Part 1 - Arrogant Princess
🍒 Playlist : 2002 - Anne Marie (Tag si Ara terwaluey )
🍒 vote n komen ya
🍒 follow akun wattpad penulis : Matchamallow
🍒 Btw, aku update suka-suka skrg jadi apapun yang aku update tolong didukung aja ya antara Budi, Jovita, Raphael dan Timeless.
Mana yang partnya selesai duluan itu aku posting. 😝
Yang jelas aku pastikan semua ceritanya bakal seru. (Percayalah apa yang dikatakan Olin #iklan shampoo lain)
🍒🍒🍒
Pagi itu para murid benar-benar berkumpul di depan mading sekolah. Sebenarnya mereka tidak tertarik sama sekali membaca surat cinta yang tertempel di mading itu. Hanya saja berita apapun yang menyangkut Jovita Amanda Triadi, cewek terpopuler di SMU Adhyaksa benar-benar menarik perhatian mereka.
Awalnya berita tentang "korban" Jovita tersebar di beberapa grup WA kelas pagi ini. Dan satu-persatu dari mereka yang kepo mulai mengecek kebenarannya.
"Ah, beneran ada lagi yang jadi korban."
"Lagi?"
"Ini udah yang kelima kalinya."
"Kemarin dia juga nolak Reffi, anak kelas X IPA 3. Trus percakapan si Reffi yang nembak dia di SS dan kesebar di grup WA sekolah. Entah gimana bisa nyebar."
"Pokoknya tuh cewek bener-bener kejem kalau udah nolak cowok."
🍒🍒🍒
"Jovita Amanda Triadi."
Suara yang terdengar di depan pintu saat bel masuk pelajaran pertama baru saja berkumandang membuat semua murid kelas X IPA 2 menoleh. Ternyata Bu Santi, salah satu guru BK. Suasana yang tadinya ramai menjadi hening seketika mendengar nama Jovita disebut.
"Istirahat pertama segera menghadap ke ruang guru. Ibu tunggu kamu di sana," ucap Bu Santi dengan mata mendelik. Tanpa menunggu jawaban Jovita, Bu Santi melenggang pergi menjauhi kelas.
"Mampus lo," komentar Hera santai.
"Iya...mampus." Erin ikut menatap Jovita sambil mengangguk-angguk.
"Mampus kenapa? Gue udah langganan ke BK. Santai aja."
"Guru BK baru tuh. Kabarnya galak. Macan betina."
Jovita menatap kedua sahabatnya sembari berpikir. Selama ini guru BK memang Pak Rudi yang selalu lemah hati dan gampang dirayu-rayu. Makanya selama ini Jovita tidak takut berbuat semaunya.
"Lo pasti dipanggil gara-gara insiden surat cinta yang lo tempel di mading tadi pagi," lanjut Hera.
"Kalian keliatannya bahagia banget tau gue bakal kena hukum?" tatap Jovita curiga.
Erin menggeleng keras-keras. "Gue enggak, Jo. Hera tuh."
Hera tertawa. "Ya, salah elo juga 'kan, Jo?"
"Salah apaan?"
"Eh Jojon! Pake nanya lagi," Hera memukul kepala Jovita dengan bukunya. "Jelas-jelas lo kurang kerjaan mempermalukan cowok-cowok yang nembak lo. Kita tuh sebenernya kemarin miris banget ngeliat tuh cowok lo perlakukan kayak gitu. Kasian tau nggak?"
"Ya salah merekalah! Udah tau gue sering mempermalukan cowok-cowok yang nembak gue, tetep aja nekat nembak gue." Jovita membela diri. "Yang goblok siapa, terus?"
"Kan lo bisa tolak aja mereka. Udah. Nggak usah pakai dipajang segala," debat Hera. " Lo emang suka nyari sensasi macem Lucinta Luna."
"Bodo amet."
"Lagian Jo. Lo sadar nggak apa yang lo lakukan bakal ngerugiin diri lo sendiri."
