Part 4 - Taruhan
Ketemu lagi 🙌 Langsung aja ya.
Jangan lupa menekan bintang ⭐️
Teenage Dream ~ Katy Perry
🍒🍒🍒
Hera dan Erin melangkahkan kakinya bersamaan menuju kelas mereka yang terletak di belakang. Pagi ini mereka kebetulan bertemu di gerbang sekolah sehingga mereka jalan bareng. Tak jarang mereka memang sering bertemu karena jam mereka berangkat ke sekolah selalu sama, tergantung hambatan dalam perjalanan saja. Tapi seumur-umur mereka satu sekolah dari SMP hingga SMA tidak pernah sekalipun mereka bertemu Jovita di pagi hari baik kebetulan ataupun tidak, karena Jovita selalu datang beberapa menit, ralat...detik sebelum bel masuk kelas.
Dan tentu saja mereka terkejut terheran-heran melihat sosok Jovita Amanda, cewek yang terkenal sebagai ratu ngaret di hati mereka sudah ada di kelas pagi itu.
"Jo, ini bener elo?" tanya Erin sambil mengucek-ngucek mata.
"Bukan, ini Gal Gadot!" gerutu Jovita. "Ya, iya ini guelah."
"Nape lo datang pagi-pagi nian. Ada apa gerangan?" Giliran Hera bertanya.
"Demi kelangsungan hidup gue."
"Emang ada apa? Lo mau mati?" Hera mengerutkan alis.
"Udah, jangan banyak nanya. Ada PR apa aja hari ini?"
"Fisika ama Kimia, Jo."
"Tai kambing!!! Kenapa bisa dua pelajaran itu barengan PRnya?!" umpat Jovita.
"Ya, bisa aja. Lo masuk jurusan IPA pasti ketemunya Kimia ama Fisika," jawab Erin santai.
"Pinjem PR lo!" Jovita mengeluarkan buku-bukunya yang terlihat rapi dan mulus akibat jarang disentuh.
"Gue juga mau lanjut ngerjain. Belom selesai, Jo."
"What?!"
"Gue apalagi. Erin yang lebih pinter aja belom selesai. PRnya lumayan sulit," celetuk Hera penuh inisiatif sebelum diminta.
"Kalian ini gimana sih jadi murid?!" gerutu Jovita frustrasi.
"Kaca! Kaca! Ada kaca nggak, Rin?!" Hera yang tidak tahan ikut menggeram kesal. " Nape sih lo? Keracunan boraks? Biasanya juga santai nggak buat PR?"
Jovita tidak menjawab pertanyaan Hera dan sibuk melihat sekeliling. Beberapa teman sekelas mereka tentu saja menonton perdebatan itu tapi Jovita juga tidak peduli. Matanya sibuk mencari dan akhirnya ia menemukan Raka, si juara kelas.
"Rakaaaaa!!!" Jovita berlari dengan riang menuju meja di baris kedua tengah tempat Raka duduk. Hera dan Erin yang menyaksikan itu hanya bisa bengong.
"Eh, iya, Jo...lo belum buat PR ya?" Raka terlihat setengah senang setengah gugup saat Jovita duduk di sampingnya.
"Lo emang peka banget." Jovita tersenyum.
"Ada maunya itu, Raka! Jangan mau!" teriak Hera.
"Udah tau. Nggak pa-pa," ucap Raka sambil menoleh. Raka si kutu buku memang terkenal polos dan pasrahan.
"Ka, gue belum buat keduanya jadi lo bantu gue salin PR Kimia lo ya sementara gue nyalin PR Fisikanya," pinta Jovita tak tahu malu.
"Iya, mana sini gue buatin," sahut Raka singkat.
"Yehh, si dodol," gumam Hera menyaksikan tingkah temannya.
🍒🍒🍒
"Kopi satu, Bu!" seru Pak Dika, si guru gaul saat mengambil tempat di sebelah Marissa.
"Memangnya kantin kita jual kopi, Pak?" tanya Fathur yang duduk di depannya bersama Aries. Sudah menjadi pemandangan umum di jam istirahat kadang Pak Dika sering duduk bersama ketiga murid itu.
"Kopi itu adalah komoditas berprospek cerah, hampir semua guru lebih suka kopi. Nggak teh gelas kayak kalian. Nggak mungkin kantin kita nggak jual," jelas Pak Dika.
"Baru tau, Pak. Nggak pernah mesen kopi soalnya."
"Bapak kayak guru ekonomi aja dibanding guru fisika," Marissa tertawa.
"Iya dong! Bapak ini serba bisa!" puji Pak Dika pada diri sendiri lalu melihat sekeliling. "Rame banget, ya?"
"Kantin tempat favorit, Pak. Pelarian murid dari kejamnya hidup, bagai oase di tengah padang pasir," cengir Fathur.
"Bisa puitis juga kamu, ya?"
"Cuma sama Bapak aja dia bisa cengengesan kayak gitu, Pak," timpal Marissa. "Coba ama Bu Santi sekali-sekali."
