missing love

Bucciarati telah mati bahkan sebelum kami semua menyadari itu.

Aku ingat dengan jelas. Tatkala tangannya tertusuk bilah tajam kayu, dia tampak tidak merasakan sakit sedikit pun. Jangankan, pada lubang yang terletak di alokasi serupa pula—Bucciarati anehnya tidak mengeluarkan darah. Ekspresinya yang tidak memperlihatkan apa pun ... fokus pada misi yang kami jalani, dengan wajah pusat; mungkin juga rasa pusing di kepala. Kami bergegas kembali melanjutkan misi dengan menaiki gondola. Berpisah dengan Fugo yang memilih untuk tidak mengkhianati bos, meskipun dengan begitu artinya dia mencampakkan kami.

Aku mengabaikan seluruh hal itu. Walaupun momen ketika aku menjadi saksi nyawanya renggang, aku paham bahwa seharusnya Bucciarati sudah tidak bersama kami. Tetapi entah kenapa, mungkin juga mukjizat; jiwanya seakan tertarik kembali pada raga yang telah mati. Dia bergerak bagaikan mayat hidup. Masih mengikuti perjalanan selayaknya tidak terjadi apa-apa, dan memberikan komando sampai akhirnya kami bertemu Diavolo.

Aku sebenarnya sudah menaruh kecurigaan soal itu. Terlebih ketika kami berada di dalam mobil; serangan jamur dari Green Day, tubuhnya tidak ikut membusuk. Pengguna Stand bersangkutan, atau mungkin seseorang—memberi informasi bahwa pembusukan hanya akan aktif pada makhluk hidup. Dan itu artinya; yang berada di dalam Bucciarati tidak hidup.

Dia mengakui memori internalnya sedikit pudar. Pesan terakhir yang diamanatkan sebelum akhirnya dia benar-benar pergi, momen terakhir saat jiwa kami bertukar akibat kekuatan Silver Chariot Requiem. Detik itu, perjalanan gila kami berakhir. Dan pada akhirnya, raga yang sudah tidak bernyawa akan dikembalikan ke langit.

Aku sempat bercengkrama dengannya ... untuk kali terakhir. Membuatku terisak. Menjadi orang lugu. Hanya aku yang mengetahui fakta menyakitkan itu. Tidak Trish. Tidak Guido. Tidak siapa pun. Dia telah berjuang sebegini jauh hanya untuk melakukan pembelaan atas gadis yang diibaratkan 'dosa' masa lalu seorang bos mafia. Kami memang berencana untuk menghancurkan organisasi itu sejak awal pertemuan. Sudah memahami resiko yang akan kami dapatkan ketika memilih untuk terlibat dalam pengkhianatan. Hanya saja ... aku ... sebenarnya sangat membenci itu.

Kenangan tentang Bucciarati sebenarnya sudah membekas sejak 3 bulan lalu. Di umur belia, aku sudah diangkat sebagai seorang bos mafia yang mengepalai singgasana yang dulunya Diavolo miliki. Aku tidak pernah menggunakan kekuatan Golden Experience Requiem lagi. Itu terlalu bahaya. Diavolo terjebak di dalam lingkar kematian yang tidak akan berakhir selamanya. Tetapi aku pikir itu hal yang pantas baginya.

Kehilangan seseorang, rasa takut pada kematian ... ini bukan hanya soal menangisi Bucciarati. Dalam sehari, aku sudah menyaksikan pula Narancia yang mengembuskan napas terakhir menggunakan tubuhku. Lalu jiwa kami kembali bertukar, tepat saat itu; dan tidak menyisakan keabadian apa pun.

Hanya dengan mengingat kematian 3 orang ini (aku juga menghitung soal Abacchio) semua hal yang berputar di dalam kepalaku benar-benar membuatku takut. Bagaikan kaset rusak. Tak mampu diperbaiki. Aku mencoba menghilangkan masalah itu. Tapi nihil. Mendapati bahwa aku tidak bisa mengontrol kekuatanku, sayangnya Fugo juga telah menyerah untuk mengurusiku waktu itu.

