II | 3:00 AM

Aku menatap lekat-lekat kedua mata kelam itu, berusaha menilik sedikit saja gurat geli yang biasa tersembunyi di sana. Tetapi aku tak menemukannya. Harvey memang bersungguh-sungguh, sebagaimana sikapnya akhir-akhir ini semenjak ayahnya sering menentang keputusan Harvey. Maka aku pun melipat tangan. "Mengapa aku harus mengabaikan orang baik ini?"

"Sampai kita memastikan bahwa dia benar-benar pria baik, bukan penguntit apalagi seorang mesum, dan murni menyukai karyamu sebagaimana kau memuja John-Honore Fragonard asli—"

"Jean-Honoré," selaku mengoreksi.

"Apalah. Pokoknya sampai kita memastikan bahwa ia pria normal yang sangat menyukai semua karyamu dan kebetulan menggunakan nama pelukis pujaanmu sebagai nama samarannya, maka kau baru boleh menemuinya tatap muka."

"Dan bagaimana tepatnya kita akan memastikan semua ini?"

"Ada Bas." Ia menyebut nama kakak sulungnya, Sebastian, yang bekerja di kepolisian Rayburyl, kota kecil kami. Aku refleks memutar bola mata dan memijat pelipis. "Ayolah, Julie. Bas bisa meminta tolong kawan-kawannya, dan kudengar teman kencannya kali ini pernah magang di FBI—"

"Itu mulai terdengar konyol."

"Tidak lebih konyol daripada obsesimu akan Fragonard palsu ini."

Alih-alih mendebatnya, aku mencoba menatap Harvey dalam diam. Ia juga balas menatapku, kendati ia tidak akan tahan. Mulutnya gatal. "Ayo, Julie." Desaknya. "Berhentilah bersikukuh. Aku tahu apa yang kau rasakan. Ini juga alasan mengapa kau tak mau kedua orang tuamu mengantar ke Oakenford, kan?"

Oh, Harvey tahu apa yang dilakukannya.

"Jangan berani-beraninya membahas itu, Harvey."

Pemuda itu mengabaikanku. Ia melambaikan tangan ke arah puluhan gulungan poster di pojok kamar. "Itu?" katanya, lalu menunjuk koper khusus berisi buku. "Dan itu?" lalu ia menatapku kembali. "Aku tidak melarangmu membawa semua itu, tetapi kau akan dianggap sedikit gila oleh teman sekamarmu nanti. Aku paham kau adalah calon mahasiswa seni murni, dan barangkali teman sekamarmu juga tidak jauh-jauh artistiknya, tapi mengertilah. Kehidupan kampus tidak sama dengan masa-masa sekolah."

"Kukira para mahasiswa lebih toleran daripada anak-anak sekolahan yang berpikiran sempit," cetusku. Dan lagi, Harvey gagal memperjuangkan mimpinya ke Manchester.

"Kau tahu apa yang ingin kukatakan, Julie. Jangan hindari itu. Kau akan menjadi mahasiswi, maka setidaknya cobalah untuk sedikit santai dengan hidupmu. Kau bakal sangat sibuk sebagai mahasiswi jurusan seni murni; kau punya banyak waktu untuk mencurahkan perasaanmu pada lukisan, patung, dan segala yang kau suka. Tapi Mr. Fragonard? Kau tak tahu dia siapa. Jangan berpikir dia seperti Edward Cullen. Mr. Fragonard belum tentu muda, tampan, dan mengagumimu dengan tulus. Dia bisa saja seorang paman-paman mesum yang suka memancing gadis-gadis polos. Apa kau paham maksudku? Bahkan kalau kupikir-pikir lagi, Edward Cullen sudah ratusan tahun dan suka mengintai gadis tujuh belas tahun. Dan dia fiksi."

Usianya cuma seratus tujuh tahun. Aku ingin mengoreksi Harvey lagi, tapi lidahku terlanjur kelu. Dadaku berdebar-debar membayangkan hal yang sangat tidak menyenangkan. Mataku buru-buru mengerling ke dinding kamar, tapi—sial, dindingku polos dan hanya tersisa bekas-bekas selotip. Tak ada lukisan yang bisa kuselami untuk beberapa detik.

Harvey meneruskan racauan. "Berhentilah mengejar hal-hal di luar kendalimu. Sebelum obsesimu semakin parah, dan sebelum Jumat berganti Sabtu, maukah kau mempertimbangkannya lagi?" saat aku menatap Harvey dengan mata melebar, ia menambahkan dengan pelan dan ekspresi tegang. "Berangkat ke Oakenford dengan orang tuamu?"

Selama ini aku berusaha memafhumi Harvey, bahkan lebih daripada pemaklumanku terhadap Dad dan Mom. Karena Harvey bukanlah keluargaku. Dia adalah tetangga, sahabat, figur abang, dan segalanya bagiku, yang tak pernah mengkhianatiku, dan tak pernah menyakitiku maupun Mom. Tapi malam ini ia dengan sempurna merusak garis pembatas itu—garis yang memisahkan ia dengan Dad. aku bahkan tak sadar kakiku beranjak, dan telunjukku mengacung padanya.

