IV | A Gate Beyond Sky
Aku menyewa penginapan di Fay Avenue, kawasan paling ramai dan panjang di Oakenford, sekaligus jalan yang berujung pada tanjakan menuju Universitas Artington. Banyak klub makan di sini, termasuk asrama-asrama dengan kekhasan Oakenford, tetapi bukan bangunan dari batu nan mewah seperti Drake Hall. aku yakin Fay Avenue menjadi tempat paling ramai di akhir pekan, apalagi mulai bermunculan penginapan-penginapan murah yang menyempil di antara kedai-kedai. Penginapan yang kusewa kebetulan diimpit sebuah kedai oriental dan bar. Selama aku mengangkat koper-koperku melalui dua pasang tangga, aroma bawang putih dan bir tercium pekat dari dinding-dindingnya. Pencahayaan lorong-lorong maupun kamar sewa begitu gelap, dengan hanya satu lampu gantung yang mengayun-ayun ringan saat terkena embusan angin dari jendela yang berkeriut pelan.
Aku memikirkan Drake Hall lagi, tapi mana mungkin aku serta-merta menerima tawaran Terrence Roth setelah ditipu seorang broker? Aku perlu menenangkan diri. Setelah pertikaian dengan Harvey semalam, kemudian pamit dengan sepucuk surat saja demi mengejar bus terpagi, aku tidak siap dihadapkan dengan broker penipu. Terrence dan kawan-kawan stafnya di Jacks and Co. benar-benar adalah penyelamat, dan aku yakin kebaikan mereka membawa banyak pelanggan sejak matahari baru terbit.
Sembari tengkurap di ranjang, aku membuat sketsa sosok Terrence. Aku tidak bisa melukis dengan suasana seperti ini, tapi aku butuh mencurahkan imajinasiku sebelum menguap. Terrence memberiku inspirasi mengenai pemuda roman yang elok, dengan pipi merah dan kulit sepucat pualam, dan mata sayu yang teduh. Aku berkutat cukup lama sembari menyantap croissant mentega yang sudah mendingin. Kala sketsaku tuntas, waktu telah menunjukkan waktu makan siang telah lewat, dan aku turun.
Pada jam inilah para mahasiswa mulai memenuhi Oakenford lagi. Lobi penginapan yang kusewa sedang diisi tiga calon mahasiswi yang berdiskusi di meja. Pada kedai oriental yang kukunjungi, mahasiswa-mahasiswa dari berbagai tingkat mulai memenuhi meja-meja dan mereka membicarakan kelas-kelas yang akan diambil di semester depan. Jantungku berdebar-debar. Aku akan kuliah. Dan aku sendirian, tanpa kawan dari SMA, bahkan senior yang bisa kutanya-tanya. Tak ada alumni Raybury yang pernah diterima di Artington, dan satu-satunya orang yang paling dekat dengan universitas ini adalah Ms. Howell, guruku, yang sebatas mengunjungi Pameran Seni bagai ibadah tahunan.
Fay Avenue lebar, dengan pohon-pohon mapel sepanjang jalan yang kuingat pernah kukagumi saat bus melintas. Waktu kunjunganku dahulu, musim gugur sedang mencapai puncak, dan pepohonan mapel yang meranggas menciptakan lautan oranye dan kuning di sepanjang Oakenford, terutama Fay Avenue. Beberapa jam kemudian aku terpekur di sebuah bangku umum dengan kopi susu kedua di genggaman. Sepatu kulitku memang menginjak trotoar, tapi aku kerap terbayang-bayang lantai marmer yang memantulkan kandelir kristal. Angin sepoi-sepoi yang meniup rambutku boleh saja beraroma paduan dari saus tiram, kopi, cokelat, dan tanah basah, tapi aku membayangkan aroma sofa apek dan buku-buku berjamur.
