Satu
Siang itu kafe The Passion terlihat sepi. Meja yang berjejer rapi itu hanya terisi tidak sampai seperempatnya. Alunan musik instrumental mengalun lembut menemani para pengunjung.
Aroma manis cokelat bercampur kopi menguar mengisi kafe yang didominasi warna monokrom itu.
Di salah satu meja tampak seorang gadis tengah duduk sendirian. Hanya ditemani sebuah laptop berwarna silver serta sepotong cheese cake yang tinggal setengah. Gadis dengan kulit kuning langsat yang terlihat manis dengan rambut ikal sebahu itu terlihat serius memelototi layar laptop. Seakan tidak peduli dengan sekitar.
Tak lama, gadis itu mendesah pelan. Mengedarkan pandang ke sekeliling, merasa lelah. Senyuman tipis muncul di wajahnya saat menyadari hanya ada beberapa orang di dalam kafe.
Hana Fredella. Mahasiswi jurusan desain interior di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sudah sekitar seminggu ini ia mengunjungi The Passion. Kafe yang tak sengaja ia temui setelah pulang kuliah, dan letaknya tak terlalu jauh dari area kampusnya.
Kafe ini memang tidak terlalu besar. Bahkan Hana yakin, orang-orang tidak banyak yang tahu mengenai eksistensi The Passion. Mengingat letak kafe ini yang tidak begitu strategis. Berada di dekat sebuah perumahan yang jarang dilalui orang.
Namun setidaknya, Hana bersyukur. Karenanya ia bisa lebih fokus mengerjakan tugas-tugas kuliahnya yang makin bertumpuk.
Suara dering ponsel tanda panggilan masuk sedikit menginterupsi Hana. Gadis itu lantas merogoh tas, mengambil benda mungil berwarna putih itu. Senyum lebar terkembang di wajahnya saat melihat nama si penelepon.
“Hai Dit,” sapanya riang.
“Kamu di mana?” suara Dito—kekasihnya—langsung menyapa telinga Hana.
“Di mana? Ehm, aku lagi di kafe nih.”
“Kafe yang biasa?”
Hana menggeleng pelan. Sesuatu yang sudah pasti tidak dapat dilihat Dito.
“Bukan, di kafe The Passion. Nggak jauh kok dari kampus.”
“Kafe baru?”
“Sepertinya. Aku juga baru nemu nih kafe seminggu ini kok.”
Dito terdiam sesaat. Dan selagi jeda itu tercipta, Hana kembali menekuri layar laptopnya.
“Jangan pulang terlalu sore.”
Hana melirik jam tangannya sekilas. Sudah pukul tiga sore.
“Iya, iya. Bentar lagi pulang kok.”
“Hana,” panggil Dito pelan.
Hana tahu, kalau sudah begini, pasti ada sesuatu yang ingin Dito katakan.
“Hm?”
“Besok aku bakal tugas ke Papua. Kamu nggak pa-pa kan kalau janji kita minggu ini batal? Nggak pa-pa kalau aku tinggal lagi?”
Tanpa sadar Hana menahan napasnya. Mulutnya terkunci, tak tahu apa yang harus dikatakan.
“Hana?”
Susah payah Hana mengatur deru napasnya.
“Iya, nggak pa-pa kok,” jawabnya kemudian.
“Oke.”
“Jangan lupa jaga kesehatan.”
“Iya, makasih sudah mengingatkan. Teleponnya aku tutup, ya?”
“Oke.”
Setelahnya Dito langsung memutus panggilan itu. Meninggalkan Hana yang masih bergeming dengan ponsel di telinganya. Matanya kini mulai berkaca-kaca. Dadanya sesak tanpa diminta.
Hana tidak tahu harus bersyukur atau tidak mempunyai kekasih seperti Dito. Lelaki yang mempunyai tanggung jawab besar untuk mengabdi pada negara tercinta ini. Yang karenanya, sering mengabaikan Hana dan jadwal kencan mereka.
Bahkan minggu ini Hana sudah berniat mengajak Dito pergi ke suatu tempat yang ia idam-idamkan. Dan lelaki itu harus membatalkannya karena tugas yang tidak bisa ia tolak. Hal yang bukan kali pertama Hana terima setelah dua tahun bersama Dito.
Hana memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Kembali memfokuskan pikirannya pada laptop dan tugas-tugas yang telah menunggunya.
