❈ Bab 4 ❈

Ila tidak bicara maupun bergerak meski sudah ditemani selama beberapa saat. Sepertinya ada yang menganggu pikiran gadis itu. Aku mengerti kenapa tapi aku tidak tahu harus bicara apa dengannya.

"Ila," panggilku.

Gadis itu menatapku. Tidak bicara.

"Ada apa?" tanyaku.

Dia memandangi lantai, tidak mengeluarkan sepatah kata.

Tentu ini janggal. Awalnya dia sering bicara denganku pada pertemuan pertama dan sekarang diam seribu bahasa. Ada apa gerangan?

"Kalau ada sesuatu, katakan saja," ujarku. "Aku akan menjagamu."

Ila menatapku dengan mata cokelatnya. "Jika aku menceritakan semua, kamu tetap akan percaya denganku?"

Menceritakan semua, entah kenapa terdengar janggal bagiku, terlebih jika semua ini masih samar layaknya kabut di tengah kegelapan pula.

"Ada apa memangnya?" tanyaku.

Ila sangat lama menjawab pertanyaan itu. "Apa arti dari perkataan keluargamu tadi?"

"Mereka ingin kamu tinggal di sini bersama kami," jawabku.

"Untuk apa?" balas Ila. "Kakakmu sudah memberitahu lokasi Vanam tanpaku. Lantas, apa gunanya aku di sini?"

Aku tidak bisa menjawab melainkan keheningan. Setibanya kami di kamar masing-masing, aku dan Ila berpisah dan mengucapkan selamat malam.

Membaringkan badan, aku kembali membayangkan apa yang baru saja terjadi sebelum pertemuan keluarga besar ini dibubarkan.

Pikiranku beralih pada kejadian beberapa waktu yang lalu, ketika Frida menyampaikan rencananya. Seluruh tatapan tertuju pada kakakku, bahkan Ila juga turut menatap meski aku yakin pikirannya tidak tertuju pada itu. Melainkan hal yang kurasa dia sembunyikan.

"Maka, kita telah mendapat kunci baru dari Hutan Vanam ini." Frida menunjuk Ila. "Aku minta kalian memutuskan jika dia layak kita jadikan senjata utama melawan Para Penjaga."

Pada akhirnya juga, keluarga besarku setuju. Lebih tepatnya diam saja hingga menunjukkan kesan bahwa mereka percaya dengan Ila. Meski gadis bertelinga runcing itu tidak berkomentar sama sekali tentang ini. Terlebih Frida yang terus saja bicara.

"Akan kuberi dia nama baru." Frida menatap Ila dengan mata berbinar.

"Kurasa tidak perlu," balas Ibu. "Kenapa harus ganti nama?"

"Karena dia tidak suka hidup di Vanam, sudah jelas nama dia dulu masih dinodai masa lalunya," balas Frida. Tanpa menunggu balasan Ila, dia kemudian melanjutkan. "Gadis ini hidup terkekang oleh Para Penjaga yang bahkan tidak serius merawat dia. Lihatlah betapa kurus dan lugunya Ila, gadis malang ini bahkan tidak tahu dunia luar meski hanya sebatas keadaan di sini saja. Sungguh tragis!"

Ceritanya barusan bahkan tidak ditentang Ila selaki objek cerita ini. Dia seakan membenarkan semua ucapan Frida. Aku yang tidak tahu menahu hanya diam menyaksikan semua ini.

"Aku akan menceritakan kembali sejarah kita dan Vanam."

Kemudian Frida menceritakan tentang sejarah.

Pada zaman dahulu kala, Dewi Hutan turun di bumi untuk menghiasinya dengan segala keindahan. Dia juga terkenal penyayang dan tentu mencintai semua ciptaannya.

Dewi Hutan juga menciptakan sebuah kota dengan beragam kemegahan di dunia. Semua keindahan yang kami nikmati saat ini adalah Davan, negeri kelahiranku.

Dia lalu memiliki seorang anak yang amat dicintai. Namun, tugasnya menghias bumi masih panjang sementara dia harus terus menghibur sang buah hati. Maka, dia ciptakan sebuah tempat yang menjadi taman bermain bagi anaknya. Vanam diciptakan atas dasar cinta dan kasih sayang sang Dewi, diciptakan untuk menghibur putrinya.

