Part 11: Arrival

Maaf, aku tidak bisa...
Tidak bisa jauh-jauh darimu...

(Emily to Budi)

+++++

"Maaf, aku tidak bisa." ucap Emily.

Budi melonggarkan pelukannya. "Kenapa?"

"Karena aku ... Tidak bisa jauh-jauh darimu."

DEG!

Mata kuning terang itu sontak melebar. Jantungnya berdegup kencang. Kedua pipinya langsung memerah. Dia menatap Emily, mencoba mencari kebohongan di mata cokelat itu. Tapi hasilnya nihil.

Gadis itu jujur.

"Kau serius?!" teriak Budi, tiba-tiba.

Emily merasa telinganya berdengung. "Tentu saja!" balasnya.

Budi melepas rangkulannya dan membalik tubuh gadis itu. Berhadapan satu sama lain. Mata saling beradu, tanpa penghalang apapun.

Budi memulai duluan. Dia mendekatkan wajahnya dengan Emily. Tangannya yang bergetar meremas bahu gadis itu. Napasnya berhembus melewati telinga, membuat bulu kuduk Emily meremang.

"Budi, kamu mau ap- mmpph!"

Budi langsung memerangkap bibir Emily. Tak peduli lagi ada Ren di belakangnya, dunia akan kiamat, atau semacamnya. Yang jelas, dia sudah tak tahan lagi untuk menandai gadis yang berhasil membuat matanya seolah terbakar ini.

+++++

Emily menatap pintu otomatis bandara dengan tatapan horor. Gadis itu melihat si pintu seolah-olah baru saja melihat hantu. Ren yang melihatnya, menganga lebar dan Budi hanya tersenyum kecil. Dia paham gadis itu terlalu lama tinggal di hutan hingga tak kenal dengan teknologi di kota.

Bahkan melihat robot selamat datang di pintu depan tadi saja dia sudah ketakutan setengah mati.

Emily menarik lengan jaket Budi dan merentangkan kedua tangannya ke udara.

"Jadi ini sudah di Jakarta?" tanyanya.

Budi mengangguk. "Iya."

"Besar sekali." keluhnya.

Ren terbahak. "Kau baru melihat bandaranya, belum melihat pusat kota."

Mata Emily terlihat bersinar. "Benarkah?" tanyanya. "Apa saja yang ada di sana?"

Budi menggengam tangan Emily dan tersenyum. "Kau akan melihatnya nanti, sekarang kita ke rumah dulu."

+++++

Ren berjalan mendahului Budi dan Emily. Pemuda itu sesekali mengecek ponselnya yang terus berdering. Entah berapa kali senter yang dipegangnya nyaris terjatuh.

Sudah belasan kali Emily tersandung lumut. Genangan air di bawah tanah sama sekali tak terdeteksi, bagaikan jebakan.

"Hei Budi?" tanya Ren.

"Ya?"

"Kau tahu? Sebenarnya saat kau pergi beberapa hari lalu, aku masih terjaga dan tengah berada di ruang CCTV."

Budi mengernyitkan kening. "Lalu?"

"Aku memeriksa area sekitar sini dan menemukan sesuatu yang ... Bisa dibilang agak ganjil."

"Ganjil? Kau menemukan mata-mata?"

Ren menelengkan kepala. "Bisa dibilang begitu."

Emily memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Matanya melebar saat melihat onggokan hijau di langit-langit. Puluhan benda berbentuk bulat panjang yang menghiasi lantai maupun langit-langit. Ditambah lagi, genangan air yang tak pernah kering.

Dia menarik lengan jaket Budi, membuat pemuda itu menoleh.

"Ada apa, Emily?"

"Itu apa?" dia menunjuk benda berbentuk bulat panjang tadi.

Budi mendongak ke atas dan tersenyum. "Itu namanya pipa," jawabnya, "pipa itu untuk saluran air di permukaan. Selain air, pipa juga bisa menyalurkan udara serta limbah untuk nantinya dibuang ke bawah tanah."

Emily tersenyum kecil. "Oke, aku paham!" ucapnya, girang.

Sedangkan Ren mengernyit heran, dia menatap Budi. Tapi pemuda itu balik menatap Ren yang mengisyaratkan -nanti kujelaskan- pada lelaki itu.

