The Fail Missions

• Ernestine Young •

Ern sedang menunggu.

Jika boleh dibilang, sebenarnya ini bukan perkerjaannya.  Dia belum mencapai limit untuk perkejaan berat semacam ini,  dan portal di belakangnya pun seharusnya tidak boleh disentuh oleh siapapun kecuali mereka. Tapi mau bagaimanapun dia mengelak, Ern tetaplah menjadi salah satu perwakilan antar dunia untuk membasmi monster yang bermunculan di daerah Batasan.

Bukan sesuatu yang baru sebenarnya, tapi kenyataan bahwa dia tidak memiliki keahlian menembak atau bertarung sedikit membebaninya. Dia mungkin pandai memanjat, namun daerah Batasan hanyalah sekumpulan jaring laba-laba super besar yang memiliki celah seperti jurang tanpa batas. Kau jatuh, maka kau tamat.

Ern mendesah ... mungkin memang tidak ada pilihan lain. Tapi masih ada satu cara yang selalu dia andalkan selama hidup. Dan dia masih mempergunakannya sampai sekarang. Sembari memperhatikan riak-riak samar yang muncul di setiap portal, dia menghitung mundur. 69 detik lagi sebelum waktu yang dijanjikan.

Langit di atasnya perlahan menggelap, hembusan angin menyebarkan bau busuk ke segala tempat. Ern menatap pada pintu gerbang super besar yang tertutup di depannya, ukiran rumit yang mengalirkan pendar cahaya kebiruan perlahan terlihat semakin jelas.   

Di belakangnya, suara derak samar terdengar. Ketika dia menoleh, beberapa manusia dari dimensi lain keluar dari dalam portal dengan berbagai gaya. Pedang terhunus. Senjata teracung. Lengan bersidekap. Seseorang bahkan menguap sangat lebar. Dan beberapa di antara mereka menatap sekitar seolah mencari jalan keluar. Ern memutar bola mata. Dia mengeluarkan dua pisau bergerigi dari sabuk di pinggangnya, dan kembali menatap ke depan.

Tepat ketika bunyi klik dan desingan bising dari pintu gerbang yang terbuka terdengar dan monster pertama menyerang, dia sudah lenyap dari tempatnya.

•••

• Brasta •

Brasta baru saja berhasil lepas dari kejaran orang-orang yang mengejarnya. Dia baru saja mencopet di salah satu pasar di kota. Setelah merasa dirinya aman, dia mencari sebuah gang kecil untuk beristirahat dan melepas lelah. Tapi, baru saja di duduk, beberapa orang dengan setelan jas hitam datang mendekatinya, lalu menangkapnya.

Brasta berusaha melawan, tapi tenaga orang-orang itu begitu besar. Selanjutnya, yang dia tahu, Brasta dibawa ke suatu bangunan besar yang megah entah dimana. Di sana banyak orang sedang sibuk akan sesuatu dengan gerbang besar dengan ukiran aneh sebagai pusatnya. Kemudian seseorang datang mendekatinya dengan setelan serba putih. Mengatakan sesuatu padanya,

“Selamat, kau terpilih.”

Lalu pintu itu terbuka, dan tanpa aba-aba, Brasta di lempar masuk ke dalam pintu itu oleh dua orang yang memeganginya sedari tadi.

Brasta terkejut. Dalam sekejap dia keluar di suatu tempat yang berbeda. Dia tidak sendiri keluar dari pintu. Ada orang lain sepertinya. Ada laki-laki, ada perempuan, ada anak kecil, dan ada perempuan dan anak kecil yang membawa senjata.

Belum habis rasa terkejutnya, di depannya sekarang ada semacam monster yang menggeram siap menyerangnya.

•••

• Ophi •

Ophi berjalan tanpa arah. Di susurinya gang sempit di hadapanya. Ia tak perduli ke mana langkah membawanya. Yang pasti, Ophi ingin sendiri.

Ophi hanya gadis SMA biasa yang tengah merasakan bunga - bunga cinta. Namun bunga - bunga cinta itu sekarang layu. Iya, Ophi tengah patah hati. Hatinya remuk karena cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Ia begitu terluka hingga dadanya terasa sakit dan nyeri. Oksigen di sekitarnya serasa hilang entah ke mana. Yang pasti, hatinya kini tengah terluka.

Air mata tak henti - hentinya mengalir di pipinya. Bibirnya terkatup rapat meredam isak tangis yang serasa ingin pecah. Ia tak pernah menyangka bahwa mencintai seseorang bisa membuatnya sakit seperti ini.

