Part 3.2 - Bolos
Jangan lupa tekan bintang di pojok kiri bawah ⭐️
🍒🍒🍒
"Boleh gue duduk di sini?"
Belum kenal saja Jovita sudah merasa jengah. Cowok sok kecakepan itu dengan pedenya merasa pasti bakal diizinkan duduk. Tidak semudah itu, Ferguzo. "Engg___"
"BOLEH, KAK! BOLEH PAKE BANGET PAKE Z MALAH! BANGKUNYA KOSONG, KOK!" Suara Hera yang selalu keras seperti toa membuat suara Jovita kalah.
"Silakan, Kak. Pas banget cuma satu." Erin ikut menimpali dengan senyuman manis manjanya.
Jovita cuma bisa menggertakkan gigi. Devan akhirnya duduk di depannya. Kasak-kusuk mulai terdengar. Seorang idola sekolah memberikan perhatian pada sekelompok cewek tentu saja membuat banyak asumsi. Apalagi diantara cewek-cewek itu ada Jovita. Mereka mulai merasa terancam.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Jovita ketus. Hera dan Erin melirik kebingungan.
"Ya, ngapain lagi? Makanlah," sahut Devan santai. "Pak, kayak biasa ya!" teriaknya pada Mang Anjas, pedagang kantin.
"Siap, Den!" sahut Mang Anjas mengacungkan jempol.
"Ngapain duduk di sini? Kan banyak tempat duduk lain yang kosong," lanjut Jovita. Hera dan Erin makin terbelalak melihat kelancangan Jovita.
"Gue sukanya di sini."
"Kenapa?"
"Biar bisa ngeliat elo dari deket."
Asdjhfjkl! Ini cowok pasti keracunan Dilan 1945.
Oiya, Jovita lupa bahwa cowok di depannya ini adalah si cowok sok kecakepan sehingga merasa pede melancarkan rayuan pulau kelapa di depan khalayak umum. Bisik-bisik yang tadi terdengar jelas di sekitar Jovita sekarang makin jelas.
"Aduh, Kak Devan mending jangan deketin Jojon deh," sela Hera.
"Jojon?"
"Iya, Jovita. Jojon."
"Kambing!" hardik Jovita pada Hera yang membuka aibnya.
"Yang bener kambing apa Jojon, sih?" Devan tertawa.
"Receh tau nggak." Jovita menyeringai.
"Emang Jojon kenapa?" Devan menoleh pada Hera lagi.
"Jutek."
"Gue suka cewek jutek. Kayak ada manis-manisnya gitu," sahut Devan.
"Masalahnya Jojo nggak ada manis-manisnya, Kak," timpal Erin kalem.
"Jojo?"
"Iya, kalau Hera manggil dia Jojon, Erin manggilnya Jojo," jelas Erin lagi.
"Kedengeran lebih cocok Jojo, sih." Devan tersenyum. "Gue mau nanya dulu. Jojo sebenernya udah punya pacar belom?"
"Banyak!" jawab Jovita sambil lanjut memasukkan siomaynya sekaligus ke mulut. Tidak peduli bahwa ada cowok (yang katanya) tercakep seantero sekolah duduk di depannya.
"Bohong. Boro-boro punya. Masa Kak Devan nggak tau Jojon tuh suka buat sensasi kalau nolak cowok?"
"Malah itu tantangan buat gue."
"Misi, Den. Ini minumannya." Percakapan mereka terhenti sejenak karena Mpok Yuni, istri Mang Anjas membawakan es jeruk. Senyum lebar ala Meghan Markle menghiasi wajah glowing berminyak Mpok Yuni padahal biasanya Mpok Yuni meladeni pembeli dengan aura suram lepek kayak cucian belum disetrika. Boro-boro minuman dibawain ke meja, yang ada ambil sendiri.
"Ntar ditolak, Kak," timpal Erin setelah iklan lewat tadi. "Jojo kejem lho kalau nolak cowok."
"Nggak bakal."
"Cih," Jovita mendengus. "Songong amet lo."
"Orang songong tuh ada dua tipe, yang pertama songong buat pamer aja padahal nol besar, yang kedua songong karena emang ada yang disongongin. Gue termasuk yang kedua."
Hera dan Erin terkikik berberengan.
"Tumben lo kalah songong nih, Jo," celetuk Erin.
"Kayaknya urusan yang lain juga lo bakal beneran kalah deh." Hera menambahkan komentar yang membuat Jovita semakin dongkol.
