-- 0 --

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

Siapa yang harus disalahkan sekarang? Jawaban Icarus masih sama: dirinya sendiri.

Dokumen-dokumen administrasi kependudukan dan segala berkas kebutuhan untuk mengangkat Airi sebagai warga Romania, sekaligus anak asuhannya kini layaknya tumpukan sampah tak berguna. Icarus tertunduk di atas meja kerjanya. Mencengkeram rambutnya sendiri. Frustasi. Ruangan remang-remang ini sama sekali tidak membantunya untuk rileks.

Satu minggu berlalu sudah sejak tragedi terjadi di rumahnya. Icarus sudah menghubungi pihak berwenang dan kantornya untuk mencari pelaku bejat yang taklain takbukan adalah pasiennya yang kabur. Hanya butuh dua hari sampai dia ditemukan dan diketahui bahwa si pelaku dendam kepada Icarus, dokternya.

"Pasien penderita Intermittent Explosive Disorder ini menyalahkanmu karena, menurutnya, sejak dipaksa masuk rumah sakit ini semua orang jadi melihatnya sebagai orang gila. Dia tidak terima dan menjadi lepas kendali," tutur seorang rekan kerja yang sempat mengurusi pasien tersebut. "Target utamanya Anda, Dokter Lazarescu. Karena Anda yang pertama kali merekomendasikan keluarganya untuk memberi perawatan pada orang ini."

Padahal saat itu Icarus hanya coba membantu seorang istri terbebas dari KDRT suaminya, juga melindungi tetangga-tetangga si pasutri dari ledakan emosi dan ancaman yang bisa datang kapan saja dari emosi tak terkendali pria itu. Dia menawarkan konsultasi dan perawatan gratis untuk tiga kali pertemuan. Hal yang biasa dia tawarkan setiap satu kali dalam setahun, di satu tanggal yang dia tetapkan untuk mengenang sebuah peristiwa.

Kematian seorang sahabat yang bunuh diri karena tersakiti kekasih dan dirinya yang enggan menemani.

Dia tidak pernah berpikir niat baiknya itu malah menjadikan Airi sebagai samsak, dan berakhir membuka lagi luka yang tengah Icarus coba tutup rapat-rapat.

Nyawa Airi memang tidak terancam. Dia menemukan gadis kecil itu masih bernapas, dan bukan tubuh kaku seperti sahabat masa lalunya. Tapi, bagaimana Icarus bisa bersyukur kalau semua upaya yang dilakukan harus di-restart dari nol lagi? Dari titik mula pertemuannya dengan Airi yang takbisa disentuh, takbisa didekati oleh siapa pun–termasuk dirinya.

Menyedihkan.

Tempat yang seharusnya menjadi rumah Airi, malah menjadi salah satu sarang mimpi buruknya. Jeritan-jeritan itu datang lagi, tangis histeris itu menghantui setiap malam. Pada akhirnya, Icarus harus melihat si gadis kembali ke balik jeruji bangsal. Memperhatikan gadis itu meringkuk gemetaran dari jauh, tidak bisa melakukan apa-apa.

Bodoh. Dasar bodoh.

Apa sebenarnya yang kau tengah lakukan Icarus? Sekarang kau sudah gagal untuk yang kedua kalinya. Gagal hadir di sisi mereka di saat terpuruknya. Selalu datang ketika semua sudah terlambat.

Menyembuhkan? Menebus dosa?

Atau malah ... selama ini kau tanpa sadar terus dan terus menambah luka ke banyak orang?

Rutinitasnya yang beberapa pekan lalu sempat dihiasi dengan membuat dan melihat bintang-bintang kecil terkumpul di dalam toples kaca, kini tidak ada lagi. Berganti memperhatikan bintang jatuh yang retak berkeping-keping di balik kamar perawatan–yang sangat kecil menunjukkan tanda pemulihan.

Airi tidak mau melihatnya.

Airi tidak mau mendengarnya.

Airi yang seharusnya sudah bahagia dia angkat sebagai anaknya, kini kembali menjadi orang asing yang waktunya banyak terikat di atas ranjang, atau terkurung di ruang gaduh gelisah. Sekadar pasien yang menjadi tanggung jawab Icarus untuk disembuhkan.

"... Usotsuki."

Rintihan itu menggema lagi. Bagai arwah gentayangan, menghantui siang malam. Semakin ia coba untuk melupakan, semakin keras dan terbayang jelas detik itu. Ketidakberdayaan Airi di kamar rumahnya. Seorang diri. Pasrah. Tenggelam dalam rasa takut yang takbisa siapapun deskripsikan.

Pembohong, kata Airi kepadanya kala itu.

Icarus mengepalkan tangan kuat-kuat. Perih seketika menyengat di balik telapak tangan. Tapi, masih tidak cukup mengalahkan pedih dari hatinya yang tersayat-sayat.

"Maaf ...." Hanya itu kata yang bisa dia ucapkan. "Maafkan aku ...."

Namun, tidak sedikit pun suaranya bisa terdengar. Bahkan, oleh dirinya sendiri. Ucapan itu tertahan di kerongkongan yang kering. Tersumbat oleh kelu yang merundung lidah dan mulut.

Meski begitu, dia bersungguh-sungguh.

Berharap gerakan bibirnya mampu menembus kalbu. Berharap Airi bisa mendengar dan suatu saat akan datang kepadanya lagi sambil berkata, "Airi ingin ikut denganmu lagi ..."

.
.
.

"... Dad."

.
.
.

· · ─────── ·𖥸· ─────── · ·

fin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top