Part 11 - Strategi Teross


Taylor Swift ~ Look What You Made Me Do

Jangan lupa tekan bintang ya...

Jojon

🍒🍒🍒

Mending cewek pintar atau cewek cantik sih?

"Yeyy!! Gue nggak telat!!" Jovita memasuki ruang kelas dengan riang sore itu. Rencananya diantar Bang Dio memang tokcer. Apalagi abangnya itu saat SMA terkenal suka kebut-kebutan dan Jovita dengan senang hati menyuruh abangnya mempertunjukkan kebolehan meski sempat dikejar polisi karena melanggar lampu merah. Untung saja mereka tidak tertangkap.

"Keren, Jovita." Fathur bertepuk tangan dan tersenyum sementara Aries dan Marissa tidak menampakkan ekspresi serupa dengan Fathur.

Bukannya Jovita ingin dipuji oleh Es Cendol sebagaimana Fathur memujinya tadi, tapi ini...entah bagaimana cara Jovita menjabarkan perasaannya. Intinya...

Gitu doang? That's it? Setelah Jovita berusaha mati-matian (menurut versi Jovita)? Rasanya seperti nonton film tapi ending-nya gantung.

"Ya, udah. Duduk sana," ujar Aries. Jovita terlalu lama berpikir.

"Peka dikit, Es," Fathur memukul bahu Aries. "Kasi ucapan selamat, kek."

"Di sini banyak yang datang nggak telat, terus gue musti selametin satu-satu? Emang kondangan?" Aries menatap Fathur dan Jovita bergantian sembari memegang bahunya yang nyut-nyutan.

"Nggak ada salahnya nyemangatin dia karena udah berusa__"

"Nggak usah! Emang gue ada ngarep dikasi ucapan selamet tadi?" gerutu Jovita kesal.

"Trus nunggu apaan lagi di situ?"

"Emang tanah yang gue injek ini udah lo kapling jadi gue nggak boleh berdiri di sini? Lagian gue udah mau duduk kok!"

"Ya, sana."

"Oke! Jujur ya gue sama sekali nggak ngarep ucapan selamat ataupun pengakuan, tapi lo sering ngejek-ngejek gue dan kayaknya seneng banget gue telat," Jovita menaikkan dagu. "Jadi wajar dong kalau gue ngerasa bangga dan pamer?"

"Gitu aja bangga. Besok paling juga telat lagi."

"Enggak!" sangkal Jovita.

"Mempertahankan itu lebih sulit."

"Tuh kan! Gue udah duga lo selalu nyari-nyari!"

"Nyari-nyari?"

"Nyari-nyari kesalahan guelah! Lo nggak mau ngakuin kalau gue udah bener."

"Tadi katanya nggak perlu pengakuan."

"Ya emang enggak!"

"Aduh kalian ini masalah kecil aja bisa ribut jadi panjangggg," Fathur tertawa. "Saya suka. Saya suka."

"Tur, kok lo malah tambah bikin rame?" Marissa melerai.

"Abisnya seru, Sa."

Jovita juga tidak mengerti mengapa ia selalu berakhir ribut dengan Es Cendol, padahal sebenarnya ia juga hanya tinggal duduk saja. Es Cendol juga tidak ada menghalang-halanginya. Ini pasti karena kebiasaannya selama ini yang tidak pernah mau mengalah baik di sekolah ataupun di rumah.

"Yang jelas bukan gue yang ngajak ribut," gerutu Aries.

"Gue juga nggak ngajak ribut. Malah gue sebenernya udah sangat bersabar dan baik hati mau-mau aja disuru lari kalau telat padahal sebenernya kalau gue nggak mau lari juga nggak bakal ada yang ngeluarin gue dari klub ini."

"Eh?" Giliran Fathur yang menatap Aries dan Jovita bergantian.

"Dia bilang klub kita klub nggak laku," jelas Es Cendol pada Fathur dengan tenang seakan itu hal biasa.

"Ooo..." Fathur manggut-manggut.

"Bukan gue yang ngomong gitu lo, ya. Tapi emang bener sih yang lo bilang." Jovita tertawa pelan.

"Trus dia yakin kalau dia bakal diterima di klub ini nggak pakai seleksi karena klub kita klub nggak laku. Gitu 'kan?"

