Part 5: THE SIGN

Seorang pria berjas hitam berdiri di salah satu dahan pohon. Tangan kanannya menggenggam kuat sebuah rifle dan tangan kirinya memegang sebuah teropong. Headset terpasang ditelinganya.

"Sudah bos, dia sudah saya bereskan." bisiknya.

"Bagus, sekarang rencana kedua." balas seseorang dari arah headset itu.

"Baik." bisiknya lagi.

Kemudian pria itu berlari menuju tempat lain di hutan.

+++++

"Kau baik-baik saja?" bisik Budi.

"Me... Mestinya aku yang tanya begitu." balas Emily.

Saat ini, keduanya tengah bersembunyi di balik semak belukar. Emily menempel di tanah, sedangkan Budi menutupi tubuh gadis itu dengan dirinya sendiri.

Emily merasa pipinya kembali memerah. Terutama saat melihat Budi yang wajahnya terasa sangat dekat. Lebih tepatnya, memang dekat.

Sedangkan Budi sendiri saat ini tengah menahan gairah mati-matian. Gairah untuk merasakan bibir Emily yang merah muda alami. Rasa yang menggebu-gebu ini tak pernah dirasakan oleh Budi sebelumnya.

"Tunggu, apakah ini..." gumamnya "tanda-tanda 'itu'?". Pikirannya buyar saat Emily berbisik padanya.

"Budi, rasanya panas. Bisa kamu geser dulu?"

Budi menggeser tubuhnya. Membiarkan Emily duduk dan mengambil udara segar. Gadis itu melirik ke salah satu pohon dan mendapati sebutir peluru tajam menancap disana.

"Maaf."

Emily menoleh dan melihat Budi yang menundukkan kepalanya.

"Apa maksudmu?" tanya Emily.

"Kau tahu... Aku membuatmu jatuh?" ucapnya.

Emily membelalakkan matanya, sebenarnya dia ingin tertawa. Tapi Budi pasti akan merasa tersinggung.

"Astaga, kupikir ada apa! Soal itu tak masalah!" balas Emily sambil tersenyum.

DEG... DEG... DEG.

Budi menyentuh dadanya tepat di bagian jantung. Detak itu makin kencang terutama saat melihat wajah Emily. Tak salah lagi, pikirnya. Ini tandanya.

Tanda bahwa gadis itu adalah partnernya.

+++++

"Masih jauh ya Budi?"

"Sepertinya kita sudah dekat."

Budi dan Emily kembali menelusuri hutan. Kali ini jalan kaki, karena tenaga keduanya sudah terserap akibat pelarian tadi. Budi menyibak semak belukar dan mengintip lewat sela-sela daun.

"Keadaannya aman, ayo." bisiknya sambil menggenggam tangan Emily.

Gadis itu memegang tangan Budi kuat-kuat. Selain takut tersesat, dia juga tak terlalu mengenal bagian hutan yang satu ini. Genggaman itu membuat jantung Budi semakin menggila hingga dia tak lagi memperhatikan keadaan sekitar dan tersandung akar pohon.

BRUK!!

Dia meringis saat luka di kakinya kembali terbuka. Perban putih yang membalutnya sudah berwarna merah karena darah. Rasa nyeri dari kaki mulai terasa.

"Biar kuobati, aku membawa perban dan alkohol."

Budi melihat Emily yang melepas tas pinggangnya dan mengambil beberapa barang dari dalam. Segulung perban, sebotol alkohol, dan jarum jahit.

"Ngg... Aku," Emily menatap Budi dengan wajah bersalah.

"Kenapa?" tanya Budi

"Aku lupa bawa obat pereda rasa nyeri."

Budi meneguk ludah, rasa sakit sudah menjadi kebiasaan. Tapi bersama gadis ini, adalah cobaan terberatnya sepanjang hidup. Kedua, setelah peristiwa beberapa tahun yang lalu.

"Tak masalah, aku bisa menahannya." balasnya, yakin.

Emily menganggukkan kepala dan mulai menjahit luka di kaki Budi yang terbuka. Sementara Emily mengobati, Budi malah terus menatap gadis itu. Mata cokelatnya yang cerah, pipi yang tirus tapi tidak terlalu kurus, dan dia meneguk ludahnya saat pandangannya turun ke bibir.

Tuhan, ini benar-benar cobaan berat. Dia bahkan sempat berpikir apakah ini karma karena dia selalu debat (lebih tepatnya berkelahi) dengan Roni.