"Apa yang kau takutkan?" aku bisa mendengar suara Guido yang perlahan mendekat. Duduk di samping tempat tidur di mana aku sudah mendekam selama berhari-hari. Bergerak hanya ketika lapar, dan ke kamar mandi.

Suaranya yang pelan ... niatannya yang hanya sekadar mempertanyakan kabar. Tetapi, aku tidak menjawabnya. Atau mungkin, ini tentang balasanku yang seutuhnya tertelan. Aku menangis lagi seperti bayi yang tidak berdaya. Dan hal ini cukup mengkhawatirkan pada beberapa keadaan.

Setiap kali aku bermimpi, aku selalu terbayang-bayang wajah Bucciarati. Dia seakan memanggilku, 'kemari!' menyeretku untuk sama-sama mati. Kalau memungkinkan aku berakhir tragis dengan cara yang sama seperti mereka, aku lebih suka jika posisi Bucciarati kugantikan karena dia lebih berharga untuk menunjang cita-cita mulianya melalui kekuatan pergerakan organisasi kami. Tetapi dia meninggalkan wasiat padaku: kalau aku yang akan memimpin setelah dia tidak ada lagi.

Terpekur di dalam rasa sakit, tidak terselamatkan: dan di saat yang sama—aku takut pada kematian. Mengatakan akan lebih baik jika aku yang bertukar jiwa bersamanya. Tetapi bayangan itu (mengenai bagaimana kehilangan nyawa) pada kenyataannya jauh lebih mengkhawatirkan. Dengan kata lain, aku bisa bilang bahwa mentalku memang tidak sedang baik-baik saja. Aku sudah muak untuk kembali bangkit, hanya akan memperparah keadaan dan buruk-buruknya aku membuat mereka melalui suatu kecelakaan.

"Kau sudah membuat dua pintu di mansion ini menjadi binatang hari ini," Guido memberikan peringatan. "Kalau kau mengulanginya, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan padamu."

Buat aku tenang. Mungkin permintaanku itu tidak seberapa untuk mampu didengarkan. Guido adalah—orang yang selamat—selain Trish dan juga Fugo. Hanya ada aku. Hanya ada dia dan Trish. Hampir setengah dari kami, 3 orang lain; semuanya mati.

Aku sedikit bersyukur karena aku tidak sepenuhnya kehilangan teman-temanku. Trish menjalani hidupnya dengan damai, mendapatkan dukungan finansial. Aku dan Guido mengendalikan organisasi, begitu pun bersama bantuan Fugo yang memilih untuk kembali mengabdi. Namun tanpa Bucciarati, semuanya terasa kurang. Narancia, Abacchio—kalau mereka hidup, mungkin kita akan berpesta dengan memakan pasta.

"Jangan pedulikan soal itu." aku berbisik. "Tutup pintunya dengan menggunakan Stand-mu."

Guido mengerahkan Stand-nya, sesuai arahanku; dan aku meraihnya masuk ke dalam sebuah cumbuan sederhana.

Toh, seandainya pun dunia ini kiamat; sebagaimana nanti aku sudah tidak lagi mampu menari di atas bumi—aku akan kembali bersemayam di dalam jiwa yang sama berkali-kali. Ketakutanku. Rasa kekhawatiranku. Pun yang kuinginkan hanyalah bagaimana cara untuk memupuskan semua ini, Dengan cara yang sama sekali tidak rumit.

Aku memerangkap tubuh Guido dengan kedua sila kakiku yang mengitari pinggangnya, menariknya untuk menindihku. Tangan-tangannya yang berada di sisi badan, kedua matanya yang terbuka saat bersirobok dengan bagaimana aku balas memandang sorotannya. Teringat kembali momen di mana aku menyebuhkan luka-lukanya, Menumbuhkan organ baru. Menciptakan rasa sakit yang seumur hidup tidak akan bisa dilupakannya. Dan wajahnya memerah; dia tahu apa isi pikiranku.