Anak sang Dewi selalu bermain dan bergembira hingga suatu ketika dilanda kebosanan. Dia kini semakin malas berkeliling di hutan penuh keajaiban itu hingga tidak lagi menikmati ciptaan sang Ibu.

Sang Dewi tidak ingin melihat anaknya mulai bosan, sehingga dia ciptakan teman-teman bagi sang anak, ruh ciptaan yang tugasnya hanya mengajak anaknya bermain.

Merekalah para Penjaga Hutan Vanam, pencipta Ila.

Tidak terasa, ratusan tahun berlalu, anak sang Dewi kini tumbuh dewasa dan hidup bahagia bersama pasangannya. Dia meninggalkan segala hal yang berkaitan dengan masa kecil, termasuk Vanam.

Dari hasil pernikahan anak sang Dewi dan manusia, lahirlah kami, para penyihir di Davan.

Hutan Vanam kini terasa sepi. Tugas Para Penjaga hanya sekadar menjaga agar hutan ini tetap asri. Tetapi, kini sang Dewi maupun putrinya tidak lagi muncul. Mereka tahu tugas menjaga tempat ini hanya agar tidak terkesan terbengkalai. Padahal jelas sekali mereka merasa ditelantarkan.

Pada akhirnya, Vanam hanya menjadi hutan bekas tempat bermain anak seorang dewi. Tapi, segala kandungan di dalamnya tidak akan pudar dan menjadi incaran semua penyihir terlebih keluargaku di Davan.

Harusnya, kami sebagai keturunan sang Dewi Hutan, mendapat akses masuk ke hutan ajaib itu demi kesejahteraan para penyihir. Namun, Para Penjaga itu begitu egois menjaga harta yang bahkan tidak berguna bagi mereka.

Ila kemudian menambahkan sejarah terciptanya dia. Para Penjaga juga mengaku bosan hidup tanpa alasan melainkan menjaga hutan. Mereka mendambakan sosok yang bisa menerangi hati dan menghidupkan suasana di Vanam seperti sedia kala. Mereka menginginkan seorang anak.

Atas izin sang Dewi, diberikan hadiah bayi mungil yang fungsinya mirip dengan anak sang Dewi itu sendiri, dari situ tercipta sang Putri Hutan, Ila.

"Berarti selama ini, kita adalah keturunan dari anak sang Dewi sementara Ila merupakan ciptaan langsung darinya dan Vanam," kata Frida mengakhiri kisahnya. "Harusnya Davan dan Vanam dijadikan satu dan menjadi sebuah negeri yang makmur, namun keteguhan para Penjaga itu sungguh menganggu. Kita tidak mungkin hidup terus dalam ketakutan akibat gangguan dari mereka!"

"Gangguan?" Entah sadar atau tidak, kalimat itu lolos dari mulut Ila.

Frida mengiakan. "Para Penjaga ini biang kerok setiap masalah di Davan. Bagaimana tidak? Mereka sangat sering merusak bahkan menganggu kehidupan rakyat kami hanya karena kami ingin bekerja sama."

Aslan, sepupuku, menyahut kembali. "Apa yang membuat mereka sekeji itu?"

"Aku juga tidak paham," balas Frida. "Mereka menyimpan harta yang bahkan tidak berguna bagi diri sendiri. Di Vanam, ada banyak bahan untuk ramuan seperti obat penyembuh penyakit paling menyakitkan sekali pun, bahkan aku mendengar bahwa tanahnya pun dapat membangkitkan yang telah mati."

"Jangan terlena dengan yang terakhir," tegur Ayah. "Yang terkubur di sana jelas akan berakhir menjadi boneka para Penjaga."

"Tapi, soal ramuan tidak bisa diragukan kembali," sahut Bibi. "Aku dengar ada banyak juga ramuan agar kamu tetap awet muda meski sudah berusia seabad lamanya."

"Tentu Nenek bakal suka," sahut Aslan. "Kita hanya akan menggunakan sumber daya Vanam untuk kebaikan. Lantas, kenapa para Penjaga menentang itu?"

"Karena mereka egois," balas Frida. "Mereka bodoh lagi bebal, tidak akan melakukan sesuatu jika tidak diperintah. Keempatnya hanya ruh yang sekadar menjaga Vanam tanpa bisa merasakan manfaatnya."

Kulirik Ila, gadis itu menunduk, diam saja.

"Kita sebagai penyihir diberkahi kecerdasan," lanjut Frida. "Maka, kita yang akan memulai perubahan ini!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top