"Rugi gimana?"
"Ya, cowok yang lo taksir nggak bakal nembak-nembak elo."
"Kebetulan belum ada cowok yang gue taksir sampai detik ini." Jovita tersenyum bangga.
"Si William anak kelas sebelah yang blasteran? Dia cakep loh, Jo. Banyak yang naksir."
"Gue kagak."
"Kak Devan. Uda terkenal paling cakep seantero sekolah. Jago basket, sepakbola, futsal, tenis meja. Tajir pula."
"Siapa tuh? Gue nggak pernah denger namanya."
Hera menoleh pada Erin dengan wajah pasrah. "Gue nyerah deh ngomong ke dia."
"Sabar. Sabar, Ra." Erin bersimpati.
"Udah deh. Intinya gitu aja udah. Cowok-cowok berpotensi di sekolah ini nggak bakal nembak lo," tutup Hera.
"Nggak usah. Biar gue aja yang nembak kalau gue suatu saat suka ama seseorang di sekolah ini," sahut Jovita. "Itu kalau bener-benar ada yang gue suka ya," tambahnya.
"Terus kalau lo ditolak, gimana?"
"Nggak mungkinlah ada yang nolak gue."
"Sombong amat lo, anjir!"
"Emang kenyataan, kok."
"Jangan takabur, Jo. Inget lo bisa aja kena karma. Sekarang lo banyak nolak cowok pakai cara kejem. Besok- besok lo sendiri bakal ngalamin gimana rasanya ditolak kayak mereka."
"Lo kayaknya kebanyakan nonton acara Roy Kimochi," timpal Jovita kalem.
"Udah! Cukup! Bener-bener nyerah gue!!!" Hera berbalik ke bangkunya dan tidak merecoki Jovita lagi.
🍒🍒🍒
Apa yang dikatakannya memang kenyataan.
Jovita tahu dirinya terlahir dengan wajah yang cantik dan tubuh langsing semampai. Ia menyadari itu sejak kelas tiga SD saat cowok-cowok sekelas sering menggodanya, dan semakin menyadarinya sejak ia ditembak oleh seorang cowok saat ia masih duduk di bangku kelas enam SD. Dan semenjak itu sudah tidak terhitung banyaknya 'lamaran' yang Jovita terima.
Saat Valentine tiba, Jovita pasti akan menerima banyak kado coklat dari para pria pengagumnya. Sementara di negara luar tradisi Valentine sebenarnya prialah yang menerima kado cokelat tapi di Indonesia berbeda.
Jovita menikmati kepopulerannya itu. Ia senang dipuja-puja oleh banyak pria. Dan juga merasa senang melihat tatapan iri para siswi setiap kali melewatinya.
Hanya saja Jovita agak kesal jika ada cowok-cowok berwajah standar~apalagi jelek~garis bawahi pake bold, yang berani menyatakan cinta padanya. Bagi Jovita mereka benar-benar tidak tahu diri dan pantas mendapatkan pelajaran agar mereka sadar bahwa mereka tidak layak. Tapi sepertinya golongan cowok-cowok berwajah di bawah standar itu tidak pernah sadar.
Untungnya Jovita tidak pernah jatuh cinta dengan seorang pria pun. Ia merasa semakin aman dengan keadaannya ini. Jovita sudah menjalani dua bulan kelas sepuluh dan tidak ada satupun pria yang menarik perhatiannya.
🍒🍒🍒
Tiba di depan pintu ruang guru, Jovita mengetuknya tiga kali dan membuka pintu. Ia memasuki ruangan dan menutup pintu kembali karena ruangan itu ber- AC. Beberapa pasang mata dari para guru melihatnya sekilas, lalu kembali melanjutkan aktivitas. Ada yang mengobrol, makan camilan, dan mengecek nilai murid.