"Kenapa?" aku pikir dia tidak perlu menahan dirinya. Para Stand-nya, yang menjadi penonton; akhirnya kembali lenyap dan tidak ingin mengganggu waktu kami. Ada sedikit sendu yang kurasakan ketika membelai pipi Guido dan melepaskan penutup kepalanya. Yakni sebuah pemikiran jika semudah itu aku bisa menciptakan nyawa untuk Bucciarati dan yang lain, aku tidak perlu merasa seterkpuruk itu.

"Tidak." Guido menggeleng, meraih tanganku; mengecup bagian atas dari jemari-jemari lentikku. "Kau tidak perlu memikirkan apa pun."

Aku bisa mendengar setiap detak jantungnya yang merapat pada dadaku. Seiring dia membuat bajunya terlucuti satu persatu. Dia melakukan semua tugas itu, pun meraba bukaan yang terdapat di pertengahan tubuhku—membuat kami berada dalam kondisi yang sama menyatu. Guido mengangkat salah satu kakiku, menciumnya, meninggalkan beberapa jejak cupang. Dahi mengernyit itu adalah tanda aku tidak menyukainya. Sudah kubilang padanya untuk tidak menyisakan bekas apa pun.

"Apa yang sebenarnya kau takutkan?"

Pada momen di mana tarikan napas kami semakin berat, pertanyaan itu akhirnya meluncur. Aku menegang dengan tangan yang memukul bahunya begitu kuat. Dia terlalu keras. Ini membuatku sedikit tidak merasa nyaman. Dia terus mengeksplor lebih jauh dengan menuai beberapa kata yang membuatku kembali ditimpakan realita itu. Beberapa kali aku menyebut Bucciarati. Beberapa kali aku memanggil Narancia. Beberapa kali aku ... menegur bayangan nama Abbacchio, untuk kembali pada kami.

Tapi pada akhirnya, aku menangis. Aku tidak bisa menyiratkan apa pun yang pantas untuk kubentuk sebagai jawaban bagi rasa penasarannya. Aku tahu ini seakan bukan diriku. Aku terbelenggu oleh mimpi buruk yang tidak seharusnya kupikirkan di dalam sisa napasku. Aku membencinya.

Dan aku mengingat kembali: bahwa aku takut pada proses kematian seseorang yang sebagai akibatnya, membuatku pasti akan menjadi sendiri.

Meskipun ada Guido di sini, kenyataan bahwa aku masih merasa kehilangan tidak akan membantu apa pun. Aku benar-benar meminta maaf karena seolah aku menyia-nyiakan eksistensinya dalam menyapaku selama ini. Tapi, aku akui memang sulit untuk menerima realita bahwa ada sesuatu yang dikorbankan ketika aku bisa menikmati hasilnya sampai di titik ini.

Guido terlihat sakit hati hanya dari ekspresinya saja. Entah sakit hati karena aku malah melirihkan panggilan lain, saat badaniahnya berada di sini. Logat bicaranya yang kasar, yang tidak tahu aturan—dia menciptakan sumpah serapah, yang hanya bisa aku dengar. Tetapi itu tentu tidak sebanding dengan seluruh dorongan yang dia berikan. Mencapai klimaks. Aku terhenyak.

Aku tahu dia hanya mencoba untuk membuatku lega, tetapi siasatnya sayangnya hanya berguna untuk sementara. Aku tetap cemas. Aku kian gelisah. Aku semakin tidak bisa mengendalikan apa pun yang keluar sebagai bentuk emosi tak beraturan. Aku ... mengubah bantal menjadi tumbuhan. Membuat tubuh kami terlilit. Dan dia terus menegang. Kedua kakiku yang terangkat sempurna. Selangka kami yang bersentuhan tanpa adanya senti pun jarak.

Aku membuang wajahku, tidak hendak menatap ada netranya. Dia kecewa. Dia menginginkan posisi itu.

"Apa kau menolak keberadaanku?"

"Tidak ..."

"Lalu?"

Saat leleh di ujung mata semakin pekat, aku baru menyadari bahwa dia juga terisak.