"Ngapain balik nanya gue? Emang bener kan lo nggak mungkin ngadain seleksi? Tapi kalau lo mau pake seleksi dengan anggota seupil gini ya gue nggak ada ngelarang tuh. Gue dukung. Atau lo emang nggak berani beneran?"

Sekarang Jovita benar-benar mendapat perhatian Aries karena mengucapkan hal itu. Sejak tadi cowok itu hanya cuek meski Jovita begitu bawel, tapi sekarang ia terlihat sungguh-sungguh.

"Beneran nggak keberatan?" tanya Aries.

"Ya sana. Semerdeka lo aja," tantang Jovita meski sebenarnya ia cukup kebingungan kenapa Es Cendol tiba-tiba berubah serius.

"Oke," jawab Aries singkat. Tapi justru yang singkat-singkat seperti itu semakin membuat Jovita tidak tentram.

"Ngapain sejak tadi lo nanya melulu sih ke gue? Lo kan ketuanya. Berasa orang penting aja gue di klub ini."

Di luar dugaan Es Cendol malah mengangguk-angguk. "Iya lo memang orang penting," Lalu cowok itu kembali menekuri ponselnya dengan cuek. "Udah puas kan? Duduk sana."

Lagi-lagi Jovita mendapat jawaban singkat. Cowok itu memang selalu menebarkan kesan minta disleding sepertinya. Entah itu jawaban sarkas ataukah Es Cendol sudah malas berdebat dengannya, Jovita berbalik tanpa melakukan perlawanan lagi meski kepalanya masih penuh tanda tanya yang membuatnya kesal.

Lalu firasat buruk mulai menggerayangi Jovita. Dia tidak lupa bahwa ini hari Kamis di mana Sabtu lalu Es Cendol mengatakan bahwa sesuatu telah berubah. Sebenarnya apa yang direncanakan Es Cendol?

"Jovita, isi absennya ya."

Marissa menyodorkan kertas absen, membuyarkan lamunan Jovita.

Jovita menerima kertas itu dan duduk di bangku deret keempat meski bangku depan masih kosong karena ia anti bangku paling depan. Sudah ada empat orang anak KIRS lain yang duduk di ruangan itu selain Jovita. Kerajinan banget, pikir Jovita. Tapi sebentar lagi pasti semua akan datang karena sepuluh menit lagi jam ekskul dimulai.

Lalu tiba-tiba suasana mulai gaduh, tapi Jovita tidak tahu sejak kapan karena ia baru saja menulis lembar absen.

"Anak baru didata dulu ya," terdengar suara Sasa setengah berteriak.

Jovita beserta yang lain menyimak ke depan. Ada tiga orang cowok yang datang dan mengelilingi meja guru tempat Sasa duduk.

Lalu muncul beberapa anak cowok lagi dan disusul yang lain lagi, sehingga meja depan sekarang penuh.

Alis Jovita mengerut. Biasanya kemarin-kemarin ekskul itu sepi, tapi hari ini ramai seperti pasar ikan. Salah satunya melihat Jovita lalu menyapa dari tempatnya berdiri. Yang lain ikut-ikutan menoleh juga dan suasana menjadi riuh. Sialan! Meski membosankan selama ini Jovita merasa aman karena tidak banyak cowok di sana dan mereka juga tidak terlalu anarkis, beda dengan yang sekarang. Jovita tidak mengerti apa yang terjadi. Jangan-jangan mereka adalah korban sekolah season dua yang dipaksa untuk mengikuti ekskul seperti Jovita. Apalagi yang lebih masuk akal dibanding itu?

"Waduh, kok rame banget ya?" gumam salah satu cewek di samping Jovita.

"Excuse Me! Misi...Misi..." Salah seorang cewek anggota KIRS lama yang baru saja datang menyelinap diantara orang-orang yang berkumpul di meja depan.  Beberapa orang yang baru sadar melihatnya lewat berseru. "Kasi jalan! Kasi jalan!"

Cewek itu memang berhasil lewat tapi sepertinya ia tersandung kaki seseorang hingga jatuh terjerembab. Semua cewek-cewek yang menyaksikan dari jauh memekik.

"Tuh! Jadi jatuh 'kan?!" Cowok-cowok itu mulai saling menyalahkan, dan sebelum cewek itu sempat beranjak, tubuhnya sudah terangkat sendiri karena tanpa diminta mereka beramai-ramai membantunya berdiri.

