I | The Lover Crowned
Menjelang Musim Gugur, 2012
"Kau tahulah, Julie, aku tak benar-benar ingin bertikai dengan Harvey. Maksudku, ya, kau benar menyoal dia yang akhir-akhir ini semakin keras kepala, tetapi kurasa ia sedang mempertahankan dirinya. Kudengar hubungannya dengan keluarga kurang baik."
"Harvey berusaha mempertahankan pendapatnya," kataku, berusaha berkonsentrasi keras saat melepas kertas-kertas berukuran besar dari dinding kamar. "Keputusannya untuk berkuliah di Manchester ditentang Paman. Sekarang dia berusaha masuk ke Universitas London, kuharap kau tidak menyinggungnya sama sekali."
"Tentu tidak." Susie tampaknya akan menangis. Oh, tidak. Ia sedang menggulung salinan The Lover Crowned. "Tetapi aku tak ingin berpisah dengan Harvey. Demi Tuhan, andaikan aku bisa meninggalkan kota kecil sialan ini!"
Kutempel kembali selotip yang baru saja kulepas. Sebelum Susie benar-benar menangis dan merusak mahakarya itu, entah dengan tetesan air mata atau remasan jemarinya yang lentik, kuambil alih salinan The Lover Crowned. "Oh Susie," kataku, sembari menjauhkan gulungan itu dari potensi terinjak dan tertendang. Kurengkuh gadis yang baru saja menginjak usia enam belas ini. Dia begitu manis, dan bukan hanya Harvey saja yang mencintainya. Bahkan aku rela menonjok Harvey demi Susie, selain karena pemuda itu memang terbiasa menerima tonjokanku sejak kecil. "Aku yakin Harvey juga tak ingin berpisah denganmu. Tetapi dia sedang bingung, dan kuharap kau mengerti. Kalau kau mau bersabar, dan berhenti memburuinya selama ... katakan saja, beberapa minggu, kupikir kepala Harvey akan mendingin dengan sendirinya. Kalian akan baik-baik saja."
"Beberapa minggu?" Susie tersedak di pelukanku. "Saat itu Harvey pasti sudah bergegas ke Manchester untuk mencari flat."
"Aku yakin dia mencarikan flat yang bisa kaukunjungi bersama abangmu kelak. Flat yang cukup untuk tiga orang atau lebih."
Susie tampaknya akan menyanggah lagi, tetapi rengkuhanku mengerat di bahunya. Susie pun tenggelam dalam tangisan sementara aku menghela napas samar di atas rambutnya. Oh, gadis yang malang. Dan oh, gadis yang begitu kasmaran. Untungnya aku juga mengetahui isi hati Harvey. Tak ada yang perlu dicemaskan.
Barangkali aku satu-satunya yang cemas. Aku merasa seakan bertanggung jawab. Akulah yang memperkenalkan Harvey kepada Susie, tetangga yang baru pindah beberapa tahun lalu. Aku pula yang menugaskan Harvey untuk menjemput Susie di sekolah menggantikan abangnya yang sakit-sakitan. Aku pula yang menyarankan Susie untuk mengencani Harvey saja, pemuda yang hanya tiga tahun lebih tua darinya, saat Susie berkata dengan malu-malu bahwa ia ingin berkencan. Hubungan mereka lancar, manis, dan membuatku merasa seperti seorang ibu yang senang menyaksikan anak gadisnya tertawa bahagia.
Terdengar suara gemerisik ringan. Pandanganku tertuju pada The Lover Crowned yang gulungannya melonggar. Susie belum mengikatnya dengan erat, dan kini salinan lukisan itu terhampar di lantai kamar. Aku hapal setiap detailnya dalam sekali lihat: pemuda bangsawan yang menatap gadis pujaannya dengan penuh kasih sayang, tangan menggenggam, dan gadis yang memberi petunjuk akan memahkotainya. Tapi bukan itu fokusku. Patung Cupid—dewa cinta dari mitologi Roma—terlelap di balik mereka.
Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Dua muda-mudi itu saling mencintai dengan tulus sampai-sampai sang dewa cinta terlelap.
"Mau mendengar lagu favoritmu, Susie?" tawarku, khawatir matahari akan segera terbenam, sementara kami belum selesai menggulung puluhan poster salinan lukisan yang tertempel di dinding. Padahal besok adalah hari penting. "Dan cobalah untuk menjauhkan ponselmu. Akan kuhubungi Harvey sebagai gantinya."
"Ya, bisakah kau tanyakan apa yang dilakukannya sekarang?"
Mengabaikan pertanyaan Susie, aku melompat ke meja di pojok ruangan. Laman Youtube selalu terbuka di tab peramban, dan tak butuh waktu lama hingga video musik kesukaan Susie berputar. Sesungguhnya aku agak bosan dengan A Thousand Years, tapi ini demi Susie. Aku mengirim pesan singkat kepada Harvey selepas itu.
