-- 3 --

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

"Jangan khawatir. Sakitnya tidak akan lama."

Gelap. Hanya cahaya dari lampu jalan yang memberi sedikit penerangan dari balik jendela tertutup. Meski begitu, aku tetap bisa melihat senyum yang ia berikan. Matanya seakan bercahaya dan menangkap perhatianku sepenuhnya.

Erang kesakitan tak dapat kutahan. Bisa kurasakan air mata jatuh membasahi pipi dan langsung diusapnya. Pemuda itu membelaiku lembut. Berusaha menenangkan seraya tetap memberikan rasa perih di antara kedua kakiku.

Napasku mulai tak beraturan. Pandangan memburam dan indera pendengaranku seperti berkurang kemampuannya. Seluruh tubuhku diambil alih olehnya dan semakin tak terkendali ketika ia lagi-lagi memberiku sentuhan memabukkan itu.

"Kau mulai menikmatinya, ya?"

"Aku mencintaimu, Airi."

....

Dia mencintaiku. Aku menurut, dan dia semakin mencintaiku.

....

"Tidak apa-apa. Cobalah. Kau pasti menyukainya."

Gelengan pertama yang kuberikan kepadanya justru mendatangkan sakit yang menghajar kepala, cengkeraman kasar di rahang, serta tangan yang menyogok paksa sesuatu masuk langsung kerongkongan. Dalam satu kedipan mata, dunia yang aku lihat jadi terasa berbeda. Isi kepala dan perutku bak diguncang dengan takkaruan. Lucu, menggelikan.

Bagai jiwa takberaga, melayang-layang di antara bingung dan perasaan yang kelewat gembira, aku tak bisa melawan sensasi terkoyak di setiap sisi badan. Takkuasa memberontak kala diriku terasa terbelah menjadi dua. Rengekan dan tangisan bercampur dengan tawa yang entah milikku atau bukan, yang bahkan membuat telingaku sendiri jadi gila.

"Kau masih mencintaiku, bukan? Kalau iya aku bisa memberimu cinta lebih banyak dari ini."

"Kau akan bahagia bersama kami."

....

Tidak. Bukan ini cinta yang kau janjikan.

Tidak. Tidak.

Ini sakit! Tidak! Ini nikmat, ya. Menggembirakan! Menyenangkan! Menggelikan!

Tidak!

"Bahkan setelah dipakai berulang kali dia masih secantik ini."

Tidak!

"Bukankah sayang kalau hanya dilempar ke distrik merah? Bagaimana kalau kita tawarkan saja ke orang elite di luar negeri sana? Harganya pasti lebih mahal, kan?"

𖥸


"Tubuhnya terus meminta asupan narkotika meski secara sadar gadis itu tidak menginginkannya. Ada kontradiksi yang terjadi antara gejala kecanduan dan alam bawah sadar yang menolak karena trauma." Jari Icarus masih lincah menekan keyboard di laptopnya.

Ada pun trauma itu dapat diketahui dari observasi yang telah dilakukan dalam rentang waktu tiga bulan. Mulai dari serangan panik, sikap defensif dan kecemasan berlebih, agitasi, histeria, dan yang sangat terlihat yakni ketakutannya terhadap orang.


Sementara itu, akibat dari narkotika menyebabkan imun Airi menurun, temperamen tidak stabil, halusinasi yang kerap datang, dan ledakan emosi. Belum diketahui pasti sudah berapa lama Airi mengonsumsi obat-obatan terlarang. Namun, dilihat dari psikis dan fisiknya, sepertinya dia telah mengonsumsi dalam jangka panjang dan/atau dalam dosis besar.

Icarus berhenti. Matanya bergerak membaca ulang laporan pribadi hariannya yang ia tulis setiap selesai bekerja.

Tiga bulan lebih sudah sejak dirinya kembali ke Rumania membawa Airi. Perjalanan yang jauh dari kata tenang dan nyaman. Ia sampai harus memberi Airi penenang dua kali, karena gadis itu tersadar dan panik saat pesawat masih setengah jalan di ketinggian ribuan kilometer.

