25. Pilihan
Laudi terbangun di ruang dimensinya yang gelap dan kosong. lagi-lagi kesadarannya terlempar ke tempat itu, yang mana artinya tubuh fisiknya sedang dalam bahaya. Di tangannya tergenggam pecahan Kristal memori yag dingin dan berpendar keperakan. Gadis itu mengerang pelan lantas bangkit berdiri. Kepalanya begitu pening dan rasa mual menderanya karena perjalanan dimensi yang tidak terhindarkan.
"Semoga tubuhku bertahan di luar sana," gumam gadis itu pelan. Ia lantas berjalan terhuyung-huyung mendekati pintu keluar berjendela kecil, bermaksud untuk kembali ke raganya. Namun sekonyong-konyong sebuah suara memanggil namanya.
"Qhael ... ,"desah suara itu sayup-sayup. Suara perempuan yang terdengar familiar di telinga Laudi.
Gadis itu pun menoleh, mencari sumber suara yang terdengar dari belakang punggungnya. Sesosok perempuan bergaun putih melayang di tengah ruangan gelap tersebut. Tubuh perempuan itu bercahaya putih dengan rambut panjang perak yang berkilau. Perempuan tersebut menatap Laudi dengan kedua mata abu-abu cemerlang. Ekspresinya teduh, penuh kasih dan sama sekali tidak mengintimidasi.
Tanpa perlu berpikir lama, Laudi langsung mengenali energi lembut yang dipancarkan oleh sosok tersebut. "Igved," gumam gadis itu penuh kerinduan. Itu adalah sosok yang begitu akrab dengannya di masa lalu. Orang yang telah membuat dan memberikan Kristal Memori kepada Laudi.
"Kamu masih bertahan dalam wujud cahaya ternyata. Ada apa? Kenapa datang ke kesadaranku di ruang dimensi?" lanjut Laudi bertanya.
"Kristal Memori itu. Aku datang untuk memberimu peringatan Qhael. Tubuhmu yang sekarang tidak mampu menjadi wadah bagi seluruh kekuatanmu. Hal yang sama terjadi pada rekan-rekanmu yang lain. Tapi karena kau memaksakan diri untuk membuka segel memori dari Kristal, sekarang kesadaranmu kembali terlempar ke dimensi ini, dimensi kelima.
"Di luar sana, tubuh kalian sudah sekarat. Meski begitu aku mengerti pilihanmu untuk membuka paksa seluruh kemampuan jiwa kalian. Karenanya aku akan memberi sedikit bantuan. Aku akan memberimu dua pilihan. Pertama, aku bisa menarik kembali kekuatan kalian dari segel Kristal memor. Dengan begitu kau bisa kembali ke tubuhmu dengan batas-batas kemampuan raga manusia. Sebagai akibatnya, kau mungkin akan kewalahan saat menghadapi para Corux dan Molden di poros dimensi Drakonian," terang Ingved menawarkan.
Laudi bergeming. Sejak awal bukan itu tujuannya membuka Kristal memori. Ia tidak ingin menarik kembali kekuatannya. Laudi harus bisa menjadi lebih kuat untuk melawan monster di poros.
Karena tetap terdiam, Ingved akhirnya melanjutkan kalimatnya. "Atau pilihan kedua, aku bisa menyalurkan energi etherku untuk tubuh fisikmu di luar sana. Energi cahaya itu bisa membuat ragamu bertahan selama beberapa waktu. Meski begitu, setelah energiku surut, tubuhmu akan benar-benar hancur sepenuhnya. Kau akan mati sebagai manusia bernama Laudi. Apa kau tetap akan menerimanya?" tanya sosok perempuan bercahaya perak itu.
Laudi menarik napas dengan berat. "Apa kau juga mendatangi yang lainnya?" tanya gadis itu merujuk pada ketujuh temannya yang lain.
Igved mengangguk. "Aku berada di dimensi kalian semua, dan menawarkan pilihan yang sama," ujar perempuan itu.
"Kalau begitu, keputusanku sekarang tidak akan berpengaruh pada yang lainnya. Mereka bebas memilih opsi pertama atau kedua," kata Laudi menarik kesimpulan.
Igved mengangguk menanggapi. Jawaban itu sudah cukup bagi Laudi. Kini ia tidak perlu bimbang lagi karena satu-satunya orang yang akan terdampak pada keputusannya kali ini adalah dirinya sendiri. Laudi tetap pada pendiriannya. Ia memang membutuhkan kekuatan yang lebih besar untuk menghadapi poros Drakonian.
"Berapa lama aku bisa bertahan dalam tubuh itu dengan kekuatan penuh?" tanya Laudi kemudian.
"Tidak lebih lama dari dua jam," sahut Igved tenang.
Laudi mengangguk. "Itu sudah cukup. Aku akan keluar sekarang," ujarnya lantas berbalik pergi menuju pintu keluar dimensinya.
"Qhael ... ," panggil Igved sekali lagi.
Laudi menoleh.