Ophi masih berjalan entah ke mana. Niatnya ia ingin pergi ke sungai di mana ia sering menyendiri. Ia hanya ingin menyendiri. Semoga ia tak berniat lain, seperti bunuh diri.

Tiba - tiba Ophi merasa ada yang aneh dengan jalan yang ia lalui. Sungai yang seharusnya ia tuju, kini berubah menjadi bangunan megah yang membuatnya terpana. Sepertinya ia tersesat. Seharusnya ia tak berjalan sembarangan dalam keadaan galau seperti ini.

Dengan tidak yakin, Ophi berjalan memasuki bangunan tersebut. Ia penasaran dengan gedung tersebut. Ia berpikir mungkin gedung ini bisa menjadi tempat pelariannya.

Setelah Ophi memasuki gedung tersebut, ia mendapati beberapa orang berada di sana. Pandangan mereka mengarah pada sesuatu yang berada di sebelah kirinya. Ophi kemudian menoleh ke arah tersebut. Kini mata Ophi mulai melotot, bibirnya terbuka lebar.

"MON...MONSTER! Huaaaa!" teriaknya ketakutan diiringi tangisan yang semakin menjadi.

"Diam!" ucap seseorang setengah berisik kepadanya. Ophi dengan segera menutup mulutnya dan meredam tangisnya.

Ophi masih tak mempercayai monster yang berada di hadapannya. Yang ia tahu, monster itu hanya ada di film - film.

Tadi Ophi berpikir bahwa mungkin hari ini ia akan mati gara - gara sakit hatinya ini. Namun sekarang, sepertinya monster di hadapannyalah yang akan merenggut nyawanya.

Ophi masih ingin hidup. Ophi masih ingin lulus SMA. Ophi masih ingin mengejar cita - citanya. Ophi masih berharap bahwa monster di hadapannya ini adalah halusinasi kegalauannya. Dan sekarang Ophi ingin pingsan.

•••

• Lem •

Lem terbangun dari 'tidurnya'. Di hadapannya ada sebuah gedung megah. Seingatnya ia tadi baru saja dipukul gurunya hingga semuanya menjadi gelap. Tapi.. Kenapa ini?

Ia pun berdiri. Badannya masih agak lemas. Ia pun mulai melangkah masuk ke dalam gedung.

Jaring-jaring? Di lantai? Lem bingung. Apa-apaan? Secara tak sengaja, ia pun terjatuh. Untungnya, kedua tangannya masih sempat menggenggam salah satu jaring putih itu.

"Sial."

•••

• Grace •

Grace terjatuh. Ia merintih kesakitan dan sesekali melirik ke belakang. Suara orang yang saling bersahutan dan langkah kaki yang terburu ke arahnya. Nafasnya tercekat. Orang-orang itu terasa semakin mendekat sedang kini kakinya terkilir. Ia tak kuat untuk berdiri.

Hingga akhirnya orang-orang itu menemukannya.

"Dimana dia? Dimana wanita itu? Sialan! Kenapa dia kabur setelah membunuh bebekku?"

Grace melotot. Ia ada di bawah pria itu. Pria pemilik bebek yang sempat ia bunuh tadi dan mengejarnya sampai gang gelap ini. Tapi ... kenapa pria itu tidak menyadari keberadaannya?

"Sial!"

Pria itu pergi. Grace masih terpaku ditempatnya.

"Kau terpilih."

Sebuah suara menginterupsinya. Ia mengedarkan pandangannya untuk mencari sumber suara tersebut.

"Selamat bersenang-senang. Grace Valemynd."

Kemudian semuanya gelap.

Ia terbangun di sebuah tempat yang ... entahlah, seperti jaring laba-laba.

"Apa ini?"

Ia menelusuri seluruh penjuru menggunakan matanya. Dan disana. Ada monster berlendir yang menatap dingin ke arahnya.

•••

• Yuka •

Kemarin ayahnya sudah bilang, "kamu akan dibawa ke tempat pelatihan khusus untuk melatih kemampuanmu."

Dan kini Yuka mendapati ia sedang berada di sebuah tempat asing. Namun setidaknya, dia tidak sebingung beberapa orang lainnya yang ikut berdatangan bersamanya.