Guido Mista berhubungan lebih lama dengan teman-teman kami. Dan aku hanya segelintir orang yang muncul dan pergi dalam kehidupan Bucciarati. Pada realitanya, aku mencintai laki-laki itu. Sebagai seseorang yang telah menciptakan berbagai hal di dalam realitasku.

"Kau menyebalkan,"

Gudio berbisik sebelum akhirnya mengerang, mencapai puncaknya seorang. Tetapi dia tidak memperlihatkan ekspresi yang menunjukkan bilamana dia menikmati itu. Napasnya yang tersengal, kedua telapak tangannya yang menegang dan menjadi pucat. Dia mengecamku. Dan aku menerima itu.

"Kalau kau ingin mati, aku bisa menembak dan mengantarkanmu ke mereka sekarang."

Aku ... tidak mengelaknya. Momen ketika Guido serta merta mengeluarkan Stand-nya. Entah tindakan abnormal itu sesederhana aku merelakan diri pada kematian yang sejenak lalu pernah aku impikan dalam kalbu; dualitas antara keinginan dalam meraih ataupun pertentangan akan skeptis dan hardik. Tidak ada rasa ngeri. Semuanya hanya ditentukan saat pelatuk itu ditarik. Namun, meskipun nanti itu sakit; aku tetap tidak akan mengeluhkan apa pun. Menantangnya dengan mengarahkan moncong pistol tersebut pada mulutku.

"Itu justru jauh lebih baik, Mista."

Guido bertambah murka. Dia tidak berkelit atas idealismenya, begitu pun aku yang tidak menampik persembahan terbaiknya. Aku lebih suka, jika dia membunuhku—dengan cara yang manis nan indah.

"Dasar brengsek."

DOR

.

.

.

Ketika terbangun, aku bisa merasa tenggorokanku amat gatal.

Aku terbangun dengan rasa sakit di kepala: menciptakan sebuah dengung yang menyakitkan lagi menyengat. Perlahan menyadari bahwa waktu sudah menjadi pagi lagi di keesokan hati, dan dengan kata lain aku telah melewatkan pekerjaanku untuk mengurusi organisasi.

Kesampingkan soal itu dulu, meskipun di saat yang sama aku tahu tindakan ini salah. Melalaikan kewajibab seperti seorang mafia yang tidak becus—Bucciarati di atas langit mungkin akan kecewa mendapati penerusnya bertindak semena-mena seperti ini.

"Dasar orang nekat,"

Aku menolehkan kepala. Baru menyadari bahwa Fugo ternyata sudah berdiri di sebelahku. Tubuhku yang masih telanjang dan terasa lengket. Ah, ada sebagian darah yang terciprat pada bantal. Aku memegang leherku—lagi. Pekat menyakitkan itu ada di sini.

"Minumlah." Fugo tanpa banyak berbasa-basi menawarkan segelas air minum. Aku menerimanya dengan baik, melewati saluran pencernaan, dan itu menyebabkanku terbatuk-batuk hebat. "Untung sekali kau punya kekuatan Stand yang bisa menyembuhkan luka tembakan itu. Mista benar-benar menembak kerongkonganmu, tahu."

"Oh?"

Betapa bodohnya aku baru menyadari itu. Ternyata sensasi yang mengganjal sedari tadi kurasakan ini karena luka yang belum sepenuhnya kering, dan juga organ yang baru tumbuh belum mampu beradaptasi. Aku diselamatkan oleh Golden Experience sekali lagi ... setelah aku sedikit menamba kematian; entah rasanya seperti orang yang denial atau mungkin lebih pantas disebut munafik.

Pada kenyataannya, Guido benar. Walaupun aku pernah meminta untuk mati, aku tetap menghindari momentum kematian itu sendiri. Seperti anak gembala yang tidak mampu menampik dirinya yang pengecut setelah menerima realita bahwa selama ini pun sumber kemalangan itu selalu berasal dari dirinya. Pada titik ini, aku sudah banyak merepotkan Guido. Perasaan rumit yang tidak bisa dijabarkan ini—mungkin, kami masih memiliki kesempatan untuk sama-sama bisa memperbaikinya nanti.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top