"Aku menunggumu di sini," ucap Igved dengan senyum samar.
Laudi balas tersenyum lantas mengangguk pelan. Detik berikutnya, cahaya putih menyilaukan menerpa Laudi. Ia bahkan belum sempat keluar melalui pintu dimensinya, tapi Igved langsung mengirim jiwanya kembali ke raga Laudi. Beban berat gravitasi langsung menyerbu tubuh gadis itu. Laudi membuka matanya perlahan lalu mengerjap beberapa kali. Kini ia tergeletak di lereng gunung Jayawijaya, tepat di dekat aliran sungai. Teman-temannya yang lain juga mulai sadar dan bangkit berdiri.
"Igved membantu kita," kata Laudi setelah berhasil berdiri bersama ketujuh rekannya yang sudah sadar. "Apa pun pilihan kalian, itu tidak penting. Sekarang, ayo kita berangkat ke poros," lanjut gadis itu dengan serius.
Rekan-rekannya yang lain pun setuju. Leo memanggil Kaladrius sekali lagi, tetapi sekarang, Laudi sudah tidak berniat untuk mengendari burung raksasa tersebut. Alih-alih gadis itu membuka portal dimensinya sendiri dengan sangat lebar dan mengeluarkan sebuah pesawat tempur canggih bersenjatakan peluru kendali. Pesawat itu menderu keras sekali dan mendarat di area landai yang tak jauh dari sana.
Kelompok pun terpecah menjadi dua. Leo, Nilam, Kara dan Nathan menunggangi Kaladrius, sementara Laudi, Rendra, Jo dan Dipa mengendarai pesawat tempur berbentuk seperti ujung anak panah raksasa. Setelah semua siap di posisi masing-masing, dua rombongan itu pun segera melesat ke arah barat daya, tepatnya ke pulau Sumbawa.
"Delapan puluh empat Corux dewasa, lebih dari lima ratus Molden. Separuh di antaranya udah berevolusi karena pengaruh poros mereka," ucap Rendra dengan mata laser ungunya yang sedang memindai ke kejauhan. Melihat ia melakukan hal tersebut tanpa menitikkan air mata darah, meyakinkan Laudi bahwa pemuda itu juga memilih untuk membuka segel kekuatannya.
"Berapa lama lagi portal itu bertahan sebelum terbuka sempurna?" tanya Laudi kemudian.
Rendra memperluas area jangkauan portal pemindainya hingga menembus atmosfer bumi. Di sana ia bisa melihat portal dimensi maha besar yang sudah separuh terbuka. Berdasarkan perhitungannya, mungkin tidak sampai satu hari lagi hingga portal tersebut akan terbuka sepenuhnya dan mengirimkan gelombang pasukan drakonian yang lebih kuat serta cerdas.
"Dua puluh jam paling lama. Paling cepat mungkin tengah malam nanti udah kebuka," jawab Rendra sambil masih menembakkan cahaya ungu terang dari kedua matanya.
"Kita cuma punya waktu dua jam. Bisa nggak bisa portal itu harus ketutup sebelum dua jam berlalu," tukas Laudi merujuk pada rekan-rekannya yang membuka segel kekuatan.
Dipa dan Jo terdiam. Mereka berdua sepertinya memilih untuk bertahan dengan keterbatasan raga fisik. Laudi tidak menyalahkan pilihan tersebut. Semua orang memiliki pertimbangannya masing-masing.
Akhirnya setelah perjalanan hipersonik dengan pesawat jet canggih milik Laudi, rombongan mereka pun menjadi yang pertama sampai di tujuan. Dari balik awan-awan, Laudi bisa melihat cahaya terang yang menyorot dari langit hingga ke daratan. Cahaya itu berwarna jingga terang yang memanjang seperti tongkat raksasa yang menembus langit. Diameter cahaya itu mungkin mencapai ratusan meter, dengan tekanan energi yang sangat kuat.
Gelombang energi Drakonian secara alami memang berlawanan dengan jenis energi milik kaum Maldekian. Karena itu, meski belum berada di pusat poros, Laudi sudah merasakan rasa muak yang begitu intens. Tubuhnya seperti ditusuk-tusuk oleh aliran listrik yang tidak nyaman, lalu dadanya menjadi sesak dan perutnya pun sedikit mual.
"Kalian bisa bertahan?" tanya Laudi pada dua rekannya yang tidak membuka segel, Dipa dan Jo.
Mereka berdua mengangguk canggung. Tampak oleh Laudi keringat besar-besar membasahi tubuh mereka. Efek berbalik ini pasti membuat Dipa dan Jo benar-benar menderita. Meski begitu, Dipa akhirnya berinisiatif untuk menggunakan portal penyembuhnya agar energi Drakonian bisa dinetralisir.
"Udah enakan, Di," celetuk Dipa kemudian.
"Oke. Baguslah. Kalau gitu, ayo kita gempur mereka sekarang," ucap Laudi kembali fokus pada titik targetnya di bawah sana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top