Saat Hana mencoba melupakan kekesalannya, perlahan air mata itu lolos membasahi pipi. Sadar ada sesuatu yang mengaliri pipinya, gegas Hana mengusap kasar pipinya dengan punggung tangan.
“Argh! Sialan!”
***
Hana masih bergeming di tempatnya. Meski langit malam sudah terlihat di luar sana, tak sedetik pun ia beranjak dari The Passion. Emosinya masih terbakar, dan saat ini ia berusaha menghibur dirinya sendiri.
Tugas kuliahnya sudah rampung sedari tadi. Namun, hal itu tidak lantas membuat Hana bergegas membereskan laptop dan bindernya. Bahkan ia masih membiarkan laptopnya dalam keadaan stand by.
Ia tidak tahu kenapa bisa marah dan sekesal ini dengan Dito. Penundaan atau pembatalan jadwal kencan bukanlah hal baru dalam hubungan mereka. Terlebih semenjak Dito memutuskan drop out dari bangku kuliah setahun terakhir. Memilih menggapai cita-citanya sedari kecil sebagai abdi negara ketimbang melanjutkan kuliahnya di jurusan teknik industri.
“Aku mau mengejar cita-cita aku,” katanya saat Hana menyayangkan pilihan Dito untuk drop out, “dan passion aku sama sekali bukan di teknik industri. Aku nggak pernah berminat jadi sarjana teknik.”
Suara dering ponsel langsung mengalihkan perhatian Hana. Ia sendiri tidak sadar tengah melamun jika suara ponsel tidak menginterupsinya. Diliriknya sekilas layar ponsel sebelum menerima panggilan itu.
“Hana!” Suara pekikan dari si penelepon membuat Hana sontak menjauhkan ponsel dari telinga. Si pemilik suara cempreng itu adalah Salsa, teman kelasnya.
“Apaan sih? Nggak usah teriak-teriak deh!” sahutnya sewot. Saat ini ia tengah merasakan bad mood yang parah.
“Proposal KP aku diterima! Barusan aku dapet kabar bahagia ini dari mereka,” pekiknya senang.
Ucapan Salsa seketika membuat hati Hana mencelos. Ia merasa udara di sekitarnya menipis. Ada sesuatu di hatinya yang berontak saat mendengar kata ‘KP’ atau Kuliah Praktek.
“Oh, selamat kalau gitu,” katanya susah payah.
“Kamu gimana? Udah ada proposal yang keterima?”
Hana mendesah berat. Ia membenci percakapan ini.
“Belum,” jawabnya pelan. Didengarnya Salsa mendesah kecewa.
“Kamu ngajuin ke mana aja?” suara Salsa kini memelan. Seolah tahu suasana hati Hana yang kurang baik.
“Ke stasiun TV. Aku sempet nonton beberapa tayangan mengenai desain interior dan arsitektur. Aku pikir mungkin aku bisa ikutan join di acara itu. Who knows, kan?”
Hana memang mengirim proposal KP-nya ke beberapa stasiun TV swasta yang menayangkan program yang terkait dengan desain interior. Berbeda dengan Salsa yang mengirim proposal ke beberapa perusahaan dan firma arsitektur.
“Kalau nggak ada satupun yang diterima, gimana kalau kamu ngirim ke firma tempat aku KP nanti? Firma itu emang belum terkenal banget, soalnya masih baru. Tapi dia udah cukup punya nama kok. Gimana?”
Hana terdiam.
Sebenarnya ia masing ingin KP di stasiun TV. Tapi, mengingat teman-teman seangkatannya kebanyakan sudah menemukan tempat KP masing-masing, mau tidak mau Hana harus memutar otaknya agar bisa mendapatkan tempat untuk melaksanakan KP.
Dan usulan Salsa cukup membuatnya tertarik.
“Hm, oke deh.”
“Nanti aku kirimin alamat mereka, kamu jangan lupa buat proposalnya. And good luck! Semoga kita bisa KP bareng.”
Hana menggumamkan terima kasih sebelum memutus sambungan telepon. Mendesah dengan raut wajah yang terlihat begitu lelah. Tak lama, ia melipat kedua tangan di atas meja dan menyurukkan kepala di dalamnya.
Lengkap sudah hari ini.
***
Halo semua. Aku membawa bab satu The Flower Bride.
Jangan lupa tinggalin komentar untuk bab ini, ya. Mau ngasih vote juga boleh banget. Aku menghargai kritik, saran, dan apapun itu.
Salam,
Winda Zizty
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top