Monster bertubuh aneh, yang jelas dia sangat kuat dan tak terkalahkan ini membuat Yuka gentar. Dia tidak bisa sewenang-wenang menggunakan kekuatannya karena masih belum dilatih benar-benar. Tetapi satu yang membuatnya harus cepat tanggap: dia harus menjauh dari tempatnya.

Monster itu bergerak ke depan meraung besar bak guntur menggelegar. Yuka berlari ke arah berlawanan dan belum apa-apa sudah merasa kelelahan.

/Jangan takut, Yuka … jangan takut/, gumamnya dalam hati.

Ia berusaha memikirkan api yang bisa ia keluarkan dalam waktu genting. Namun percikan pun tak kunjung muncul. Ia menghunus belatinya dengan gemetaran dan tetap menatap si monster dari kejauhan.

Kini monster itu mendekat ke arahnya. Yuka pun ikut menerjang mendekatinya sambil berteriak … agak bodoh.

•••

• Ryu •

Lelaki bernama Ryu itu berlari dan menghindar dari serangan monster. Rambut merah gelapnya menari-nari seiring pergerakannya. Melompat dengan lincah di atas jaring laba-laba yang besar. Matanya fokus pada monster yang kini mengejarnya.

Benaknya masih belum menerima mengapa ia ada di sini. Setelah ia terjun dari balkon apartemennya yang terletak di lantai 13, ia sudah terhempas ke tempat yang asing baginya. Ia juga ditemani beberapa orang yang  memegang senjata. Kini ia terjebak di antara puluhan monster yang muncul dari pintu gerbang yang dipenuhi ukiran rumit.

Di depannya ada sosok gadis yang mirip dengan Kimi-kekasihnya yang pernah ia bunuh- terpojok karena berusaha menangkis serangan monster berkepala tiga. Ia melihat kembali belakangnya, memastikan monter menjijikkan itu tidak mengejarnya lagi. Sudah tidak ada, dia aman. Ryu segera menghampiri gadis itu.

"Butuh bantuan?" tanyanya menawarkan. Ia sudah mulai menyerang monster berkepala tiga di hadapannya tanpa menanti jawaban gadis itu. Ia mengambil pisau yang sedari tadi ia genggam dan mulai menggoreskannya ke kulit monster berlendir itu. Seketika wajahnya memucat melihat darah yang tertempel di pisaunya. Ya, dia phobia darah. Sebelum ia pingsan, pribadinya yang lain sudah mengambil alih dirinya dan mulai memenggal semua kepala monster itu dengan sadis.

•••

• Falke •

Menghindar. Memukul. Menyikut. Menendang. Menghancurkan.

Hal-hal tersebut dilakukan seorang pemuda pemilik rambut coklat terang dengan mudahnya, seakan sudah terbiasa. Dia memang jarang berkelahi akhir-akhir ini. Namun pengalaman tentu menyebabkan kemampuan tersebut masih bisa digunakan tanpa perlu berfikir keras.

Dengan kata lain, bakat.

Dan kini, entah kena kutukan apa, dia tiba-tiba terjebak di dalam portal yang barusan ia lewati dengan alasan iseng. Rasa penasaran akan petualangan telah berhasil menghasut dirinya. Menyebabkannya berhadapan dengan hewan-hewan aneh serupa ... monster?

Monster kau bilang?

Jika monster yang dimaksud adalah binatang berwujud tak biasa, itu bukan. Sebab monster sebenarnya adalah mereka yang tidak mencintai akan adanya perdamaian.

Makhluk serupa beruang berkepala banteng menerkam. Kuku-kuku tajamnya sontak menggores di batang pohon. Tapi tenang, terkaman macam itu tak akan sedikit pun menghilangkan senyum santai dari pemuda itu- Falke.

Falke melompat, lalu menghadiahkan tendangan yang terlihat lemah, namun berdampak besar. Buktinya, sang makhluk itu terpental hingga menabrak makhluk lainnya yang juga memiliki wujud tak biasa.

Saat itu pulalah dia melihat sesosok gadis tengah berdiri.

Gaya sok akrab Falke pun kembali muncul. Dia mencoba mendekat, kemudian menyapa.

“Yo.”

•••

• Ari •

Ari tergelak kaget. Seekor makhluk astral melompat ke depannya saat dia sedang asyik memakan bakso buatan Ika, istrinya, di teras rumahnya. Sosoknya seperti singa dengan api biru. Giginya berwarna kuning keemasan dengan nafas yang menurut Ari seperti bau naga--walau dia belum pernah melihat naga sebelumnya.