Singkat kata, aku terbayang-bayang Drake Hall yang bangunannya terletak di atas gedung perpustakaan Artington. Jiwaku melayang-layang ke sana, mencari di mana tepatnya posisi perpustakaan sementara jasadku masih tertahan di bawah sebuah pohon mapel di Fay Avenue.
Aku tidak memaksamu, suara Terrence terngiang-ngiang jelas seolah bibirnya sedang berbisik di telinga kananku. Tapi pintu Drake Hall terbuka ... kalau kau mau.
Yang kutahu selanjutnya kakiku berjalan dan punggungku tak lagi bersandar. Refleksnya semudah aku melompat kabur saat mendengar suara pecahan gelas dari ruang makan. Untuk pertama kalinya, aku merasa ada saingan berat dari pemicu refleksku, dan debaran jantungku bukan karena sebuah ketakutan.
Perpustakaan Grand Trove, sebagai salah satu fasilitas yang bisa dikunjungi umum, terletak di sayap terluar universitas, berbatasan dengan pagar pembatas dalam yang terbuat dari batu. Pohon-pohon yang tidak kuketahui namanya berjajar, kemudian berakhir pada pohon-pohon apel. Dua orang gadis—satunya memanjat, satunya lagi menghitung jumlah apel yang dimasukkan ke kantong jaketnya—memetik apel-apel ranum yang disisakan para mahasiswa pemetik sebelumnya. Saat aku melewati mereka, si gadis pemanjat berusaha mengambil satu apel yang tersisa di ujung dahan, dengan satu tangan berpegangan erat.
Setelah berdiri di depan perpustakaan, berputar-putar sejenak dan memastikan bahwa aku tak tahu-menahu cara naik ke Drake Hall, aku menghampiri dua gadis tadi. Si gadis pemanjat baru saja turun dan menerima sodoran apel yang besar. Aku bertanya bagaimana caranya mencapai Drake Hall, dan mereka menatapku seolah-olah aku gelandangan yang mencoba menyusup ke sana. Mereka memandangku dari ujung rambut ke ujung sepatuku, lantas menyadari betapa tidak sopannya tingkah mereka, si gadis berjaket menyunggingkan senyum sesantun mungkin.
"Tidak ada yang bisa naik ke sana sembarangan, Dear, kecuali kau diundang. Itu seperti kau mencoba masuk ke ruang dekan tanpa kepentingan."
Aku menunjukkan kartu hitam yang diberi Terrence, baru sadar akan kegunaannya, dan kedua gadis itu bertukar tatap. Senyum gadis berjaket pun berubah masam. "Ya, kau bisa pakai lift di dalam. Aku tak tahu persis tapi coba pilih tombol lantai paling atas."
Saran itu masuk akal, aku hanya tidak terpikirkan menyoal lift. Entahlah, barangkali bayangan akan Drake Hall seperti kuil dan Terrence bagai pemuda setengah dewa membuatku menyingkirkan lift dari opsi. Lantas aku merasa bodoh. Memang apa yang kuharapkan? Gerbang di atas awan? Tangga marmer yang melewati enam lantai?
Aku merasa gugup sepanjang sisa perjalanan menuju Drake Hall. aku tidak sempat memerhatikan perpustakaannya, sibuk mencari lift, dan bergegas menekan tombol dengan angka paling besar. Saran mahasiswi tadi ternyata kurang tepat. Aku memang mencapai lantai teratas, tetapi masih di dalam bangunan perpustakaan. Di lantai ini, rak-raknya lebih tinggi dan ramping, dan buku-bukunya tidak penuh sampai ke langit-langit. Karpet merah marun yang terhampar meredam suara sepatuku saat masuk dengan terbengong-bengong. Aku mendongak, memandang langit-langitnya yang dilukis langit biru dan awan putih, dengan tiang-tiang kayu penopang yang besar. Tak ada tangga selain mengarah ke lantai bawah. Aku celingukan bagai orang hilang, dan mencoba mencari sosok Terrence di antara sepinya lantai enam. Jendela-jendela besar yang mengantarkan sinar terang-benderang tidak membantu buntunya otakku saat mencoba mencari cara ke Drake Hall. Apakah ada cara khusus? Mesti memencet dua tombol bersamaan, atau bagaimana?
