Part 6 - Masuk Ekskul

Jangan lupa tekan ⭐️ n komen

Memangnya kamu orang terkenal?

Rasanya kayak kena guyur air comberan.

Jovita Amanda benar-benar tidak percaya masih ada spesies di SMA Adhyaksa yang tidak mengenal dirinya. Jangankan murid-murid dan guru, dagang gorengan di belakang sekolah pun tahu siapa Jovita tanpa harus repot memperkenalkan diri. Entah memang cowok itu hidup di zaman batu atau pura-pura nggak tahu. Jovita tidak mengerti. Ekspresi cowok itu juga begitu datar sehingga Jovita susah menebak apa ia berpura-pura atau tidak.

"Es! Itu Jovita! Jovita!" seorang cowok lagi berbicara pada si cowok muka datar.

Tuh...bahkan cowok di sebelahnya yang wajahnya sepertinya lebih kuper dibanding si muka datar aja kenal siapa gue.

Si cowok muka datar itu kembali menatapnya setelah mendapat pencerahan tadi. Sekarang seharusnya cowok itu minta maaf dan menyambutnya seperti yang biasa dilakukan para cowok pada Jovita. Tapi apa yang dilakukannya kemudian sangat tidak sesuai ekspektasi.

"Terus buat apa kamu ke sini?"

Jovita mengernyit.

"Gue ke sini mau rebonding bulu ketek," sahut Jovita malas. "Pake nanya lagi. Udah jelas-jelas tadi bilangnya ini ekskul KIRS, ya gue ikut ekskul-lah."

"Kamu jangan nyolot gitu, dong!" seru salah seorang cewek yang berada diantara ketiga kumpulan orang itu.

"Yang nyolot siapa? Gue masih adem ngomongnya."

"Setidaknya kamu bisa sedikit sopan kalau ngomong sama kakak kelas."

"Mentang-mentang lebih tua setahun aja trus kalian merasa perlu dihormati, gitu?"

"Aduh, kamu itu! Tau tatakrama, kan?" Cewek tadi maju selangkah seakan hendak menyerang Jovita tapi langkahnya terhenti karena cowok muka datar tadi mencegah dengan sebelah tangannya.

"Mending kamu pulang aja," ucap cowok muka datar itu dengan singkat, padat, dan jelas.

"Pulang?!" Mata Jovita membulat. "Tunggu, emang lo siapa nyuru-nyuru gue pulang?"

"Dia ketua ekskulnya, Mbak," sambar cowok satunya.

Ughh...

Jovita menggigit bibir. Ternyata dia ketua ekskulnya. Tapi harga diri Jovita yang setinggi Mount Everest membuatnya tidak bisa merendah. Sudah telanjur basah ia berdebat dengan orang-orang itu dan ia nggak mungkin minta maaf. Orang lain mungkin iya, tapi Jovita enggak.

"Trus ngapain dia nyuruh gue pulang?!"

"Memangnya siapa yang nyuruh kamu datang?"

"Asal lo tau ya, kalau nggak dipaksa sama sekolah, gue nggak bakal sudi datang ke sini," jawab Jovita sambil melipat tangannya, menunjukkan bahwa ia tidak gentar sedikitpun.

"Ya, udah. Nanti saya yang bicara sama sekolah. Kamu pulang aja."

Jovita terperangah mendengar jawaban santai itu. Cowok itu memang nggak balas nyolot seperti dirinya, tapi kata-kata yang dia ucapkan terasa seperti pengusiran. Jovita tidak bisa terima. Apalagi di belakangnya ada banyak saksi hidup yang melihat kejadian itu. 

"Nggak!" Jovita duduk di salah satu bangku kosong yang ada di sana dan menyilangkan kaki seperti seorang atasan dan yang di depannya adalah bawahan. "Udah capek-capek gue datang ke sini. Gue nggak mau pulang. Kalau berani, paksa aja gue."

Cowok berwajah datar itu sepertinya sedikit terusik sekarang. Meski masih minim ekspresi tapi Jovita melihat matanya menatap tak terima. Jovita merasa puas dengan hal itu.

"Sepertinya Bapak dengar ribut-ribut. Ada apa?" Pak Dika muncul dari pintu tepat pada saat suasana sedang tegang.

"Alhamdulillah, untung Bapak datang! Kalau nggak bisa perang dunia tiga."

"Ada apa, Fathur?"