Dia melompat ke samping. Tangannya masih menyeimbangkan mangkok yang enggan dilepaskannya. Dia berlari ke luar terasnya menuju jalanan yang agak lenggang. Tujuannya satu, menyeleseikan pertarungannya dengan makhluk bodoh ini lalu memakan bakso buatan Ika. Walau sebenarnya dia tidak yakin dapat menang. Karena sosok astral di hadapannya ini adalah ...

“Astral penculik jiwa,” katanya lirih.

Ari mulai menggunakan telekinesisnya untuk melayang tinggi melampaui tinggi astral yang menyerangnya. Dia sempat memakan bakso di tangannya karena tergoda akan baunya. Tapi mungkin hal itu membuat astral di hadapannya marah. Itu terlihat dari erangan yang berhasil memekikan telinga Ari dan membuat mangkok di hadapannya pecah dan membuat bakso-baksonya jatuh menembus kepala si astral dan mendarat mulus di atas aspal.

“Ah, DASAR MAKHLUK SIAL!” pekik Ari.

Dia pun mulai melayangkan benda-benda di sekitarnya. Batu-batu, kaleng-kaleng. pecahan mangkok, dan tentu saja baksonya. Dengan wajah yang memerah karena amarah, Ari melemparkan benda-benda itu ke arah astral di hadapannya. Sayang, benda-benda itu malah menembus makhluk itu begitu saja. Ari lupa, makhluk di hadapannya adalah makhluk tanpa tubuh.

Ari berbisik dalam hati, “seharusnya kekuatanku bukan telekinesis,” keluhnya.

Makhluk itu melompat. Cakarnya mengarah ke depan. Sasarannya yang sedang kebingungan ini memang pantas untuk dihabisi. Entah mengapa bau jiwa Ari begitu membuatnya tergiur. Ilernya bahkan menetes. Walau sebenarnya dia hanya penculik jiwa dan bukan pemakan jiwa.

Ari pun melayang ke belakang, mencoba menjauh dari astral bau di hadapannya. Dalam kepanikannya, Ari mencoba berpikir cara untuk lolos dari situasi seperti ini. Bukannya bodoh, hanya saja Ari jarang--mungkin hampir tak pernah bertarung langsung--dengan makhluk astral. Hingga membuat tubuh dan pikirannya--yang hanya fokus dengan mengembangkan kekuatannya dan bukan mengembangkan kemampuan bertarungnya--menjadi lemot.

Sayang gerakan Ari tidak dapat disamakan dengan kecepatan singa penculik jiwa ini. Aria memekik kaget ketika makhluk itu mulai membuka mulutnya. Menampakkan taring-taringnya yang kuning dan lidahnya yang berwarna biru serta nafas bau sang makhluk, yang sekali lagi, berhasil membuat hidung Ari mengkerut.

Bola berwarna biru besar muncul dari dalam makhluk itu. Ari tahu bola apa itu. Dia pernah mendengar cerita para esper lain tentang portal antardimensi yang akan membawa jiwa orang-orang mengembara tak tentu arah. Ari tahu sebentar lagi tubuhnya tidak akan terisi oleh jiwanya lagi.

“Inikah akhir hidupku?” ujarnya lirih.

Saat makhluk itu mulai melemparkan bola biru—yang Ari yakin pasti bau—ke arahnya, Ari memejamkan mata dengan posisi tangan di hadapan mukanya. Dia merasakan tubuhnya yang mulai memanas. Hingga akhirnya jiwanya terpental ke dunia antah berantah.

•••

• Haruta •

Gadis berambut krem kecoklatan itu menatap orang-orang yang tengah ribut merebutkan sesuatu. Tunggu. Apa yang mereka perebutkan? Kosmetik-kosmetik aneh  yang harganya mampu membeli sebuah rumah? Oh, maaf saja, tapi gadis bernama Fujimaki Haruta itu tidak tertarik.

"Kau tahu, aku yang pertama kali mendapatkannya!" teriak seorang gadis berambut hitam panjang, dengan sedikit warna merah muda. Sungguh rambut yang merepotkan. Mari kita sebut dia sebagai Gadis 1.

"Aku duluan, bodoh!" umpat Gadis 2, "kau harus mati dulu baru bisa mendapatkannya!"

Haruta memutar bola mata malas. Yang benar saja, itu adalah hal paling membosankan yang terjadi di kelasnya.

