-- 4 --
· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·
Kalau bukan keajaiban, entah apa ini namanya.
"Airi ingin pergi dari sini ... dan ... ikut dengan Sensei. Airi ... ingin menceritakan semuanya, hanya ... kepada Anda."
Icarus tidak pernah menyangka saat dia menanyakan apa yang Airi inginkan akan mendapat jawaban sedemikian rupa. Dia membayangkan jawaban seperti makanan, minuman, atau kertas origami tambahan yang sekarang sudah menjadi pengisi keseharian Airi. Sudah hampir dua kantong penuh berisikan bintang-bintang kecil yang gadis itu buat setiap kali dia merasa gelisah atau ketakutan–sesuai dengan apa yang Icarus pesan waktu itu.
"Kalau Airi takut atau mimpi buruk itu datang lagi, ambil kertas origami ini dan buat satu bintang kecil, seperti ini. Kalau masih belum nyaman, ambil lagi dan buat lagi. Buatlah sebanyak mungkin sampai Airi tenang. Nanti bintang-bintang kecil ini yang akan temani Airi saat tidur agar mimpi buruk itu tidak datang lagi."
Begitulah yang dia ucapkan.
Sekarang, Icarus tertegun di tempat duduknya yang masih cukup jauh dari Airi. Di tangannya masih tergenggam bintang origami setengah jadi yang dia buat selagi mengobrol ringan dengan perempuan ini.
"Apa ... Airi ingat sesuatu?" Mesin penerjemah menerjemahkan, lalu Airi mengangguk kecil. "Tapi, kalau di sini Airi ada teman banyak dan–"
Ganti Airi menggeleng cepat. "Tidak ... tidak ... tidak ... tidak! Airi tidak mau.... Airi tidak mau ...! Airi tidak mau bertemu manusia! Menakutkan ... Mereka menakutkan ...! Airi takut!"
"Baiklah, baiklah! Airi boleh ikut saya. Tidak apa-apa, saya tidak keberatan, kok. Kita bisa lanjutkan mengobrolnya di rumah nanti," kata Icarus menenangkan. "Asal dengan satu syarat."
Airi melayangkan tatapan bertanda tanya.
"Airi jangan putus obat sampai saya perbolehkan, dan kalau bisa Airi ceritakan semua yang Airi ingat agar saya bisa bantu Airi. Apa Airi bisa?"
Satu lagi anggukan lantas membawa mereka berdua ke sebuah rumah di sore harinya. Rumah yang cukup besar untuk ditinggali oleh Icarus seorang. Pria itu langsung mempersiapkan kamar untuk Airi, menyiapkan makan, dan memastikan Airi meminum obatnya setelah melalui perjalanan yang agaknya tidak membuat gadis itu nyaman sama sekali.
Icarus tidak berekspektasi gadis itu akan bercerita begitu sampai rumah, dan memang benar. Namun, entah kenapa setelah satu minggu Airi pindah ke rumah (yang sekaligus tempat praktek mandiri Icarus) dan gadis itu masih belum membuka mulut, Icarus mulai khawatir. Apa ini keputusan yang salah? Apa dia justru memperburuk kondisi Airi? Dan berbagai pertanyaan lainnya.
Baru di suatu malam, Airi keluar kamar menghampiri Icarus yang sedang berkutik dengan laporan di ruang tengah. Mengerti apa tujuan Airi mendatanginya, Icarus segera menutup laptop, menyiapkan susu hangat dan camilan, lalu duduk di samping perempuan itu–tak lupa menggunakan translator-nya. Oh, Icarus sungguh harus mulai belajar bahasa Jepang untuk pasiennya ini.
Ia memasang telinga baik-baik dan memastikan bahwa kehadirannya tidak akan menekan Airi seidkit pun saat gadis itu mulai berbicara. "Airi dulu punya seseorang yang Airi cinta ... pacar. Orang itu yang ... satu-satunya menyayangi Airi saat kaa-san dan too-san hanya bisa ... berteriak di rumah." Suaranya masih berbisik tapi mesin penerjemah masih bisa menangkapnya dengan baik. "Airi ... sudah memberikan semuanya untuk dia ... karena dia juga bilang cinta Airi dan berjanji akan selalu mencintai Airi. Airi harus membalasnya."
