❈ Bab 3 ❈

Sedikit berbeda dengan keluarga Ila. Keluargaku akan berkumpul setiap malam untuk makan malam bersama. Meski memang yang dibicarakan pasti tentang kegiatan mereka, setidaknya lebih baik menurutku dibandingkan ketertutupan Empat Penjaga Vanam terhadap anak tunggal mereka. Meski keluargaku hanya akan menjadikan makan malam bersama sebagai ajang pamer kehebatan.

Pada malam ini, aku sudah bersiap dengan pakaian yang biasa dipakai, karena ini hanya acara makan malam bersama. Keluargaku pun juga tampaknya telah siap, meski aku yakin mereka bakal berpakaian lebih heboh lantaran kedatangan orang luar.

Aku lalu melangkah ke kamar Ila yang jaraknya hanya beberapa langkah dari kamarku. Kuharap gadis ini juga tahu cara memilih baju. Karena memang sejak awal dia hidup hanya dengan selembar kain putih membalut kulitnya.

Setahuku, Frida mungkin sudah menyiapkan pakaian untuk Ila dan bisa jadi memberitahunya tentang segala kebiasaan kami. Ila tidak mungkin memberi kesan pertama pada keluargaku hanya dengan mengenakan terusan putih lusuh saja.

Aku mengetuk pintu kamarnya. "Ila?"

Saat mendengar sahutannya, aku kemudian masuk.

Tidak sesuai dugaan, ternyata Ila sudah siap dengan gaun hijau baru. Tampak lebih megah dari yang kukira. Dia terlihat lebih segar dan bahkan cantik. Aku terdiam selagi mencerna apa yang baru saja kulihat.

Baru saja hendak berkomentar, kulihat salah satu pembantu kami berdiri di sisi Ila. Sudah dipastikan dia yang merias wajahnya.

Ila tampak cantik. Rambut cokelatnya diikat hingga dikepang. Mata cokelatnya tampak bagai kemilau, sementara senyumnya begitu manis saat menatapku.

"Siap?" tawarku sambil mengulurkan tangan.

Ila mengangguk, dia meraih tanganku dan kami pun melangkah bersama menuju ruang makan.

Rumahku terdiri dari berbagai tingkat, tapi kamarku dan Ila berada di lantai ketiga. Sehingga butuh waktu sedikit lebih lama untuk ke ruang makan. Terlebih dengan tangga yang besar dan panjang, membuat langkah terasa lebih lamban.

Sepanjang jalan, tidak lepas genggamanmu dari Ila. Selama itu pula dia tidak berkomentar, hanya menatap ke sekitar dengan mata berbinar seperti biasa. Aku sungguh kasihan, dia memang benar-benar tidak tahu dunia luar.

Kami pun sampai ke ruang tengah. Di tengahnya disinari lampu gantung terbuat dari kristal yang diwariskan beberapa dekade lalu. Mejanya bundar yang sangat luas hingga nyaris memakan seluruh ruangan.

Aku menatap semua anggota keluarga yang hadir. Semua malah langsung menyantap makan malam seakan tidak peduli dengan keberadaan Ila. Tapi, gadis itu juga tampak tidak mempermasalahkan, malah dia juga ikut menyantap beberapa.

Kulihat Frida sedang mengobrol bersama Ibu. Keduanya tampak serius membahas sesuatu. Sementara Ayah tampak menyimak, dia sepertinya juga tertarik dengan pembahasan mereka.

Pandanganku kembali ke Ila. Dia masih makan. Maka, aku akhirnya mengikuti alur dengan turut menyantap makan malam. Sepertinya pembahasan tentang gadis hutan ini akan dilakukan seusainya.

Beberapa waktu berlalu, jumlah makanan di piring pun semakin berkurang dan bunyi dentingan perlahan senyap. Saat itulah, Frida berdiri dan langsung menjadi pusat perhatian dari keluarga besarku.

Dalam ruangan ini, setidaknya ada tiga puluh lebih orang di dalamnya, termasuk keluarga intiku dan Ila. Sementara para pelayan berada di ruang sebelah dan tinggal menunggu perintah.

"Setelah sekian lama pergi ke Vanam, akhirnya aku berhasil mendapatkan setidaknya satu saja harta dari sana." Frida langsung saja memulai pidato. "Dialah Ila sang Putri Hutan. Dia seorang peri hutan yang akan membantu kita meneliti Vanam lebih dalam."

