-- 1 --

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

Gadis itu masih memojokkan diri di pinggir sebuah kotak sampah. Di gang kecil yang tak banyak orang berlalu-lalang. Kedua tangan menempel rapat-rapat di telinga, sementara wajah tenggelam di kedua lututnya yang tertekuk. Tubuh kering-kerontang takterurus itu seakan coba bersembunyi dari apa pun yang ada di daerah ramai depan sana-di bawah penerangan lampu dan cahaya dari bangunan-bangunan.

Takmengindahkan perut yang menjerit kesakitan, atau tenggorokan dan bibir perih karena dehidrasi, Airi tetap bergeming. Berusaha mematikan seluruh indera. Sebab sedikit saja cahaya menerpa, rasanya begitu membutakan mata. Hembusan angin terasa pedih membelai kulit telanjangnya. Sedikit saja suara-langkah kaki menggema atau suara seseorang dari kejauhan-cukup membuat tubuh Airi gemetar tak karuan.

Bersembunyi. Teruslah bersembunyi. Jangan bersuara. Jangan bergerak. Jangan melihat. Jangan mendengar. Maka kau akan hidup. Airi. Kau sudah bebas dan kau akan hidup.

"Kau baik-baik saja?"

DEG!

Suara. Ada suara. Siapa? Siapa!? Sangat dekat. Terlalu dekat!

"Hei. Di mana orang tuamu?"

Napas Airi mulai tidak beraturan. Panik, dia beringsut mundur. Sambil berseru tidak ...! Tidak ...! dengan suara pelan, kakinya terus menendang, sementara tangan menghajar asal ke sana kemari. Ia berusaha menjauh dari siapa pun orang di depannya, tanpa peduli pula bahwa punggungnya mentok menghajar tembok di belakang. Gadis itu masih enggan mengangkat kepala. Tanpa harus begitu pun dirinya bisa dengan jelas melihat bagaimana senyum akan melebar dengan deretan gigi terpamerkan di depan mata. Dia bisa merasakan napas panas dengan bau busuk menusuk lubang hidung.

Lari. Lari! Bangun! Jangan biarkan mereka menangkapmu!

Bergeraklah! Bergeraklah! Seperti sebelumnya! Kenapa tidak bisa!?

"Oh My God ...! Hei-"

Airi merasakan sesuatu menyentuh bahunya dan itu membuat ia menjerit keras-keras. Bak terlempar lagi ke masa lampau, dia bisa merasakan lagi sakit menghajar seluruh tubuhnya. Leher tercekik. Rambut ditarik dengan kasarnya. Suara-suara menjijikkan kembali menyerang gendang telinga.

Lari!

Dia berhasil.

Namun, silau cahaya yang serta merta menghajar retina menyadarkan bahwa kakinya telah membawa dia ke tempat yang salah.

Tempat terbuka. Tersorot lampu jalanan.

Si gadis bisa merasakan semua mata tertuju ke arahnya. Tatapan yang menelanjangi pucuk rambut hingga ujung kaki dengan seringai terukir di wajah. Pandangan yang sama yang biasa dia lihat sebelum jatuh ke atas tanah. Sekali lagi kehilangan helai pakaian terakhir di badan dengan tangan dan kaki terantai kuat.

Mereka mengepung. Menghalau semua jalan kabur.

Sekali lagi Airi berteriak karena beban tubuh yang terasa menindihinya.

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

Sepertinya aku tersesat.

Icarus menyusuri jalan yang semakin lama semakin menyempit dan jauh dari jalan raya besar. Awalnya pria itu berniat menemui seseorang karena janji yang sudah dibuat sebelumnya. Karena orang itu bilang rumahnya tidak jauh dari Stasiun Shibuya, Icarus memutuskan untuk menemui sendiri dari pada membuang waktu menunggu jemputan. Toh, sudah biasa seorang dokter menemui pasiennya ke rumah. Dia memilih jalan kaki karena kebetulan jam temunya masih cukup lama dan dia ingin sekalian menikmati jalanan Jepang di malam hari.

Tapi, sekarang ada di mana dia?

Tidak banyak orang berlalu lalang di jalan setapak ini. Motel-motel, kios dan restoran-restoran kecil serta bar menjadi bangunan yang mendominasi sekitar. Beberapa di antaranya memiliki papan nama dengan hiasan dan penulisan yang ... sangat tidak biasa. Sesuatu berbentuk hati dan dominasi warna pink, model perempuan seksi, dan segala hal dan barang taksenonoh yang terang-terangan dipajang.

