III | Swindler Danger

Note

Sebelum ada yang protes, aku menulis TFC dengan maksud ingin mencetaknya sebagai buku suatu saat nanti. Sehingga aku menulis TFC sebagai sebuah buku, bukan sebagai bab Wattpad yang biasa disuguhkan dalam paragraf-paragraf pendek. ♡

cheers,

Andy.


-------------------------------


Ketika aku kecil, Mom tak pernah bercerita apa-apa. Tidak mengenai perselingkuhan Dad, tidak mengenai hatinya yang sakit, dan tidak mengenai apa pun yang membuat kepercayaan Mom terhadap orang berkurang. Mom selalu tampil kuat di hadapanku, dan kukira, tak ada masalah di rumah. Kupikir Dad pulang larut karena dipaksa Paman Jerry untuk menemani minum-minum, tapi Harvey kemudian berkata ayahnya sudah berhenti minum karena diminta Bibi Cass. Dugaanku berganti. Dad jarang menghabiskan waktu di rumah saat Sabtu karena tuntutan pekerjaan, lalu Mom berkata Dad tidak suka lembur.

Sewaktu Dad berada di rumah, kupikir situasi setiap rumah sama seperti rumahku: senyap, hanya terdengar lantunan kaset George Benson favorit Mom dari radio buntutnya, dan Dad yang sibuk di garasi. Waktu kami berkumpul bertiga adalah saat televisi dinyalakan, dan Mom baru selesai menghidangkan menu makan malam. Seringkali Mom akan menelepon kakak sulungku, Brenda, tetapi ia selalu sibuk mengerjakan tugas, atau membantu Nenek di toko. Dad agaknya sedih, dan itu satu-satunya ekspresi paling berkesan yang pernah kudapat darinya, tapi Mom sangat sedih. Ia menghargai setiap detik suara Brenda yang didengarnya. Sayangnya kakakku terdengar kesal kalau diingatkan akan rumah.

Kupikir, perdebatan mulut Dad dan Mom di meja adalah hal lumrah, bahwa makanan menambah energi mereka untuk mencurahkan perasaan, dan sebaiknya tak ada yang bicara selain hal penting-penting saja. Aku juga berpikir, lumrah bagiku untuk lari ke kamar, dan sebaiknya cepat-cepat tanpa berpikir lagi—entah saat makan, menonton televisi, atau mengintip koleksi Harlequin milik Brenda yang ditinggal—saat Dad mulai berteriak kepada Mom. Mom bilang, pada saat itulah menyetel musik kencang-kencang di kamarku diperbolehkan. Lebih baik lagi, kalau aku tenggelam pada hobi menggambarku, dan mengabaikan segalanya. Atau, kalau mulai muncul suara vas-vas dipukul, dan gelas dibanting, maka sebaiknya aku lari ke rumah Harvey.

Saat aku menginap di rumah Harvey pertama kali, aku sadar bahwa Paman Jerry dan Bibi Cass tidak seperti orang tuaku. Mereka saling merangkul saat menonton televisi, menggoda kedua putranya tentang gadis-gadis di sekolah, dan menertawakan Paman Jerry saat mabuk dan menari perut, tanpa takut dibentak. Aku mulai sering mengunjungi rumah Harvey setelah itu, penasaran dengan perbedaan Paman Jerry dan Bibi Cass. Namun, tak peduli betapa konyol Paman Jerry dan perutnya yang bulat, atau Bibi Cass dengan tawanya yang persis burung camar, aku selalu pulang ke rumah yang gelap. Suara George Benson favorit Mom menggema lemah di ruang duduk, dan dalam kesenyapan ini, keyakinan cinta penyanyi tua itu terdengar seperti mantra pemanggil arwah. Aku selalu takut untuk menengok ke ruang makan tempat kaca besar berada, khawatir jika suatu saat akan muncul arwah dari sana, seperti yang ditakut-takuti Harvey tentang Mary Berdarah. Tapi bahkan Mary Berdarah tidak lagi membuatku cemas, dan seiring usiaku bertambah, aku lebih risau akan absennya Dad.

