0. | Newest Obsession


Seri lukisan The Last Prestige—Kebanggaan Terakhir—akan dipamerkan besok. Itu berarti, genap sudah sepuluh tahun sejak kegemparan terakhir yang mengguncang Universitas Artington.

Dua orang pemuda relawan menggotong kain krem yang membungkus bingkai besar, dan aku mengamati lekat-lekat jemari mereka yang merenggut ujung-ujung kain. Kedua pemuda itu tidak dipilih acak—aku tahu sederet persyaratan yang menyisihkan belasan relawan dari puluhan pengaju, dan dua dari belasan yang nyaris beruntung itu. Namun, mau dibilang nyaris pun juga tidak tepat—mereka semua beruntung. Tidak ada yang tidak beruntung saat berhasil mengangkut bingkai-bingkai seri lukisan karya Tanpa Nama.

Sekarang kedua relawan itu berhenti tepat tak jauh di depanku. Mereka menunggu gadis relawan yang sedang memastikan kekokohan paku-paku penyangga bingkai. Di sisi lain, para relawan berhenti dari pekerjaan mereka, dan berbondong-bondong mendekat di sekitarku, sekadar ingin memenuhi kesempatan untuk menjadi yang pertama menyaksikan. Lalu, setelah si gadis relawan menyingkir dengan harap-harap cemas, kedua pemuda melepas kain pembungkusnya.

Bagai mengintip gadis yang menanggalkan handuk sebelum berendam di air mengepul, dan bagai pria mata keranjang yang selalu berdebar-debar, serentetan "Ooh!" memenuhi ruangan.

"Itu indah."

Seseorang mendengus. "Itu pujian yang dangkal, Sayang."

"Bukan itu," sahut yang lain. "Pertanyaannya berulang lagi: apakah Tanpa Nama tetap orang yang sama?"

"Kalau kita hidup di negeri dongeng, ya—tentu saja ada yang usianya ratusan tahun."

"Bisakah kalian diam?" relawan yang mendapat kehormatan menggantung pigura itu mendesis, kendati aku yakin celotehan kawan-kawannya tidak ada hubungannya dengan upaya memasang pigura itu. Tapi aku memahami perasaannya. Dai sedang goyah. Dia sedang gugup. Kalau pigura itu jatuh, barangkali penjara seumur hidup tidak cukup untuk menebus kesalahannya.

Satu-persatu relawan beralih, dan aku mulai merasakan hinaan di hati. Sungguh—sungguh? Apakah hanya itu saja? Apa kalian mendaftar menjadi relawan, dengan kesempatan untuk menyaksikan lukisan-lukisan agung ini lebih dahulu daripada siapapun di khalayak umum, hanya untuk menggantung pigura dan memasang palang saja?

Aku berusaha meyakini diri sendiri. Baiklah, barangkali tak ada mahasiswa seni murni di antara mereka. Tak ada yang tahu rasanya menekan degup jantung agar goresan kuas tidak bergetar. Tak ada yang tahu rasanya menahan napas ketika mencoba menarik garis lurus dengan begitu perlahan. Tak ada yang tahu rasanya berkejaran dengan imajinasi luar biasa di dalam benakmu, dan hanya berakhir menumpahkan secuil keindahannya pada kanvas.

Terdengar decit nyaring gesekan sepatu pada pualam lantai yang semakin mendekat. Meski begitu aku tak mengalihkan perhatian. Mataku terpaku pada lukisan terbaru seri "The Last Prestige" yang dipajang terlebih dahulu. Aku senang bagaimana kedua relawan itu tahu cara memperlakukan bingkai bersepuh emas dengan baik. Mereka pula yang kukira mengagumi lukisan itu dengan sungguh-sungguh. Setelah menggantung pigura, mereka berdiri bersisian untuk mengamati, mengangguk, dan saling berjabat tangan.

"Kita melakukannya."

"Ya, kita berhasil, Bung."

"Mau kufoto?"

"Apa boleh?" kemudian suaranya dipelankan, kendati aku tetap bisa mendengarnya. "Ms. Dyer mengawasi di belakang."

Pemuda yang mengusulkan berfoto spontan berputar. Wajahnya seolah-olah baru saja tertangkap basah merencanakan jual beli majalah porno oleh kepala asrama. Namun aku tersenyum, dan dengan kedikan dagu ringan, aku mengizinkan mereka berfoto.

Oke, aku tahu mengambil foto di museum itu ilegal, bahkan salah satu tandanya jelas-jelas tergantung di sisi kananku, tapi bodoh amat. Keindahan itu untuk diangan-angan kapan saja. Kau tak ingin hasratmu habis seiring dengan semakin banyak langkah yang perlu kaupacu menuju museum. Tidak, tidak. Nikmati lukisan itu di mana saja. Di kamarmu. Di ponselmu. Di benakmu dengan bingkai yang lebih mewah. Tapi, jika kau ingin pengalaman paling garing, maka datanglah ke museum. Kosong dan dinginnya aula museum akan meleburkan gejolak imajinasimu.

Pemilik sepatu berdecit tadi akhirnya menghampiriku, setelah berulang kali menanyai para relawan mana yang bernama Julie Dyer.

"Ms. Dyer, kurator museum?"

Dengan terpaksa kualihkan pandangan dari lukisan. "Ya, itu saya." Aku menerima jabatan tangannya.

"Michael Clark, Ms. Dyer, saya adalah reporter magang dari Harian Oakenford." Michael telah menyiapkan catatan yang digenggamnya sedari tadi. Antusiasmenya terjejak pada kisut kertas. "Namun, sebelum itu, apakah seri lukisan "The Last Prestige" telah terpasang semuanya? Atau, jika belum, setidaknya salah satu."