"Udah! Udah! Gue nggak apa-apa!" teriak cewek itu yang terlihat risih. Jovita bergidik melihatnya. Untung saja ia tadi datang lebih dulu, kalau tidak bisa-bisa dia bernasib sama seperti cewek di depan kelas itu.

"Ella!! Sini! Sini!" cewek-cewek di sebelah Jovita berteriak memanggil-manggil. Dan si Ella pun berlari ke sana tergesa-gesa.

"Ada apa sih?" tanya Ella.

"Gue juga nggak tau. Anggota baru kayaknya," sahut yang lain.

"Aduh serem amet."

Jovita menatap ke depan lagi dan semakin banyak yang datang. Ia begitu terpaku sampai tidak sadar memperhatikan keadaan itu begitu lama. Begitu banyak anggota baru, dan itu berarti ekskul itu tidak minim anggota sekarang. Dan jika dihitung-hitung sepertinya jumlah mereka melebihi tempat duduk lab. Yang artinya...

🍒🍒🍒


"Syukurlah kita nggak satu ruangan sama mereka," seru cewek-cewek anggota KIRS penuh kelegaan.

Setelah kedatangan gerombolan cowok-cowok tadi, ruang KIRS penuh sesak. Lalu Pak Dika datang memisahkan anggota KIRS lama dengan anak-anak yang baru saja masuk ekskul untuk fokus pengenalan ekskul pada anak baru. Sekarang Jovita dan yang lain kini ada di lab kimia. Karena belum ada instruksi untuk melakukan kegiatan apa dan ketiga pengurus KIRS masih ada di lab fisika sebelah, jadi mereka akhirnya mengobrol.

"Tadi itu anggota baru ya, May?

Percakapan beberapa cewek di sudut ruangan membuat Jovita menajamkan pendengaran.

"Kayaknya sih. Denger-denger gitu."

"Astaga. Anggotanya kok kayak nggak meyakinkan sih? Gue sampai harus nanya lagi kan saking nggak percayanya."

"Iya...gimana ya..."

"Sorry," Jovita mendekat ke arah kelompok cewek itu.  "Kita udah berapa kali dateng kok bisa ada anggota lagi?"

Dengan wajah terkejut mereka menoleh pada Jovita. Mungkin terlihat aneh bahwa tidak ada hujan angin, Jovita tiba-tiba saja menyapa mereka. Jovita memang tidak terlalu dekat mengenal siapapun di KIRS karena ia selalu telat sehingga tidak ada waktu mengakrabkan diri, lalu di akhir ekskul ia biasanya tertidur atau cepat-cepat pulang.

"Sebenernya emang KIRS lagi buka keanggotaan baru sejak berapa minggu lalu. Mungkin sekarang baru masuk, Jovita."

"Gue pikir dipaksa kayak gue gara-gara telat milih ekskul."

"Mungkin juga bisa karena itu," lanjut mereka lagi. "Soalnya memang sebagian besar dari kita anggotanya hibahan."

"Kalian juga jadi anggota KIRS karena dipaksa sekolah?"

"Oh, enggak Jovita. Kita bertiga memang niat masuk sini. Kayaknya yang dipaksa masuk itu Jovita, Anas, Rizky___" Satu persatu Ella menyebut nama-nama orang di ruangan itu tanpa hambatan. Semoga saja mereka tidak sadar bahwa Jovita tidak tahu sebagian besar dari mereka kecuali Ella, itupun karena tadi Ella dipanggil temannya. Sementara Jovita berani bertaruh mereka semua pasti tahu nama Jovita.

"Ooo, kalian masuk sukarela...mmm...emang apa enaknya sih ekskul KIRS?" tanya Jovita lagi.

"Kalau gue sih karena nggak bakat olahraga dan ini ekskul yang gue pikir paling adem dan ngasi wawasan ke gue."

"Sama, gue juga." Yang lain mengangguk-angguk setuju.

"Pasti anak pinter semua nih," puji Jovita asal-asalan. Dilihat dari penampilan mereka yang tidak terlalu mencolok dan dua diantaranya memakai kacamata membuat Jovita mengambil asumsi tersebut.

"Terlalu ketinggian kalau ngomong pinter sih, Jovita. Kalau rajin mungkin iya."