Aku tak akan cerita kapan tepatnya aku mengetahui akar dari semua ini. Tapi saat aku menyaksikannya, akhirnya aku tahu mengapa Mom berulang kali mendengarkan sesuatu dari telepon dengan risau, memutar semua rekaman pesan. Atau mengapa ia lebih sering tidur di kamar Brenda alih-alih bersama Dad. Atau, mengapa ia tak pernah menjemputku dari rumah Harvey semenjak Bibi Cass menyinggung betapa Dad jarang terlihat di komplek. Saat itu usiaku sepuluh tahun, dengan kaki yang otomatis beranjak saat mulai terdengar benturan di rumah, meski hanya disebabkan senggolan tikus yang lari dari pukulan sapu Dad. Kupikir segalanya akan berakhir.

Lalu Brenda datang. Bagai keajaiban, ia pulang ke rumah setelah menuntaskan masa SMA-nya di Bristol. Ini karena Nenek meninggal. Dad sangat terpukul, dan Mom tak pernah melepaskan pelukannya pada Dad, tak peduli betapa kasar umpatan Dad saat mengutuki dirinya sendiri. Mom bagai selimut yang menyerap tangisnya, menghangatkan tubuh Dad di musim dingin, dan tak pernah mendebatnya lagi. Pada saat itulah aku melihat sisi lain Dad—pria pemarah yang berhenti marah. Ia lebih banyak merenung dan tidak sekali pun minum, menghabiskan waktu di rumah karena lelah harus bolak-balik dari Raybury ke Bristol untuk mengurus kematian Nenek, dan mulai mendengar curhatan-curhatan Brenda soal pacarnya.

Tahun-tahun berlalu dan semua terjadi di belakang punggungku. Aku akhirnya tahu Dad tak pernah menemui wanita jalang itu lagi. Aku tidak mendengarnya dari siapapun, karena Mom saja tak pernah cerita kepadaku, dan Brenda berpikir aku terlalu belia untuk paham. Aku tahu sebab Dad membawa buket-buket mawar besar pada setiap tanggal berharga di rumah kami, hanya untuk Mom. Brenda tidak lagi menghabiskan waktu di kamar untuk menelepon kekasihnya James, karena sekarang mereka akan menikah. Pernikahan Brenda, hingga lahirnya keponakan pertamaku, adalah garis final dari perubahan Dad menuju sosoknya yang mencintai Mom sehangat pertemuan pertama mereka.

Tapi itu terjadi di belakang punggungku. Saat aku sibuk membantu Harvey mengurus adik-adiknya, Dad mengajak Mom berkencan lagi. Saat aku sibuk melukis, Dad mulai gemar mengusili Mom yang sedang memasak. Saat aku sibuk mencurigai setiap pasangan di sekolah dan memastikan tak ada yang saling mendua, Dad dan Mom menghabiskan banyak waktu bersama untuk mengasuh cucu pertama. Saat aku berkumpul bersama mereka, yang kudengar adalah kisah-kisah yang sudah terjadi. Aku memang pernah melihat Dad mencium Mom, tapi bayangan Dad mencumbu wanita jalang itu kembali berputar di benakku. Sehingga, bukan salahku jika aku masih sering mengawasi mereka berdua bagai detektif yang menantikan bukti pertikaian antar dua target. Barangkali kekecewaan mendapati tak ada lagi perdebatan adalah satu-satunya kekecewaan yang tidak kubenci.

Apa yang kusaksikan saat muda tidak sebanding dengan perbaikan-perbaikan yang kuterima hingga usiaku delapan belas tahun. Luka menganga yang tersebar di hatiku hanya ditutupi cuilan-cuilan plester. Obat merah yang diteteskan ke luka-lukaku adalah sisa setelah dilaburkan sebagian besar untuk menutupi luka Mom dan Brenda. Itulah mengapa, kendati Mom sekarang selalu berdansa dengan Dad berlatar suara George Benson, lagu itu masih mengingatkanku akan ruang gelap, pecahan gelas, dan cermin Mary Berdarah.


+ + +


Aku tiba di Oakenford seperti bocah hilang. Layak saja, sebab aku pernah ke kota kecil ini hanya sekali saat karya wisata semasa SMA. Aku hanya melihat jalanannya yang dipadati dedaunan mapel oranye dan kuning dari jendela bus, dan hanya menginjakkan kaki di antara bangunan Universitas Artington yang teramat tua. Aku celingukan di stasiun selama beberapa saat, kemudian memutuskan untuk mencari penginapan.