Namun, lelaki itu mulai berlaku aneh, tutur Airi. Membawanya ke tempat dengan banyak lampu-lampu dan papan-papan iklan menyilaukan, ramai orang, masuk ke salah satu tempat di gang gelap. Di sana, awal pertama Airi dipaksa memakan sesuatu menyerupai pil yang seketika membuat ia takbisa mengontrol tubuhnya sendiri. Bukan hanya sekali dua kali, kekasih Airi terus membawanya ke tempat yang sama atau ke tempat lain yang serupa, dan selalu bangun dengan badan telanjang bulat.
"Airi tidak pernah tahu apa yang terjadi. Sampai ... satu hari. Airi tiba-tiba sadar setelah dipaksa makan serbuk-serbukan. Airi ...," Tangannya mencengkeram pajama pemberian Icarus kuat-kuat. "...A–Ai ... Airi–"
Pemandangan itu terpampang lagi di depan mata. Tiga–tidak, empat–lima orang mengelilinginya. Salah satunya begitu dekat menempel di atas badan. Napas orang itu memburu keluar dari mulut yang menyumpal Airi. Si gadis seperti bisa merasakan lagi kedua tangannya mencengkeram sesuatu yang genyal. Berdenyut menjijikkan dan baunya membuat dia mual tak karuan.
Napas Airi mulai takberaturan. Jantungnya berdegup begitu kencang sampai rasanya akan mencelat dari kerongkongan.
"Airi?"
"Me ... mereka mengerubungi Airi .... Airi tidak–tidak bisa lari." Airi memeluk tubuhnya sendiri yang gemetar. "Pria-pria dewasa itu ... menyentuh Airi. Menciumi Airi. Me–memakai Airi ... bergantian .... Semalam, dua malam, tidak berhenti. Tidak selesai juga. Orangnya terus berganti. Airi takut...! Airi lelah. Airi–Airi tidak mau obat itu lagi. Tidak mau. Airi tidak mau ...!"
Airi tersentak oleh sentuhan tiba-tiba di pucuk kepalanya. Ia mendongak, mendapati senyum lembut yang selalu dia lihat di wajah dokternya masih terukir di sana. Icarus sekonyong-konyong memeluknya, sambil berkata, "jangan khawatir. Mereka tidak akan bisa menyentuhmumu. Airi aman di sini. Saya janji."
Icarus sempat panik karena tangan dan tubuhnya refleks menyentuh gadis itu tanpa meminta ijin darinya. Ia hendak menarik diri sebelum Airi histeris. Namun, takdisangka kalimat yang spontan terucap itu cukup untuk menenangkannya. Si gadis lanjut bercerita tanpa mengindahkan tubuhnya merekat di manusia lain. "... Saat ... mendengar mereka akan menjual Airi ke luar negeri ... Airi mencoba kabur. Lalu bertemu seseorang yang ... berjanji akan membantu."
Sayangnya, pemuda itu mati terbunuh saat membantu Airi. Memupuskan segala harapan yang Airi punya.
"Manusia menakutkan. Aku tidak mau bertemu mereka lagi. Aku tidak mau," rengeknya. Pelukan Airi ke Icarus yang terus mengencang membuat pria itu tak bisa berhenti bertanya-tanya.
"Tapi, Airi tidak takut dengan saya?"
"... Sensei mirip dengan orang yang membantu saya waktu itu."
Icarus bergeming.
"Airi sering mendengar suara yang mirip dengan Anda," tambahnya. "Apa ... Anda yang dulu menawarkan Airi untuk ikut Anda? Berkata akan membebaskan dan memberikan kebahagiaan kepada Airi ...?"
Icarus menganggap ini satu lagi keajaiban. Dia mengucapkan itu sebelum mereka berdua pergi ke Rumania, dengan bahasa Jepang seadanya, dan kondisi Airi yang sangat jauh dari kata baik-baik saja. Rasanya tidak mungkin perkataannya bisa terdengar, apalagi diingat. "Benar, Airi. Saya yang bilang itu."