Tiga bulan lebih pula Airi sudah menetap di dalam bangsal rumah sakit ini. Pun selama itu Icarus tidak bisa mendapat perkembangan yang berarti, selain Airi berhasil dipindahkan ke Bangsal Intermediet dan berkenan bicara padanya–dari jarak jauh berbataskan pintu. Itu pun tidak pernah lama sebab semakin lama dia di sana, semakin Airi merasa terancam.

Apa sebaiknya dia harus mulai melakukan ECT? Obat-obatan seperti tidak ada efeknya. Namun, terapi kejut listrik juga tak lepas dari efek sampingnya yang cukup beresiko.

Icarus menyandarkan punggung ke kursi seraya membuang napas berat. "Mungkin aku akan periksa satu atau dua kali lagi besok." Dia harus memastikan kesiapan fisik dan psikis Airi, meski entah nantinya dia akan mengambil ECT atau tidak.

Kau sangat perhatian kepada anak yang tidak sengaja kau temukan di pinggir jalan, di negara orang, sampai berkorban banyak hal, Icarus.

Kenapa kau tidak melakukan hal yang sama kepada sahabatmu?

Mana alasan sibukmu yang kau berikan padaku dulu, Icarus Lazarescu?

".... maafkan aku."

Meski maaf ini tentu tidak ada artinya bagimu yang sudah tenang di alam sana.

Tapi, kalau boleh, ijinkanlah aku bercerita sedikit padamu, sahabatku, Icarus berbicara sendiri. Airi, gadis itu, punya mata yang sangat mirip denganmu. Ingat kupu-kupu biru besar yang kau tunjukkan padaku dulu, yang kukatakan serupa matamu? Begitulah milik Airi pula.

Bahkan, ketiadaan sorot kehidupannya pun serupa dengan milikmu yang aku lihat terakhir kali.

"Aku ... tidak ingin melepaskan anak itu. Tidak ketika aku melihat dirimu di sana. Aku .. tidak mau mengulang dosa yang sama, dan kehilanganmu untuk kedua kalinya." Icarus memejamkan mata. "Karena itu aku mohon, ijinkan aku melakukan semua ini ... untuk menebus kesalahanku di masa lalu."

𖥸

"AAAAAAARRGHH!!!!!! Tidak! Tidak! TIDAK! SAKIT! SAKIT! AIRI TIDAK MAU! AIRI TAKUT! TIDAK MAAAUUUUU!"

"Airi!" Icarus datang tergopoh-gopoh dari ruangannya setelah mendapat laporan bahwa pasiennya mengamuk tiba-tiba. "Beri obat penenang! Lalu siapkan baju restrain. Kita bawa dia ke ruang gaduh gelisah dulu sampai emosinya mereda," titahnya. Para perawat segera bergerak dan dalam hitungan menit, Airi telah berada di ruangan lain dengan pakaian putih yang mengikat tangannya.

Icarus memperhatikan melalui jendela kecil dari luar. Gadis itu masih meracaukan sesuatu. "Apa katanya?"

Si penerjemah tak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam. "Masih sama seperti kemarin-kemarin, Dok. Sakit, tidak, tidak mau, lepaskan–"

"Uraretakunai! Karera ni tsurete ikanaide!"

Pria yang tadi bicara terdiam.

"Kaeritai! Kaeritai! Ningen wa kowaii yo ....!"

"...."

"Sir?"

"Manusia menakutkan. Aku ingin pulang." Si penerjemah akhirnya melanjutkan. "Jangan bawa aku ke mereka. Aku tidak ingin dijual ...." Ia menengok ke dokter di sebelahnya. "Gadis itu baru saja bilang begini."

Mata Icarus membulat sempurna.

Dijual!? Apa maksudnya!?

𖥸


Tidak! Mual! Menjijikkan!

Berhenti! Berhenti! Berhenti! Lepaskan aku!

Bebaskan aku!

....

"Ikut aku! Aku akan membawa kabur dari sini. Percayalah padaku!"

....

"Airi ... ikut, dengan saya, ingin?"