Harusnya, kalau Harvey mengantar, ia akan memperkenalkanku dengan kawan lamanya yang kerja sambilan di sini. Aku tidak tahu apa-apa, bahkan di mana si kawan bekerja, karena Harvey begitu yakin akan mengantarku hingga semalam terjadi. Sekarang aku terbengong-bengong di tepi jalan, memandang bangunan-bangunan bertingkat dua atau tiga yang menurun curam, senada dalam warna coklat atau merah bata, dengan jendela-jendela dan pintu putih yang dipoles mengilap. Aroma mentega bawang menguar samar, dan selama sesaat, keindahan Oakenford mengingatkanku pada kota kecil Rye tempat kelahiran Nenek.

Aku mendongak. Menara-menara mahamegah Universitas Artington menjulang di puncak bukit rendah di sisi timur aku berdiri. Aku sempat mengira akan menjadi seorang putri bangsawan yang akan pesta debut di sana. Dengan jantung berdebar, aku berusaha menyingkirkan kebingungan, dan menggeret koper-koper menyusuri jalan berbatu.

Namun, pertama-tama, mari kita menyesap latte di pukul tujuh. Aku yakin hari ini bakal menjadi hari yang panjang.

Bilton Road adalah satu-satunya jalan yang kuhapal saat berkunjung ke Universitas Artington, maka aku sempat berputar-putar dan melihat papan peta kota untuk mencocokkan posisi "KAU DI SINI". Butuh melewati dua papan peta hingga aku mencapai Bilton Road. Kawasan yang dipenuhi deretan kafe dan toko-toko buku dan pakaian trendi itu senyap saat aku menginjakkan kaki di bawah plang nama jalan. Waktu memang masih menunjukkan pukul tujuh lewat sebelas menit. Namun, aku tak menduga Oakenford akan sesepi ini di Hari Sabtu, dua hari menjelang dimulainya tahun ajaran baru.

Sesuai kekhawatiranku, kafe-kafe dan toko-toko itu masih tutup. Aku terus menyeret koper hingga berhenti di depan Jacks and Co. yang menebar aroma kayu manis dan kopi. Kupikir ini satu-satunya kafe yang buka, dan tanpa ingin menunda rasa lapar lagi, kubawa dua koper dan satu tas selempang masuk.

Setelah menyampaikan pesanan kepada gadis kasir, aku mengedarkan pandangan sejenak sementara ia mencatat namaku. Suasana masih sepi, dengan satu pemuda karyawan yang malas-malasan di pojok ruangan dan seorang wanita yang terus-menerus bertelepon di meja dekat pintu. Jacks and Co. sebenarnya tidak terlalu luas, tapi aku sudah menjatuhkan pilihanku pada meja di pojok jendela. Rasanya tepat menyesap kopi sembari mengamati Bilton Road.

Saat aku duduk, wanita yang bertelepon tadi tiba-tiba berbisik. "Hei, kamu."

Butuh beberapa detik bagiku untuk menyadari bahwa akulah yang dipanggil. "Ya?"

"Mau bergabung dengan kelab makan kami Six Spoons?"

Wow, siapa yang mengira akan ditawari untuk bergabung dengan sebuah persaudaraan setibanya di sini? Tapi guruku pernah berpesan untuk berhati-hati dengan setiap tawaran untuk bergabung. Tidak semua persaudaraan cocok untukmu, dan jangan sampai kau berakhir kehilangan kehidupan sosial.

"Terima kasih, tapi—"

"Woah, Sayang, kau mungkin mau memikirkannya." Wanita itu mengakhiri telepon dan menyelipkan ponsel ke tas. Meski begitu aku terpaku pada rambut pirangnya yang berombak sempurna dan setelan jas putih. "Six Spoons bukan tanpa nama. Kami sudah lama menjadi bagian dari sejarah Artington, dan biar kuberi bocoran—kami pernah dan masih bersaing dengan The Ivy Club." Aku membeliak dan ia mengangguk-angguk melihat ekspresiku. "Ya, Sayang, kelab makan pongah dari Princeton itu."

Aku menelan ludah. Meski itu menggiurkan, sebuah peringatan kecil mulai berdenyut-denyut di kepalaku. Mengapa sebuah persaudaraan saingan sebesar milik Princeton mau menawar pada—

"Ms. Dyer." Aku dikejutkan oleh pemuda karyawan tadi. Ia memanggil namaku keras-keras dari arah konter. Ia meletakkan gelas pesananku. "Ms. Dyer," ulangnya, dan aku agak gusar karena dia bersuara begitu keras di kafe sesepi ini.