"Sudah selesai." bisik Emily, membuat konsentrasi Budi terpecah.

"Eh, benarkah?"

Emily mengernyit. "Kau kenapa? Melamun?"

Budi menggeleng. "Tidak, tak ada apa-apa."

Kemudian, Emily berdiri sambil menepuk-nepuk celananya yang penuh debu. Dia menarik tangan Budi, membantu lelaki itu untuk berdiri.

"Ayo, tendaku disebelah sini." ucap Budi.

+++++

Tenda yang terbuat dari kain terpal tipis hitam legam itu berdiri tepat di dahan pohon yang saling bertumpuk. Emily yang menatapnya dari bawah bahkan terkagum-kagum melihatnya. Budi melempar salah satu dahan pohon dengan batu.

"Hei, apa yang kau lakukan?!" ucap Emily.

Seringaian terlihat di wajah Budi. "Lihat saja sendiri."

Tiba-tiba sebuah tangga tali keluar begitu saja dari dalam tenda dan menjuntai hingga ke bawah. Budi mulai menaiki tangga tali, diikuti dengan Emily dibawahnya.

"Wow, tendamu ternyata luas!" puji Emily saat keduanya telah masuk kedalam tenda. Dalam sekejap, pipi Budi merona merah. Jantungnya kembali berdebar-debar.

"Hanya pujian, dan detak jantungku sudah seribut ini? Yang benar saja!" gumam Budi.

+++++

"Apa yang kau lakukan dengan si 'mata kuning'?"

"Saya sudah membereskan anak itu tuan Don."

"Bagus, bagaimana dengan si 'topeng'?"

"Dia masih belum ditemukan."

"Apa?!"

"Tapi," dia menyeringai "kami menemukan teman-temannya."

+++++

Kepulan asap hitam mengepul dari kejauhan. Aroma kayu terbakar mulai menyebar ke bagian hutan yang lain. Pupil cokelat Emily melebar saat melihat sinar oranye dari bagian tengah hutan.

"Budi, itu.... Kebakaran kan?"

Lelaki itu ikut mengintip dari leher Emily, matanya ikut membelalak saat melihat bagian hutan yang berwarna oranye itu. Tak salah lagi, ada sesuatu yang tengah terbakar disana.

Lebih tepatnya, dibakar.

Budi langsung merangkul Emily dan menahan gadis itu di dalam pelukannya saat dia mencoba keluar dari tenda. Emily meronta-ronta, mencoba kabur dari pelukan Budi.

"Budi, lepaskan aku! Aku harus cepat kesana! Mereka tidak akan selamat! Mereka harus..."

Ucapannya berhenti dan tangisannya pecah di dada Budi. Lelaki itu mengusap rambut Emily sambil sesekali mengecup pucuk kepala gadis itu.

Budi mendekati wajah Emily dan berbisik di telinganya."Jika kau pergi kesana, tentara bayaran Don akan menangkap kita."

"Kita?! Aku tak pernah bermaksud membawamu!" balas Emily hampir berteriak.

"Tapi aku tetap akan mengikutimu." sahut Budi.

"Untuk apa? Kita bahkan bukan teman! Kita bahkan tidak terlalu saling mengenal!"

"Karena aku tak akan pernah membiarkanmu sendirian!"
Teriak Budi.

Dalam sekejap, keduanya terdiam. Saling menatap dengan wajah yang tak dapat di artikan. Hingga akhirnya Emily berbicara dengan nada yang lebih pelan.

"Apa maksudmu?"

Budi mengernyitkan kening. "Maksudku? Tentang apa?"

"Kau tak akan pernah membiarkanku sendirian, kenapa?"

Sontak, semburat merah muncul di kedua pipi Budi. Lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan balik menatap Emily.

"Aku tak mau melihatmu terluka, itu saja." ucap Budi.

"Ooh, oke aku paham." balas Emily.

Mereka kembali terdiam hingga Budi mengambil selembar kertas dari dalam tasnya. Dia membentangkan kertas itu di depan Emily dan menunjuk bagian tengah kertas.

"Aku sudah menyiapkan rencana penyerangan, kau bisa menggunakan senjata?" tanya Budi dengan seringaian kejam.

+++++

TO BE CONTINUED...

Ditunggu vote dan komentar kalian!! XDXD

PERSETAN DENGAN MIRROR WEB! MULAI PART INI DAN SETERUSNYA SAYA AKAN MEMPOST SECARA PUBLIK! (Catatan: bab sebelumnya tetap PRIVATE tapinya XD)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top