"Belum tentu! Biarpun lo dibilang cowok paling populer satu galaksi pun gue nggak bakal beda perlakuan. Kalau gue nggak suka, ya nggak suka," Jovita berdiri dari kursinya.
"Keren, gue suka," Devan tersenyum lagi. "Kebanyakan cewek kebalikan lo."
Dahi Jovita mengerut. Jovita langsung meninggalkan meja tanpa ingin berbasa-basi lagi.
"Sampai ketemu lagi kalau gitu."
"Bye. Nggak ada ketemuan-ketemuan."
"Really? Lo lupa kita masih satu sekolahan?"
"Sekolah kita nggak selebar daun kelor." Jovita tersenyum sinis.
"Nyebutnya sekolah kita, berasa milik berdua ya?"
Senyum Jovita langsung memudar. Apapun yang ia sanggah rasanya dijadikan gombalan oleh Devan. Nggak ada gunanya dijawab. Malah bikin cowok itu punya bahan lagi.
"Udah, gue balik!"
"Jojon tumben rajin balik kelas, biasanya juga nunggu guru lewat," gumam Hera kecewa. Erin juga tampak kecewa karena tidak punya alasan untuk berlama-lama lagi duduk bersama Devan. Tapi akhirnya mereka ikut berdiri juga meski berat hati.
"Jo, lo kenapa sih jutek gitu? Lo bener-bener gila ye?Itu tadi Kak Devan lho yang terang-terangan ngomong kalau dia naksir elo." Hera dan Erin berhasil menyusulnya saat di halaman menuju kelas.
"Ya, trus kenapa?"
"Ya, trus lo mau cowok yang kayak gimana lagi? Woi, ini cowok udah paling cakep, paling cool, dikejar-kejar cewek seantero sekolah, seantero kecamatan sama kabupaten."
"Tadi lo bilang katanya punya cowok nggak musti cakep." Jovita menggerutu.
"Emang lo mau ama yang nggak cakep?"
"Nggaklah!"
"Ya udah, Nyet! Trus apalagi?"
"Dia belum nembak gue."
"Emang kalau dia nembak lo mau?"
"Nggak juga."
"Trus?"
"Ya, lihat aja ke depannya. Kalau gue suka juga ya gue terima. Gitu aja kok repot."
"Njir, lo sok jual mahal. Kenapa nggak gue aja sih yang di posisi lo?!" lengos Hera.
"Sabar, sabar, Ra. Banyak kok cowok cakep yang dapet pasangan nggak cakep-cakep amet. Kayak JB gitu," hibur Erin.
"Eh, Hailey cakep tau!"
"Cakep pale lo peyang. Jelek gitu. Cakepan Sego."
"Sego pecel?"
"Selena!" teriak Erin tak terima.
"Udah, udah, jangan berantem. Udah nggak zamannya lagi banding-bandingin Hailey ama Selgom," sela Jovita sebelum menambahkan, "Cakepan juga gue."
Hera terdiam lalu beradu pandang dengan Erin.
"Lo ngerti nggak sih dia ngomong apa?"
"Kirain cuma gue aja yang nggak ngerti. Toss!!" Erin terkikik. Dua orang itu langsung berbaikan tanpa Jovita perlu repot-repot lagi.
🍒🍒🍒
Terlepas dari insiden di kantin, sepanjang hari ini Jovita merasakan suasana begitu adem ayem di sekolah. Tidak ada panggilan dari Pak Dika seperti yang Jovita perkirakan setelah ia secara sadar dan waras tidak mengikuti ekskul KIRS seperti yang diperintahkan Pak Dika kemarin. Sebenarnya situasi dan kondisi saat itu juga tidak memungkinkan Jovita untuk datang ke ekskul karena sepulang sekolah ia langsung ketiduran hingga jam tiga sore. Jadi ketiduran itu ia anggap adalah takdir Tuhan yang tidak bisa dielakkan sehingga ia tidak bisa mengikuti ekskul. Manusia tidak boleh melawan takdir Tuhan.
Lagipula untuk apa juga dia datang? Jovita tidak mungkin dan tidak akan mungkin betah dalam ekskul semacam itu. Ekskul KIRS sangat-sangat jauh dari penggambaran seorang Jovita. Wanita populer seperti Jovita biasanya mengikuti ekskul cheerleader atau menari atau menyanyi yang sayangnya juga bukan hobi Jovita.
"JOJON!!!"
Lengkingan tujuh oktaf ibunya membuat Jovita merasakan firasat buruk. Dilihat dari wajah ibunya yang sudah mirip Medusa itu berarti apa yang sedang dihadapinya sekarang benar-benar gawat.
