayo kembali" katanya kembali menyentuh buku itu tepat di halaman dimana ada gambar ruang makan tempat mereka sebelumnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top