"Tunggu sebentar," pamitku pada wanita itu. Sekilas, aku menyadari kemasaman yang memenuhi bibir berpoles merah, meski aku ragu itu hanyalah imajinasi saja. Aku menghampiri konter dan mendapati pemuda karyawan itu menatapku lekat-lekat. Gugup, aku menurunkan pandangan pada papan nama di kemejanya.

Terrence Roth.

Aku ingin sekali menunjuk betapa mistis namanya, yang membuatku menduga jika pemuda ini adalah mahasiswa fesyen yang menjadi model lukisan telanjang atau semacam itu. Namun aku kebingungan membagi fokus. Label pada gelas minumanku tidak bertuliskan menu pesanan melainkan "Dia penipu".

Darahku berdesir. Apa? Kutatap Terrence dengan mata membulat, tetapi pemuda itu bergeming. Dia sungguh-sungguh. Ini membuatku gemetaran. Disambut broker di jam pertama kedatanganku kemari?

Kenapa ini bisa terjadi padaku? Apakah ini karena aku menolak diantar Harvey, sehingga sekarang aku langsung disambut seorang broker? Luar biasa. Aku sempat tak yakin dengan karyawan ini, tapi ia tampak jujur dan tatapan matanya murni khawatir. Aku terlalu familiar dengan kekhawatiran yang dirasakan orang-orang kepadaku selama bertahun-tahun, maka aku segera mengetahuinya.

"Apa yang mesti kulakukan?" kepanikan sontak merayap.

"Tenanglah." Terrence tersenyum. "Ini bukan pertama kalinya, jadi kuharap kau tidak panik."Yakinlah, senyumnya mengingatkanku pada senyum hangat Harvey yang menyambutku di rumahnya, saat aku kabur segera setelah mendengar suara pecahan gelas. Ia mengulurkan sebuah kartu nama. Hitam polos, dengan bordir tulisan yang kukira dibuat dari tinta emas. Baiklah, tak ada penipu lain yang akan seniat ini. "Kau boleh percaya padaku atau tidak, tapi ini benar-benar adalah asrama resmi Artington dan tak ada persaudaraan di sana."

"Lalu?"

"Aku tinggal di sana." Ia menunjuk tulisan Drake Hall. Sekarang nama itu tidak terlalu asing bagi telingaku, tapi aku tak ingat guruku pernah menyinggungnya. "Sekarang katakan pada broker itu, entah dengan nama apa sekarang dia memperkenalkan diri, bahwa kau cuma menunggu kabar dari temanmu. Katakan bahwa temanmu adalah penghuni Drake Hall, dan di sanalah kau akan menginap nanti malam."

Saat aku menatap Terrence sangsi, senyumnya melunak. "Itu hanya alasan. Kau bisa menginap di mana saja yang kau mau nanti malam."

Baiklah, setidaknya Terrence tidak memaksaku, dan jika ia menawariku nanti, aku bisa menolaknya. Setelah Terrence mencabut label "Dia penipu" dari gelas minuman, aku kembali dengan sedikit gugup. Apa yang terjadi setelahnya sesuai dugaanku. Kukatakan kepada wanita pirang tadi bahwa aku tidak bisa menerima tawarannya. Ia sudah tahu apa yang terjadi, dan kukira, wanita itu takkan pernah kembali ke Jacks and Co. lagi.

Sekarang aku terbengong-bengong di kafe yang sepi. Konter barista sedikit riuh dengan canda tawa gadis kasir di telepon, sementara aku tidak melihat Terrence. Tampaknya ia menghilang ke balik ruang karyawan, dan aku termenung cukup lama di tempatku.

Pagi yang mendebarkan, dan sudah lama semenjak aku merasa begitu tegang di hari yang masih pagi. Sekarang aku lapar dan menyesal tidak memesan kue. Namun, lagi-lagi Terrence muncul sebagai penyelamatku. Ia keluar dari ruang karyawan dengan baki croissant hangat yang segera diambil alih gadis kasir untuk ditata. Terrence masih berkutat di dekatnya, tapi kali ini ia melirikku dengan senyum tipis, membuatku refleks tersenyum dan malu karena kedapatan mengawasinya. Terrence mengambil dua potong croissant, melepas celemeknya, dan tanpa kuduga-duga, ia menghampiri mejaku.

"Untukmu, dari kami." ia menaruh satu potong di piring yang cantik.

