❈ Bab 5 ❈

"Jadi, kita semua selama ini satu keluarga?" tanya Aslan paginya seusai kami sekeluarga sarapan.

Ila tidak ikut karena dia bilang masih kenyang dan memilih berjalan seorang diri ke taman entah sedang apa.

Kini aku duduk di sisi Aslan yang lebih tinggi dariku, bahkan hampir menyamai Frida yang umurnya jauh lebih tua.

"Aku tidak tahu," balasku. "Ila adalah ciptaan para Penjaga Vanam-ciptaan Dewi Hutan juga. Sementara kita adalah anak cucu dari putri sang Dewi."

"Yang mana membuat kita dan Ila satu keluarga," ujar Aslan.

"Hm, mungkin saja," balasku sambil menyuap makanan. "Yang terpenting sekarang adalah bagaimana keluarga kita bertindak setelah ini. Apa benar Vanam bakal diserang lagi?"

"Kita sudah sedari dulu memerangi Vanam," ujar Aslan. "Bahkan aku ingat betul waktu pertama kali ke sana, nyaris tewas ditusuk es oleh salah satu Penjaga."

"Mengerikan," gumamku. "Tapi, aku menemukan kejanggalan." Aku tahu semua ini begitu aneh jika dipikirkan.

"Apa?" balas Aslan.

"Kalau para Penjaga begitu sukar dikalahkan, lantas kenapa mereka membiarkan putri mereka diculik ke sini?"

Pertanyaanku sukses membuat Aslan berhenti menyuap, matanya yang kuning menatap ke atas, entah ke mana. Jelas berpikir keras akan kejanggalan ini.

"Benar juga," ujarnya. "Kamu bahas saja ke Frida."

Aku mengiakan. Frida berdiri beberapa meter dari kami. Dia sedang menambah lauk. Aku dekati dia kemudian mengucapkan apa yang kutanyakan kepada Aslan barusan.

"Apa?" Frida jelas terkejut mendengar pertanyaan dariku. "Tapi ... Tunggu, kenapa semudah itu, ya?"

"Nah, itu yang aku cemaskan," balasku. "Kedatangan Ila terlalu mudah dan kita bisa jadi terkena tipu daya dari para Penjaga."

"Ada benarnya," ujar Frida. "Ya, sudahlah. Akan kupikirkan nanti."

Sebelum aku kembali makan, Frida sempat berpesan kepadaku.

"Awasi terus Ila, jangan sampai lengah!"

***

Seharian ini aku habiskan bersama Ila, meski kami tidak banyak bicara. Kami berkeliling rumah, mengamati setiap benda yang menarik perhatian Putri Hutan itu, bahkan sesekali saling tatap kemudian tenggelam ke dalam pikiran masing-masing.

Sejak Frida mengizinkan Ila masuk ke rumah ini, gadis itu benar-benar jadi pendiam entah apa yang dia pendam. Aku hendak bertanya tapi takut akan membuatnya tidak nyaman. Tapi, di sisi lain aku dapat menebak apa yang terperangkap dalam pikirannya.

"Ila," panggilku ketika kami tiba di taman rumah yang luas dan dipenuhi bunga, menyerupai hutan tempat dia berasal jika dikira-kira.

Ila duduk di antara rumput yang terpotong rapi sementara aku juga duduk di sisinya.

Dia menatapku, menunggu kalimat selanjutnya.

"Aku menyadari kalau kamu tampak cemas akhir-akhir ini," ujarku jujur. "Ada apa?"

Butuh waktu lama bagi Ila untuk menjawab, setelah beberapa kali menatap rumput dan aku secara bergantian.

"Aku telah kabur dari rumah," ucapnya lirih. "Aku telah berbuat sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan."

Aku terdiam. Selama ini dia menyesali perbuatannya. Kukira Frida yang menyeretnya ke sini, nyatanya ini semua murni keputusan dari Ila sendiri.

Dia ingin melihat dunia luar.

Dia lelah merass terus dikekang. Layaknya seekor burung dalam sangkar emas, dia hanya bisa memandangi dunia luar tanpa menyentuhnya. Semua terasa semu jika tidak dialami langsung dan Ila menginginkan hal itu. Maka dia memutuskan untuk ikut kakakku dan malah tidak memikirkan reaksi para penciptanya.

Lantas, apa tindakan mereka?

"Aku tidak mengerti," ucap Ila pelan. "Kenapa para penciptaku tidak juga mencari. Padahal, mereka bilang aku yang terpenting bagi mereka."

"Ila, kami tidak ingin ketahuan," jawabku jujur. "Takutnya nanti mereka akan menghabisi keluargaku beserta aku."