Kerlingan mataku cukup untuk menjawab pertanyaannya. Reaksi Michael adalah segalanya bagiku hari ini. Mulai dari "Ooh" klasik yang keluar dari hatinya, matanya yang membulat sempurna, dan binar yang membayang.

"Itukah? Tapi ini ...." Michael mengecek sekilas salinan yang dimilikinya. "Lukisan ini tidak ada pada empat lukisan sebelumnya."

Aku mengangguk. "Ini lukisan kelima."

Michael membeliak. Matanya tak bisa melebar lebih daripada sekarang. Ada kebanggaan yang meletup-letup di sana, tak mengira akan keberuntungannya sebagai seorang reporter magang. Para seniornya akan menyesali keputusan ini. "Tunggu, itu berarti—ini adalah lukisan terbaru?"

Aku tersenyum, menegaskan kebanggaannya. "Kau reporter yang beruntung, Mr. Clark, karena kau akan menjadi yang pertama mengulas lukisan kelima "The Last Prestige"."

"Oh, astaga. Ini adalah sebuah kehormatan ... Maksud saya, saya dulunya juga mahasiswa seni, tapi bukan lulusan Artington, dan saya selalu datang kemari setiap pameran seni dibuka."

"Senang mendengarnya, Mr. Clark." Aku mengajaknya untuk menyaksikan lebih dekat. Kedua relawan tadi sudah menyingkir setelah puas mencuri kesempatan berfoto. Michael segera mencatat segala informasi yang tertera pada label karya.

"Newest Obsession—Obsesi Terbaru." Michael mengeja judul yang tertulis. Ia mengambil langkah mundur untuk mengamati lukisan lekat-lekat. Telunjuknya bergerak seirama benaknya, seolah mencoba memecahkan alur yang ingin disampaikan sang pelukis. Ia kemudian mencocokkannya dengan potret salinan keempat lukisan sebelumnya. "Goresannya sama," ujarnya, dan aku tahu ia punya pengalaman dengan kelima lukisan, bukan sekadar celoteh saja. "Ini membuat saya penasaran, Ms. Dyer, dan katakan saja ini tak boleh saya ungkap di surat kabar, saya ingin menanyakannya sebagai seorang pengagum "The Last Prestige" sejak belia."

Michael mendekat sekali lagi, kali ini untuk memberiku pertanyaan dengan suara pelan. "Benarkah pelukisnya, Sang Tanpa Nama, berusia ratusan tahun?" aku berusaha menahan diri untuk tidak tersenyum. "Karena, mari kita asumsikan ia mulai melukis karya pertama sejak berusia tiga puluh—aku yakin itu, karena tak ada bocah yang bisa melukis dengan bumbu pemujaan. Sementara karya pertamanya berusia seratus sembilan puluh ... empat tahun. Selesai pada tahun 1824." Ia menyebutnya dengan tepat tanpa mencontek. "Dan goresan lukisan pertama, Viscountess I Longed For—Viscountess yang Kudamba, dengan lukisan ini, Obsesi Terbaru, memiliki goresan yang persis tanpa cela. Lihatlah kekhasan goresan awannya yang bergelombang ini. Atau daun-daunnya—Ms. Dyer pasti tahu maksud saya."

"Ya, saya tahu," jawabku. "Tapi saya tak bisa menjawabnya."

Michael terbengong-bengong saat aku mengedipkan sebelah mata. Ini membuat reporter magang itu sempat kelabakan. Apakah aku bercanda? Apakah aku serius? Entahlah, ia reporter. Apakah ia akan berambisi untuk mencari tahu identitas asli Sang Tanpa Nama, pelukis seri "The Last Prestige" yang terus bertambah sejak 194 tahun lalu?

Michael berakhir tersenyum. Ia menyimpan sesuatu di benaknya, dan aku sangat tergoda untuk mencari tahu.

"Satu pertanyaan lagi, Ms. Dyer, sebelum kita memulai wawancaranya." Ia menambatkan pandangan pada satu-satunya sosok manusia yang tergores detail di lukisan. Seluruh makhluk hidup lain di lukisan itu digambarkan kelabu maupun hitam, beberapa bahkan semu. Hanya satu sosok yang begitu bersinar, dengan rok coklat tartannya dan sweter hitam yang bahkan garis lekuk dadanya sempurna dan berbayang.

"Setiap lukisan "The Last Prestige" terfokus pada seorang gadis. Seorang muse. Begitu pula dengan lukisan teranyar Obsesi Terbaru, dan seperti yang kita lihat ... gadis dengan modernitas zaman sekarang! Begitu berbeda dengan seorang Lady di lukisan pertama yang mencerminkan gadis-gadis Viktoria di era 1800-an. Seolah Tanpa Nama hidup sesuai zaman yang dipijaknya, dan ia tak lekang oleh waktu."

Benar. Benar sekali.

"Pertanyaan saya, Ms. Dyer, kira-kira siapa identitas gadis di lukisan Obsesi Terbaru?"

Bibirku menyeringai. Sembari memandang sekali lagi sosok yang dimuliakan di lukisan itu—gadis modern di tengah hiruk-pikuk manusia dan ribuan potret yang ditatapnya—aku menjawab.

"Saya mengenalnya." Michael terkejut mendengar jawabanku. Ia buru-buru mengeluarkan catatan. "Namanya Julie Dyer." Kemudian, setelah membubuhkan nama itu dan merasa ada kejanggalan, Michael menatapku bingung. Kubalas keheranannya dengan senyum lebar.

"Dan akan saya beritahu mengapa Julie Dyer bisa ada di sana, menjadi muse dari Obsesi Terbaru."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top