Part 8: The Yellow Eyes

MATA KITA SAMA NAK,

KUNING SEPERTI PETIR YANG MENYAMBAR DARI LANGIT.
PETIR YANG DATANG BERSAMAAN DENGAN HUJAN.
HUJAN AIR MATA.
+++++

Emily menunjuk salah satu bagian pada denah. Matanya menatap Budi seraya berkata,

"Ini bagian gudang senjata. Usahakan jangan ke sana. Mereka memasang banyak jebakan."

"Jebakan? Sebanyak apa?"

"Bom tanam, benang peledak, dan semacamnya. Kau tahu? Benang peledak ada di mana-mana. Tembus pandang, sangat sulit mendeteksi mereka."

Budi mengangguk paham. "Sekali kena, kelar hidupku." ucapnya.

Emiy tertawa kecil. Kemudian dia menunjuk bagian lain pada denah.

"Kita bisa masuk lewat sini." ucapnya.

"Ini bagian apa?" tanya Budi.

Emily nyengir lebar. "Toilet pria." ucapnya.

+++++

Tomi merasa isi perutnya akan meledak saat kepalan tangan seseorang menghantamnya. Beberapa tetes darah keluar dari mulut. Terasa asin dan anyir di lidahnya.

"Cepat katakan! Di mana gadis itu?!"

Tomi melirik ke atas. Dua orang pria yang merupakan bawahan Don sedang menatapnya dengan wajah murka. Mata mereka menatap Tomi dengan tajam. Tapi pemuda itu hanya diam sambil tersenyum kecil. Membuat sebatang besi menghantam kepalanya.

BUKK!!

BRUK!

Tomi ambruk ke lantai. Darah menetes-netes dari luka di kepalanya. Rasa pusing sekaligus sakit langsung mendera. Membuat pandangannya perlahan-lahan kabur.

Dua pria bawahan Don berbalik dan meninggalkan Tomi seorang diri di dalam penjara itu. Diam-diam, dia mengambil kain saputangannya dari dalam kantong celana dan menulis beberapa kalimat di sana dengan darahnya sendiri sementara pandangannya semakin kabur.

Tepat setelah dia selesai menulis, semuanya gelap.

+++++

Budi dan Emily berdiri mengawasi dari dahan salah satu pohon Beringin. Pohon tua yang terkenal berumur panjang dan berdahan besar serta kuat itu sangat membantu dalam pengawasan. Terlebih lagi, daunnya yang rimbun membuat keduanya tersamarkan.

"Kau yakin akan ini, Emily?"

Emily menganggukkan kepala. Mata cokelatnya menyiratkan kesungguhan. "Aku sangat yakin." ucapnya. Nada semangat kental dalam suara.

Budi mengecek Revolver miliknya sekali lagi, pandangannya beralih pada Emily yang sibuk menjaga kantong panah miliknya. Gadis itu terlalu kuat. Baru saja dia kehilangan temannya, dia sudah bangkit lagi.

"Kau mengingatkanku pada seseorang," bisik Budi "seseorang yang dulunya kucintai."

Emily mengernyitkan kening. "Dulunya? Apa yang terjadi pada orang yang kau cintai itu?"

"Dia meninggal saat melakukan sebuah misi."

"Bagaimana bisa?"

"Kalung itu dari siapa?"

Emily mengernyitkan kening. Bingung karena arus pembicaraan yang tiba-tiba berubah. Dia menatap lurus pada bola mata Budi yang meredup, lelaki itu jelas tidak mau membicarakan hal barusan lebih lanjut.

"Ini kalung pemberian seseorang." jawab Emily.

"Dari siapa? Tomi?"

Emily menggelengkan kepala. "Seseorang bernama Ibu." jawabnya.

+++++

Budi tak mau membicarakan masalah kalung itu lebih lanjut. Emily jelas mengalami Retrograde amnesia. Gadis itu tak bisa mengingat kejadian di masalalu, pasti ada suatu kejadian yang membuatnya jadi seperti ini.

Tetapi, Budi tak mau repot-repot memikirkan masalah amnesia itu untuk saat ini. Emily tetaplah partnernya, meski dia hilang ingatan.

Lagipula, dia masih punya urusan pribadi dengan Don.

Budi melompat duluan dari pohon diikuti dengan Emily. Keduanya berjalan mengendap-mengendap, menuju bagian toilet di sisi lain gudang.

Sesekali, keduanya melihat benang-benang transparan yang membelit di pohon. Tak salah lagi, benang itu benang peledak. Sekali saja kau menyentuh benang itu, tubuhmu akan menjadi setumpuk abu.

Budi membuka jendela salah satu bilik toilet dan masuk ke dalamnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, setelah memastikan tak ada orang barulah dia membantu Emily masuk.

