1. Pekerjaan Berat

Bencana itu tak terhindarkan. Pesta akhir tahun akhirnya tiba. Laudi tidak ingin terlibat lagi dengan orang-orang itu. Namun sayangnya, ia tetap harus hadir di acara yang dihelat oleh kantor tempatnya bekerja. Apalagi beberapa tamunya juga akan datang. Setidaknya ia harus menyambut mereka saat pesta nanti.

Laudi menghela napas berat. Ia adalah karyawan baru di kantor itu. Baru enam bulan dia bekerja sebagai Sales Admin di departemen Sales and Marketing sebuah hotel bintang lima di Bali. Awalnya ia bekerja dengan penuh antusias dan bersemangat karena cita-cita Laudi memang ingin bekerja di pulau dewata itu. Ia bahkan rela meninggalkan kampung halamannya di Yogyakarta demi menjalani pekerjaan sebagai hotelier di Bali.

Sayangnya, realita memang tidak pernah seindah yang dibayangkan. Menjadi pegawai hotel sama sekali tidak mudah. Laudi harus siap untuk pulang larut malam dan masuk kerja di tanggal-tanggal merah. Beban kerja yang menumpuk itu belum seberapa dibanding perlakuan para seniornya di departemen tersebut.

Atasannya, Bu Dista, seorang wanita paruh baya yang belum menikah, sama sekali tidak punya kompetensi sebagai pemimpin. Sepanjang hari Bu Dista hanya melihat ponselnya sambil berbelanja online. Entah darimana ia mendapat begitu banyak uang, padahal gaji seorang Sales Manager tidak mungkin bisa mencukupi gaya hidup hedonnya. Setiap waktu, Bu Dista selalu menyuruh Laudi untuk menyelesaikan pekerjaannya. Laudi dipaksa untuk membuat laporan palsu tentang hasil kerja Bu Dista. Perempuan tua itu selalu mengaku pergi sales call mengunjungi klien potensial. Padahal yang dia lakukan hanya berjalan-jalan di Mall dan berbelanja. Laudi-lah yang dipaksa untuk membuat daftar klien potensial beserta kontak person in charge sebagai dalih kegiatannya yang hanya berfoya-foya.

Itu masih belum seberapa, dua seniornya yang lain, Mega dan Vanya, tak kalah sadis. Setiap akhir bulan, mereka berdua selalu kelimpungan karena nyaris tidak mencapai target penjualan. Karena itu, dengan tidak tahu malunya, Mega serta Vanya kerap kali mendekati klien Laudi dan membuatnya melakukan bisnis bersama mereka berdua. Alhasil target revenue bulanan Laudi pun tak tercapai karena kliennya justru melakukan close deal dengan Mega atau Vanya.

"Kamu, 'kan, Sales Admin. Jadi nggak apa-apalah kalau nggak tembus target revenue. Jadi ngalah dong sama kami yang Sales Executive. Kalau admin doang kan yang penting cuma bikin laporan, sama ngurus tuh surat-surat, apa fotokopi gitu," cela Vanya suatu ketika, saat Laudi mencoba mengajukan protes.

Laudi benar-benar sudah muak. Ia tidak ingin lagi bekerja dengan orang-orang toxic seperti mereka. Sudah berkali-kali Laudi mengeluh pada atasan mereka, sang General Manager. Akan tetapi Pak Gede, GMnya, justru membela para senior Laudi. Sepertinya mereka berempat memang sudah kongkalikong untuk menggelapkan uang para tamu grup yang menginap atau membuat event di hotel. Entah pada siapa lagi Laudi harus mengadu. Ia seperti kehilangan tumpuan.

Semua antusiasmenya saat pertama kali bekerja di Bali kini lenyap tak bersisa. Laudi ingin pulang. Ia ingin berhenti dari pekerjaannya dan mengurung diri saja di rumah. Enam bulan menjadi anak bawang di kantor membuanya begitu tertekan. Laudi selalu menangis setiap malam. Saat pagi menjelang, jantungnya berdegup kencang. Ia tidak ingin berangkat bekerja. Sayangnya nilai pinalti yang harus dia bayar begitu besar kalau berhenti sebelum waktu kontrak berakhir. Karena itulah ia terpaksa ada di sini sekarang. Setidaknya sampai enam bulan ke depan, Laudi harus menahan semua penderitaannya.