"Jovita masuk ekskul, Pak. Aries nggak setuju. Tapi kata Jovita sekolah yang menyuruh. Bagaimana, Pak?"

Pak Dika menoleh ke arah Jovita.

"Dia nggak datang Kamis kemarin. Dan saya sudah hapus namanya pas diserahkan ke Bapak," jelas Aries.

"Oh iya, Bapak terus menyerahkan daftar itu sama Kepsek," sahut Pak Dika. "Berarti ada panggilan dari sekolah buat dia."

"Berarti dia datang karena dipaksa, Pak. Sebaiknya kita mencari anggota yang memang bergabung tanpa keterpaksaan..."

"Saya bergabung atas inisiatif sendiri kok, Pak." Jovita sengaja menyela ucapan Aries. Keempat orang di depan kelas itu kini menoleh padanya.

"Wah, bagus kalau datang karena kesadaran sendiri!" seru Pak Dika antusias.

"Tadi kamu bilang kamu nggak sudi datang kalau nggak dipaksa sekolah."

"Nggak inget gue ada ngomong gitu." Jovita memasang wajah paling innocent yang bisa ia lakukan.

Aries menatapnya dengan sedikit tak nyaman. Jovita tahu cowok itu pasti sangat dongkol tapi ia menahannya karena ada guru di sana. Rasanya Jovita ingin tertawa tapi tentu saja ia tidak bisa melakukannya sekarang.

"Pak, Bapak perca..." Marissa baru membuka suara tapi Pak Dika melerai.

"Nggak apa-apa. Kita harus menerima siapa saja yang ingin masuk klub kita dengan tangan terbuka."

Aries menoleh pada Pak Dika, lalu pada Jovita kembali. "Kalau Bapak sudah mengizinkan, apa boleh buat. Tapi saya perkirakan dia nggak bakal lama-lama di sini."

"Kenapa bisa gitu?" tanya Jovita tak terima.

"Ngelihat kamu sekali aja udah bisa nebak."

"Memangnya lo liat gue kayak gimana?"

"Nggak bakal bisa taat aturan."

Jovita memicingkan mata. "Kayaknya lo pengen banget gue keluar dari klub ini?"

"Memang saya ada bilang begitu?"

"Memang peraturannya apa aja?!" geram Jovita dongkol, tak peduli ada guru yang menyaksikannya.

Orang lain di ruangan hanya bisa terheran-heran menonton perdebatan aneh itu.

"Belum masuk aja kamu udah terlambat. Peraturan pertama nggak boleh terlambat."

Jovita menelan ludah dan membatin mengeluarkan berbagai isi kebun binatang. Anjing, kambing, monyet!! Kenapa harus itu peraturannya?!

"Baru pertama kali. Status gue juga bukan anggota kan sebelum Pak Dika nerima tadi," sahut Jovita pura-pura tenang.

"Berarti selanjutnya kamu yakin nggak bakal telat?"

"Iya dong!"

"Baguslah kalau gitu. Soalnya kalau telat hukumannya lari keliling lapangan tiga kali."

Mati gue!!

Jovita berteriak dalam hati. Lapangan yang terletak persis di sebelah mereka itu luasnya hampir kayak lapangan sepakbola. Tiga kali cukup bikin kaki gempor. Biasanya olahraga pagi-pagi sinar matahari nggak terlalu terik. Beda dengan sore apalagi jam tiga. Jam tiga!!

Tapi Jovita nggak bisa menyerah begitu saja pada cowok ini!

"Apa semua yang telat juga pasti bakal kena hukuman yang sama?"

"Maksud kamu?"

"Nggak cuma junior aja 'kan?"

"Nggak. Aturannya berlaku buat semua."

"Berarti kalau lo telat lo juga mesti kena hukuman meski lo ketua ekskul?"

"Iya."

"Oke, gue bakal inget itu."

"Mending lo jangan ngarep Aries telat. Dia nggak pernah telat," celetuk Fathur sambil tersenyum lucu. Diantara ketiga senior itu hanya Fathur yang Jovita rasa paling welcome. Tidak seperti Aries dan si cewek yang masih pakai 'kamu' 'saya' layaknya pejabat kelurahan.

"Nggak ada ngarep. Cuma mastiin aja dia nyebutin aturan yang memang paten, bukan berdasarkan rasa sentimen pribadi," terang Jovita.

Tbc

🍒🍒🍒

Besok Minggu jadi libur ya. Lanjut Senin 😄

Makasi sudah menekan ⭐️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top