Ia bangkit dari duduk, lalu berjalan pelan ke arah pintu kelas. Tidak memperdulikan orang-orang yang menatapnya, ia keluar dari kelas yang bagaikan neraka itu.

"Kau keluar saat jam pelajaran? Hal yang tidak biasa," ucap seseorang dari jauh. Haruta menoleh, namun tak menemukan sosok yang berucap itu.

Dengan kening mengkerut Haruta menoleh kanan-kiri, mencari sosok yang berucap itu. Lagi, Haruta tak menemukannya.

"Di mana kau---EEEEMMPHH!ー" tiba-tiba seseorang membekap mulut Haruta dari belakang. Matanya terbelalak lebar, kaget.

Seseorang itu menyeret Haruta hingga ke gedung olahraga yang gelap nan sepi. Sosok itu mengunci pintu gedung, membuat Haruta dapat menghirup udara sebanyak-banyaknya.

Dengan secepat mungkin ia menghadap ke arah sosok itu.

Rupanya, sosok itu adalah kakak kelasnya, Hayate Ararki.

"Apa yang kau lakukan?!" seru Haruta garang. Pipinya memerah, karena marah juga karena nyaris kehabisan napas.

Ararki menyeringai. "Kau begitu bodoh, gadis manis," ucapnya pelan namun penuh intimidasi, "kau baru saja keluar dari 'neraka' dan masuk ke kandang harimau."

"Apa maksudmu?" Haruta menatap waspada.

"Kau tahu, aku mencintaimu," pemuda berambut hitam itu menggenggam rambut panjang Haruta, lalu menariknya kencang.

"A-aww!" pekik Haruta kesakitan.

"Baiklah, apa kita harus mulaiー"

BRUK!

Tubuh pemuda itu terhempas ke bawah. Haruta menarik kerah bajunya, meninju wajah tampan itu tanpa rasa kasian.

"Kau, gila!" seru Haruta dengan manik mata menggebu-gebu. Tinjuannya di wajah itu masih kencang.

Wajah Ararki mulai parah. Hidungnya beradarah, matanya membiru bengkak, dan pipinya bahkan membiru. Kalian harus percaya, bahwa yang meninju itu ialah seorang gadis tulen.

Dengan napas terengah Haruta bangkit, menatap sadis pada wajah Ararki yang tak lagi terbentuk. Menyilangkan kedua tangan di dada, menatap tubuh Ararki yang tak lagi bergerak. Tidak, ia tidak mati. Ia hanya pingsan.

"Sudah kubilang, jangan cari gara-gara denganku," desis Haruta dingin.

Haruta berbalik ke belakang, hendak keluar dari gedung olahraga. Namun tiba-tiba saja, seseorang berada di hadapannya.

"Kau terpilih."

Haruta terbelalak kaget nan heran. Ia memasang kuda-kuda, berhati-hati dengan sosok di hadapannya ini.

Tiba-tiba saja, mata Haruta tertutup. Saat ia membuka matanya, ia berada di depan pintu besar dengan berbagai ukiran klasik yang aneh.

Memandang sekitar, ternyata ada beberapa orang yang nampak kebingungan, sepertinya. Dan tiba-tiba saja pintu besar itu terbuka lebar.

Kau tahu, apa yang keluar dari dalamnya?

Sebuah monster. Monster besar, kejam, nan beraura ganas. Tapi Haruta terlihat biasa saja, dan berekspresi datar.

Haruta mengepalkan tangan kuat-kuat. Berbeda dengan orang-orang lainnya, ia justru tidak merasa takut. Ia justru merasa tertantang. Bukannya merasa gegabah, ia hanya sudah sering menemukan monster sejenis ini di game. Yah, meski hanya di dunia virtual.

"Ini saatnya bagiku untuk menghancurkan makhluk sejenis ini di dunia nyata," gumamnya pelan ke dirinya sendiri.

•••

• Selenia •

Selen baru saja menghabiskan waktu nya dengan berbelanja dan dirinya sedang berada di dalam toilet mall tempat nya berbelanja, saat seseorang dengan setelan putih  tiba - tiba saja muncul di belakang nya bersama portal aneh yang terbentuk.

“Selamat, kamu terpilih," ucap laki laki itu.

Dan Selen langsung tertarik ke dalam portal itu, kegelapan langsung saja membungkus seluruh indra Selen. Tubuh Selen langsung terpental ke tanah tidak lebih tepat nya sebuah sarang laba-laba raksasa dengan jarak antara jaring yang satu dengan yang lain nya begitu besar, Selen langsung  menegapkan tubuh nya.