"Apa kau membutuhkan sesuatu?"
Aku mengharap Terrence, sayangnya itu bukan suaranya. Aku berbalik dan menyadari seseorang berdiam di balik meja penjaga, kecuali ia sama sekali tidak terlihat seperti pengawas perpustakaan. Juga tak ada buku absen, komputer, atau semacamnya di depannya. Ia ... menumpu kedua kakinya di atas meja, dengan novel di pangkuan.
Aku terkesima. Ya, barangkali aku mudah terkesima karena ini hari pertamaku di kota baru dan kampus baru, tapi gadis itu pantas mendapat perhatianku. Dia pasti seorang mahasiswi, kira-kira tahun terakhir. Kantung matanya khas, eyeliner-nya tajam, dan celana kotak-kotak di atas mata kaki. Meski hari ini masih cenderung hangat di awal musim gugur, ia sudah mengenakan sweater berleher tinggi.
Karena aku yakin ia bukan penjaga, maka aku mendekat dengan hati-hati. "Aku sedikit kehilangan arah," kataku, berusaha tidak terlihat memelas agar tak menerima senyum cemoohan seperti di bawah tadi. Aku menunjukkan kartu hitam lebih awal. "Kawanku mengundangku ke tempatnya, tetapi aku tidak tahu cara mencapainya."
Ia tidak goyah melihat kartu hitam itu, maka kuasumsikan ia memang mahasiswi semester akhir yang sudah mendengar berbagai rumor, dan hal-hal hebat tidak lagi membuatnya terkesan. Ia justru mengernyit melihat kartuku, mengulurkan tangan tanpa kata untuk melihatnya, dan kuberikan dengan ragu-ragu. Ia hanya menambatkan pandangan pada satu nama, yakni Terrence Roth, dan tampaknya aku berhalusinasi saat ia menyeringai tipis.
Bukan penipu lagi, kan?
Ia mengecek jam tangan. "Ini masih pukul lima sore," katanya. "Mana tasmu?"
Apa maksudnya masih? "Maaf?"
Ia mengembalikan kartuku. "Terry menyuruhku menyiapkan kamar kosong kalau-kalau kawannya akan menginap. Kau kawannya yang dimaksud, kan? Mana tasmu?"
Aku tidak tahu reaksi yang tepat untuk diberikan, tapi wajahku jujur. Aku merasa malu dan ragu-ragu sekaligus. Ternyata Terrence sebaik itu untuk menyiapkan kamar untukku, kendati ini membuatku bertanya-tanya—apa bedanya ia dengan para broker penipu? Oh, uang. Aku tanpa sadar meraba dompet di saku, mencoba mengingat berapa lembar uang yang kumiliki sekarang. Aku tidak bisa memastikan sepenuhnya apakah Terrence bukan penipu, tetapi setidaknya aku lebih mending ditipu untuk menginap di asrama bak pantheon. Sayangnya aku tak tahu bakal menghabiskan uang berapa.
"Aku sudah menyewa penginapan," kataku akhirnya, sebelum jeda waktu berubah menjadi canggung.
Aku tak menduga gadis itu mengulum senyum. Caranya menatapku seolah telah memenangkan sesuatu, barangkali pertaruhan, dan ini membuatnya beranjak dengan suka cita dari kursi empuk yang bisa berputar-putar itu. "Ikut aku," katanya dengan langkah mantap. Aku cepat-cepat mengikutinya masuk ke lift sekali lagi. Kuperhatikan tombol mana saja yang perlu kutekan, dan—oh! Tombol layanan? Yang benar saja. Aku baru sadar kalau lift pada umumnya tak ada tombol layanan. Saat pintu berderak menutup dan lift mulai bergerak ke atas, kulirik bayangan gadis itu. Ia menggoyangkan kepala dan bahunya pelan seirama, menikmati apapun yang sedang dibayangkannya.