"Yaelahhhh, Bu Santi?" dengus Fathur remeh.
"Lo berani, Tur?" tanya Marissa dengan kagum.
"Ya enggaklah!"
"Yehh, kirain serius."
"Mewujudkan tujuan hidup memang harus serius, tapi ngejalaninnya musti santai,biar nggak stres. Untung Aries yang over serius punya temen kayak Fathur. Jadinya imbang," kata Pak Dika.
Orang yang disebut langsung menatap kebingungan.
"Saya? Nggak seserius itu, Pak."
"Muka lo selalu serius, Es. Kayak panggilan lo. Es," jelas Marissa.
"Iya gih, Es. Seumur-umur gue temenan ama lo, lo kayaknya nggak pernah ketawa," ujar Fathur.
"Pernah," toleh Aries.
"Kapan?"
"Masa lo nggak inget?"
"Serius, gue nggak inget. Bayangin lo senyum meski dalam imajinasi gue aja susah."
"Kalau senyum pernah. Aries sering senyum tapi lo nggak perhatiin aja," dukung Marissa.
"Sasa ternyata lebih perhatian daripada Abang Fathur, nih," goda Fathur sambil tersenyum lebar.
"Ih, Tur, gue kan cuma bantu daripada kalian ngotot," Marissa memukul bahu Fathur. "Dia senyum sering kok, tapi kalau ketawa kayak lo emang jarang."
"Ya, ya, udah. Emang bawaan dia gitu kayaknya, senyum tapi nge-blur. Omong-omong nanti sore kalian extra lagi ya?" tanya Pak Dika.
"Iya, Pak. Tetep seperti biasa. Memang ada apa, Pak?" tanya Aries.
"Nanya aja. Kamu 'kan jam enam ada pembinaan di center. Kasian kamunya nanti."
"Sekarang masih bisa bagi waktu, Pak. Maret atau April nanti kemungkinan malah saya udah nggak di sini."
"Karantina, ya?" tanya Fathur.
"Lo kan juga ikut OSN?" Aries bertanya balik.
OSN adalah olimpiade sains tingkat nasional di mana merupakan seleksi terakhir untuk menjadi Tim Olimpiade Indonesia. Semua murid yang lolos seleksi tim olimpiade propinsi memang akan menjalani karantina di Tangerang. Aries sudah ditetapkan menjadi wakil negara sejak kemampuannya yang sangat jauh di atas rata-rata diketemukan sekolah. Ia lolos OSN Propinsi tahun lalu sementara murid lain seusianya baru saja melewati seleksi kabupaten.
"Iya, tapi kayaknya gue nggak bakal lolos deh. Tingkat kabupaten kemarin aja menurut gue agak susah materinya apalagi nasional yang pasti bakal pakai istilah fisika bahasa Inggris. Mumet."
"Jangan pesimis gitu, dong, Optimis. Optimis!" nasehat Pak Dika.
"Iya, Pak. Optimis." Fathur menatap langit-langit sambil menarik napas.
"Jadi iri ama kalian," celetuk Marissa.
"Iri kenapa? Kamu 'kan juara umum sekolah, Sasa," ujar Pak Dika. Sudah umum terjadi bahwa belum tentu yang mewakili sekolah dalam olimpiade adalah juara kelas, karena peserta olimpiade hanya fokus belajar mata pelajaran yang mereka wakili saja.
"Bisa jalan-jalan ke luar negeri, Pak. Kabarnya next olimpiade di Eropa Timur."
Pak Dika memutar bola mata. "Kirain iri karena beasiswa, kek."
"Namanya juga cewek, Pak." Marissa tertawa kecil.
"Untung lo pinter, ye," celetuk Fathur.
"Emang kenapa kalau nggak pinter?" tanya Marissa.
"Kalau nggak pinter, lo jadi keliatan sama dengan cewek-cewek lain." Aries bergumam.
Marissa mengerjap-ngerjap canggung. "Maksud lo...gue ini nerd macem alien gitu?"
Aries mendongak kebingungan mendengar pertanyaan Marissa. "Bukan...gitu."
"Ish, Sa. Maksud Aries tuh di mata dia semua cewek tuh sama. Nggak ada something special. tapi lo beda bagi dia. Ngerti kan maksudnya?" cerocos Fathur sembari menoleh pada Aries. "Lo juga, Es, jangan sok-sokan pake kode segala. Kalian udah cocok."
Ketiga orang lain di meja itu langsung menoleh pada Fathur dengan berbagai ragam ekspresi, terutama Marissa yang tampak terkejut sekaligus malu.
"Lo ngaco, Tur," sanggah Aries dengan wajah tenang.
"Kalau malu mah malu aja, Es," goda Fathur. "Jangan sok jaim. Tuh, liat Sasa jadi kecewa tau lo ternyata nggak suka dia."
Aries menoleh pada Marissa.
Marissa langsung terperangah dan menggeleng-geleng. Lalu ia menatap Fathur setengah kesal. "Tur, lo apa-apaan?!"