Ia kini berdiri mematung di depan loker. Jam kerjanya seharusnya sudah selesai pukul lima sore tadi. Akan tetapi, sekarang sudah jam enam lewat lima belas menit, dan Laudi masih berada di ruang ganti karyawan. Setelah itu pun, Laudi tetap belum bisa pulang. Ia terpaksa harus mandi di kantor dan bersiap untuk bekerja lagi sampai lewat tengah malam.

Hari itu adalah akhir tahun, tepat tanggal 31 Desember. Sebagai pegawai hotel, hari raya artinya lembur kerja. Meski toh nantinya ia juga akan ikut berpesta di rooftop bar hotel, tetapi tetap saja rasanya melelahkan. Laudi hanya ingin pulang dan menghabiskan acara pergantian tahun di kosnya. Sendirian. Tanpa diganggu siapa pun.

Pintu ruang loker tiba-tiba menjeblak terbuka. Laudi yang tengah ganti baju sontak menutup tubuhnya dengan panik. Ternyata yang datang adalah Tasya, anak magang di departemennya

"Mbak Laudi, maaf ngagetin," ujar anak itu merasa bersalah. Tasya adalah satu-satunya orang yang bersikap ramah padanya di kantor. Karena itu Laudi juga melakukan hal yang sama.

"Iya, nggak apa-apa, Tasya. Kamu udah mau pulang?" tanya Laudi melihat Tasya yang masih berseragam hitam putih itu. Tasya adalah mahasiswi perhotelan jurusan Bisnis Pariwisata. Kini ia magang di bawah asuhannya sebagai Sales Admin.

"Iya, Mbak. Kata Bu Dista udah boleh pulang. Mbak Laudi masih lembur sampai pagi, ya?"

Laudi mengangguk muram. "Ginilah kalau kerja di hotel, Sya. Hari libur nasional adalah hari lembur hotelier," kelakarnya dengan senyum dipaksakan.

"Tapi kan enak, Mbak. Bisa ikut party party. Mbak Mega bilang kalau Sales boleh ikut party bareng sama tamu-tamu lainnya. Bisa minum alkohol juga terus makan buffet," ujar Tasya terlihat iri.

Laudi mendengkus kecil. Betapa menyenangkan imajinasi seorang pegawai magang. Ia dulu juga merasakan hal yang sama sebelum secara resmi menjadi hotelier. Dia pikir bekerja di hotel pasti sangat menyenangkan karena setiap hari terasa seperti liburan. Bisa menikmati pesta akhir tahun yang mewah dan glamor di hotel bintang lima.

Akan tetapi, sekali lagi, kenyataan tidak semanis imajinasi. Pada kenyataannya, menjadi karyawan hotel dua kali lebih lelah daripada karyawan pada umumnya. Overtime adalah sahabat karib, masuk kerja di tanggal merah, dan beragam kesulitan lainnya. Sebenarnya Laudi pun sangat menikmati pekerjaannya tersebut. Hanya saja, nuansa kerja di hotelnya sekarang yang membuat gadis itu menderita. Rekan kerja toxic.

"Nikmati dulu aja selagi masih magang, Sya. Nanti juga ada waktunya kamu jadi karyawan hotel beneran." Akhirnya hanya kalimat itu yang bisa diutarakan oleh Laudi. Ia tidak ingin membunuh semangat gadis muda yang masih magang ini.

Tasya tersenyum manis. Sembari mengambil tasnya dari loker, gadis itu pun berpamitan pada Laudi. "Kalau gitu, saya pulang dulu ya, Mbak Laudi. Sampai ketemu besok," ujarnya riang.

Laudi mengangguk singkat. "Hati-hati, Tasya."

"Siap, Mbak. Oh, ya, Mbak Laudi tadi dicariin Bu Dista. Katanya suruh cepet-cepet ke atas soalnya harus cek venue," lanjut Tasya sebelum benar-benar keluar dari pintu ruang loker.

Laudi menghela napas lelah. Padahal belum ada tiga puluh menit ia izin ke loker, tetapi Bu Dista sudah mencercanya seperti itu. Padahal atasannya tersebut malah sudah pulang ke rumahnya sejak jam dua siang tadi, menggunakan mobil hotel. Berikut Mega dan Vanya yang ikut bersamanya. Mereka bertiga bahkan sempat ke salon dulu sebelum kembali ke hotel lagi, seolah tidak ada apa-apa.

"Oke, Sya. Makasih ya infonya," ucap Laudi dengan senyum dipaksakan. Ia hanya bisa mengutuk orang-orang menyebalkan itu dalam hati.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top