"Iya, gue rajin tapi nilai gue pas-pasan. Nggak tau deh kalau nggak rajin." Ella tersenyum malu sembari menaikkan ujung kacamatanya yang melorot.

"Pas-pasan gimana? Dapat nilai nol gitu?" tanya Jovita iseng, siapa tahu kan mereka hanya casing luarnya yang terlihat cerdas, tapi sebenarnya senasib sepenanggungan dengan Jovita.

"Mana ada murid yang dapat nilai nol sih zaman sekarang?" Ella mengerutkan kening.

"Aduh, kalau gue dapet nilai nol mending gue mati aja. Beneran malu gue," dukung teman Ella, lalu mereka semua tergelak. Jovita ikut-ikutan tertawa miris, mengingat dua minggu lalu ia baru saja membakar kertas ulangan hariannya di belakang sekolah untuk melenyapkan barang bukti.

"Gue aja kemarin belajar mati-matian buat ulangan matik, udah begadang, langganan Ruang Guru, sampai les minggu, masa gue cuma dapet  nilai sembilan puluh. Kadang gue ngerasa putus asa," keluh Ella.

Oke...

"Lo masih mendinglah. Nilai rata-rata ulangan gue kalau nggak tujuh lima ya delapan puluh. Susah banget mau dapet sembilan puluh apalagi sempurna," timpal anak yang lain.

Tujuh lima, delapan lima, sembilan puluh bagi mereka nilai yang biasa-biasa saja. Ya ya ya...

"Kalau mau nyari contoh anak pinter ya pengurus KIRS kita, Jovita," celetuk Ella tiba-tiba dengan wajah antusias. "Kak Sasa itu, dia diem-diem gitu juara umum sekolah lho. Saingan sama ada lagi satu namanya Kak David. Tapi orangnya nggak ikut ekskul sini. Kak Fathur itu pinter banget fisika sama biologi, tapi dia lebih milih ikut seleksi olimpiade fisika sih. Nah, kalau Kak Aries...jangan dibilang deh...pasti semua juga udah tau siapa dia."

"Oh, ya? Gue malah nggak tau," ucap Jovita sebagai bentuk pelecehan. Agar mereka tahu bahwa Es Cendol tidak sepopuler itu.

"Masa Jovita nggak tau?" Mereka berseru hampir berbarengan.

"Nggak," gerutu Jovita sambil tetap tersenyum.

"Pokoknya Kak Aries itu lahir beruntung banget deh, bisa punya otak yang nguasain dua dari pelajaran paling killer di sekolah. Matematika sama Fisika. Kabarnya sejak SD nilai matematika dia nggak pernah nggak seratus. Trus sejak SMP dia udah bisa nyelesaiin soal  fisika yang dipelajarin anak kuliahan, makanya dia coba-coba dilatih untuk olimpiade Asia. Ternyata dia beneran dapet emas. Sekarang taruhan deh dia pasti dapet emas juga di olimpiade fisika internasional."

"Kapan ya gue bisa gitu? Udah nggak pusing-pusing lagi mikir besok mau sekolah di mana, biayanya berapa, lolos seleksi apa nggak," sela Ella. "Trus abis kuliah tinggal kerja di NASA deh."

"Ya, belum tentu kerja di NASA kale. Kemarin aja yang dibilang kerja di NASA ternyata cuma hoax."

"Seenggaknya nggak mikirin diterima kuliahapa enggak aja deh udah cukup. Kita?"

"Iya gue juga pengen kayak gitu!"

"Kedengeran kayak tipe-tipe orang songong," komentar Jovita malas.

"Eh, enggak Jovita, dia baik kok. Mungkin Jovita bisa agak...sop...eh pelan sedikit kalau ngomong ke Kak Aries," ucap salah satu teman Ella dengan takut-takut. Takut menyinggung Jovita.

"Ho oh, dia baikkk banget," Ella menekankan kata baik dengan begitu rupa. "Gue sering nanya soal mtk ke dia padahal uda mau pulang tapi dia mau ngejelasin."

"Iya, biarpun penjelasan dia agak memusingkan juga. Bahasa orang kayak gitu beda kali, ya?"

"Yang penting dia nggak pelit aja, kalau diajak ngomong dia ramah kok trus juga sabar ngadepin orang bego kayak gue. Trus nih ya, jujur biasanya anak pinter itu cupu, tapi kalau dilihat baik-baik Kak Aries tuh cakep lho, lama-lama gue bisa..."