Ada juga dua siswa laki-laki dengan tipe wajah tidak populer duduk di kursi depan meja guru yang Jovita tahu adalah guru fisika. Mereka ikut menoleh melihat Jovita dengan tatapan ingin tahu. Jovita melengos tak peduli. Meja Bu Santi terletak di sudut ruangan. Tidak ada ruang BK di SMU Akasia sehingga ruang guru dijadikan sebagai ruang BK sekaligus.
"Bu," Jovita berdiri di depan Bu Santi yang sedang duduk.
Bu Santi mendongak dan menelitinya dari atas hingga bawah. "Duduk!" perintahnya bagaikan sipir penjara, sembari mengedikkan dagu ke arah kursi yang bertengger di depan mejanya.
Mata Bu Santi~yang seperti biasa, mendelik bagaikan Suzanna dalam film Beranak Dalam Kubur~tak lepas memandang gerak-gerik Jovita seakan jika menemukan satu saja kesalahan, matanya akan mengeluarkan sinar laser dan menghanguskan murid yang duduk di hadapannya.
"Jovita! Kamu tahu karena apa kamu dipanggil kemari?"
"Nggak, Bu," Jovita menggeleng, menampilkan wajah polos.
"Bagaimana kamu bisa nggak tahu?! Itu kesalahan yang sudah sangat jelas. Jawab sekali lagi, Jovita."
'What?' batin Jovita kebingungan.
"Masalah mading itu?"cobanya.
"Tepat sekali," wajah Bu Santi tampak semakin sangar. "Kamu sudah tahu pasti kesalahanmu berarti kamu melakukan itu dengan penuh kesadaran! Sudah tahu hal itu salah, kenapa kamu lakukan?"
"Tadi ibu bilang bagaimana bisa saya tidak tahu..."
"Jangan mengalihkan pembicaraan! Jawab saja apa yang ibu tanyakan!"
Bibir Jovita terkatup sebentar untuk menggertakkan gigi. Semua di ruangan itu pasti mendengar apa yang mereka perbincangkan karena Bu Santi sejak tadi berteriak-teriak bagaikan tarzan yang kehilangan sempak kesayangan. Jovita teringat dua siswa yang tadi ia lihat saat masuk dan berdoa semoga saja mereka bukan laki-laki bermulut radio, kalau tidak...yahh...paling-paling berita tentang Jovita Amanda Triadi dimarahi guru BK baru tersebar ke seluruh sekolah. Haters-haters Jovita pasti senang mendengar kabar gembira itu.
"Alasannya karena..."
"Cukup!" Bu Santi menaikkan telapak tangan lalu menggeleng pasrah. "Apapun alasanmu, yang kamu lakukan itu nggak bisa dibenarkan."
Jovita akhirnya memilih diam. Batinnya merutuk kesal.
"Kenapa diam saja?!" bentak Bu Santi lagi.
"Terus saya harus bagaimana, Bu?"
"Seseorang yang salah dan menyesali perbuatannya itu lumrahnya ya meminta maaf. Begitu saja kamu tidak peka?!"
"Kalau begitu saya mint..."
"Ibu akan memberimu surat peringatan. Dan juga hukuman untuk membersihkan toilet saat jam pelajaran usai nanti," selanya tanpa mempedulikan tanggapan Jovita lebih lanjut.
🍒🍒🍒
"Jawab nggak tau salah, jawab tau juga salah, diem juga salah! Heran gue, susah banget urusan sama emak-emak. Serba salah!" dumel Jovita. Hera tertawa keras sedangkan Erin hanya menatap Jovita dan Hera bergantian. Karena bingung harus bagaimana, Erin akhirnya memilih memakan mie ayam di mangkuknya.
"Terus lo nanti beneran nih bakal ngebersihin WC di dekat aula sebagai hukuman?" Hera masih belum berhenti tertawa. Jahat nggak sih kalau Jovita berharap Hera keselek mie?
"Ntar palingan ada cowok yang langsung ngambil alih hukuman gue ngebersihin WC," sahut Jovita santai.