Aku tak tahu suaraku bisa begitu gemetaran hingga aku berkata-kata. "Tahu apa kau rasanya menyaksikan itu di hadapanmu, dan mendapati bahwa itulah satu-satunya kenyataan yang kau terima?" Harvey menunduk. "Keluargamu baik-baik saja, karena itulah kau bisa mengatakannya. Kau bisa mencintai Susie, karena ayahmu mencintai ibumu dan tak pernah—tak pernah menyakitinya." Suaraku tercekat di sini. "Bas bisa selalu bangkit dari masa lalunya dan mengencani gadis baru, karena dia tahu cinta itu selalu positif baginya."

Harvey pernah mendengarku mengatakan hal yang serupa, dan kali ini ia tak tinggal diam. Ia juga beranjak. Matanya masih bersungguh-sungguh mencemaskanku, seolah mentalku sudah cukup layak dimasukkan ke rumah sakit jiwa. "Ya, aku tahu apa yang kau alami, dan itu tidak menyenangkan, tapi itu masa lalu, Julie!" bisiknya tertahan. Tak ada yang mau kedua orang tuaku mendengar percakapan ini. "Paman memang pernah menyakiti kalian, tetapi ia kembali. Ia kembali, Julie. Saat aku datang tadi, mereka sedang berkelakar di sofa dan saling memasangkan kaus kaki. Itu bukan sesuatu yang bakal dilakukan orang yang masih tersakiti. Mereka sudah saling memaafkan, lantas mengapa kau tidak? Sampai kapan kau mau seperti ini?"

Aku tak pernah merasakan rasa sayang berubah menjadi kekecewaan secepat sekarang, selain saat aku melihat Dad bercinta dengan wanita lain di mobilnya, sepuluh tahun yang lalu. Mataku memburam saat berusaha melotot kepada Harvey. "Keluar." Desisku. "Aku tidak mau mendengar dari seseorang yang mengabaikan perhatian kekasihnya karena keegoisannya."

Harvey menahan napas. "Susie dan aku—"

"Keluar," ulangku dengan menggertakkan gigi. "Aku tak butuh bantuanmu dan Bentley rongsokmu."

"Julie—"

"Aku akan meminta Dad mengantarku kalau itu yang kau mau," ujarku, masih berusaha menahan diri agar tidak histeris. "Aku akan minta Dad dan Mom mengantarku, menciumku saat aku berpamitan, dan melihat mereka untuk terakhir kali sebelum memulai kehidupan kampusku yang baru!"

Harvey berusaha menenangkan, tetapi aku menolak setiap uluran tangannya. Satu-satunya perbuatan Harvey yang bisa kuterima adalah langkah kakinya yang menjauh. Kepalaku panas dan dadaku sesak hingga ia menghilang di balik pintu yang menutup. Buru-buru kukunci pintu dan kubenamkan wajahku di kasur. Apa yang terjadi selepasnya adalah rutinitasku untuk melepas stres. Kau tahulah. Aku menangis tanpa suara hingga tertidur.

Namun masalahnya adalah selepas itu. Aku terjaga ketika waktu menunjukkan pukul tiga pagi. Lumrah, aku tidur empat jam lebih awal daripada biasanya. Nyeri masih menguasai dadaku meski tidak separah tadi, dan kepalaku sakit. Maka aku mengendap-endap ke dapur untuk mengambil sisa kukis. Saat aku melihat kotak bekal yang disiapkan Mom untuk sarapanku di perjalanan, sebuah ide terlintas di benakku.

Hei, mengapa aku tidak naik bus paling pagi menuju Oakenford saja? Lagi pula barang bawaanku bisa dikurangi. Dua koper dan satu tas selempang panjang untuk memuat berbagai gulungan. Aku bakal berkompromi dengan jumlah lukisan yang kubawa. Kuakui dua puluhan poster agak berlebihan, jadi aku membawa sebagian saja. Aku pun bisa membawa sebagian buku di semester selanjutnya, jadi aku tinggal memindahkan pakaian-pakaian di koper ketiga di koper buku. Benar. Aku tak perlu melihat Harvey lagi, dan tetap mencegah Dad dan Mom mencampuri lembaran suciku di Artington.

Benar. Mari kita naik bus!

Aku bergegas ke kamar dan mencari informasi bus terpagi yang berangkat dari Rayburyl. Dua jam lagi! Jantungku spontan berdegup, memacuku untuk bergegas berkemas ulang dan menulis surat kepada Dad dan Mom. Waktu seolah melayang saat aku melakukan hal-hal di luar kebiasaanku. Berkemas ulang, menulis pesan mahapanjang untuk meyakinkan aku baik-baik saja, mandi, sarapan, dan berdandan—rasanya cukup gila aku bisa melakukan itu semua dalam dua jam. Saat aku menginjakkan kaki ke trotoar, langit masih petang, udara penghujung musim panas mencoba menyusup ke sela-sela mantel coklatku. Roda koper berderak pada permukaan trotoar yang kasar, dan aku setengah berlari menuju halte.

Aku sudah mengatakan ini, tapi aku akan mengulanginya lagi untukmu: aku takkan membiarkan kehidupan baruku di Artington dinodai masa lalu, dan—ini mendebarkan!


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top