NOOOO!!!!!

"Stop! Stop! Udah cukup!" Jovita mulai tak sanggup mendengar pujian-pujian untuk cowok itu. Kenapa juga arah pembicaraan mereka akhirnya bisa ke sana. "Tapi gue nggak percaya dia sepinter itulah. Buktinya tadi kalian bilang juara umumnya si Sasa."

"Ya kan akumulasi nilai. Kak Aries cuma sempurna di fisika sama matematika. Di pelajaran lain dia biasa-biasa aja. Kalau Kak Sasa nggak menonjol di salah satu bidang pelajaran tapi nilai keseluruhan dia terbaik diantara semuanya."

"Tetep aja dia berarti dia nggak sempurna dan dia bukan yang terbaik," sela Jovita sedikit maksa.

"Ya namanya juga manusia, Jovita. Tapi kalau gue lebih suka curhat apa-apa sama Kak Fathur deh. Dia orangnya lucu."

"Eh, apanya yang lucu?" Tiba-tiba orang yang dibicarakan mereka sudah muncul di pintu dengan beberapa kardus berisi barang-barang di tangannya.

"Aduh Kak panjang umur," seru mereka berbarengan.

"Ya ampun, ngomongin gue ya? Susah juga jadi cowok ganteng kalau gini."

"Nggak cocok, Kak!" Para cewek itu tertawa lagi, kali ini lebih keras. Jovita tidak ikut tertawa tapi ia tetap menyimak. "Kita lagi ngomongin semuanya kok Kak. Jovita nggak percaya kita bilang Kak Aries orangnya baik."

"Eh, Jovita?"

Gara-gara itu, Fathur kini menoleh padanya. Sial!

"Nggak ada. Gue biasa aja," gerutu Jovita menampilkan wajah sedatar mungkin.

"Gue udah lumayan lama deket sama Aries. Orangnya emang gitu, tapi seperti yang mereka bilang, Aries baik, kok. Sasa juga baik. Jovita mungkin perlu kenal mereka dulu,"  jelas Fathur penuh pengertian dan tanpa diminta.

"Nggak perlu. Juga gue nggak bakal lama di sini."

"Wah, jangan dong," Fathur mendekatinya dengan wajah khawatir. "Memang Jovita mau berhenti dari ekskul sini?"

Seandainya Es Cendol yang bertanya itu, mungkin saja Jovita akan memberi jawaban penuh provokasi sesuai karakternya, tapi entah Fathur memang menyenangkan atau bagaimana, sehingga semua orang sepertinya mudah akrab dengan cowok itu termasuk Jovita. Padahal Fathur jelas menatap penuh kekaguman juga padanya seperti yang dilakukan cowok-cowok lain tapi Jovita tidak merasa kesal. Aura cowok ini agak ajaib. Seperti Momo, kucing Jovita di rumah.

"Sebenernya gue juga nggak mungkin keluar dari sini. Istilahnya ekskul ini sama gue semacem simbiosis kan? Tapi sekarang anggota ekskulnya udah banyak," jelas Jovita dengan nada malas.

"Ya, nggak apa-apa malah kalau banyak. Makin rame makin baik, kan?"

"Kesempatan juga buat ketua ekskulnya nyingkirin gue sesuai keinginan dia selama ini."

Fathur terdiam sejenak, lalu tiba-tiba tertawa pelan. "Nggak..."

"Nggak gimana?" Jovita pura-pura masa bodoh meski bertanya.

"Aries nggak mungkin nyingkirin elo."

"Hhh," Jovita melengos. "Yakin amet?"

"Yakin dong. Kan Jovita sendiri tadi yang bilang kalau ini simbiosis."

"Gimana sih bisa yakin pake alasan yang nggak jelas gitu?" protes Jovita.

"Udah deh, liat aja." Fathur tertawa lagi. "Emang Jovita takut?"

"Enggak!" Jovita langsung membantah tanpa ragu.

🍒🍒🍒

Awalnya Jovita pikir mereka akan melakukan bersih-bersih karena ada cairan pencuci piring di kardus Fathur. Lalu cewek-cewek teman baru Jovita tadi seketika bisa menebak dan berkoar bahwa mereka akan membuat gunung berapi setelah Fathur menyuruh mereka membuat gundukan gunung di sekeliling pipa dengan Playdoh. Jovita agak heran mengetahui seperti ini kegiatan yang dilakukan praktikum KIRS. Rasanya seperti kembali menjadi anak TK.

