16. Kehilangan
Rombongan Laudi segera melesat pergi dari bandara dengan hewan tunggangan mereka masing-masing. Perjalanan mereka dipenuhi dengan pemandangan kota-kota dan desa-desa yang sudah hancur, beberapa kali mereka bertemu molden yang berkeliaran di jalanan dengan wujud sempurna: manusia reptil. Meski jumlahnya tidak sebanyak yang berada di bandara, tetapi makhluk-makhluk tersebut juga cukup menganggu.
Tidak hanya pemukiman manusia, hutan-hutan belantara yang mereka lewati juga sudah terkena infeksi Corux. Hewan-hewan liar yang tinggal di hutan diubah menjadi Molden yang terpaksa harus mereka singkirkan juga. Beberapa kali Kara harus membuat portal manipulasi sebagai tempat beristirahat yang aman bagi rombongan mereka.
Tiga hari kemudian rombongan mereka pun akhirnya tiba di kota tujuan. Tempat itu sama kacaunya dengan kota-kota lain. Corux-corux raksasa sudah menguasai, dalam wujud mereka yang lebih sempurna. Beruntung semua Corux itu masih tertidur. Jika ada satu saja yang terbangun, mungkin seluruh kota benar-benar akan hancur lebur tak bersisa.
Laudi tidak punya waktu. Melihat kondisi kota tempat asalnya sudah hancur sedemikan rupa, ia yakin bahwa rumahnya pun sudah tidak berbekas. Meski begitu Laudi tetap harus melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Ia memacu Roan agar berlari lebih kencang. Serigalanya terus melesat menuju ke rumah yang sudah tidak dilihat oleh gadis itu selama berbulan-bulan.
Jalanan kompleks perumahannya sudah hancur. Rumah-rumah di sepanjang area tersebut juga rusak parah. Pemandangan tempat itu membuat hati Laudi semakin pedih. Apa yang terjadi pada keluarganya? Tidak ada satu orang pun yang terlihat di tempat itu hingga akhirnya Laudi sampai di depan rumahnya sendiri.
Gadis itu turun dari tunggangannya. Sembari berjalan dengan gontai, ia menyusuri halaman rumahnya yang sudah sepi. Pintu depan rumahnya hancur, berikut ruang tamu yang ada di balik pintu tersebut. Kamarnya sudah menjadi puing-puing berserakan. Bagian yang tersisa dari rumahnya hanyalah dapur dan ruang makan, sementara lainnya ambruk tak berbentuk.
Laudi tercekat. Hatinya hancur dan kepedihan merayapinya. Tanpa terasa, air mata mulai menetes di wajah gadis itu. Ia mulai terisak patah-patah. Rekan-rekannya yang lain pun menghampiri. Leo memeluknya dengan lembut sembari menepuk-nepuk pundak Laudi yang mulai menangis lebih keras. Selama beberapa waktu kemudian, keempat orang itu hanya bisa terdiam dan menunggu Laudi sampai gadis itu lebih tenang.
***
"Kita menyusuri pantai selatan," pinta Laudi kemudian, setelah selama kurang lebih tiga puluh menit menangis dalam pelukan teman-temannya.
Leo dan yang lainnya tidak bisa membantah. Mereka memang memiliki misi tersendiri, meski begitu rasa kehilangan keluarga pastilah sangat menyakitkan. Karena itu mereka pun memahami keinginan Laudi untuk bersikeras menemukan keluarganya.
"Aku tahu ini berat, Laudi. Tapi berjanjilah pada kami satu hal. Kalau di tempat tujuan kita kali ini kamu tetap nggak bisa menemukan mereka, kamu harus bisa merelakan keluargamu," ucap Leo dengan berat hati.
Hati Laudi seperti ditusuk-tusuk dengan sembilu. Ia tahu bahwa hidupnya di Bumi tidak cukup lama jika dibandingkan dengan kesadaran jiwanya selama ini. Laudi sudah mengalami kehidupan di banyak peradaban galaktik. Namun emosinya saat menjadi manusia tetap masih begitu kuat jika sudah menyangkut keluarga yang selama ini membesarkannya.
"Aku ... ," desah Laudi pelan.
Leo segera meraih tangan gadis itu. Kara pun turut merangkulkan lengannya ke bahu Laudi sembari menyadarkan kepalanya sebagai bentuk dukungan.
"Kita punya tugas buat selamatin planet ini, Laudi. Dan kalau keluargamu memang masih ada di luar sana, mereka pun akan selamat setelah Drakonian kita kirim kembali ke planet mereka," bujuk Leo dengan lembut.
"Kalau kita udah ketemu sama Ukzad, mungkin dia bisa bantu kamu menemukan keluargamu, Di," timpal Dipa merujuk pada salah satu rekan bintang mereka yang juga harus mereka cari.