Gadis ini semenarik Terrence, dan aku mungkin mulai membuatmu bosan dengan betapa mudahnya aku dipikat. Bersabarlah, kau akan mulai terbiasa, dan menganggap semua ketertarikanku menjadi hal lalu saja.
Lift berdenting, dan bersamaan dengannya yang berkata, "Nah, selamat datang," mataku melebar melihat tiang-tiang mamer menyambutku. Aku mengikutinya menginjakkan kaki di lantai pualam yang berkilat tanpa noda. Ia meninggalkanku mengagumi tirai-tirai marun berat yang membingkai jendela-jendela besar, atau lukisan-lukisan dan pot-pot palem tinggi yang mengingatkanku dengan koridor museum kecil. Suara keletak sepatu gadis itu bergema menjauh, terdengar suara pintu ganda dibuka, dan seruannya menyusul.
"Terry! Tamumu."
Perhatianku teralih. Tunggu, gadis itu juga penghuni Drake Hall?
Tentu saja aku sudah mencurigainya tadi, karena caranya memanggil Terrence Roth dengan seakrab itu, tetapi siapa saja bisa menjadi kawan Terrence yang memesona. Mendadak saja aku merasa seperti serpihan kayu dibanding bingkai emas lukisan. Baik Terrence maupun mahasiswi tahun akhir itu membuatku tak banyak omong seperti gadis dungu.
Terrence muncul di ambang pintu. Ia masih mengenakan kemeja satin tadi pagi, celana legam yang sama, namun dengan rambut yang sedikit acak-acakan dan itu sangat seksi. Ia tersenyum dengan bibir kemerahan itu, kendati dahinya mengernyit. "Julie," katanya, seolah-olah kami sudah tinggal satu asrama. "Mengapa kau berdiam di sana? Kemarilah. Apa kau sudah berkenalan dengan Laura?"
"Kenapa kau memperkenalkan aku?" Aku mendengar Laura mendesis cepat. Ia memang tidak lagi terlihat di wawasan pandangku, dan suaranya pelan, tapi suasana di sini sangat sepi. Terrence menoleh kepadanya, memberi isyarat dengan wajah, dan aku yakin Laura melengos di sisi lain ruangan. Terdengar suara gelas diletakkan.
Saat aku benar-benar mencapai pintu, Laura sedang bersandar pada lengan sofa. Ia melipat dada dengan senyum yang—secara mengejutkan—tulus. "Hei," katanya.
Kenapa ia tak menambah kata-kata lagi? "Halo," balasku, dan tak ingin canggung dengan kesempatan ini, berkata lagi. "Terima kasih sudah membantu. Ini hari pertamaku di sini, dan aku bersyukur bertemu denganmu—di antara semua orang yang menunjukkan arah tanpa tahu cara mencapai Drake Hall dengan tepat. Siapa yang tahu cara ke sini dengan menekan tombol layanan?"
Terrence dan Laura mendengus geli bersamaan. "Hari pertama, normal saja kalau kau bertanya pada semua orang yang kau pikir tahu. Berbulan-bulan lagi, kau benar-benar akan tahu siapa yang perlu ditanyakan untuk menghindari segala hal sia-sia yang kau alami hari ini," jawab Laura, dan tanpa menunggu responsku, ia beranjak. "Beristirahatlah."
Saat Laura memungut gelasnya lagi dan menaiki tangga, Terrence berbisik. "Kalau kau berpikir kata-katanya sedikit ... aneh bagimu, maklumi Laura. Ia sering tak bisa membedakan kenyataan dan dunianya sendiri."
Aku mengangkat alis. "Pelukis?"
