17. Vogad
"Vogad?" tanya Leo bebarengan dengan Dipa. Kara dan Laudi pun turut menyadari energi rekan barunya itu.
"Aku udah nunggu kalian," ujar pemuda itu sembari membuka kacamata hitamnya. Sepasang mata yang hanya berwarna putih, tanpa pupil hitam sama sekali terlihat dari kacamata orang itu. Pemuda itu buta!
"Mas Rendra kenal?" tanya salah seorang pria paruh baya yang mencegat rombongan Laudi tadi.
Rendra melipa kacamata hitamnya lantas memasukkannya ke dalam saku kemeja. Ia kemudian berbalik ke arah pria tersebut. "Kayaknya udah waktunya saya pergi, Pak. Ini teman-teman saya yang saya tunggu sejak kemarin," ujar Rendra tersenyum.
Si bapak-bapak yang ada di sana kemudian mengamati rombongan anak-anak muda yang baru datang itu. Ekspresinya berubah ramah dan akhirnya mempersilakan para tamu itu untuk masuk dan beristirahat lebih dulu.
"Owalah, temannya mas Rendra. Yaudah biar masuk dulu istirahat," ujar pria berbaju biru.
"Nggak usah, nggak apa-apa. Tapi kalau boleh aku mau cari seseorang, Ren," kata Laudi segera berbicara akrab dengan pemuda tanpa pupil mata itu.
"Oh ya, silakan. Siapa yang kamu cari? Biar kubantu," tawar Rendra.
"Orang tuaku," sahut Laudi pendek.
"Hmm ... oke. Aku akan cari orang yang energinya mirip sama tubuh fisikmu sekarang," jawab Rendra. Pemuda itu lantas berbalik ke arah orang-orang yang ada di dalam pengungsian. Ia lalu merentangkan tangannya lebar-lebar dan sebuah portal beraliran listrik ungu muda pun muncul di hadapannya.
Awalnya portal itu hanya seukuran bola tenis. Namun semakin lama ukurannya terus membesar hingga selebar dinding gua tersebut. Sejalan dengan itu, kedua mata Rendra pun turut mengeluarkan cahaya berwarna ungu kemilau. Portal besar di hadapannya mulai bergerak ke depan, memindai seluruh area gua dalam waktu kurang dari lima menit.
Setelah itu, kedua mata Rendra pun secara perlahan kembali seperti semula. Cahaya ungunya meredup dan berubah menjadi putih seluruhnya. Pemuda itu pun berbalik ke arah Laudi dengan ekspresi sedih.
"Maaf, Qael. Tapi sepertinya orang tuamu nggak ada di sini," ujarnya muram.
Laudi menghela napas dengan kecewa. Rasa pedih di hatinya kembali mendera. Leo langsung merangkul gadis itu untuk menguatkannya. Kara menggenggam tangan Laudi agar rekannya itu bisa menjadi lebih kuat. Sementara Dipa hanya menepuk-nepuk punggung Laudi dengan pelan.
"Ayo, kita cari yang lainnya. Tinggal tiga orang lagi," kata Laudi dengan suara serak dan bergetar. Sekuat hati ia menahan kepahitan yang dirasakan. Meski begitu Laudi tetap harus menyelesaikan misinya. Ia memilih untuk kembali fokus pada misi tersebut, meski hatinya begitu berat.
***
Setelah Kara membuatkan dimensi manipulasi bagi para pengungsi gua bawah tanah, rombongan mereka pun kembali melakukan perjalanan untuk mencari ketiga rekan yang lainnya. Dengan ditemukannya Vogad dalam sosok Rendra, kemungkinan untuk menemukan teman-teman mereka yang lain pun semakin mudah karena kemampuan Rendra adalah menelusuri jejak energi.
Dengan kekuatan itu juga Rendra berhasi menghindari para Molden sebelum ini dan membuat tempat pengungsian aman di gua bawah tanah. Ia bisa mendeteksi segala jenis energi mulai dari tanaman, hewan, manusia, molden dan Corux, hingga jiwa rekan-rekan setimnya yang menitis dalam raga manusia.
"Kalian masuk ke perimeterku waktu dateng ke kota ini. Habis itu aku cuma bisa nunggu kalian datang karena menurut hasil perhitunganku, Qael ... maksudku Laudi, pasti akan bawa kalian ke tempaku," terang Rendra yang kini diberi hewan tunggangan baru oleh Leo: seekor rusa jantan berwarna putih yang sangat anggun.
"Kemampuan ngeramal kamu juga dibangkitkan?" tanya Leo menanggapi.
"Bukan meramal, lebih tepatnya menghitung probabilitas. Kalau misalnya dalam perhitunganku kalian nggak akan singgah ke tempatku, mungkin aku yang harus terpaksa keluar dari gua itu," sahut Rendra tabah.