"Jangan dengerin Fathur."
"Berarti lo beneran suka Sasa?"desak Fathur.
"Kita bertiga temen. Jelas gue suka Sasa, tapi lo ngerti kan suka yang gue maksud?" terang Aries.
"Yah, lo nggak asik, Es," Fathur bersungut-sungut. "Tapi tenang aja, Sa. Lo tetep cewek yang paling deket dan spesial bagi Aries___"
Marissa memberikan tatapan penuh ancaman pada Fathur.
"__dan juga gue," lanjut Fathur sambil tersenyum jail.
"Segitu aja aku udah ngerasa beruntung banget deket ama orang-orang kayak kalian," Marissa menarik napas.
"Duh, enaknya yang masih muda," gurau Pak Dika. "Bapak kira siswa teladan nggak tertarik cinta-cintaan."
"Tertarik sedikit, Pak. Gini-gini kita manusia biasa, tapi boro-boro pacaran...."
"Nggak laku, ya?" potong Pak Dika.
"Eits, enak aja, Pak. Kita sibuk belajar. Bapak tau sendirilah." Fathur meringis.
Pak Dika manggut-manggut. "Ya, ya. Bapak sih nggak melarang, cuma ada baiknya seumur kalian memang nggak usah serius mikirin cinta-cintaan. Ngerti cinta aja kayaknya kagak. Biasanya sok-sok ngerti padahal belum tentu."
"Masa depan paling utamalah, Cikgu!" Fathur menimpali penuh semangat.
"Betul betul betul." Pak Dika manggut-manggut lagi untuk kesekian kalinya.
"DEV, YANG UDAH IKUT 31 BANDING 126 NIH! KALAU LO GAGAL BERARTI LO MUSTI BAYAR 126 ORANG!"
Teriakan salah seorang siswa yang baru saja memasuki kantin menarik perhatian semua orang. Lalu terdengar suara cuitan dan tepuk tangan riuh di meja sudut kiri.
"126 mah kecill!! si Dev nggak bakal bangkut. Ya nggak, Dev?" sahut salah seorang siswa yang tadi bersorak sorai.
Tampak Devan Wardhana, si anak basket yang populer sedang duduk dengan lagak santai di salah satu bangku. Keberadaannya selalu mendominasi dan menjadi center of attention.
"Ada rame-rame apa ini?" Pak Dika berseru. Beberapa anak terkejut melihatnya.
"Ada guru di sini! Ada guru!"
"Bapak denger kalian ngomong bayar-bayar. Kalian judi ya?"
"Nggak, Pak," jelas salah seorang siswa di tengah kumpulan itu. "Kita taruhan doang. Nggak pakai duit, Pak. Yang menang bakal dapet traktiran makan dari Devan."
"Ya, itu hampir mirip judi. Memang kalian taruhan apa?"
Kumpulan siswa tadi serentak menoleh pada Devan. "Dev, kasi tau nggak?" terdengar kasak kusuk mereka.
"Nembak cewek, Pak," seru Devan tanpa malu.
"Astaga. Ada-ada aja kamu. Untung kamu siswa berprestasi bla bla bla___"
Sementara Pak Dika memberikan wejangannya, Fathur bertanya pada Marissa, "Sa, Sa, lo tau siapa cewek yang jadi taruhan mereka?"
"Kabarnya sih Jovita. Devan bilang dia bakal menaklukkan Jovita gitu deh. Tumben lo nggak tau, biasanya lo paling gercep kalau masalah gosip diantara kita bertiga," jawab Marissa.
"Wassalam dah," Fathur menepok jidatnya sendiri. "Semua cowok nggak bakal ada harapan kalau saingannya si Dev."
"Emang lo serius ama Jovita, Tur?"
"Nggak, gue seriusnya ama elo, Sa."
"Ih!!"
"Eh tapi kira-kira Jovita tau nggak ya dia dijadiin taruhan?" tanya Fathur.
"Taruhan atau enggak mereka kayaknya cocok, Tur. Sama-sama gimana gitu..."
"Aduh Sa, jangan jujur gitu dong. Abang makin potek," Fathur mengelus dadanya. "Tapi untung masih ada elo."
"Idihh!!!" seru Marissa. "Emang gue cadangan makanan?!"
Aries menoleh ke arah kumpulan keramaian itu dan mengamati Devan. Devan juga mengedarkan pandangan pada murid-murid yang duduk bersama Pak Dika, mengamati mereka satu per satu. Tidak ada yang tahu bahwa Aries sempat mengenal Devan dulu. Tapi tentu saja Devan sudah lupa padanya karena mereka tidak kenal dekat. Dan saat itu Aries juga hanya seorang murid biasa yang belum menemukan dunianya dan belum dikenal sebagai wakil olimpiade fisika sekolah.
🍒🍒🍒
Sabar ya, masih membeberkan clue-clue untuk masuk ke inti cerita 👍👍
Besok udah mulai masuk inti dan update lagi di jam yang sama.
Thanks sudah menekan bintang ⭐️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top