Aku sudah meminta Susie untuk tenang dan tidak sering-sering menghubungimu. Tapi aku hanya bisa berbuat sejauh ini. Hubungi ia jika kau sudah lebih tenang.
"Kau sudah tahu? Breaking Dawn kedua akan rilis akhir tahun nanti," kata Susie. Ia menghampiri salinan The Lover Crowned dan menggulungnya kembali.
"Ya, tapi aku akan menontonnya di Artington," jawabku. Baiklah, mari berkonsentrasi melepas dua puluh satu lukisan yang masih menempel di dinding. Jariku terampil melepas selotip tanpa melukai lapisan cat maupun kertas lukisan. Tidak butuh waktu lama hingga lembar demi lembar bertumpuk rapi di lantai, dan tangan lembut Susie menggulungnya satu per satu. Sungguh, dia adalah satu-satunya yang cocok membantuku mengurus semua mahakarya ini. Dad serampangan, Mom tidak sesabar yang diyakininya, dan Harvey tak pernah masuk ke daftar.
"Artington! Ya Tuhan, benar juga. Kau jadi berangkat Sabtu besok, Julie? Diantar Harvey?"
"Ya, dan mari berharap barang-barangku tidak terlalu menyesaki Bentley Harvey." Aku menaruh lukisan kesebelas dengan hati-hati. "Kota Oakenford agak jauh dari sini."
"Oakenford adalah dambaanku sejak kecil," kata Susie. "Oakenford dengan segala keindahannya! Kudengar musim gugur di sana tiada duanya. Kau beruntung, Julie. Musim gugur tahun ini akan sangat berarti bagimu."
"Musim gugur ini kenyataannya adalah yang paling berharga bagiku." Aku tanpa sadar menggigit bibir. Benar. Itulah alasanku memaksa Harvey untuk mengantarku alih-alih Dad dan Mom. Sial. Aku sayang mereka, tetapi keduanya adalah pasangan paling terakhir yang kuinginkan mengantar ke Oakenford, apalagi Universitas Artington.
Susie bergumam semacam ingin ikut serta, tetapi aku pura-pura tidak mendengarkan. Aku juga perlu menjaga perasaan Harvey. Aku rela mengabaikan Susie untuk sahabatku itu, kendati akhir-akhir ini Harvey sangat menjengkelkan. Kucek ponsel dan rupanya ia sudah membalas. Sepatah 'oke' yang menyebalkan, tapi tak mengapa. Yang penting ia masih mau membalas pesanku.
"Kau yakin akan membawa semua lukisan ini, Julie? Apa kamar asramamu akan cukup?"
Aku tertawa. "Mari berharap teman sekamarku juga mencintai karya Fragonard, oke?"
Susie ikut tertawa, semata-mata tahu karena itu agaknya mustahil. Sore berakhir dengan canda tawa yang sukses, dan dua puluh tiga lukisan yang digulung dengan apik. Ketika malam menjelang, Susie pamit pulang, dan itulah giliran Harvey masuk ke kamarku. Ia seketika berkacak pinggang melihat puluhan gulungan di ujung ruangan, satu koper berisi buku, dan koper-koper lain berisi kebutuhan penting.
"Hebat," komentarnya tanpa tambahan lagi. Ia begitu luar biasa dengan kebiasaan komentar-satu-katanya yang selalu berhasil membuatku senang atau jengkel. Kali ini aku tersanjung. Harvey melepas topi bisbol dan menampakkan jejak tekanan di sekeliling rambutnya. Rambutnya tampak seperti mangkuk terbalik sekarang. "Cuma ini yang kau bawa ke Oakenford, Julie? Kau tidak bawa pemutar musik antikmu dan semua isi lemarimu? Satu koper saja?"
"Diamlah, kau bahkan tidak ikut beberes."
"Sudah kau cek semuanya?" Harvey mengabaikan komentarku. "Kau bawa juga salinan lukisanmu?"
Pipiku merona. "Itu memalukan. Sampai aku memastikan bahwa teman kamarku orang yang menyenangkan, aku takkan membawa salinan apapun dari karyaku."
Harvey menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Ia duduk di kursi belajarku, mengamati apa yang sedang muncul di layar monitor, kemudian berkata. "Mr. Fragonard akan sedih."
Aku tahu itu cemoohan. "Well, setidaknya aku bawa salinan lukisan Jean-Honoré yang asli."