"Ngomong-ngomong, Ren, sorry nanya, itu mata kamu emang udah begitu sejak lahir atau gara-gara kekuatanmu? Seingetku dulu kamu kehilangan penglihatan normal juga gara-gara kekuatan portal pemindaimu, kan?" tanya Dipa penasaran.
Kara langsung menyodok perut Dipa yang kini duduk di depannya mengendarai Artax, kuda hitam besar tunggangan mereka berdua. "Nggak sopan, Dipa, ih," celetuk gadis itu mengomel.
"Kenapa? Kan nggak niat buruk? Cuma mastiin aja. Penasaran," kilah Dipa protes.
"Itu namanya kepo. Hih," sahut Kara kesal.
Rendra hanya tertawa menanggapi pertengkaran kecil kedua temannya itu. "Kalian masih aja suka berantem kayak dulu," komentar pemuda itu tersenyum geli. Kara dan Dipa hanya meringis kecil.
"Kalau nggak nyaman, nggak usah dijawab, Ren," ujar Dipa kemudian.
Rendra menggeleng pelan. Kacamata hitam necisnya masih terpasang rapi di wajah putih khas oriental itu. "Kamu bener, Dip. Tadinya aku bisa melihat kayak orang normal. Pas dibangunkan, aku kebetulan lagi ada di desa pesisir pantai buat ngerjain penelitian tentang budidaya Lobster di pantai selatan. Tiba-tiba aku kelempar ke ruang dimensi, terus yah seperti yang kalian tahu. Dua mata ragawi ini dicabut, terus mata ketigaku yang aktif," terang pemuda itu dengan tenang.
Dari kedelapan jenis kekuatan yang menitis itu, kemampuan Rendra memang yang paling kuat sekaligus menyakitkan. Selain bisa menelusuri jejak dengan portal dimensi pemindai, mata ketiga Rendra juga bisa digunakan untuk melakukan perhitungan tentang ramalan masa depan. Sebagian besar prediksi Rendra selalu tepat dan akurat.
Saat berada di Maldek dulu, Rendra dalam identitas sebagai Vogad, ia mencungkil matanya sendiri untuk memperoleh kemampuan tersebut. Rupanya syarat tersebut juga harus dia lalui di kehidupan ini.
"Wah, kamu mahasiswa juga? Sama dong. Aku semester empat, jurusan hukum," kata Dipa mencoba mengalihkan topik.
"Aku ambil S2 Teknobiologi," jawab Rendra enteng.
Dipa menelan ludah sembari meringis keki. "Ternyata udah S2, beda level," gumamnya penuh penyesalan. Ketiga rekannya yang lain pun ikut tertawa melihat reaksi Dipa yang konyol.
"Keluargamu gimana?" tanya Laudi kemudian. Ia masih tetap mengingat tentang orang tuanya yang hilang.
Rendra tersenyum tipis sembari menggeleng pelan. "Aku yatim piatu. Ini aja lanjut kuliah karena dapat beasiswa LPDP,"jawabnya tanpa terdengar sedih sedikitpun.
Laudi menghela napas pelan. Bukan hanya dia yang kehilangan keluarga. Bukan hanya Rendra, Leo dan Dipa juga tidak punya orang tua lagi. Dipa hanya memiliki seorang kakak yang juga terpisah darinya gara-gara serangan ini. Kakaknya tinggal di Makasar, dan sudah sempat menghubungi Dipa sebelum wabah menjadi sangat parah.
Beruntung di Makasar ada satu pengungsian yang sudah difasilitasi oleh pihak militer. Tapi komunikasi terakhir DIpa dan kakaknya sudah lebih dari dua minggu yang lalu. Sekarang Dipa pun tidak tahu bagaimana kabar keluarganya itu. meski begitu Dipa tidak terlihat khawatir sama sekali. Alih-alih pemuda itu tetap fokus pada misi mereka. Laudi sedikit merasa bersalah karena sempat terbawa oleh emosinya sendiri.
"Laudi, kita semua bisa berkumpul lagi kayak sekarang, itu semua berkat intuisi dan perasaanmu. Jadi jangan terlalu merasa bersalah. Kamu merasa perlu mencari keluargamu, itu juga karena semesta ingin mempertemukan kita dengan cara ini.
"Semesta ini bekerja denganenergi. Di antara kita semua, intuisimu adalah yang paling kuat. Bahkan kekuatankuaja nggak bisa menandingi intuisimu. Karena itu jangan pernah menepis suarahatimu," nasehat Rendra yang tiba-tiba berbicara pada Laudi. Gadis itu hanyatersenyum. Rendra sudah membaca pikirannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top