4. Sunyi
Laudi bangkit berdiri lantas menyeka mulutnya yang terkena sedikit muntahan. Setelah kembali ke tubuhnya yang sekarang, rasanya realita kembali menghantamnya. Ia tahu bahwa dirinya memiliki kekuatan, ia juga sudah mengetahui siapa dirinya sebenarnya, tetapi sifatnya sebagai Laudi sudah mengakar kuat. Meski begitu, Laudi tidak ingin menjadi lemah lagi.
Laudi sudah tahu dia ada di mana. Tempat itu adalah ruang dalam dimensi perantara. Ruang itu berada di antara kesadaran dimensi ketiga, yaitu dunia tempat Laudi hidup sekarang, dan dimensi ke lima, tempat kesadaran Laudi yang lain.
Jika Laudi berada di tempat ini sekarang, itu artinya ada terjadi sesuatu hal darurat di kesadarannya saat ini. Sebagai sosok Qhael, Laudi sudah ingat tujuannya menitis di bumi. Ia adalah salah satu dari slánathoir[1] yang dikirim ke bumi dalam misi intervensi bangsa Maldek. Setelah peradabannya dihancurkan oleh bangsa Drakon, seluruh ras Maldekian terpencar ke berbagai galaksi, salah satunya Bumi.
Dimensi antara ini adalah tempat yang sudah dipersiapkan Laudi untuk mengawali kebangkitannya. Kemenangan bangsa Drakon dalam perang galaksi jutaan tahun silam, membuat ras itu merasa begitu berkuasa di alam semesta. Maldek adalah salah satu dari banyak peradaban yang sudah dihancurkan oleh Drakon.
Jauh sebelum ia mati sebagai Qhael, seluruh rasnya sudah mengetahui bahwa target selanjutnya dari Drakon adalah Bumi. Karena itu ia pun dipersiapkan untuk menitis menjadi manusia, menempati raga yang cocok dengan planet ini.
Sekarang, setelah hidup sebagai Laudi selama dua puluh lima tahun, akhirnya ingatannya dibangkitkan. Hal ini hanya mengarah pada satu kesimpulan: ras Drakonian sudah mulai menginvasi bumi. Laudi harus segera keluar dari tempat ini dan melihat keadaan di luar sana. Ia belum yakin apakah masih bisa menggunakan kekuatannya yang dulu dengan tubuh ini, tetapi tidak ada salahnya dicoba.
Maka, dengan percaya diri, Laudi pun kembali berjalan ke arah satu-satunya pintu keluar di ruangan tersebut sambil menggenggam batu pipihnya yang bercahaya putih. Laudi mendorong pintu itu dengan perlahan, dan rupanya pintu tersebut tidak lagi terkunci. Cahaya putih menyilaukan menerpanya dan membuat Laudi mulai kehilangan kesadaran.
Saat terbangun lagi, ia mendapati dirinya terbujur di lantai kamar suite hotel tempatnya bekerja. Laudi mengerang pelan lantas bangkit berdiri dengan susah payah. Tubuhnya lemas karena lapar dan haus yang mendera. Saat terbangun, gadis itu menyadari bahwa ruangan hotel itu benar-benar sudah sangat kacau.
Barang-barang di dalam kamar sudah berserakan tak beraturan. Pecahan kaca ada di mana-mana dan tirai jendela sudah penuh robekan. Laudi menyipitkan matanya saat melihat ke luar jendela. Hari sangat terik dan di luar sana ia samar-samar melihat beberapa bangunan yang terbakar serta asap membumbung memenuhi jalanan. Gadis itu hanya mendengkus tak sabar.
"Bisa-bisanya aku dibangunkan setelah keadaan udah sekacau ini," keluhnya sembari berdecak kesal.
Laudi segera merapikan pikirannya. Untungnya ia tidak terluka sama sekali. Hanya saja rasa haus dan lapar terus menganggu pikirannya. Maka ia pun mencoba mengais makanan di dalam lemari es kecil yang biasa disediakan di dalam kamar suite. Namun lemari es itu sudah tidak ada di tempat seharusnya. Laudi harus mencari-cari ke seluruh penjuru ruangan dan akhirnya menemukan benda tersebut sudah tergeletak di sebelah bathup.
"Kok bisa sampai sini," gerutunya sembari membuka lemari es itu. Beruntung jajanan dan air minum di dalamnya masih utuh. Laudi mengambil beberapa lalu membawanya kembali ke kamar. Ia pun mulai makan dan minum sambil mengamati keadaan di luar.