"Sini kamu!" Ibunya menunjuk sofa ruang tamu dengan catokan yang kebetulan ada di tangannya. Sebagian rambut ibunya sudah lurus dan sebelah kanannya masih berantakan.
"Apaan sih, Ma? ini Jovita baru aja pulang sekolah. Makan aja belum___"
"BODO! Biasanya juga disuruh makan susah sampai mulut Mama berbusa. Sekalian nggak makan aja udah!"
"Mama kok marah-marah gitu, sih?"
"Gimana nggak marah?! Tadi wali kelasmu nelepon Mama!"
"Terus dia bilang apa, Ma?"
"Banyak," jawab ibunya dengan wajah kesal. "Mulai dari nilai-nilaimu yang jeblok sampai kelakuanmu di sekolah."
Jovita menelan ludah. "Nilai bagus nggak menjamin kita sukses di masa depan, Ma."
"Apalagi nilai jelek!" hardik ibunya dengan begitu keras. "Mama sudah bisa menerima kenyataan kalau kamu bukan anak yang pinter seperti kakakmu dan Mama juga nggak pernah memaksakan kamu jadi pinter. Tapi sudah tahu gitu, kamu setidaknya bisa jadi anak yang penurut, Jo. Ini laporan guru katanya kamu udah nilainya jelek, nggak pernah buat PR, sering telat pula! Mau jadi apa kamu nanti?! Pokoknya mulai sekarang jatah pulsamu Mama embargo!"
"Ih, Mama! Papa pasti nggak setuju sama ini! Jojo bakal lapor sama Papa!"
"Oh, ya?" Ibu Jovita mendengus miring seperti pemeran antagonis sinetron azab. "Biarpun Papamu manjain kamu tapi dia itu follower Mama, tau! Kalau Mama udah ngambek jangan harap dia belain kamu. Berani taruhan, hayo?"
"Mama!!! Jangan kejem gitu, ah!!" Jovita langsung berlari dan memeluk ibunya. "Mama pikirin baik-baik. Nanti kalau Jojo diculik atau ada apa-apa di sekolah trus mau ngehubungin Mama gimana kalau nggak ada pulsa sama kuota?"
"Memangnya ada yang mau nyulik kamu? Paling dibalikin lagi. Nggak guna."
"Mama lupa ya anaknya cantik?" Jovita menggoyang-goyangkan lengan ibunya. "Tapi Mamanya lebih cantik lagi, lho."
"Halah! Pret!"
"Ya, udah, kalau soal nilai pelajaran Jovita nggak yakin bisa jadi juara__"
"Emang jelas nggak mungkinlah!" Ibunya menoleh sambil melotot.
"Mama harusnya kasi kata-kata motivasi kek ama anak sendiri. Tapi Jovita nggak bahas itu deh, Jovita cuma janji bakal selalu ngerjain PR," bujuk Jovita.
"Beneran?" tatap ibunya dengan mata terpicing curiga.
Jovita mengangguk-angguk sambil tersenyum manis.
"Guru kamu juga bilang kamu bolos ekskul."
Senyum Jovita langsung melengkung turun bagaikan tertarik gaya gravitasi. Pantas saja tadi di sekolah tidak ada guru yang memanggilnya. Ternyata mereka diam-diam memberitahukan pada ibunya. Curang!
"Aduh, Ma," Jovita berdecak. "Ekskulnya dipilihin sama guru. Pake maksa pula. Trus Jojo nggak suka ekskulnya."
"Ikut ekskul juga termasuk menuruti aturan sekolah. Kamu kudu hadir bodo amet mau kamu suka atau enggak! Ikutan atau jatah pulsa Mami sunat?!"
"Iya, iya ikutan!" Jovita memberengut tak terima.
"Good," ibunya tersenyum. "Besok Mama lihat loh ya. Sekalian Mama anter aja kamu ke sekolah buat mastiin kamu bener-bener nggak bakal bohongin Mama."
Jovita diam tak berkedip untuk sesaat.
"Be...sok?" Spontan ia terbelalak setelah sadar.
"Iya, besok. Gurumu bilang ekskulnya dua kali seminggu. Tiap Kamis sore sama Sabtu sore."
Sabtu sore?!
Jovita langsung lemas mengetahui satu lagi kebahagiaan hidupnya terenggut.
🍒🍒🍒
Makasi udah neken bintang ⭐️
Besok update lagi ya....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top