Ponsel di saku jasnya bergetar. Icarus mengangkat panggilan masuk tersebut.

"Hello?"

"Hello, Doctor Lazarescu? I'm sorry. It's been thirty minutes and you still haven't come. Is there something wrong?" tanya si penelepon khawatir.

"No. I'm fine," balas Icarus. "Tapi, sepertinya saya tersesat di sini."

"Oh, begitu? Apa Anda tahu ada di mana Anda sekarang? Bagaimana dengan sekitar Anda?"

Icarus melihat sekelilingnya sekali lagi. "Sepertinya saya masuk ke daerah pelosok. Gang yang jalan masuknya tadi tidak jauh dari Stasiun Shibuya. Dari yang saya lihat di sini ada restoran, bar, kios-kios dewasa, dan motel-love motel, sepertinya."

"Astaga! Anda ada di Red Light District!?"

"Red Light District?"

"Ya, Sir. Itu daerah yang biasa dikunjungi oleh orang-orang dewasa. Sepertinya Anda sudah lihat sendiri apa saja yang ada di sana."

Benar. Icarus tidak sadar dirinya sudah berjalan selama itu dan telah melihat segala macam iklan dan pajangan yang sedikit membuatnya tidak nyaman. Si penelepon yang tidak lain adalah pasiennya sendiri berkata dia akan menjemputnya segera. Icarus lantas memberi tahu titik temu dekat sebuah restoran keluarga ramai yang tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Wakarimashita. Kalau begitu, saya akan kesana dalam sepuluh atau lima belas menit. Kebetulan tempatnya sudah tidak jauh."

"Ya. Terima kas-"

Klontang.

Suara nyaring dari gang gelap di dekatnya mengalihkan perhatian Icarus. Dia memincingkan mata. Di antara minimnya penerangan, pria itu bisa melihat sesuatu bergerak dari sana. Setelah memutus sambungan, Icarus mendekat demi bisa melihat lebih jelas apa yang ada di sana.

".... Anak kecil?"

Melihat sosok kecil yang meringkuk di samping tempat sampah itu membuat Icarus semakin terdorong untuk menghampirinya. Apa yang dilakukan anak kecil malam-malam di tempat seperti ini? Sedirian? Apa dia sedang bersembunyi dari sesuatu? Dengan hati-hati dan penuh kelembutan, Icarus menanyakan kondisi anak itu serta keberadaan orang tuanya. Namun, bukannya mendapat jawaban, dia malah meronta. Menyerukan sesuatu yang tak jelas sambil terus menendang dan memukul angin di depannya.

Gerakan liar itu melepas satu-satunya kain yang menutupi badan. Icarus dengan cepat melihat bahwa gadis itu tidak memakai apa pun selain sweater yang kini jatuh ke atas tanah. "Ya Tuhan! Hei-!?"

Detik itu, hanya sepersekian detik, manik merah Icarus menangkap sesuatu yang begitu familier dalam memorinya. Sepasang bola mata biru cerah-yang telah kehilangan seluruh sinar kehidupannya-di dalam bingkai wajah yang begitu pucat.

Pemandangan yang begitu terekam di benak Icarus bertahun-tahun lamanya. Satu-satunya penyesalan yang takkan pernah bisa dirinya sendiri maafkan.

Raungan lagi-lagi terdengar dari belakang, sementara si gadis menghilang dari pandangan. Icarus mendapati sosok itu menjerit-jerit sambil terus menjambaki rambut dan mencakar pipi dan kulitnya sendiri. Sontak, Icarus berlari.

Hentikan dia. Selamatkan dia!

Icarus tahu perempuan ini enggan disentuh olehnya. Tapi, dia juga tidak bisa membiarkannya terus mencakari kulit dan menjambak rambutnya sendiri. Tangan Icarus terbuka merengkuh paksa tubuh yang gemetar hebat itu. "Berhenti! Kau bisa terluka!" Tapi sekali lagi seruan itu tak digubris sama sekali oleh si gadis. Anak itu terus meronta. Bahkan, meski tenggorokannya sudah serak dan mulai batuk darah, ia masih enggan bungkam. Kalau begini terus perempuan ini hanya akan semakin menambah luka di tubuhnya.

" Dokter Lazarescu!?"

Icarus menoleh.

"Telpon ambulan! CEPAT!"

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top