"Dunia, bebas, kebahagiaan, kembali. Saya janji. Ya?"

....

Airi membuka mata, dan yang pertama kali dia rasakan adalah ketenangan yang aneh. Ia bisa melihat cahaya di atas kepalanya tanpa harus merasa terbakar. Dia juga bisa merasakan empuk kasur dan balutan selimut yang juga memberinya kehangatan. Telinga pun tidak menangkap apa pun selain hembusan kesunyian.

Airi merasa sangat tenang.

Saking tenangnya seperti kosong.

Ia duduk menyelimuti diri sambil memeluk lututnya sendiri. Memandang lurus ke sprei kasur dengan tatapan kosong. Sampai sebuah suara menarik kembali kesadaran si gadis seutuhnya. Ia mendongak. Seseorang terlihat berdiri di belakang pintu besi yang membatasi Airi dengannya. Orang tersebut menyapanya. "Ohayou Gozaimasu, Airi-san. How are you feeling today? Better?"

Airi tidak menjawab.

"Ah, benar. Kau pasti tidak mengerti yang saya bicarakan." Pria berjas putih itu mendatangkan satu orang lagi yang kemudian bicara bergantian. Secara ajaib Airi kemudian bisa mengerti bahwa orang itu menanyakan keadaannya. Namun, dia masih memilih untuk tetap diam dan merapatkan selimut.

Suara itu? Apakah itu suara yang tadi menjanjikan sesuatu?

"Saya akan masuk ke dalam. Tidak apa-apa, Airi?"

Airi refleks beringsut ke belakang. "Si ... siapa ...?" tanyanya pelan, tetapi masih bisa terdengar oleh pendengar di balik pintu kamarnya. "Di ... mana?"

Tidak terdengar ada yang berbicara lagi sampai satu menit kemudian. Pintu terbuka perlahan. Airi waspada, namun tubuhnya tidak menegang atau pun menunjukkan tanda-tanda pemberontakan.

"Maaf. Saya tidak akan mendekat lebih dari ini. Jadi, tidak masalah, ya, kalau saya temani?" Si pria mengambil kursi terdekat dan duduk di samping pintu. Hanya diam sambil memasang senyum, sementara tangannya memainkan ponsel untuk sesaat. Kemudian melihat ke arah Airi lagi.

Perlahan Airi mengendurkan kewaspadaan. Selimutnya turun ke pundak, duduknya mulai terlihat lebih santai, dan Airi balas memandang sosok berjas putih itu dengan tatapan bertanya-tanya.

"Saya Dokter Icarus Lazarescu. Sebenarnya kita sudah bertemu kemarin-kemarin, tapi sepertinya kau tidak ingat." Si dokter berucap, disusul suara dari ponsel yang menerjemahkan; memperkenalkan diri. Seakan mengerti apa yang Airi bingungkan, dia lanjut berkata, "Airi sekarang ada di Rumania, di rumah sakit bagian kejiwaan tempat saya bekerja–"

Rumah sakit jiwa?

"Airi sudah lama di sini karena sakit. Apa sekarang sudah baikan? Atau ada yang masih sakit?"

Kelembutan yang terpancar dari sosok itu berhasil membuat Airi merasa aman sepenuhnya. Ia menggeleng pelan. "... tidak ... terlalu sakit...," jawabnya dengan suara hampir seperti berbisik, diterjemahkan oleh aplikasi di ponsel si dokter.

"Syukurlah." Dokter itu nampak lega. "Sebenarnya saya ingin mengobrol lebih banyak lagi, tapi sebelum itu, apa Airi ingat sedang apa Airi sebelum bangun tadi?" Si gadis mencoba mengingat, tapi malah sakit yang menghantam kepalanya. Ia meringis, mengaduh.

"Jangan dipaksa. Kita bisa lanjutkan nanti saat kau ingat, atau kalau kamu sudah ingin. Ya?" Icarus berdiri, hendak meninggalkan tempat. 

"Oh, ya. Sebelum itu ..." Dia berbalik lagi. "Saya ingin bertanya lagi. Apa Airi suka origami?"

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top