Ila menatapku, mata cokelatnya berkaca.

"Bukan berarti kami tidak ingin kamu melihat keluargamu lagi." Aku menambahkan. "Kami ingin bicara langsung dengan mereka, baru kemudian kita dapat bermain bersama lagi."

Ila tersenyum tipis, tampak sekilas memancarkan rasa tidak percaya. "Aku tidak yakin Frida hanya menggunakanku sebagai pemberi pengetahuan tentang Vanam. Karena aku tahu kalian lebih tahu."

"Tapi, kami tidak sepenuhnya begitu," sanggahku. "Frida ingin kamu menjadi bagian dari keluarga ini."

"Benarkah?"

Aku mengiakan. "Karena kami yakin kamu akan membantu kami."

Senyumnya memudar. Apa kalimatku tadi salah?

"Setahuku, harusnya kalian tidak hanya membawaku saja," balas Ila sambil memandangi rumput. "Aku bahkan tidak berguna untuk semua ini. Kalian lakukan ini hanya agar para penciptaku ke sini. Aku hanya umpan kalian, bukan?"

Aku ternganga mendengar ucapannya. Sedikit menyesal mengira dia lebih lugu, ternyata ada sebagian pengetahuan yang tersembunyi dalam pikiran gadis itu.

"Tapi, kalian malah bingung karena para penciptaku tidak kunjung datang," lanjut Ila. "Itu karena aku telah durhaka. Mereka bisa jadi sekarang membenciku dan membiarkan aku di sini, entah nasib apa yang menanti."

Aku mencoba menenangkan dengan menyentuh tangannya, tapi ditepis pelan.

"Percuma membiarkanku di sini," ujarnya. "Kalian akan kecewa dan tamatlah riwayatku."

"Ila, kami tidak akan menyakitimu," ucapku tulus. "Bagaimanapun, kami akan selamanya menjagamu."

Ila tidak menanggapi, wajahnya kini terkesan dingin ditambah dengan pandangannya yang tertuju ke tanaman indah mengelilingi taman, seakan telah merindukan rumahnya di Vanam.

"Arman." Akhirnya Ila menyebut namaku. "Bagaimana kalau selama ini ..."

Ucapan Ila tidak dilanjutkan karena kedatangan Aslan membawa beberapa buku serta perkamen kecil.

Tanpa menyapa, Aslan duduk di sisiku dan membuka setidaknya lima perkamen yang siap dibaca.

"Nah, aku dapat sedikit informasi tentang masa lalu keluarga kita dan Vanam," ujarnya. Dia kemudian membaca.

"Vanam diciptakan untuk menjadi hiasan di bumi meski lebih kecil dibandingkan yang lain. Dia letakkan seluruh penawar sekaligus racun di setiap sudut Vanam yang membuat hutan ini tidak bisa dilewati semudah itu. Meski demikian, itu sepadan dengan hasilnya. Banyak penyakit yang akan sembuh, tiada lagi rasa sakit bahkan dalam beberapa kasus berhasil menyembuhkan tangan yang terpotong."

Aslan menarik napas. "Jadi, ini kesimpulan yang dibuat oleh nenek moyang kita. Mereka mungkin gagal masuk ke Vanam, tapi telah berhasil mendapatkan informasi penting."

Ila diam saja, begitu juga dengan aku.

"Nah, Ila," Aslan menatapnya dengan mata dipenuhi pancaran kobaran api. "Maukah kamu memberi kami informasi tambahan untuk ini?"

Aku hendak menyela, semua ini telah membuatku tidak nyaman. Ila merasa dia hanya dimanfaatkan, bukan dijadikan amggota keluarga dengan harmonis. Ketika mulutku terbuka, Ila membuka mulut terlebih dahulu.

"Ya, akan kujawab sebisaku." Ila menjawab mantap. "Tapi, ini semua berdasarkan sudut pandangku, jadi tidak bisa sepenuhnya diandalkan."

"Tidak masalah," ujar Aslan. "Nah, sekarang ceritakan tentang pengalamanmu si Vanam."

Ila kemudian duduk di depan Aslan. Sorot mata dia menatap lurus sepupuku. "Mau pengalaman yang mana?"

"Tentang para penciptamu," ujar Aslan. "Ceritakan semuanya, tentang kelemahan mereka juga."

Apa dia kira bisa semudah itu menjebak Ila?

"Para penciptaku senang bermain," ujar Ila. "Terlebih jika itu sukses membuatmu terkejut."

Bertepatan dengan ucapan Ila, terlihat ledakan dahsyat menghancurkan sebagian kamar di atas.

Kamar orang tuaku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top