Part 10: Don't Worry Emily, You Have Someone Now...
Don't worry Emily, you have someone
now ...
Someone who will always care you.
+++++
Eko menaruh ponselnya di meja sambil menghela napas. Begitu juga dengan Roni yang menutup layar laptopnya. Wajahnya terlihat marah sekaligus kesal.
"Bagus," desisnya dengan nada sarkastik,"sekarang ada dua orang yang menghilang dari markas!"
Eko tertawa keras hingga nyaris menjatuhkan cangkir kopinya. "Sudahlah, mereka berdua bisa jaga diri!" ucapnya dengan nada optimis.
+++++
Ren melangkahkan kaki menembus padang ilalang setinggi pinggang saat telinganya menangkap suara teriakan perempuan. Tanpa pikir panjang, dia berlari menuju asal suara.
Perlahan-lahan suara itu menghilang tepat saat dia masih di tengah jalan.
"Sial," gerutunya, "padahal tinggal sedikit lagi!"
Matanya menatap tajam sebuah bangunan besar di tengah hutan.Bangunan itu lumayan besar, terbuat dari semen dan bukan kayu. Pagar-pagar besi mengelilingi bangunan itu, membuatnya seperti terkurung.
Bangunannya tidak aneh, letaknya yang aneh. Walaupun saat ini sudah tahun 2025, tetap saja bangunan di tengah hutan adalah hal yang masih tidak mungkin. Kecuali si pemilik bangunan punya dana lebih untuk melakukan pembangunan di tengah hutan terlarang ini.
Belum lagi menyogok aparat dan pemerintah daerah untuk melancarkan pembangunan.
Ren menyiapkan revolver miliknya begitu mendengar suara tembakan dan teriakan dari dalam bangunan. Diiringi dengan ratusan manusia yang keluar dengan terburu-buru dari dalam. Membuat Ren semakin yakin bahwa suara itu berasal dari sana.
+++++
Tomi tersenyum di pelukan Emily yang terus menangis sejak tadi. Sementara itu Budi yang tengah murka, memandangi Don yang berdiri di sisi lain ruangan. Mata kuningnya menatap tajam pria itu seolah akan menembus kepalanya.
"Tomi, bertahanlah! Kumohon!" bisik Emily, nadanya tercekat. Tertahan oleh tangisan.
Senyum Tomi memudar, perlahan mata hitamnya meredup. Tangannya terangkat, diusapnya air mata yang mengalir dari pipi Emily.
"Emi?" bisik Tomi.
Emily mencoba menghentikan tangisannya. "Ya, Tomi?" tanyanya.
"Emi, sebenarnya ada sesuatu yang sejak dulu ingin kukatakan."
"Apa itu?"
Tomi menghela napasnya yang mulai memendek dan berkata,
"Aku mencintaimu."
+++++
Tomi menghembuskan napas terakhirnya tepat setelah membisikkan beberapa kata lagi di telinga Emily. Kemudian, matanya menutup. Emily buru-buru memeriksa nadi lelaki itu, lalu kepalanya menunduk.
Pemuda itu telah menghilang dari dunia ini. Pergi meninggalkan semua orang dengan senyum terakhir.
AAAAAAAAAAAAA!!!
Emily meraung kencang. Suaranya menggema nyaring hingga membuat burung-burung di hutan beterbangan dengan panik. Membuat para penduduk di luar bangunan terkesiap. Terlebih lagi, teriakan perih itu berhasil membuat jantung Budi mencelos.
Budi mencabut pedang milik Don yang menancap di dada Tomi, lalu berlari ke atas balkon sambil membawa pedang itu di balik punggungnya.
Don yang menyadari kehadiran Budi, buru-buru melompat ke bawah. Tangannya berpegangan erat pada seutas tali yang menahan bobot tubuhnya. Budi dengan cekatan ikut melompat, berputar di udara dan memotong tali itu dalam satu sabetan.
Don berteriak nyaring. Suaranya penuh ketakutan karena menyadari bahwa dia belum mendarat sampai di bawah. Pria itu jatuh dengan suara berdebum kencang.