"Kamu yakin dia tidak semudah itu menyampaikan kisah?" sanggah Bibi. "Kurasa dia lebih pintar dari kita."

Aku menatap Ila. Gadis itu diam saja sambil memandang Frida yang menjadi pusat perhatian. Dia tampak tidak menunjukkan keinginan untuk menyanggah atau apa pun.

"Dia akan memberitahu," balas Frida. "Karena aku dapat membedakan pembohong dan yang jujur."

Aku tidak yakin apakah Frida bicara sesuai fakta. Aku belum pernah berbohong dengannya, karena kami memang sangat jarang bicara berdua, aku lebih sering menghabiskan waktu bersama para pelayan selagi keluargaku sibuk keluar.

"Kamu yakin dia bisa dibawa semudah ini?" tanya Ayah, dia bahkan tidak terlihat seantusias Frida maupun Ibu. "Bagaimana dengan penjaga hutan di sana? Mereka tidak mungkin semudah itu membiarkanmu keluar masuk wilayah mereka. Kamu lupa ada berapa banyak keluarga kita yang gugur di depan dinding pembatas ciptaan mereka?"

"Itulah yang ingin aku ceritakan, Ayah," balas Frida. "Gadis ini yang membantuku keluar dari Vanam. Karena dia sosok penting bagi para penjaga. Lagipula, bukankah mereka lebih sibuk mengurus hal lain? Mereka bahkan tidak terlihat memedulikan keselamatan gadis itu, malahan masih saja sibuk di luar entah apa yang dikerjakan."

"Aneh sekali," balas Ayah. "Aku lebih yakin jika semua ini hanya jebakan."

"Ayah berhak waspada," balas Frida. "Itulah mengapa aku hendak mencari pelindung bagi kita semua dari becana ini. Rakyat jelata cukup membantu."

"Rakyat jelata tidak bisa ditumbalkan semudah itu," sanggah sepupuku, dia sebaya dengan Frida. "Mereka bodoh dan tidak berguna. Kita bakal mati konyol kalau begini."

"Tenanglah, Aslan," sahut Frida. "Pada malam ini juga, kita akan membahas soal gadis itu dan memastikan semua informasi tersampaikan secara aman. Jika berhasil, maka Vanam akan menjadi milik kita!"

Ila bahkan tidak berkutik maupun menunjukkan tanda apa pun saat Frida menyampaikan pidatonya hingga kami berdua pun disuruh berpisah kembali.

Seorang pelayan membawa Ila pergi sementara aku disuruh menunggu di sisi kedua orang tuaku. Meski tidak sepenuhnya paham apa yang dibicarakan, setidaknya aku mengerti inti rencana keluarga ini.

Seperti yang kuceritakan sebelumnya, keluargaku sudah lama hendak menjelajahi Vanam serta memanfaatkan sumber dayanya. Terlebih jika seluruh isi hutan tersebut tidak ada di belahan dunia ini. Khasiatnya tidak perlu ditanya, mulai dari penyembuh dari segala penyakit bahkan rumornya dapat menghidupkan yang telah mati.

Namun, aku tahu bahwa kematian adalah hal pasti dan tidak ada yang benar-benar bisa dihidupkan kembali seperti sedia kala. Jika bisa terjadi, maka tidak bisa kubayangkan kekacauan yang akan terjadi.

Frida menjelaskan rencananya dengan mata melotot disertai suara lantang layaknya pejuang. Dia tampak begitu berapi-api dan tidak lelah menjawab setiap keraguan dari keluarga kami.

"Itulah kenapa kita membutuhkan seseorang yang bisa membuat gadis itu merasa nyaman dan yakin bisa hidup aman bersama kita." Frida lalu menatap dan menunjukku. "Dan aku memilih Arman."

Seluruh pandangan tertuju padaku.

"Arman?" Aslan, sepupuku, menatapku dari kepala hingga kaki. Tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, tapi aku tahu dia meragukanku. "Tidak butuh yang lain? Tidak mungkin satu saja."

"Kau benar," ujar Frida. "Kalian boleh mengajukan diri untuk ditunjuk menjadi pengawal Arman dan gadis itu."

Sesuai dugaan, Aslan yang menunjuk diri.

"Aku juga penasaran dengan gadis itu," ujar Aslan. "Entah kenapa dia membuatku curiga dari segala sisi."

Frida mengiakan, dia membalas Aslan. "Pastikan bahwa dia selalu jujur. Jika ketahuan berbohong, aku serahkan semua keputusan kepadamu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top