"Lo bener-bener ngaco!"
"Ngaco gimana?"
"Sama aja lo ngasi harapan palsu ke mereka!"
"Nggak sama dong. Kan gue nggak ada minta tolong ke mereka."
Hera ternganga lagi. Tapi apa yang dikatakan Jovita memang biasanya benar terjadi. Entah diguna-guna ataukah semua cowok emang rada oon, sudah tahu kelakuan Jovita seperti setan, mereka tetap berlomba-lomba mengejarnya, berusaha membuat Jovita melihat mereka.
"Duh, cacing-cacing gue udah demo," Jovita menerima mangkok berisi mie ayamnya dari Pak Ujang, pedagang mie di kantin SMU Akasia. "Kalian mah enak udah makan sejak tadi. Gue makan sekarang kejar-kejaran ama bel masuk."
"Lo ga lihat apa mangkok kita masih penuh mie begini. Kita juga baru makan, tau!"
Jovita baru sadar bahwa mie milik Hera dan Erin memang masih banyak. "Tadi kalian ke mana aja emang?"
"Kebetulan banget lo nanya karena ini juga menyangkut tentang elo. Pas mau ke kantin, kita berdua dicegat Pak Agung," Hera menyebutkan nama wali kelas mereka. "Pak Agung bilang dia nyari elo. Katanya lo doang yang belum masuk ekskul manapun di sekolah. Emang beneran?"
Jovita meringis keji. "Dih, emang wajib ya masuk ekskul?"
Hera terbelalak tak percaya menatap temannya itu. "Lo ke mana aja, Non? Emang pas SMP lo nggak ikutan ekskul apa?"
"Ya ikut, tapi datang absen dua kali doang. Abis itu nggak pernah datang lagi. Lo sendiri tau 'kan gimana SMP kita?"
Mereka bertiga memang lulusan SMP yang sama meskipun hanya Hera yang sekelas dengan Jovita. Erin satu sekolah tapi beda kelas. Makanya mereka langsung berteman akrab sejak ospek.
"Sekarang beda! Ikut ekskul tuh wajib! Minimal satu!"
"Iha, Jo. Behner." Erin ikut menimpali dengan mulut berjejalan mie. Jovita cuma bisa bengong.
Masalahnya Jovita malas. Sekolah mereka sudah masuk pagi pulang sore dari Senin hingga Rabu. Tiap Kamis hingga Sabtu Jovita menggunakan waktunya tidur siang dan sorenya ngemall. Haruskah ritual Kamis Sabtunya ini dirusak oleh kegiatan ekskul lagi?
"Terus kalian ikut ekskul apa aja?" tanya Jovita. Siapa tahu salah satu ekskul temannya itu bisa memberikan inspirasi untuknya.
"Gue ikut sispala, ekskul pecinta alam."
"Kerjaannya mencintai alam, gitu?" Jovita mulai tertarik. Ia membayangkan seorang traveller.
"Ya sejenis itulah. Kita biasanya hiking, wall climbing, panjat gunung, jadi sukarelawan menanam pohon di pinggir jalan juga kadang."
"Panas-panasan?"
"Iyalah. Namanya juga mencintai alam."
Penjelasan Erin langsung membuat Jovita bergidik ngeri. Ia paling anti kegiatan outdoor, main lumpur, panjat pohon, panjat pinang, dan segala panjat-panjatan lainnya. Kena panas matahari bisa membuat kulit mulusnya terbakar. Kalau jatuh badannya bisa memar atau yang lebih gawat lagi luka. Apalagi jika lukanya membekas. Nggak banget.
"Kalau elo, Ra?" Jovita beralih pada Hera.
"Gue? Gue ikut pencak silat."
🍒🍒🍒
Hmm siapakah cowok yang bakal menghancurkan dunia Jovita?👌🏻👌🏻
Instagram : jovita.amanda.t
Instagram penulis :
Dian_oline_maulina
Matchamallow_Gallery
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top