❊ Bab 1 ❊

"Jadi, ini rumah keluarga penyihir itu?"

Karif lagi-lagi bertanya, tanda betapa semangatnya dia untuk menjelajahi rumah keluarga penyihir itu.

Ketika anggota penyihir yang terkena pengaruh sihir Karif membeku, para Penjaga Vanam lain mulai menyegel mereka di suatu tempat yang aman. Kini tinggal aku dan Karif masih di Davan untuk mencari sesuatu yang menarik.

"Oh, apa ini?" Karif menatap rak buku di bekas kamar orang tua Arman yang telah dia habisi beberapa menit lalu.

Mereka berdua tewas akibat serangan dari mainan peledak ciptaan Aditya, sementara Karif hanya membuat badan mereka kaku sehingga tidak mampu melawan. Jasad mereka hancur hingga menyatu dengan abu. Saat ini, Karif tengah menginjaknya tapi lebih peduli pada benda menarik di kamar keduanya.

"Ah, buku sejarah keluarga penyihir di sini, ya," ujar Karif sambil membolak-balikan buku itu. "Pantas saja mereka tahu soal sejarah Vanam."

"Memang apa bacaannya, Dama?" tanyaku. Aku belum diajari cara membaca huruf yang biasa mereka pakai.

"Ini." Karif menunjukkanku buku itu dan membuka halaman dengan lukisan tanpa warna, telihat seorang wanita cantik berbalut kain putih yang indah tersenyum menghadap langit dilengkapi ornamen tanaman menyelimuti sekitar halaman buku. "Ini ilustrasi dari putri Dewi Hutan."

"Apa benar dia leluhur para penyihir di sini?" tanyaku.

"Betul," jawab Karif. "Tapi, bukan berarti kita berkeluarga dengan mereka."

"Dama termasuk anak Dewi Hutan?" tanyaku.

Karif tersenyum, tampak menahan tawa lebih tepatnya. "Ciptaan bukan berarti orang tua."

"Lalu, bagaimana dengan Ila?" tanyaku.

"Ila anak kami, karena diciptakan dengan darah kami," jawab Karif sambil mengelus rambut cokelatku. "Itulah mengapa kehadiran Ila di dunia sangat berarti bagi kami."

Aku tersenyum tanpa membalas ucapannya.

Karif kemudian menyimpan buku yang lumayan tebal itu ke dalam tas yang tergeletak di sisi meja. "Kubawa saja, deh. Isinya barang sihir peninggalan mereka. Cukup penting."

Aku mengiakan dan membiarkan Karif melakukan apa yang dia inginkan.

Tujuannya ke sini tentu saja untuk mencari berbagai informasi. Tugas Karif dari Sardee memang sederhana, tapi bagiku cukup sulit apalagi harus mencari tempat tersembunyi di mana informasi itu disimpan.

Karif melangkah dengan antusias, langkah kakinya terdengar jelas bahkan seakan benar-benar menginjak bumi saat ini. Membuat lantai rumah gentar.

Tanpa perlu bantuan apa-apa, Karif berhasil menemukan tempatnya, meski aku tidak yakin jika itu yang dimaksud. Meski begitu, aku akan tetap berada di sisinya sambil memastikan bahwa kami tetap aman.

Tubuh jangkung Karif tampak bagai raksasa bagiku, sementara rambut kuningnya bersinar terang diterpa lampu rumah yang untungnya tidak rusak meski harus terguncang akibat ledakan tadi. Dia bersenandung pelan, tanda suasana hati sedang gembira. Aku pun sesekali mengikuti nadanya.

"Bernyanyi ... Bernyanyi ..." Senandungnya dengan merdu, meski liriknya terbilang sederhana.

Nyanyian itu menginggatkanku waktu di malam ketika Manjari menyanyikan lagu tidur untukku, sementara Penjaga lain hanya akan mengucapkan selamat malam kemudian membiarkan aku terlelap. Tentu saja ini momen langka ketika mendengar salah satu orang tuaku bernyanyi selain Manjari.

"Berjalan-jalan ... Di negeri baru ... Bersama Ila Kecil ..."

Karif sedikit menggerakkan kaki dengan spontan layaknya menari kecil, membuatnya tersentak sebelum menyadari bahwa dia hanya sedang bersenang-senang.

Menuruni tangga, Karif pun menghentikan tarian kecilnya tapi tetap bersenandung ria. Dia sesekali menoleh ke arahku seakan memastikan aku masih di belakangnya.

Kami tiba di bagian bawah rumah, tepatnya beberapa langkah dari kamar tadi menuju dapur. Karif berhasil menemukan lokasi rahasia keluarga penyihir ini tanpa mencari petunjuk terlebih dahulu. Bisa jadi dia telah mengamati mereka selama ini.