Setelah gunung itu selesai, mereka memasukkan sejenis bahan berwarna putih yang diambil dari lemari lab sesuai instruksi. Jovita terlalu malas untuk mengingat nama bahannya padahal Fathur sempat menyebutkan. Lalu mereka menuangkan cairan pencuci piring dan cairan-cairan lain.

Taraaa...

Jovita terkejut saat gunung itu beneran mengeluarkan lahar seperti gunung berapi.

"Ya ampun, kok bisa?" Jovita melihat rekaman video di ponsel Karina, teman Ella~Jovita baru saja hapal namanya~saat mereka berjalan kembali ke kelas sebelah. "Kirimin ke WA gue dong."

"Boleh sih...nomer WA lo berapa?"

"Padahal di youtube banyak, lho. Jovita baru pertama kali lihat praktikum gunung berapi?" tanya Fathur terheran-heran.

"Masa sih?" Jovita balik bertanya.

"Iya, Jo, youtube isinya kan macem-macem, nggak cuma Atta Geledek mulu," sambar Ella dan teman-temannya yang sudah mulai akrab dengan Jovita.

"Gue buka youtube liat MV doang."

"Liat yang lain juga nggak pa pa, Jo," canda mereka lagi.

"Tapi Jovita senang kan?" tanya Fathur tiba-tiba. "Gimana menurut Jovita ekskulnya nggak boring-boring amet sekarang?"

"Lumayan," sahut Jovita dengan angkuh seperti biasa. "Abisnya dari kemarin kita teori mulu."

"Teorinya udah abis kok. Kan yang penting dari teori tuh cuma pengertian karya tulis ilmiah sama susunannya aja," jelas Fathur.

"Berarti abis ini kita nggak belajar teori-teori lagi, Kak?" tanya yang lain penuh harap.

"Iya, abis ini kita malah ngadain praktik, seneng-seneng, sama games aja."

"Asikkk!" Itu bukan sorakan Jovita, tapi anak-anak lain yang sedang bersamanya. Jovita malah diam saja meski dalam hati ia juga merasa senang bahwa ia tidak harus berkutat lagi dengan catatan-catatan aneh yang bahkan tidak pernah ia baca itu. Setidaknya sisa waktunya sebelum kabur dari KIRS tidak akan begitu membosankan.

Tapi perasaan senang itu tidak bertahan lama setelah apa yang terjadi selanjutnya. Padahal Jovita baru saja menginjakkan kaki memasuki lab. fisika, bergabung dengan anggota-anggota baru yang masih liar tadi.

"Seleksi anggota KIRS," gumam Ella.

"Hah?" Teman-teman Ella, termasuk Jovita ikut melihat arah pandang Ella yang ternyata tertuju ke papan tulis depan lab.

SELEKSI ANGGOTA KIRS

Para anggota diharuskan membuat 1 buah karya tulis ilmiah sederhana sesuai dengan yang diajarkan selama ini.
Tema : Bebas.
Panjang : Min. 1 halaman double folio.
Dikumpulkan Sabtu.

Oh, please!!!

Rasanya kemarahan Jovita ikut meletus seperti gunung berapi praktikum tadi selesai membaca pengumuman laknat tersebut. Tidak perlu ditanya lagi siapa oknum di baliknya. Mata Jovita langsung menemukan orang itu.

Entah kebetulan atau tidak, Es Cendol juga kepergok sedang menatapnya lalu cowok itu mengalihkan pandangan seakan menghindari keributan season dua yang bisa jadi bakal ditimbulkan Jovita. Tapi Jovita tidak akam melakukan itu sekarang. Hanya saja ia jadi tahu bahwa Es Cendol benar-benar mencetuskan perang dunia III dengannya.

🍒🍒🍒

Es Cendol

Waduh sama sama ada aura2 sombong wajahnya ya Jojon sama Es Cendol 😂

Sebentar2 ini msh belum pertengahan. Msh belum jelas apakah nanti Jojon dengan siapa ya. Oke...

Makasi yang sudah baca apalagi kasi bintang (Sorry ngingetin mulu biar nggak lupa hehe)

Follow instagram :

Jovita.amanda.t
devan.wardhana01

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top