Secara perlahan, Budi menaiki kloset duduk dan membuka bagian langit-langit. Emily -dibantu oleh Budi- masuk ke bagian langit-langit. Disorongkannya tangan kanannya, bermaksud membantu Budi untuk ikut naik.

Tapi lelaki itu berpikiran lain.

Dengan tiba-tiba, dia mendekati wajah Emily dan mengecup kening gadis itu. Sembari tersenyum dia berkata,

"Pergilah, aku punya urusan lain."

Entah kenapa Emily merasakan suatu hal yang membuat dirinya takut. Hal itu terasa sangat dekat.

Lebih tepatnya sesuatu yang membuatnya ketakutan itu ada di hadapannya saat ini.

Tetapi, lamunannya buyar saat wajahnya merasakan kehangatan. Budi memegang kepala Emily dan tiba-tiba mendekatkan wajahnya dengan wajah gadis itu.

Sekelebat kehangatan melingkupi wajahnya. Emily tak mampu menahan lagi, menahan rona merah yang berusaha ia sembunyikan sejak tadi. Pipi kanannya terasa hangat.

Budi melepaskan bibirnya dan tersenyum kecil.

"Pergilah, cepat bantu temanmu itu." bisiknya, lirih.

+++++

Emily merangkak di antara pipa-pipa yang berdebu serta lubang saluran udara yang memancarkan sinar lampu. Sesekali, suara orang terdengar dari lubang saluran itu. Dia menajamkan pendengarannya dan mendapati suara dua orang yang tengah berdebat.

"Hei, pintu utama dibobol!"

"Apa?! Bagaimana bisa?"

"Aku tak tahu, seorang pemuda menerobos ke bawah tanah dengan dua pistol yang tergenggam di tangannya."

"Bagaimana dengan tuan Don?"

"Beliau masih berada di kantornya, protokol keamanan sudah diaktifkan."

"Bagus! Turunkan semua anak buah, usahakan kepung pemuda itu. Jangan sampai dia lolos!!"

"Baik!"

Terdengar derap langkah berlari, kemudian pembicaraan itu berakhir. Emily meneguk ludah, keringat dingin mengucur dari keningnya. Dia tahu, yang dibicarakan oleh dua orang itu adalah Budi yang menerobos masuk demi melonggarkan keamanan anak buah Don.

Emily menggertakkan gigi. Dia sadar, kini nasib para penduduk serta Tomi ada di tangannya. Dia hanya bisa berharap semoga Budi tidak tertangkap.

+++++

Tomi merasa saat ini dirinya tengah berhalusinasi saat melihat Emily yang melompat dari langit-langit dan sedang berbicara di depannya. Kepala yang masih terasa berat ditambah dengan rasa nyeri dari luka membuat Tomi yakin saat ini dirinya tak sedang berkhayal atau semacamnya.

"Tomi! Bangunlah!" bisik Emily. Sesekali dia menggoyangkan bahu lelaki itu.

Tomi membuka matanya lebar-lebar dan mendapati Emily yang menatap dirinya. Gadis itu terlihat khawatir, air mata mengalir dari mata cokelatnya. Tomi menyeka air mata itu dan menyurukkan kepalanya ke leher Emily, kedua tangannya mendekap gadis itu erat-erat. Wangi vanilla dari rambut Emily menyeruak di saluran pernapasannya. Membuat perasaan menjadi tenang.

"Kau kesini ... Sendirian?!" tanya Tomi.

Emily menggelengkan kepala. "Aku pergi dengan Budi," ucapnya, "apa kau tahu dimana penduduk lokal disembunyikan?".

Tomi mengangguk. "Mereka menyembunyikan semua penduduk di sel sebelah." jawabnya.

+++++

Emily memutar-mutar kawat yang dia bawa di dalam lubang gembok. Pikirannya mencoba mengingat-ingat cara membuka gembok yang diajarkan Budi.

Cklek!

Tomi terpana begitu melihat gembok yang terbuka dengan sendirinya. Benda dari besi itu terjatuh begitu saja dan mendarat di lantai dengan suara berdebum.

"Maaf, aku terpaksa memakai kawat. Tidak seperti Budi, aku tak bisa memakai revolver." bisik Emily.

Tomi mengangguk paham. "Sekarang kita kemana?" tanyanya.

Emily membuka pintu sel sepelan yang dia bisa. Setelah memastikan tak ada penjaga, barulah dia keluar.

"Bantu aku melepaskan para penduduk." bisik Emily sambil memberikan Tomi sebuah pistol berperedam.

+++++

To be continued...

Saya tunggu vote dan komentar kalian! :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top