Part 3: Eyes On Fire

Haleoo!!

Mulmednya lagu Eyes On Fire dari Blue Fondation. Lagunya pas sih sama bab ini jadi saya pasang deh :). Btw, bab ini saya dedikasikan untuk semua pembaca setia seri UB terutama buat yang gak rela kalau cerita ini diplagiat.

Rasanya terima kasih saja tidak cukup untuk kalian :'''')

Berkat kalian, saya selalu semangat buat menulis. Seolah rasanya tak ada yang sia-sia.

Salam,
HunyutheHamster27

+++++

DIA MERASA MATANYA TENGAH TERBAKAR...

KARENA TATAPAN GADIS ITU...

+++++

Gadis itu menatap mata Budi yang kuning terang dan kembali tersenyum saat menyadari tubuh lelaki itu terdiam kaku.

"Kau tidak hanya terpeleset kan?" tanyanya.

"Kau, orang bertopeng itu?" Budi balik bertanya.

Si gadis menghela napas. "Tak kusangka, identitasku terbongkar secepat ini." ucapnya dengan nada kecewa.

"Itu semua karena matamu," ucap Budi "Mata yang cokelat terang itu."

"Kau sendiri, matamu berwarna kuning terang. Warna yang unik." sahutnya.

Entah karena minus matanya yang semakin bertambah atau dia memang benar-benar melihat semburat merah di wajah si gadis.

"Ng... Namaku Budi Ramadan, kau?" ucap Budi sambil menatap si gadis.

"Namaku Emily, hanya Emily." jawabnya dengan kepala tertunduk.

+++++

(Budi POV)

Aku mengernyitkan kening, untuk apa seorang remaja -ditambah dengan fakta bahwa dia perempuan-, tinggal disebuah gubuk di hutan ini?

"Hanya Emily?" tanyaku "Apa maksudmu?"

Gadis itu, maksudku Emily. Mengangkat wajahnya dan kembali menatapku.

"Aku ingat kalau aku punya nama belakang, tapi aku lupa. Aku hanya mengingat nama depanku." jawabnya.

"Kenapa? Kenapa kau sampai lupa?"

"Aku... Entahlah," ucapnya pelan "Omong-omong, kenapa kau ada di hutan ini?"

Dia jelas mengalihkan perhatian, "Hanya sebuah urusan kecil." sahutku "Kau sendiri?"

"Aku mengemban tugas penting." ucapnya.

"Tugas apa itu?" tanyaku.

"Maaf Budi, aku tak bisa mengatakannya. Satu hal lagi," ucapnya sambil menatapku "tempatku ini anggap saja rumah sendiri."

+++++

(Author POV)

"Ayo buka mulutmu!"

"Aku tidak suka jamur!!"

"Astaga! Kau ini seperti anak kecil saja!"

"Sudah kubilang, aku benci jamur!"

Emily mengangkat sendok yang berisi sup jamur di hadapan Budi yang menutup mulut dan wajahnya dengan tangan. Gadis itu menatap Budi dengan garang yang dibalas pemuda itu dengan tatapan dingin serta menusuk.

Keduanya terus bertatapan seperti itu dan Emily langsung menyumpalkan sendok berisi sup ke dalam mulut Budi yang membuat pemuda itu terpaksa memakannya.

"Nah, bagaimana rasanya?" tanya Emily sambil berkacak pinggang.

Terasa berat bagi Budi untuk mengakuinya, tapi akhirnya dia berkata

"Enak."

Emily mengambil tempat di depan Budi yang sedang mengalihkan wajahnya ke arah jendela. Gadis itu tersenyum dan mengangkat mangkuk berisi sup yang masih mengepul panas ke arah Budi.

"Makanlah. Omong-omong, jangan membenci suatu makanan sebelum tahu bagaimana rasanya. Oke?" ucapnya.

"Iya, aku tahu." sahut Budi sambil menyambut mangkuk itu dan mulai memakan sup di dalamnya.

Emily berdiri lalu berjalan ke arah pintu.

"Hei, kau mau kemana?" tanya Budi.

"Pergi sebentar, aku mau mencari jamur lagi." jawabnya sambil menutup pintu.

+++++

Budi menaruh mangkuk bekas sup yang sudah kosong ke meja disamping tempat tidur. Matanya menatap ke sekliling ruangan. Kamar itu sangat sederhana, hanya terdapat sebuah tempat tidur, meja kecil, lemari pakaian, dan sebuah kotak kayu besar yang terletak dibelakang pintu.

Dia mengambil kayu penopang yang dibuatkan Emily. Kakinya yang terluka, membuat dirinya sulit berjalan.

Budi berjalan menuju pintu dan membuka pintu tersebut. Matanya menelusuri bagian rumah Emily yang keseluruhannya dibuat dari kayu, bahkan atapnya dibuat dari daun-daun pohon pisang.

Dia berbelok ke kiri dan mendapati bagian dapur. Masih terlihat sisa-sisa kayu bakar bekas Emily memasak tadi. Kuali kecil yang separuhnya masih terisi sup, dan sebuah galon yang penuh berisi air. Budi mengambil gelas dari rak cuci, mengisinya dengan air, dan meminumnya hingga tandas.

Kemudian, dia keluar dari dapur dan menuju ke bagian lain rumah. Dia berhenti di depan jendela dan menghirup udara segar sejenak. Kakinya melangkah mundur dan tanpa sengaja menginjak sesuatu yang membuat langkahnya limbung dan terjatuh.

BRAK!!

GRIEETTT!