Tapi sebuah bayangan hitam besar muncul dari belakang nya, mata hazel Selen terbelalak saat mendapati seekor monster mengerikan yang mengarahkan kuku – kuku tajam nya kearah Selen .

Selen langsung melompat kebelakang saat menyadari kalau monster itu mengincar nyawa nya , nafas Selen terengah-engah .

“Jadi ini yang di maksud terpilih?“ tanya Selen pada diri sendiri.

Monster itu kembali mendekati Selen dengan langkah besar, tapi Selen langsung berbalik mencoba memanjat menuju ke tebing lain dimana beberapa orang sudah berdiri di sana sambil memperhatikan jurang yang ada tepat di bawah Selen.

“Great ini bukan pilihan yang baik, betapa tidak beruntung nya aku,“ geram Selen sambil tetap memanjat naik.

Namun saat akan tangan Selen menyentuh ujung tebing, monster yang mengejarnya malah berhasil meraih kaki Selen.

"Let me go!" Geram Selen sambil mencoba melepaskan kakinya.

Selen akhirnya kembali terjatuh ke Jaring laba-laba dan kali ini dengan nyeri yang tak tertahan kan di seluruh tubuh nya.

"Baiklah, kau ingin bertarung?" Tanya Selen sambil bangkit dari posisi nya dan langsung memasang kuda kuda untuk menyerang.

"Aku layani," Selen langsung maju dan memberikan pukulan telak di perut monster itu.

•••

• Tiffany Xu •

"ARRRGGHHH!!!" Tiffany berteriak kesal sembari menebas tiap-tiap tubuh monster-monster yang berada di hadapannya.

Tempat sialan apa ini? Alen mengerjainya atau ia salah alamat? Alen menyuruhnya untuk melakukan sebuah misi pembunuhan. Tergiur? Tentu saja ia sangat tergiur dengan hal-hal berbau membunuh. Tapi... monster? YANG DIMAKSUD PRIA BASTARD ITU ADALAH MEMBUNUH MONSTER?

Tiffany kesal sampai ke ubun-ubun. Ia kesal setengah hidup dengan Alen sialan itu. Sekali tebas ia hancurkan tiap-tiap tubuh monster-monster itu. Sesekali juga ia melihat ke sekeliling saat monster-monster di hadapannya tidak terlalu banyak. Benteng? Bangunan besar? Entah apapun itu persetan baginya! Tempat apapun ini ia hanya ingin ke luar lalu kembali ke markas dan memberontak di sana. Menghancurkan semua paket berharga jutaan dollar milik Alen.

"SIALAN KAU ALEN BANGSAT!" teriak Tiffani lagi, lalu kembali menebas salah satu monster yang ukurannya berkali-kali lipat daripadanya. Ia juga melihat banyak orang asing. Sungguh, tak ada niat untuk memperhatikan mereka. Bagaimana pun mereka tangguh juga, sanggup bertahan di tempat bedebah seperti ini, walau tak jarang banyak orang-orang yang terlihat biasa saja.

Tiffany terus menebas tiap monster. Menjatuhkan mereka, mengoyak tiap tubuh mereka, membelahnya hingga beberapa bagian. Kekesalannya sudah berlipat-lipat ganda.

Saat hendak menebas kepala salah satu monster ia mendengar namanya dipanggil. Ya, beberapa nama. Ia menangkap nama... Ern? Ophi? Lem? Selenia? Fujimaki? Ari? Falke? Apapun nama siapapun itu yang jelas ia mendengar namanya dipanggil dengan lantang. Ia pun mengurungkan niat untuk menebas salah satu monster itu.

Tiffany berjalan melangkah menuju asal suara dan saat itu kakinya ditarik oleh monster yang tidak jadi ditebasnya.

"Bedebah sialan kau! MATI SANA!" geram Tiffany dan satu tebasan cepat diberikan Tiffany kepada monster itu. Wanita berusia 28 tahun itu pun berlari menuju sumber suara bersama beberapa orang yang diyakininya juga dipanggil oleh asal suara itu.

Mereka tangguh juga rupanya. Sebuah seringai dari bibir Tiffany tebentuk. Wanita itu terlihat bersemangat.

•••

• Freya •

"Misimu kali ini ada di planet lain dan kau patut berbangga karena kaulah orang yang terpilih."

