Part 4: SECRET ROOM

Haleoo!!

Bab ini sengaja saya bikin PUBLIK, karena saya mau semuanya bisa baca dan bisa komen dengan nyaman (soalnya kalau diprivate, komen dan vote kalian gak bakal ada di notif saya).

Saya tunggu vote dan komentar kalian!
Btw, makasih banyak bagi yang udah baca sampai sejauh ini. Sebenarnya, saya ada kepikiran buat menghapus saja cerita ini dari wattpad. Tapi, mengingat perjuangan saya yang sudah sejauh ini... Jadi terasa sayang kalau dihapus begitu saja.

Last, jangan bunuh saya kalau akhir bab ini hanging oke? *gak ada jaminan, thor* #huanjir.

+++++

Air menetes-netes dari rambut Budi. Pemuda itu menatap sekelompok remaja didepannya dengan wajah garang. Dia dibangunkan dari tidurnya dengan segelas air, yang tentu saja membuatnya kesal.

Kedua tangannya diikat dengan tali di sebuah kursi. Matanya melirik ke arah Emily yang tengah duduk santai di sofa. Gadis itu sesekali menatap dirinya dengan sorot mata yang dingin.

"Apa kau anak buah Don?" tanya seorang pemuda berambut hitam dihadapannya.

Budi hanya diam, dan lagi-lagi sebuah tamparan mendarat di pipinya. Dari bibirnya sudah mengalir setetes darah, tetapi dia tetap tak mau bicara.

"Sudahlah Tomi, kalau dia tak mau bicara kita biarkan saja." ucap pemuda satunya.

"Kalian siapa?" tanya Budi, nadanya pelan tapi berhasil mengejutkan sekelompok remaja itu.

"Kau tak perlu tau siapa kami!" seru si pemuda yang menamparnya tadi.

Budi terkekeh kecil. "Kalian sepertinya sangat membenci Don ya?"

"Tentu saja!" sahut si pemuda, lagi.

"Tunggu! Apa kau tahu siapa Don? Jika kau tahu aku akan melepaskanmu." ucap Emily, tiba-tiba

"Emi! Apa yang kau..."

Emily mengangkat tangannya ke hadapan si pemuda sambil berkata, "Ssst! Tenanglah Tomi! Aku jamin dia orang baik, lagipula aku sudah menggeledah tubuhnya. Tak ada senjata apapun di pakaiannya."

Pemuda yang bernama Tomi itu langsung mundur dan membiarkan Emily berdiri di hadapan Budi.

"Apa kau tahu siapa itu Don? Budi Ramadan?" tanya Emily, sekali lagi.

Budi balik menatap Emily, sorot matanya yang tajam nyaris membuat gadis itu bergetar ketakutan.

"Ya, aku tahu siapa Don. Dia adalah mafia narkoba yang mendirikan gudang sekaligus markasnya di tengah hutan ini. Aku ditugaskan untuk menyelidiki pria itu." jawab Budi.

Mereka semua tercengang, terlebih lagi Emily. Gadis itu kelihatan sangat kaget.

"Tau dari mana?" bisik gadis itu.

"Satu hal lagi," ucap Budi "Kalian tak perlu repot-repot mengambil pisau untuk membuka ikatanku,"

SREEETT!

Tali yang membelenggu tangannya, putus. Menambah keterkejutan Emily dan yang lain.

"Karena sejak tadi aku sudah memutus tali ini."

+++++

"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya Roni seusai membaca e-mail di laptop Ren.

"Kita hanya bisa menunggu disini, lagipula aku akan terus mengontak Budi." jawab Ren.

"Tak bisakah kita pergi kesana?" tanya Eko dengan wajah memelas.

"Tidak bisa! Kita dilarang untuk ikut campur dalam kasus ini. Jujur saja, aku bahkan baru kali ini mendapat e-mail seperti itu dari mereka." ucap Ren.

"Mereka?" tanya Eko.

"Black Hoodie," sahut Roni "mereka adalah kelompok bertudung hitam yang mengawasi langit negara ini dengan mata elang mereka."

"Sekelam gagak, setajam elang itulah mereka." ucap Ren.

"Ada desas-desus dari bawah tanah yang dulu pernah kudengar tentang mereka." bisik Roni.

"Oh ya? Apa itu?" Ren ikut berbisik.

"Ada berita yang mengatakan bahwa sebenarnya para anggota Black Hoodie adalah mantan dari Underground Bullet."

+++++

Budi menjatuhkan tali yang mengikat tangannya tadi ke lantai. Dengan kecepatan yang mengagumkan, dia berlari melewati Tomi, menghindari tendangan dan pukulan pemuda itu.

Serangan demi serangan teman-teman Tomi pun, berhasil dia hindari tanpa membalas.

Tapi saat melewati Emily, dia membisikkan sesuatu di telinga gadis itu dengan senyum mengembang.

Tomi yang melihat hal itu memelototkan matanya pada Budi, tapi pemuda itu terlihat tak peduli dan berlari keluar dari markas mereka.

+++++

Setelah kepergian Budi, Emily merasa kakinya sangat lemas dan terjatuh ke lantai. Tatapan dingin mata pemuda itu masih membekas di benaknya, mau tak mau membuat tubuhnya merinding.

"Kau tak apa-apa Emi?" tanya Tomi.

Emily menggelengkan kepala. "Tak apa-apa." ucapnya dengan senyum mengembang di wajah.

"Baguslah," ucap Tomi "lalu apa yang dikatakannya tadi?".

"Mengatakan apa?" tanya Emily.