Aku terlalu kelabakan untuk bisa menolaknya. "Oh, terima kasih." hanya itu yang bisa kukatakan, dan Terrence kembali tersenyum. Ia pemuda elok yang ramah senyum, kurasa, tidak sebanding dengan rambut selegam bulu gagaknya dan kulit sepucat pualam yang dingin. Kukira Terrence akan meminta bergabung, tetapi tidak, sebab ia meninggalkan kafe dan memilih duduk di kursi luar sendirian. Tak lama kemudian lewat sepasang kekasih, dan usai melirik croissant hangat di meja Terrence, mereka pun memutuskan untuk masuk. Ah, teknik promosi yang cerdas.

Croissant mentega pemberian para karyawan Jacks and Co. itu sangat lezat, dan kuakui satu potong tidak cukup. Maka, setelah menghabiskan latte, aku beranjak dan membeli satu potong lagi untuk dibawa. Gadis kasir itu terus-menerus tersenyum kepadaku dan sempat berharap aku akan berkunjung lagi. Aku tak perlu menimbang-nimbang untuk menyanggupi.

Saat aku keluar, Terrence sedang membaca sebuah brosur dengan kaki bertumpu. Astaga, lihatlah kakinya yang jenjang itu. Aku benar-benar yakin ia adalah seorang model.

Aku menghampirinya. "Terima kasih banyak."

"Tak masalah. Akhir-akhir ini sering muncul broker penipu, apalagi mereka suka menarget calon-calon mahasiswa yang datang terlalu awal." Ia melipat brosur, dan mengangkat alis saat aku menyodorkan kembali kartu namanya. "Bawa saja."

Aku menyimpannya dengan canggung. "Aku ingat Drake Hall," kataku, ketika kenyataannya aku tadi mencari informasi di ponsel. "Itu adalah salah satu asrama resmi di Artington." Dan, bangunannya mirip museum dengan pilar-pilar kokoh menopang atap. Aku akan merasa seperti dewi roma kalau tinggal di sana.

"Memang." Meski begitu Terrence sama sekali tak terlihat menghakimiku. "Dan ada dua kamar kosong tersedia semester depan. Kau mau mendaftar?"

Aku terkejut. "Apakah bisa?" kataku tak percaya. Lalu, teringat dengan beasiswaku, aku berkata lagi. "Sayangnya aku sudah dapat asrama."

"Berapa lama?" tanya Terrence, dan tanpa menunggu jawabanku, ia menambahkan. "Drake Hall baru buka pintu pada semester kedua. Kau mungkin ingin mempertimbangkannya." Pemuda itu beranjak dan sekarang aku menyadari betapa tingginya Terrence. Aku terkejut, sebab aku cukup tinggi, tetapi aku hanya mencapai pundaknya. Aku memerhatikan kemeja satin yang jatuh lembut pada pundak lebar dan lengan kurusnya. Matahari pada pukul delapan tiga puluh telah menyorot Bilton Road dengan kehangatannya, dan rambut kelam Terrence bersinar dikecup kilau mentari. Ia cocok kalau berdiri di pintu Drake Hall dengan satin putih di sekujur kulitnya—ia adalah dewa roman bagiku. Tanpa sadar tanganku menggenggam tali tas selempang poster-poster, tak sabar untuk merekamnya pada sebuah kanvas kosong.

"Ya, uh, mungkin saja," jawabku, kini terpaku pada sepasang mata kelabu yang begitu gelap. Tidak, matanya cerah, tapi aku menangkap kekelaman suram di balik kedua mata itu.

"Aku tidak akan memaksamu," ulang Terrence, "tapi pintu Drake Hall terbuka sampai Minggu malam, selagi menunggu para penghuninya kembali. Kalau kau mau, kau bisa berkunjung. Tak mesti untuk keperluan mencari asrama. Menambah teman juga bisa. Tak ada salahnya, kan?"

Ia melambaikan tangan dan pergi. Aku masih terpaku di tempat. bahkan setelah Bilton Road mulai diisi para pejalan kaki, dan pintu-pintu kafe di sekitar dibuka. Namun orang-orang lebih suka menikmati kopi panas dan croissant mentega Jacks and Co. yang wanginya semerbak sementara staf-staf kafe lain masih menata kursi-kursi. Saat aku berbalik, Terrence Roth telah lenyap, dan tak ada tempat yang kupikirkan selain Drake Hall.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top