Itulah yang ia ingat dari transmisi radio yang ia terima beberapa waktu lalu, entah misi apa lagi kali ini, yang jelas sebagai seorang prajurit khusus ia harus patuh pada perintah.

Freya melewati portal di depannya dan saat ia keluar, beberapa orang terlihat sedang bersiaga.

"Ada apa ini?" Pikirnya.

"MON ... MONSTER! Huaaa!" Ia mendengar teriakan seorang gadis.

Glegk .... Freya menelan ludah.

Ia terkejut dengan kemunculan seekor monster di depannya.

"Ya ampun yang benar saja! Aku bahkan baru sampai!" Ucapnya kesal.

Dengan segera ia berlari ke arah kanan dari tempat asalnya, meninggalkan "manusia-manusia" yang sama-sama keluar dari portal. Monster seperti itu baginya hanyalah sasaran tembak, mengingat memang tugas utama Freya sebelumnya adalah melumpuhkan monster dengan panah di planet tempat ia bertugas sebelumnya.

Tap, tap, tap .... ia berlari sambil tetap menengok ke belakang, memperhatikan dengan detail setiap inci dari tubuh monster tersebut.

"Berkepala tiga, tubuh berlendir, tinggi kurang lebih tujuh meter, kecepatan tidak terlalu cepat, badan gemuk dipenuhi lemak namun lengan2nya sangat kuat. Hmm jika dilihat-lihat monster ini mirip dengan iguana berbadan gemuk, tapi tanpa ekor!" Ucapnya dalam hati.

Sreeett .... Freya mengerem dan seketika berbalik.

"Di balik batu besar ini sepertinya cukup aman bagi seorang pemanah sepertiku, bisa gawat jika aku dipaksa untuk bertarung dengan jarak dekat." Gumamnya sambil mempersiapkan busur dan anak panahnya.

"Haafff ... huhhh." Freya menarik napas dalam.

Shurrrpp! .... sebuah anak panah menancap di salah satu pelipis kepala monster tersebut.

"Bullseye!" Serunya.

"Gawat! Yang lain dalam bahaya! Ah! Mengapa ada orang biasa yang ikut dalam misi ini?!"

"Sekarang aku harus melindungi mereka, huh merepotkan!"

Shurrpp! .... anak panah miliknya yang lain menancap kembali di salah satu mata monster itu.

"Aku bisa membuat monster itu buta jika semua matanya terkena anak panahku, tapi ini ... terlalu banyak kepala!"

Freya masih berusaha membuat "buta" monster itu, sehingga orang-orang yang tengah diserang memiliki kesempatan melawan balik atau menyelamatkan diri.

BRUGHH!! sebuah bongkahan batu besar hampir mengenainya.

?!! Ia terkejut. Rupanya salah satu kepala monster itu memperhatikannya dari jauh dan melemparkan bongkahan batu itu padanya.

Tap, tap, tap .... Freya berlari menghindar, kini ia berlari ke arah "rekan-rekannya" yang sedang bertarung dari jarak dekat.

Sreett.. ia berhenti dan bersembunyi di balik batu besar lainnya.

"Aku harus memikirkan cara lain." Pikirnya.

Ia sesekali mengintip dari balik persembunyiannya.

"Egh?!! Ada lebih dari satu monster yang muncul?!" Ucapnya terkejut.

"Apa aku harus mengaktifkannya? ...."

•••

• Ernestine Young •

Ada satu hal yang mengganggu Ern ketika dia menggelindingkan tubuhnya masuk ke dalam gerbang.  Pembasmian monster di daerah Batasan seharusnya tidak diisi dengan manusia-manusia yang memiliki pengalaman bertarung di bawah rata-rata. Seperti dia misalnya. Dan jika mendengar teriakan memekakkan telinga yang baru saja terdengar ... Ern berpikir bahwa segala sesuatu mulai berubah sinting. Persis saat dia melihat seorang bocah berjalan dengan santai menuju pintu dan terjatuh, monster-monster berukuran lebih kecil mulai berderap ke arahnya.

“Cih,” dia meludah. Berdiri dengan kedua kaki melilit pada jaring laba-laba, dia mengangkat kedua pisau.

Monster itu bentuknya seperti laba-laba dengan sisi kepala yang bonyok. Lendir menetes dari celah kecil di setiap sisi tubuhnya, menyebarkan bau busuk yang sebelumnya dia cium. Sembari mengernyitkan hidung, Ern menatap pada monster yang menerkamnya seperti meriam empuk. Dia mengayunkan pisaunya. Monster itu meledak. Mencipratkan lendir ke tubuhnya.