Airi melepas pelukan. "... a ... apa itu mungkin ...?"
Gadis ini pasti ragu setelah dua pahlawan pertamanya merusak janjinya sendiri. Icarus mengelus pelan rambut Airi. "Tidak bisa instan. Tapi, saya yakin, dari waktu ke waktu, semuanya akan kembali," tuturnya. "Selama Airi percaya dunia Airi akan membaik, dan kebahagiaan serta kebebasan akan datang, maka itu akan terjadi."
"Jadi ... semuanya bergantung padaku?"
"Benar."
"Apa Airi pantas ...?"
Icarus memberikan gelas susu yang isinya belum berkurang sama sekali. "Tentu saja. Airi pantas mendapatkan milik Airi kembali."
Airi menerima gelas itu. Dia menunduk, lalu mengangguk kecil.
"Kalau sudah tidak ada yang mau diobrolkan lagi, lebih baik Airi tidur. Mau saya buatkan susu hangat lagi?"
"Tidak. Tidak ... perlu. Airi tidak ingin merepotkan Dokter."
"Tidak apa-apa. Airi pasien saya. Lagipula, anak kecil harus banyak minum susu."
Airi mengangkat kepala. Mata biru yang sedikit melebar itu mengerjap-ngerjap. "Airi ... sudah bukan anak kecil."
"Bukan?"
Gelengan membenarkannya. "Airi ... eum ... sudah dua puluh tahun."
Kini giliran Icarus yang melebarkan mata bermanik merahnya. "Oh?" Badan Airi terlampau kecil, dan jauh lebih pendek darinya. Icarus tidak pernah terpikir kalau gadis ini sudah memasuki usia hampir dewasa. Apalagi dengan caranya bicara. Mungkin ini efek psikis karena trauma dan pengobatan yang sudah dan tengah dia jalani.
Icarus terkekeh. "Ah, maaf. Mungkin saya yang sudah berumur jadi melihat Airi seperti anak kecil. Apa Airi tidak suka?"
"Memang, kalau boleh tahu ... berapa umur Sensei?"
"Tiga puluh dua, Airi."
Mulut Airi membulat. "Um .... Airi tidak masalah kalau memang ... masih terlihat begitu bagi Sensei."
"Haha. Baiklah. Bilang saja kalau ada yang membuat Airi tidak nyaman." Icarus menerima gelas yang isinya sudah ditandaskan oleh si gadis. "Jadi, mau tambah?"
Airi mengangguk.
"Ada lagi yang Airi mau?" tanya Icarus lagi seraya berdiri.
Tidak ada jawaban. Namun, Icarus bisa melihat mulut Airi bergerak, menggumamkan sesuatu yang tidak bisa dia dan mesin penerjemah dengar. "Hm, maaf Airi. Bisa bicara lebih jelas?"
Tapi, gadis itu malah menutup mulut rapat-rapat. Icarus tidak bisa memaksa. Jadi, dia permisi untuk ke dapur, lantas kembali dengan satu lagi gelas susu hangat. "Maaf, saya tidak mengerti bahasa Airi jadi hanya bisa mengandalkan penerjemah ponsel," sesal Icarus. "Saya akan mencoba belajar bahasa Jepang agar bisa mengobrol dengan Airi tanpa perantara. Airi tidak perlu khawatir tidak mengerti bahasa saya. Biar saya saja yang memahami Airi, karena itu sudah tugas seorang dokter."
Icarus mempersilakan Airi kembali ke kamarnya, lantas membukanya laptopnya lagi untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Namun, baru beberapa menit berlalu, Icarus mendengar lagi suara langkah kaki mendekat. Gadis itu kembali bersama gelagatnya yang jelas ingin mengatakan sesuatu.
"Airi?"
"Eum ...." Airi menggerak-gerakkan tangannya. "Origami ...."
"Origami?"
Airi membentuk tanda 'X' dengan kedua tangannya.
· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·
tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top