"Nah, di dapur ini tempatnya." Karif menunjuk dapur menggunakan jarinya. Ketika kulit sawo matangnya diterpa cahaya lampu, dapat kulihat keringat perlahan membasahi wajahnya. Tidak disangka kami berjalan cukup jauh dan tidak juga beristirahat.

Tidak disangka dapur menjadi salah satu pilihan keluarga penyihir itu guna menyimpan rahasia mereka. Tapi, kalau di perpustakaan sepertinya sudah biasa dan mudah ditebak. Hebatnya lagi, Karif dapat menemukannya.

"Dari mana Dama tahu?" tanyaku. "Ila bahkan tidak menebak."

Karif tertawa kecil. "Mereka sudah lama kuamati dari jauh, beberapa kali mereka keluar masuk dapur ini dan membawa benda sihir yang sering dijadikan senjata untuk menembus Vanam meski gagal."

"Jadi, tugas Ila di sini untuk apa?" heranku. Aku sedikit tersinggung, selama ini meneliti rumah musuh dengan harapan memberi informasi lebih untuk mereka, malah ternyata mereka lebih tahu dariku selama ini.

"Tugas Ila untuk membuat mereka lengah," jawab Karif. "Mereka mengira Ila telah dikendalikan sehingga abai akan tugas mereka selama ini, menjaga wilayah terlebih rumah sendiri."

Aku mengiakan, sedikit mengerti sekarang.

Di antara dapur itu terdapat sebuah pintu masuk yang hanya terdiri dari satu kunci saja. Karif mengambil kunci yang dia ambil dari kamar orang tua Arman dan membuka pintu itu. Hanya kegelapan menyambut.

"Ila tetap di sisiku, ya." Karif langsung masuk ke ruangan gelap itu.

Aku tentu ikut, takut jika terjadi apa-apa di luar selagi Dama pergi.

Rubanah ini begitu gelap, untungnya lagi bisa melihat dengan sedikit jelas berkat mainan ciptaan Aditya berupa api kecil yang tidak mudah padam. Karif menyimpan benda bulat bersinar itu dalam sebuah obor yang menggantung di sisi ruangan. Dia lalu menggandengku menjelajahi tempat ini.

Ruang ini begitu gelap meski dibantu penerangan dari mainan ciptaan Aditya. Terlihat beberapa benda besar berjajar dipenuhi jaring laba-laba serta debu.

"Apa itu, Dama?" tanyaku sambil menunjuk sebuah peti.

"Hm, menarik."

Karif mendekat lalu mencoba membuka peti itu. Aku tahu tidak ada cara halus selain membuka dengan kunci. Tetapi sepertinya Karif punya rencana lain.

Dia menyentuh gemboknya kemudian berbisik. Bertepatan dengan itu, gembok terbuka tanpa lecet dan kami bisa melihat isi peti tersebut.

Aku jadi heran, "Dama, kenapa tidak melakukan ini saat membuka pintu dapur tadi?"

Karif lagi-lagi tertawa kecil. "Dama hanya menghemat energi. Lagipula, pintu tadi ada kuncinya sementara ini tidak."

Aku mengiakan.

Karif memeriksa dalam peti tadi dengan antusias sampai debu beterbangan membuatku terbatuk-batuk hingga menutupi hidung dengan lengan.

"Wah, lukisan dan catatan!" Karif memandangi benda-benda yang tersimpan dengan decak kagum. Tentu dia gembira atas semua pencapaian ini. Terlebih menyangkut musuh yang telah lama menganggu Vanam. Kini giliran kami mengusik tanah air mereka.

"Apa saja itu?" tanyaku.

"Leluhur mereka," jawab Karif sambil menunjuk lukisan seorang wanita berambut pendek dengan wajah tegas. "Ini nenek moyang si Arman, aku mengalahkannya ketika nenek dari bocah itu masih kecil."

Aku terkagum. "Benarkah?"

"Ya." Karif tertawa riang. "Dia masuk ke Vanam dan nyaris mencuri salah satu tanaman untuk dijualnya dengan harga mencekik. Aku berhasil menangkap dan mengikatnya di antara dua pohon hingga tewas."

Aku ternganga. Meski kekuatan Karif tidak seperti Manjari yang mengendalikan tumbuhan, namun dia juga bisa mengapit dua buah pohon dengan kedua tangan seakan mengikat dua buah kain kecil.

Karif menyimpan lukisan itu di saku celananya. "Nah, sekarang kita temui yang lain."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top