Tomi menggelengkan kepala. "Abaikan saja ucapanku tadi," ucapnya "Apakah sup jamur buatanmu masih ada?".

+++++

Budi berlari melintasi hutan belantara. Langit sudah hampir gelap. Dia sama sekali tak dapat berhenti. Dia terlanjur mengatakannya pada Emily. Janji tak dapat diingkari.

Setelah berlari -entah berapa lama-, dia berhasil sampai di tempat perjanjian. Pohon besar tempat dia terjatuh dari tebing tiga hari yang lalu.

Saat ini dia hanya mengenakan selembar kemeja putih dan celana jeans. Tangannya membawa jaket abu-abu, dan di bahunya sudah tercangklong tas ransel miliknya.

"Sekarang, tinggal menunggunya." gumam Budi.

+++++

(Emily POV)

Aku membagikan sisa sup jamur yang telah dihangatkan itu pada Tomi dan yang lain. Selain Tomi, ada satu lelaki dan dua perempuan disini. Mereka semua teman-teman Tomi dan aku sendiri tidak terlalu mengenali mereka.

Karena disini, Tomi lah satu-satunya sahabat terbaik bagiku.

Setelah selesai membagikan sup, tiba-tiba aku teringat akan bisikan pemuda itu. Bisikan yang hanya sekilas, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas.

Kutunggu kau di tempat kita pertama kali bertemu. Jika kau datang, kau akan mendapatkan kembali kalungmu yang berwarna kuning cerah itu.

"Hei Emily, dimana kalungmu?" tanya Riki, sambil menunjukku.

Aku spontan melihat leherku dan baru kusadari kalung itu sudah menghilang! Pasti Budi yang mengambilnya!

"Astaga!" pekikku "Pasti terjatuh di hutan waktu aku mencari jamur tadi, aku keluar dulu ya?" ucapku sambil mengambil senter dan berlari menuju pintu.

Tepat sebelum aku berhasil keluar, sebuah tangan mendarat di bahuku. Aku menoleh dan melihat Tomi yang menatapku tajam.

"Kenapa Tomi?" tanyaku.

Dia melepaskan tangannya dibahuku dan tersenyum.

"Berhati-hatilah, diluar banyak penjahat!" ucapnya,

"Iya!" sahutku sambil berlari keluar.

Langit sudah hampir gelap dan aku sama sekali tak menyadari...

Bahwa itu adalah sentuhan sekaligus pembicaraan terakhir Tomi dengan diriku.

+++++

Benar dugaanku, lelaki itu sudah berdiri di bawah pohon besar yang dimaksud. Wajahnya terlihat letih, kemeja putih miliknya tersayat di beberapa tempat. Pasti karena tanaman liar, begitu pikirku.

Matanya yang kuning terang itu menatapku tajam. Mata yang mengingatkanku dengan liontin itu.

"Jadi, mana benda itu?" tanyaku sambil balik menatapnya dengan tajam.

Dia mengangkat tangan kanannya, kalung dengan liontin berbentuk hexagon dengan warna kuning menyala. Liontin itu terlihat bersinar akibat terkena cahaya bulan.

Budi menurunkan tangannya secepat kilat entah karena apa. Keningku mengernyit saat menyadari raut wajahnya yang berubah drastis.

"Ada apa?" tanyaku

"Sssttt!!" bisiknya dengan jari telunjuk yang menutup bibir. Dia menggenggam tanganku dan tiba-tiba saja langsung berlari. Sambil berlari, dia mengenakan jaket hitam yang diambilnya dari tas.

"Hei! Apa yang kau lakukan?!" bisikku dengan panik. Apa-apaan dia ini?

"Diamlah! Mereka mengikutimu tau!" balasnya

"Mereka? Siapa mereka?"

"Pembunuh sewaan Don!" bisiknya tanpa menoleh padaku.

Astaga, selama ini aku diikuti?!

+++++

(Author POV)

Keduanya berlari melewati hutan tanpa berhenti. Berkali-kali Budi nyaris tersandung akar pohon yang mulai tak terlihat karena gelap. Beruntung, sesekali sinar bulan menyinari hutan. Membantu keduanya mencari jalan.

"Kita mau kemana sih?" tanya Emily, sesekali dia menengok ke belakang.

"Tendaku, ada di sisi lain hutan." bisik Budi.

PLAK!

Pupil mata Budi membesar. Matanya menatap tajam ke arah Emily yang menatapnya dengan tajam juga. Gadis itu melepaskan tangannya dari genggaman Budi. Membuat lelaki itu merasa sangat ingin mengangkat gadis itu dan menggendongnya menuju tenda.

Jika itu benar-benar terjadi, Emily pasti akan membunuhnya.

SRAK! SRAK! SRAK!

Suara langkah kaki dari kejauhan menembus pendengaran Budi. Emily menyadari raut wajah Budi yang mengeras, membuatnya merinding. Terutama saat laki-laki itu mendekat ke arahnya. Kepalanya menunduk hingga wajah keduanya kini hanya terpisahkan jarak beberapa senti lagi.

"Budi... Ada apa?" tanya Emily, gadis itu merasa ada suatu hal yang membuat wajahnya memerah. Tapi dia tak mengenal rasa itu.

Pipi Budi juga memerah, tangannya terangkat spontan dan menyentuh kening lelaki itu.

"Kau demam ya?" tanya Emily, lagi.

Budi menggelengkan kepala dan...

























































DOR!

+++++

TO BE CONTINUED...

Ditunggu vote dan komentar kalian! :)



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top