"Bener kata Dipa. Masih ada harapan kalau kita bisa nemuin temen-temen kita yang lain." Leo menambahkan.
Akhirnya Laudi pun mengangguk. Ia tidak bisa meninggalkan tanggung jawab besarnya begitu saja karena emosinya sendiri.
"Tapi aku masih mau coba cari tempat pengungsian terdekat. Siapa tahu ... ," gumamnya dengan suara parau.
Leo, Kara dan Dipa mengangguk setuju.
"Iya. Nggak apa-apa kita kesana. Aku sekalian bisa buatkan portal dimensi manipulasi untuk mereka," ujar Kara menghibur.
Keempat orang itu pun akhirnya kembali melanjutkan perjalanan menuju pesisir pantai selatan kota itu. Satu-satunya harapan akan adanya manusia yang bertahan mungkin ada di area pantai. Meski entah bagaimana orang-orang itu akan membuat tempat pengungsian di tengah kehancuran kota yang sudah separah ini. Laudi hanya bisa percaya pada harapannya.
Kawasan pantai selatan kota tersebut memang relatif lebih tenang dibanding daerah perkotaannya. Selain karena wilayah tersebut kebanyakan dipenuhi hutan dan gunung kapur, juga karena penduduk yang tinggal di daerah pantai tidak sebanyak di kota. Meski tidak memiliki pelabuhan yang besar, ada satu pantai yang merupakan tempat para nelayan tinggal. Semacam kampung nelayan yang berada di lepas pantai selatan.
Saat memasuki area yang dilingkupi pegunungan kapur yang gersang itu, rombongan Laudi akhirnya menemukan manusia pertama yang mereka lihat setelah berhari-hari melalui perjalanan panjang. Orang itu tampak terkejut saat melihat kedatangan Laudi dan rekan-rekannya yang menunggangi hewan-hewan raksasa. Ia lari terbirit-birit lantas menghilang di balik hutan pohon jati.
Sontak Laudi mengikutinya bersama keempat rekannya yang lain. Mereka menyusuri pedalaman hutan hingga ke pelosok perbukitan kapur yang terjal dan sangat panas. Terik matahari bercampur angin laut yang lengket membuat tubuh mereka tidak nyaman. Meski begitu Laudi terus bertahan hingga akhirnya berhenti di depan sebuah pintu gua bawah tanah yang lembab.
Gadis itu turun dari tunggangannya, diikuti oleh kawan-kawannya yang lain. Leo segera menyimpan kembali hewan-hewan buasnya ke dalam portal dimensi lantas mulai berjalan menyusuri gua yang dipenuhi stalaktit dan stalakmit tajam. Air menetes-netes dari stalaktit yang meruncing di atap gua. Sementara bagian bawahnya juga dipenuhi air namun tidak sampai menggenang. Tempat ini benar-benar cocok digunakan sebagai lokasi pengungsian dari wabah Corux.
Samar-samar Laudi mulai mendengar suara orang-orang yang berbicara riuh di dalam gua. Suara mereka menggema hingga terdengar di mulut gua. Laudi mempercepat langkahnya dengan harapan besar di dada. Tak lama kemudian mereka pun menemukan kerumunan orang-orang yang tinggal di sana dengan papan-papan kayu sebagai alas.
Tanpa pikir panjang, Laudi pun menghambur ke tengah kerumunan. Namun langkahnya segera dihadang oleh beberapa laki-laki paruh baya berbaju biru.
"Siapa kamu?" bentak salah satu laki-laki itu.
"Kalian juga orang yang selamat?" tanya yang lainnya.
"Kami nggak terinfeksi," sahut Leo yang turut menyeruak dari balik punggung Laudi.
"Gimana kalian bisa sampai di sini?" tanya laki-laki baju biru.
"Kami denger suara dari luar waktu mencari pengungsian. Daerah ini nggak banyak kena dampak Corux." Leo kembali menjawab dengan tenang.
Pria-pria itu berpandangan sejenak dan saling berbisik. Salah satu dari mereka pun akhirnya berbalik pergi seperti sedang memanggil seseorang dalam kawanan mereka.
"Tunggu di sini. Biar Mas Rendra yang ngecek," jawab pria yang masih berjaga dengan tampang galak.
Tak lama kemudian orang yang tadi pun kembali ke hadapan rombongan Laudi sembari membawa sorang pemuda berambut gondrong yang mengenakan kacamata hitam. Penampilan yang sedikit tidak cocok untuk dikenakan di dalam gua berpencahayaan minim. Meski begitu Laudi mengerti kenapa pemuda itu mengenakan kacamata hitam. Hanya dalam sekali lihat saja Laudi langsung mengenali pemuda itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top