Pasir mengepul ke udara setelah Don jatuh. Bau amis darah dalam sekejap menyeruak indera penciuman.
Emily menoleh ke arah Don yang terkapar, pandangannya beralih pada Budi yang bergelantungan di udara. Pemuda itu mengayunkan kedua kakinya lalu melompat ke balkon.
Emily mengalihkan pandangannya pada Don yang perlahan-lahan bangkit. Pria itu rupanya belum mati setelah jatuh dari ketinggian. Wajahnya berlumur darah, matanya yang kuning terang itu memicing penuh kemarahan. Tangannya yang bergetar mengambil sesuatu dari ikat pinggang, lalu mengacungkannya pada Emily.
Sepucuk shotgun.
Gadis itu memejamkan mata hingga kehangatan itu kembali melingkupi dirinya tepat disaat Don menarik pelatuk.
DOR!
+++++
Ren menerobos kerumunan orang di luar bangunan dan masuk lewat pintu utama. Langkahnya berderap bagaikan kuda. Tak peduli lagi akan tatapan orang-orang yang memandangnya dengan heran. Salah satu warga menarik bahunya sambil berteriak panik,
"Jangan masuk dek, bahaya!"
Ren menggelengkan kepala. "Teman saya ada di dalam!" teriaknya lalu berlari menuju area lantai satu.
Dalam sekejap, aroma amis menusuk penciumannya. Tak salah lagi, ini aroma darah. Belum sampai di lantai satu, dia sudah menemui salah satu orang yang sepertinya bawahan Don. Pria itu tergeletak tak berdaya di lantai, punggungnya menyandar di dinding. Dia masih bernapas, tapi tak bisa bergerak karena kaki yang tertembak.
Ren hanya melirik sekilas, lalu kembali berlari.
Mata berpupil abu-abu itu membulat sempurna saat melihat Budi yang tengah memeluk seorang gadis. Bahunya berdarah, dan seorang pria berdiri di depannya sambil mengacungkan sepucuk shotgun.
Ren reflek mengacungkan revolver miliknya ke arah pria itu. Budi yang melihat Ren langsung mengangkat tangan kanannya.
"REN! HENTIKAN!" teriak Budi, lantang.
Ren mengernyitkan kening. Pandangannya menyiratkan 'kenapa' pada Budi. Tapi pemuda itu menyarungkan revolver miliknya tanpa bertanya.
Budi melirik Don yang masih mematung di depannya. Pria itu terlihat seram sekaligus gelisah. Dia tahu alasannya.
"Betul-betul ironi ya?" ucap Budi.
Don terkekeh. "Kau mulai gila ya nak?"
Budi menggelengkan kepala, lalu menatap Don dengan tajam.
"Kau ayah kandungku, Don Buos."
+++++
Dalam sekejap, atmosfir di ruangan itu berubah 180 derajat. Ren memelototkan mata, Emily mengernyitkan kening, sedangkan Don sampai menjatuhkan shotgun yang sedari tadi dipegangnya. Tangan pria itu mendadak gemetar kuat.
Sedangkan Budi tersenyum muram.
Sekarang dia paham, kenapa Black Hoodie sampai harus merahasiakan kasus ini dari anggota UB yang lain.
"Budi, kau yakin?" tanya Ren yang tiba-tiba telah berada di sampingnya.
Budi mengangguk lemah, baru dia akan mengatakan sesuatu saat Don memotongnya.
"Mata kita sama nak, kuning seperti petir. Petir yang menyambar dari langit. Petir yang bersamaan dengan hujan. Hujan air mata."
"Itu syair yang kukatakan di depan dirimu, saat pertama kalinya kau hadir ke dunia." ucap Don, lagi.
"Yeah, tak kusangka kita akan bertemu. Justru dalam kasus." sahut Budi.
"Kau benar, omong-omong siapa namamu nak?" tanya Don.
"Budi, Budi Ramadan."
Don menghela napas lega. "Ibumu ternyata melaksanakan perintahku setelah aku meninggalkannya."
"Apa maksudmu?"
"Saat kau lahir, aku tengah dikejar oleh mafia dari Filipina. Keselamatanmu serta ibumu terancam karena mereka tahu bahwa kalian keluargaku."