Kamar suite itu berada di lantai lima gedung hotelnya. Kebetulan letak hotel tersebut ada di pinggir pantai, sehingga pemandangan yang dominan adalah air laut yang tampak tenang. Sayangnya, bangunan di kiri kanan hotel itu terlihat sudah hancur dan terbakar. Jalan raya utama yang ada di sana juga terlihat kacau. Banyak bangkai kendaraan yang teronggok begitu saja dengan kondisi rusak parah, penyok dan ringsek hingga tak lagi bisa dikenali.
Tidak ada satu orang pun yang terlihat di luar. Suasana benar-benar sepi seperti kota mati. Bahkan burung-burung gereja yang sesekali terbang di atas laut pun tidak terlihat di mana-mana.
"Gimana aku bisa sampai sini, ya? Sebentar, coba kuingat-ingat," gumam Laudi sembari mengunyah snack kentang.
Setelah mabuk dan tak sadarkan diri, Laudi tidak bisa lagi mengingat apa pun. Akan tetapi, fakta bahwa ia bangun di dimensi antara, mengindikasikan kalau tubuh fisiknya pasti mengalami ancaman bahaya sampai-sampai harus dibawa ke tempat itu.
"Keadaan udah kacau gini. Artinya udah beberapa hari berlalu sejak invasi Drakon. Apa masih ada orang yang hidup?" desah Laudi.
Ponselnya hilang dan ia tidak yakin bisa menemukan benda itu di sekitar sini. Laudi teringat keluarganya. Apa yang terjadi pada mereka. Saat ini ia hanya bisa berharap agar orang-orang yang dikasihinya itu baik-baik saja.
Setelah cukup makan dan minum, Laudi memutuskan untuk keluar kamar. Keadaan di luar sama kacaunya dengan di dalam kamar. Koridor hotel dipenuhi rongsokan barang-barang yang sudah rusak. Ada tas, sepatu dan sebagainya. Di beberapa tempat Laudi juga melihat cipratan darah yang sudah mongering. Laudi terus berjalan menuju lift, bermaksud untuk turun ke lantai dua. Namun lift hotel rupanya sudah tidak berfungsi.
Dari balik dinding kaca lift itu, Laudi bisa melihat beberapa kabel telah putus, sehingga membuat benda itu tidak bisa berfungsi lagi. Mau tak mau ia pun harus menuruni tangga darurat. Laudi berbalik menuju pintu darurat yang ada di ujung koridor.
Saat mendorong pntu darurat itu, bau anyir tak sedap segera menguar membuat Laudi otomatis menutup pintunya lagi sembari mengernyit. Ia mengibaskan tangannya di depan hidung guna mengusir bau busuk itu dari indera penciumannya. Akan tetapi aroma itu seolah sudah menyatu dengan udara.
Laudi mendesis sembil menutup hidungnya. "Aish, bau ini. Jadi mereka menginkubasi orang-orang di tangga darurat," gumamnya pada diri sendiri.
Laudi mendengkus pelan, lantas kembali menguatkan hati untuk membuka pintu darurat. Pemandangan di dalamnya sungguh membuat gadis itu mual. Seluruh dinding dan lantai tangga dipenuhi gumpalan organisme yang menyerupai daging busuk kemerahan. Organism itu merekat erat di seluruh dinding dan lantai, hingga langgit-langit.
Pemandangan menjijikkan itu masih ditambah aroma menyengat yang memuakkan. Laudi memaksa dirinya untuk masuk dan berjalan melalui lorong yang dipenuhi organisme itu. Sambil menahan napas Laudi pun mulai menyusuri tangga darurat yang gelap dan lebih menyerupai lubang usus penuh daging.
Lendir lengket menutupi seluruh permukaan organisme tersebut. sesekali Laudi melihat gumpalan yang lebih besar dan berdenyut-denyut. Dari balik membran tipis semi transparan di gumpalan besar itu, Laudi bisa melihat sesosok makhluk humanoid yang meringkuk memeluk lutut. Ukurannya mungkin sebesar tubuh manusia dewasa.
Seketika, Laudi mendesah putus asa. Ia mengusap membran tipis itu dengan tangan. Rasanya lengket dan kenyal.
"Mereka sudah mulai memangsa manusia," desah Laudi muram.
[1] Slánathoir : penyelamat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top