Budi meringis, perban yang membalut kakinya terlepas. Setelah memperbaiki ikatannya, dia baru menyadari benda apa yang barusan dia injak.

Sebuah tombol.

Untuk membuka pintu rahasia.

+++++

Sementara itu, disisi lain hutan. Emily yang memakai topeng dan jubah hitamnya, tengah fokus mengamati sebuah bangunan. Satu-satunya bangunan dari bata yang ada di tengah hutan tersebut.

Gudang milik Don Buos.

Sudah siang hari, tapi tak terlihat aktivitas apapun di depan bangunan.

"Terlalu sepi." gumam Emily. Tangannya merogoh panah dari kantong di bahunya dan menembakkannya ke arah pintu depan gudang.

Hening.

Tak ada reaksi apapun.

Emily kembali menembakkan panah. Tapi sekali lagi tak ada alarm, jebakan, ataupun tembakan yang mengarah padanya.

"Ini pasti jebakan!" gumamnya "sebaiknya aku kembali ke rumah."

+++++

Budi memasuki pintu rahasia itu. Tidak ada anak tangga, hanya ada lorong panjang dan gelap yang seolah-olah tak ada ujungnya. Dia terus berjalan hingga terlihat cahaya temaram yang kelihatannya adalah ujung dari lorong.

Suara orang yang tengah berbisik-bisik terdengar dari sana. Budi mendekati cahaya itu dan mendengarkan suara-suara yang terdengar.

"Bagaimana keadaan desa?"

"Buruk, semuanya hancur."

"Tidak salah lagi, Don yang melakukan semuanya."

"Tapi, mereka sama sekali tak bersalah!"

"Aku tahu itu! Omong-omong, Emily membawa seorang pemuda ke sini tadi pagi."

"Apa?! Pemuda?!"

"Ya, tubuhnya penuh luka."

"Apa dia tahu soal markas ini?"

"Tidak, dia tidak mungkin tahu."

"Kalau dia tahu bagaimana?"

"Jika dia mata-mata Don, akan kubunuh dia!"

Budi langsung berjalan cepat keluar dari lorong dan sesampainya dia diluar, tombol rahasia itu langsung dia tekan yang membuat pintu itu tertutup dan menyatu dengan warna dinding.

Dia kembali berjalan -kali ini dengan penopang- menuju kamar tidur. Dia baru saja berbaring di kasur saat Emily membuka pintu depan rumah. Gadis itu membuka pintu kamar Budi dan mendapati lelaki itu tengah menatap ke luar jendela.

"Hai, bagaimana lukanya?" tanya Emily.

"Masih sakit." sahut Budi.

Emily mendekati Budi dan duduk di kasur tepat di sebelahnya. Gadis itu membawa segelas air dan menaruhnya di meja.

"Minumlah, itu untukmu." tawarnya.

Budi menggelengkan kepala. "Aku tidak haus." ucapnya.

"Kalau begitu, maafkan aku ya."

Budi mengernyitkan kening. "Apa maksud..."

NG?!

BRAK! GUSRAK!

Belum selesai dia berbicara, saputangan putih milik Emily sudah membungkamnya. Lehernya dicekik dan kakinya yang terluka digenggam kuat oleh gadis itu. Membuat Budi meringis kesakitan, napasnya sudah di ambang batas dan dengan terpaksa dia menarik napas di antara saputangan yang menutup separuh wajahnya itu.

Tak salah lagi, beberapa detik kemudian dia tertidur nyenyak. Pengaruh dari obat bius yang dioleskan Emily di saputangan tersebut.

Tak lama kemudian, sekelompok remaja memasuki kamar tersebut dan menggotong Budi menuju kamar rahasia.

+++++

Disaat yang sama, Ren, Roni, dan Eko tengah berembuk di ruang rapat.

"Aku sudah menghubungi Budi beberapa kali, tapi tetap tak diangkat." ucap Ren memulai pembicaraan.

"Mungkin dia tengah menyelidiki?" sahut Eko.

"Atau dia kehabisan pulsa?" tanya Roni.

"Roni, ini sudah bukan zamannya habis pulsa!" balas Ren.

Roni nyengir lebar. "maaf." bisiknya.

"Bagaimana kalau kita lacak dulu sinyal ponsel miliknya?" Eko memberi saran.

"Ide bagus!" sahut Roni.

"Aku setuju! Kalau begitu kita lakukan saja sekarang." ucap Ren sambil mengeluarkan laptopnya. Jari-jarinya menari dengan lincah di atas keyboard, membuka aplikasi yang dimaksud dan memperlihatkan sebuah radar ke hadapan Roni serta Eko.

"Lihat," ucapnya sambil menunjuk radar. "ada dua sinyal milik Budi yang berada di dua tempat berbeda. Sinyal pertama berasal dari laptopnya yang berada di pinggir hutan dan sinyal kedua berasal dari walkie-talkie yang saat ini berada di tengah hutan. Apa pendapat kalian?" tanya Ren seraya menatap Roni dan Eko

"Kita harus kesana." ucap Roni.

TRING!

Tiba-tiba sebuah e-mail masuk ke laptop Ren. Pemuda itu melihat isi e-mail dengan wajah kaget.

"E-mail dari siapa?" tanya Eko.

"Ini... Dari kelompok Black Hoodie." jawab Ren, keringat dingin menetes dari keningnya.

"Kenapa? Mereka memberi misi baru lagi?" tanya Roni bersemangat.

Ren menggelengkan kepalanya. "Bukan, mereka menyuruh kita untuk tidak ikut campur dalam kasus kali ini."

+++++

TO BE CONTINUED...



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top