Sekarang, ketiganya sudah berdiri tepat di depan pintu markas. Sebuah pintu besi yang sangat tebal juga kokoh tanpa karat sedikitpun karena sering diperbaiki dan juga sering hancur.

"Ini rumahmu?" tanya Emily, dia terlihat kaget sekaligus heran.

Budi mengangguk. "Selamat datang di rumah kami."

+++++

Emily menunjuk gagang pintu yang berbentuk seperti bagian setir pada kapal, lalu bertanya

"Apa ini gagangnya?"

Budi menggelengkan kepala. "Bukan."

"Lalu yang mana?"

Budi berjalan mendekati bagian pinggir pintu. Merentangkan tangan kanannya ke atas dan menekan engsel pintu tersebut.

KRIIEETT! BRAK!

Begitulah suara yang terdengar begitu pintu dibuka. Setelah pintu terbuka, cahaya dari dalam langsung menyinari ketiganya.

Ren masuk duluan, diikuti Emily dan Budi.

"WELCOME HOME!!"

Keduanya disambut oleh seluruh anggota UB, disertai dengan potongan kertas warna-warni. Budi membelalakkan mata dan Emily langsung bersembunyi di balik punggung lelaki itu.

"Ada apa ini? Apa Eko ulang tahun?" tanya Budi dengan wajah bingung.

Eko yang sedang mengangkat kue cake berwarna kuning langsung menepuk keningnya dengan frustasi.

"Dasar bodoh! Ulang tahunku masih lama!"

Budi menunjuk kue yang dipegang Eko. "Lalu itu buat apa?"

"Kue ini untuk kalian," ucap Ren, "selamat buat yang baru aja dapat partner setelah seribu tahun lamanya!"

Budi memelototi Ren yang justru bersiul senang. Lalu dia memegang lengan Emily, menarik tubuhnya dan merangkul pinggang gadis itu.

"Maaf, dia agak pemalu." ucap Budi.

Wajah Emily sudah semerah kepiting rebus karena lengan Budi yang melingkari pinggangnya. Ditambah lagi teman-teman Budi yang menatap dirinya dengan tatapan penasaran. Dia tak terbiasa dengan keadaan seperti ini.

"Hai, siapa namamu?"

Emily mendongak dan melihat seorang gadis yang sebaya dengannya. Rambutnya diikat ekor kuda, matanya cokelat gelap berbeda dengan dirinya yang cokelat terang dan matanya sempit. Gadis itu menyurungkan tangannya, Emily menatap bingung tangan itu hingga dia berkata

"Namaku Rinka Aurora, salam kenal!"

Emily menjabat tangan itu, reflek. Padahal dia tak tahu apa yang harus dilakukan dengan tangan gadis itu. Budi yang melihatnya diam-diam, tersenyum miris. Dia tahu, gadis itu harus diajari banyak hal.

Tapi hal itu tak masalah baginya.

+++++

Budi menekan saklar lampu dan kamarnya langsung terang benderang. Kamar itu lumayan luas. Cukup untuk satu kasur ukuran Queen, sebuah televisi, dan tiga buah lemari.

"Benda apa itu?" Emily menunjuk lemari yang ada di ujung kamar.

"Itu namanya lemari," jawab Budi, "untuk menyimpan barang-barang. Kau tak punya itu di rumahmu yang dulu?"

Emily menganggukkan kepala. "Punya, tapi Tomi tidak menjelaskan benda apa itu."

Budi menunjuk televisi yang ada di depan kasur. "Itu namanya telev-"

Meong~~ Meongg~

Budi menelengkan kepalanya dan mendapati Emily yang tengah bermain dengan kucingnya. Emily mengangkat kucing berwarna hitam itu dan tersenyum.

"Mata kucing ini sama denganmu." ucap Emily yang membuat kucing itu menggeram. Dia terlihat marah.

Budi tertawa, membuat kucing itu tambah kesal. "Dia selalu marah kalau matanya disandingkan denganku. Kecuali kau mau dicakar olehnya seperti Roni."

Emily mengernyit. "Kak Roni pernah kena cakar?"

