Dua

Ferga Irfandi terlihat santai dengan kaus polo hitam dan celana bermuda warna krem. Ia berulang kali mengangguk pelan, terlihat begitu serius mendengar penjelasan lelaki yang duduk di hadapannya. Beberapa lembar kertas berisikan sketsa tersebar di atas meja.

“Kayaknya lebih bagus kalau jendela yang ini dibuat lebih lebar. Hitung-hitung mengurangi pemakaian listrik.” Ferga menunjuk salah satu sisi dari sketsa yang dipegang lelaki di hadapannya itu. “Dan juga supaya pencahayaannya lebih alami.” Ferga mengakhiri kalimatnya seraya melirik teman duduknya itu.

“Kami juga sudah merencanakan seperti itu. Tapi, kami harus meminta persetujuan mereka terlebih dahulu.” Lelaki berambut gondrong itu berkata dengan serius. Tatapannya masih terarah pada lembaran sketsa.

Dahi Ferga mengernyit. Ditatapnya lelaki itu sebelum berdecak kesal.

“Oh ayolah, Marsal! Jangan terlalu formal sama temen sendiri!” Ferga memukul lengan Marsal, kesal.

“Ah, maaf, Fer. Gue masih terbawa suasana setelah meeting dengan klien gue tadi.”

“Ck! Makanya kalau ketemu sama temen sendiri, kerjaan ditinggalin aja. Ini pake dibawa segala.”

Sorry.”

“Kali ini gue maafin.”

Marsal mengabaikan ucapan Ferga. Ia memilih menyesap latte-nya ketimbang meladeni Ferga.

“Firma arsitektur lo gimana kabarnya?” tanya Ferga kemudian. Sebuah tanya yang mampu mengalihkan perhatian Marsal dari minumannya.

So far so good. Sekarang makin banyak orang yang mempercayakan jasa kami.”

Ferga tersenyum mendengarnya. Turut senang mengetahui kabar baik ini.

Well, sepertinya usaha kafe lo berkembang pesat,” ditatapnya Ferga sekilas. “Rencana pembangunan yang lo bilang ke gue beberapa bulan yang lalu untuk cabang kafe lo itu, kan?”

Ferga nyengir. Memperlihatkan deretan giginya yang rapi seraya menggeleng. Disandarkannya bahu pada sandaran kursi.

“Nggak seperti yang elo bayangkan. Kafe gue masih sepi meski sudah hampir tiga bulan dibuka.”

Kedua alis Marsal bertaut. Terlihat bingung dengan jawaban Ferga.

“Kalau nggak berkembang pesat, kenapa lo malah mau ngebangun di sini? Gue kira karena kafe yang di Jakarta berkembang pesat.”

“Mungkin karena gue ngerasa prospek buka usaha di sini bagus.” Ferga mengangkat bahu. Tersenyum kecil sebelum menyesap kopinya.

“Sebelumnya gue kan sudah menyarankan pindah ke lokasi yang lebih strategis. Tapi elo masih ngotot buat kafe di dekat perumahan itu. Sedari awal udah kelihatan kalau itu bukan ide yang bagus.”

Ferga tersenyum tipis. Ia memang membangun kafe di sebuah lahan kosong yang ia beli murah. Entah apa yang ada di pikirannya saat memutuskan membangun sebuah kafe di sana. Letak kafenya yang kurang begitu bagus membuat kafenya tidak begitu ramai. Namun, Ferga sama sekali tidak menyesali pilihannya itu.

Marsal berdeham pelan, mencoba menarik perhatian Ferga.

“Rencananya bakal ada anak yang KP di firma gue. Gimana kalau gue ikut sertakan dia dalam pembangunan kafe ini?” usul Marsal. “Mahasiswa desain interior.”

“Kafe gue yang di Jakarta pun bisa dibangun tanpa bantuan desainer interior. Semuanya pure hasil rancangan elo, Sal.” Ferga terlihat tidak menyukai usulan itu.

“Kali ini gue nggak bisa sepenuhnya terjun langsung kayak kemarin.” Marsal mendesah pelan. “Ada proyek yang prospeknya bagus banget buat firma gue. Dan gue bakal sepenuhnya fokus sama proyek itu.”

Ferga terdiam. Ia tahu, sebuah proyek yang diambil akan berperan penting bagi kemajuan firma yang dibangun Marsal bersama kedua temannya. Meskipun ia dan Marsal sama-sama lulusan universitas di Jakarta, hal itu tidak lantas membuat Marsal membangun firmanya di Jakarta. Ia lebih memilih membuka firma di Palembang, kota kelahirannya.