"Penulis."
Bibirku membulat. Kalau Laura menyukai membaca dan Grand Trove seperti rumahnya, maka sangat diherankan kalau ia tidak mendapat kamar di Drake Hall. Seluruh bangunan ini adalah rumah untuknya, dan ia tak perlu bersusah payah untuk itu. Mataku menyusuri langkah Laura yang melambat di tangga, karena sekarang ia berpapasan dengan seorang pria yang menuruni tangga. Kuperhatikan mereka bertukar ekspresi seolah-olah saling mencurigai—dalam artian lelucon—dan pria itu menepuk kepala Laura dengan map di tangannya. Laura balas menepuk bokongnya.
"Siapa itu, Terrence?" pria itu baru menyadari keberadaanku, dan ia berhenti sesaat di tangga dengan mata melebar. Kuduga karena Laura baru saja menepuk bokongnya saat ada orang asing, dan ini adalah pemandangan umum di asrama, karena Terrence bahkan tak bereaksi dengan itu.
"Julie." Lagi-lagi Terrence memperkenalkan seakan kami kawan lama. "Dia dihadang dua broker penipu segera setelah masuk ke kafe."
"Astaga." Pria itu tertawa ringan. Ia mengingatkanku pada senyum manis anjing Harvey, golden retriever paling bersahabat yang kutemui tiap aku berkunjung. Aku menyadari bahwa ketiga penghuni Drake Hall yang kulihat memiliki gaya berbusana khas dibanding dua mahasiswi pemetik apel di bawah. Mereka tidak mengenakan jaket almamater atau celana olahraga—mereka suka sekali sweter rajutan, kemeja satin atau hitam sekalian, dan warna-warna gelap yang begitu kontras dengan Drake Hall yang terang-benderang, seolah mencoba menyeimbangkan pancaran warna di sekeliling.
Aku mengira ia mahasiswa tahun akhir, tapi gayanya terlalu rapi. Barangkali ia asisten seorang profesor. Sorot matanya hangat saat menatapku. Ia berjalan ke arah kami, dan aku menduga bukan karena sekadar menyapaku, sebab ia menenteng tas kulit. "Kau boleh menginap di sini selagi asrama masih sepi, Julie." Aku suka bagaimana ia mengucapkan namaku, seakan ia kakak sulung yang sangat menyayangiku sejak aku lahir. "Pilihlah kamar kosong yang kau suka, dan jangan khawatir, tak ada biaya."
Terrence menyeringai. "Ke mana kau akan pergi, Profesor?" aku terkejut. Ia seorang profesor? Semuda itu? "Ini jam lima. Apa kau takkan ikut nanti malam? Aku tak mau mendengar omelan Laura seorang diri."
"Laura takkan mengomel kalau ada orang baru." Sang profesor sekarang menatapku seakan aku penyelamat mereka. Ia mengulum senyum dan mengangguk kepadaku. "Senang bertemu denganmu, Julie."
"Ya, senang bertemu dengan ... siapa nama Anda?"
"Hayes. Julian Hayes."
"Senang bertemu dengan Anda, Profesor Hayes," ulangku, berharap setengah mati ia akan mengajar di jurusan seni murni. Aku akan berusaha menghadiri setiap kelasnya. Saat Profesor Hayes berlalu meninggalkan kami, aku berbisik kepada Terrence. "Di mana ia mengajar?"
"Farmasi." Ah, sayang sekali. Namun, tetap saja itu tidak menyurutkan kekagumanku. Tiga orang penghuni Drake Hall telah kutemui, dan sekarang hatiku tak mau berhenti berdegup.
Ini rahasia antara kita saja, tetapi aku yakin—sangat yakin—bahwa aku takkan kecewa jika berkawan dengan orang-orang keren ini.
Dan untuk pertama kalinya, aku tidak memikirkan lukisan Fragonard sama sekali.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top