Budi mengangguk. "Bisa dibilang sebuah pembalasan yang manis." lalu dia terkekeh.

Emily mengelus rambut-rambut pendek si kucing. "Apa dia punya nama?" tanyanya.

"Ya, namanya Holmes." kata Budi. Dia melepas sepatunya dan menaruh benda itu ke rak.

Holmes menggeram tak senang saat Budi mengangkat tubuhnya dan menaruhnya ke atas kasur. Emily melepas sepatunya dan melompat ke kasur itu, membuat Holmes terlontar ke udara.

Kucing itu mengeong senang saat Emily kembali mengelus rambut-rambutnya yang hitam.

"Dia menyukaimu."

Emily mengangkat kepalanya. "Apa katamu tadi?"

"Holmes menyukaimu," ucap Budi. Dia menunjuk kucing hitam itu. "lihat, dia tertidur di pahamu."

Emily menengok Holmes yang rupanya benar-benar sudah tertidur pulas. Sesekali dia mengeong, sepertinya dia tengah bermimpi.

Emily mengangkat kepalanya dan membelalakkan mata saat melihat Budi yang melepaskan kemejanya tanpa malu-malu. Bukan kemejanya yang jadi masalah, tapi punggungnya.

Punggung pemuda itu penuh dengan luka.

+++++

Beberapa hari yang lalu saat dia mengobati Budi, dia tak menyadari akan luka-luka itu karena terlalu sibuk mengobati luka yang dideritanya akibat jatuh dari tebing. Tapi baru sekarang dia melihat semua luka itu.

Budi menoleh dan menyadari Emily yang terus memperhatikannya. Senyumnya mengembang diam-diam saat melihat pipi gadis itu merona merah karena malu.

Dilemparkannya kemeja itu ke lantai dan menaiki kasur pelan-pelan. Kasur yang empuk itu langsung melesak, mencoba menahan bobot tubuhnya yang lebih berat daripada Emily apalagi Holmes.

Emily nyaris memekik saat Budi memeluk pinggangnya dan mengangkatnya ke udara. Pemuda itu mendudukkan Emily di pangkuannya dan mengusap rambut cokelat gadis itu.

Emily bertanya. "Budi?"

Budi menunduk. "Ya?"

"Kenapa lukamu banyak sekali?"

DEG!

Dalam sekejap, Budi terdiam. Perlahan-lahan atmosfir di ruangan itu menjadi berat, dingin, dan kejam. Hampir membuat Emily sulit bernapas. Hingga akhirnya Budi berkata,

"Akan kuceritakan nanti. Ini bukan saat yang tepat."

Tiba-tiba atmosfir ruangan itu berubah dalam sekejap. Tekanan pada paru-paru Emily menghilang begitu saja.
Bahkan Holmes berhenti bergetar ketakutan. Kucing itu kembali santai walau ekornya masih menekuk ke dalam.

"Kenapa?" tanya Emily.

Budi menghela napas. Dia menatap Emily sambil tersenyum muram. "Bukan cerita yang pantas untukmu, tapi nanti akan kuceritakan kok. Omong-omong ini sudah saatnya."

Emily mengerutkan alis, bingung. "Saat untuk apa?"

"Menandaimu Emily, sebagai partnerku."

+++++

Emily terbangun dari tidurnya yang nyenyak karena Holmes, kucing itu tidur bergelung di dekat kaki. Membuatnya kegelian hingga bangun. Jam yang ada di nakas tiba-tiba berbunyi. Tepat jam lima pagi.

Tak seperti di permukaan, bawah tanah sangatlah berbeda. Tak ada sinar matahari yang menyeruak masuk ataupun suara burung yang berkicau merdu. Bagaikan alunan musik dari alam.

Dia merindukan itu semua. Tetapi jika dia kembali, dia akan teringat kembali akan memori pahit itu.

"Melamun lagi huh?"

Emily menoleh. Budi duduk bersila di sampingnya. Pemuda itu menyeringai jahil.

"Tidak," jawab Emily,
"aku hanya berpikir."

Budi merengut. "Tentang Tomi lagi?"

Gadis itu menggeleng. Lalu menatap Budi sungguh-sungguh. "Aku ingin tahu tentang masa lalu diriku."

+++++

To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top