Perlahan Ferga mengangguk mengerti dan menerima alasan yang diberikan Marsal. Meski dalam hati ia masih tidak menyetujui usulan Marsal itu.

“Oke, no problem.”

“Dan mungkin dia bisa membantu kafe elo yang di Jakarta biar lebih dilirik orang.”

“Ya, ya, terserah.”

***

Ferga menyesap kopinya perlahan. Dahinya berkerut saat merasakan cairan hitam itu masuk ke kerongkongannya.

Setelah merasa cukup dengan kafein yang masuk ke tubuhnya, diletakkan kembali mug itu ke tatakan di atas meja. Saat itulah matanya menangkap benda berwarna merah metalik dengan hiasan pita di atasnya. Tersembunyi di antara tumpukan kertas milik Marsal.

Tanpa sadar Ferga mendesah. Terlebih setelah kertas-kertas itu dirapikan oleh Marsal sebelum dimasukkan ke dalam tas. Ia lupa telah mengeluarkan undangan itu untuk menunjukkannya pada Marsal.

Ferga meringis pelan saat nama calon mempelai yang terukir indah di atas undangan itu tertangkap matanya. Tercetak dengan sangat jelas seolah mengatakan padanya bahwa sudah saatnya ia berhenti.

Ia tidak pernah tahu, hanya menatap sebuah undangan ternyata bisa menguras emosi. Membangkitkan kenangan yang sebenarnya ingin ia buang jauh-jauh.

“Kalau elo keberatan hadir, gue rasa nggak masalah untuk tidak menghadirinya.” Suara Marsal langsung membawa Ferga kembali ke alam sadar. “Tanpa kehadiran lo pun, pernikahan itu akan tetap terlaksana.”

Ferga membisu. Menyetujui ucapan Marsal. Namun, entah kenapa kenyataan itu membuat hatinya nyeri. Ia seolah tidak rela.

Ferga tersentak. Benarkah ia masih menyimpan ketidakrelaan itu hingga detik ini?

“Felis sudah menata masa depannya. Apa elo masih mau menatap masa lalu?”

Lagi, kata-kata Marsal berhasil menohok hatinya. Terlebih saat nama itu kembali terdengar di telinganya. Hatinya berdesir dan ngilu dalam waktu yang sama.
“Gue rasanya masih belum percaya Sal,” Ferga terkekeh pelan, menatap lurus mug kopinya. “Gue nggak pernah berpikir Felis akan ninggalin gue seperti itu.”

“Karena sejak awal kalian nggak ditakdirin untuk bersama. Itu aja.”

Ferga tersenyum miring. Menertawakan dirinya sendiri.

“Kenapa perbedaan selalu menjadi alasan tidak bersatunya dua orang yang saling mencintai?” ada luka yang Marsal serap dari suara Ferga.

Marsal terdiam. Tahu bahwa lelaki di hadapannya ini masih terkuras emosinya karena sebuah undangan yang ia terima. Langsung dari calon mempelai wanita. Mantan kekasihnya.

“Gue kira dia meminta bertemu karena ingin kembali seperti dulu. Ternyata malah undangan ini yang gue terima.” Ferga menggeleng, mengibaskan undangan itu di udara.

“Jadi, lo akan menghadiri pernikahan itu atau tidak?” tanya Marsal tanpa tedeng aling-aling.

Ferga kembali menatap undangan itu. Mendesah pelan saat melihat nama Felis di sana.

“Sebenarnya gue masih ingin lama di kota ini.” ditatapnya Marsal sekilas. “Tapi karena pernikahan ini diadakan di Jakarta, gue harus pulang jika menghadirinya.” Dibuangnya pandang ke luar jendela. Rintik hujan mengetuk jendela di sampingnya. “Apa gue harus datang ke sana?”

“Kalau lo cukup dewasa untuk mendoakan kebahagiaannya, gue rasa elo harus datang.”

Ferga tersenyum tipis. Ia sudah menebak Marsal akan berkata demikian. Ia masih bungkam menatap rintik hujan yang turun semakin deras.

Meski ia bergeming, namun hati dan pikirannya tengah berkecamuk. Tanya itu kembali terngiang di benaknya.

Haruskah ia datang?

***

Hayo ... Ferga bakalan datang apa nggak?
Jangan lupa tinggalin jejak di cerita ini, ya. 😊

Salam,

Winda Zizty

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top