Ini sudah menjadi perdebatan di antara kami sejak berbulan-bulan. Sebelum aku menyetorkan nama-nama universitas yang kuinginkan, sebuah amplop misterius mampir ke kotak surat rumah pada suatu pagi yang dingin di 2011—tahun lalu. Isinya tebal dan lengkap: surat beasiswa, berbagai formulir yang perlu kuisi dan kukirim kembali, dan surat-surat rekomendasi dari nama-nama yang tak kukenal. Tetapi aku mencoba mencari nama-nama pemberi surat rekomendasi itu, dan salah satunya adalah profesor di Universitas Artington. Aku bahkan ...! Oh, aku tak tahu bagaimana menjelaskannya kepadamu, tapi Artington sudah lama menjadi impianku, melampaui Susie yang mengira seni seindah filter biru di kisah hidup Bella Swan. Aku bahkan tak malu-malu mencantumkan itu sebagai universitas tujuanku di laman toko online lukisan-lukisanku.
Kemudian, di sinilah titik mula perdebatan kami: tak ada nama pemberi beasiswa itu, dan hingga aku dinyatakan lolos sebagai calon mahasiswi jurusan seni murni Artington, tak ada informasi akan siapa orang baik hati tersebut. Aku mengira ia adalah Mr. Fragonard, pelanggan yang menggunakan nama Jean-Honoré Fragonard, pelukis asli dari semua lukisan yang kusalin, termasuk The Lover Crowned. Mr. Fragonard palsu menjadi pelanggan pertama toko online-ku. Itulah mengapa aku mengira ia yang memberiku beasiswa penuh. Karena, bagaimana lagi ia akan tahu keinginanku menjadi mahasiswi Artington kalau bukan dari informasi di tokoku? Meski dia tak pernah memberi pesan, tetapi ia selalu membeli lukisanku pada harga termahal. Kupikir ia seorang kolektor murah hati yang mengharapkan lukisan-lukisanku selanjutnya yang lebih berkualitas.
Harvey, di sisi lain, menganggap ini adalah bentuk penipuan baru. Ia memang suka curiga kepada Mr. Fragonard. Kenapa pakai nama samaran, bukan nama asli? Itu adalah awal dari ketidaksukaannya. Lalu Harvey bilang namaku takkan ada di Artington, dan segala surat itu palsu. Walau berbagai bukti telah kuberikan kepadanya, Harvey masih berkutat ini adalah penipuan. Mana ada orang sebaik Mr. Fragonard palsu? Siapa tahu itu bukan benar-benar beasiswa penuh. Siapa tahu itu akan menjadi beban utangku selepas lulus nanti. Kalau sudah begini, ia seperti Dad saja, dan aku membencinya.
"Ada pesanan, Harvey? Aku lupa menutup toko. Coba kau tambahkan pesan di papan pengumuman kalau aku akan sibuk selama semingguan ini untuk pindah ke Oakenford. Jangan lupa klik tombol merah di pojok bawah."
Tak ada balasan, meski terdengar sahut-sahutan tombol keyboard ditekan bergantian dengan cepat. Suara tik tik memenuhi kamarku selama sesaat, kemudian diakhiri dengan klik pada tetikus yang keras. Harvey tak pernah lembut dengan berbagai benda yang disentuhnya, kecuali Susie, tapi aku melarangnya menyentuh Susie lebih dari sekadar pelukan. Bagiku enam belas tahun itu masih seperti gadis mungil, apalagi kita membicarakan Susie.
"Tak ada pesanan?"
"Riwayat pemesanan bahkan cuma diisi Mr. Fragonard, Fragonard, dan Fragonard." Itu berarti tak ada pemesan lain. Aku mengangguk, berusaha berbesar hati, dan memintanya untuk mematikan komputer.
Harvey mendekat dengan gusar. "Dia seperti penguntit." Sekarang tuduhannya kepada Mr. Fragonard semakin hina. "Kalau dia ternyata menghadiri Artington juga, jangan temui ia, Julie."
Aku menatapnya seolah-olah menahanku untuk bertemu dengan Mom. "Bagaimana kalau dia benar-benar yang memberiku beasiswa penuh?"
"Aku khawatir kau tidak akan kembali dengan selamat setelah menemuinya."
Aku melemparkan bantal ke mukanya, yang dengan penuh kerendahan hati tidak ia balas. Harvey hanya menyunggingkan senyum masam. "Kalau ternyata bukan?" tanyanya lagi.
"Aku tetap akan menemuinya. Ia sudah membeli semua lukisanku."
"Jangan-jangan dia memang penguntit."
"Bisakah kau positif sedikit?" Aku mulai gusar.
"Bukan itu maksudku, Julie." Harvey serius sekarang. "Dengarkan aku baik-baik, karena esok kita bertolak ke Oakenford. Aku tak ingin kau menemui Mr. Fragonard palsu. Aku tidak bercanda."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top