Budi menunduk muram. "Lalu apa yang terjadi?"
"Ibumu tewas, kau selamat. Tapi ibumu sempat menitipkan dirimu ke sebuah panti asuhan karena urusanku dengan mafia brengsek itu masih belum selesai. 13 tahun setelahnya, aku mencari panti asuhan itu tapi setelah menemukannya ternyata aku terlambat. Kau sudah diambil oleh sepasang pejabat."
Budi menundukkan kepalanya makin dalam. Matanya mulai berkaca-kaca. "Ya, kau sangat terlambat."
"Aku tahu," ucap Don, "aku tahu nak. Kau diambil oleh sepasang suami istri yang sangat salah."
"Lalu, apa amanatmu pada ibu?"
"Aku memintanya untuk menamaimu Budi, agar kau kelak menjadi anak baik-baik." Don menghela napas panjang.
"Tidak seperti ayahnya yang malah jadi bandar narkoba ini." tambahnya.
"Aku tahu kau ayah yang baik." ucap Budi, suaranya tercekat di tenggorokan.
Budi mengangkat kepalanya. Menatap Don dengan tatapan layaknya anak dengan ayahnya.
"Kau yang sudah memenjarakan mereka kan?"
Don mengangguk. "Ya, aku menggugat mereka atas kasus penganiyaan, percobaan pembunuhan, serta tindakan sadis terhadap anak. Dengan hukuman seumur hidup tentunya."
"Tapi tetap saja kau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu." ucap Budi. Sorot matanya terlihat menantang.
Don terkekeh kecil. "Tentu saja, aku tahu itu."
+++++
Don dibawa ke penjara di Banjarmasin karena kapasitas penjara di daerah hutan terlarang ini sudah penuh. Budi menjalani rawat jalan karena lukanya yang (katanya) tidak terlalu parah. Para penduduk kembali membangun kampung mereka dan Tomi serta Riki dimakamkan di dekat wilayah kampung, lebih tepatnya di tempat bekas rumah Emily.
Emily menaruh bunga anggrek hutan di kedua nisan yang menancap. Tanahnya gembur, baru digali. Aroma bunga yang terasa manis menusuk penciumannya. Membuat senyum mengembang di wajah gadis itu.
Emily terperanjat saat sepasang lengan melingkari pinggangnya dan sebuah kepala yang menyuruk di leher. Dia tahu betul siapa yang melakukannya.
"Budi!" pekiknya, kesal sekaligus kaget.
Lelaki itu masih sama seperti kemarin. Hanya saja kali ini tubuhnya penuh dengan balutan perban. Pakaiannya sudah berganti, kali ini kemeja berwarna biru malam dengan jaket ber-hoodie warna hitam dan celana jeans biru terang. Seringaian usil tercetak di wajahnya.
"Maaf, aku telat datang." ucapnya.
"Tak masalah, aku juga terlambat." jawab Emily.
"Mana temanmu yang lain?"
"Mereka sudah pulang duluan. Kau tahu? Kembali ke kampung."
"Kau tak kembali?"
Emily terdiam. Pertanyaan Budi yang simpel membuat dirinya sibuk terpikir akan satu hal.
"Aku ... Aku tak tahu harus kemana. Rumahku sudah hancur dibakar." jawabnya dengan jujur.
Budi membalik tubuh Emily dan menatap mata cokelat gadis itu.
"Bagaimana jika kau ikut denganku?"
"Ikut? Denganmu?!"
Budi mengangguk dengan semangat. "Iya, tinggal denganku serta teman-temanku."
"Kau yakin?"
"Tentu saja, tapi aku tak memaksa."
Emily melirik makam Tomi sebentar, lalu akhirnya berkata
"Maaf, aku tidak bisa."
+++++
To be continued...
Gimana ceritanya? Apa bikin kesel atau sakit mata? Aku tunggu vote dan komentar kalian! Satu lagi,
Menurut kalian, berapa nilai cerita ini dari tingkat 1 sampai 10?
Tulis pendapat kalian ya! Btw, sampai jumpa di bab berikutnya! :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top