“Oh man ... aku baru—“ sebelum dia sempat menyelesaikan ucapannya, beberapa monster datang mendekat. Ern tidak pernah punya pilihan. Dia mungkin tidak pandai bertarung, tetapi ketika berhadapan dengan monster bau, mau tak mau kedua pisaunya bergerak tanpa ampun. Dia mengayunkan ke segala arah, mengenai beberapa monster secara tak sengaja dan meledakkannya. Kedua kakinya bergoyang  mengerikan di atas lilitan jaring. Jika tak mati ketika melawan monster ... ada pilihan yang lebih ganas. Jatuh ke lubang tanpa akhir. Mati terdengar lebih baik ketimbang jatuh selamanya.

Dia melepas lilitan di kakinya begitu monster terakhir jatuh ke dalam lubang. Dengan gesit, dia melompati setiap jaring, berlari menjauh dari keributan yang terdengar di belakangnya. Akan lebih aman bertarung sendiri, Ern berpikir sambil tersenyum. Sebelum lubang hitam muncul di depannya dan menenggelamkannya.

Dan dia kembali ke tempat di mana dia bermula.

Seorang pemuda berambut coklat terang datang mendekat. “Yo.”

Ern mengerjap. 69 detiknya telah terpakai. Dengan gemas, dia menatap pada monitor kecil yang berada di pergelangan tangannya. 690 detik lagi sampai bantuan berikutnya datang.

“Yo,” si pemuda kembali menyapa.

Ern mengangkat kepala. Memnberikan pemuda itu pandangan tak mengerti sebelum melesat pergi.

Dia hanya perlu terus menjauh. Dan sendirian.

•••

• Selenia •

Semua orang sudah begitu sibuk dengan pertarungan mereka dan juga cara mereka untuk mencari rekan untuk melawan para monster yang datang , begitu pula Selenia yang kini melawan monster ke 2 setelah berhasil menjatuhkan monster berkuku panjang yang di hadapi nya tadi.

"Kapan ini semua akan berakhir?" tanya Selen mulai kelelahan.

Tenaga nya untuk memukul dan menghindar pun sudah mulai menghilang , saat monster dengan bentuk seperti belalang sembah mengayunkan sabit nya kearah Selen dan hampir saja mengenai batang tenggorokkan Selen.

Tiba tiba saja guncangan mulai terasa saat Selen hendak mengayunkan tinju nya kearah monster belalang itu tapi guncangan itu semakin kuat dan membuat keseimbangan Selen goyah.

"Bagus sekarang apa lagi!?" Geram Selen.

Saat itulah, sosok mahluk besar menyerupai banteng dengan kulit berwarna merah dan 3 mata muncul dari tebing lain dan bersamaan dengan itu kepanikan langsung menghampiri Selen. Terpontang panting Selen berlari mundur dan mencoba menaiki tebing dan saat berhasil naik ke atas.

"LARI!" teriak Selen.

Tapi semua telah terlambat , monster besar itu telah menembakkan cahaya laser dan ...

BOOOOOOOOM

Tidak ada yang tersisa dari tebing itu , baik para manusia yang mencoba melawan ataupun para monster.

END

•••

• Falke •

Saat itu pulalah dia melihat sesosok gadis tengah berdiri.

Gaya sok akrab Falke pun kembali muncul. Dia mencoba mendekat, kemudian menyapa.

“Yo.”

Sayang sekali, sapaan akrab Falke malah tak dihiraukan. Memang aneh sih jika ada orang yang tiba-tiba datang menyapa dalam keadaan penuh musuh seperti ini. Iya, aneh, bagi orang normal. Nyatanya, Falke terlihat begitu tenang, seakan musuh di sekitar hanyalah semut yang numpang lewat.

Mendadak, suara raungan keras memekikkan. Spontan, Falke menutup kedua telinga. Butuh beberapa detik bagi ia menatap ke arah asal suara yang sudah berhenti berbunyi.

Mata coklat dari Falke sontan membulat. Di seberang, seekor makhluk berwujud singa dengan badan semut yang besarnya seperti Titan berukuran 10 meter berdiri.

Tidak. Dia baru baru ini melihat aura membunuh yang sangat mengerikan. Dan itu terpancar dari sosok makhluk tersebut.

Makhluk tersebut melompat. Mulutnya membuka sangat lebar. Dari arah terjangannya ... gadis itu? Gadis yang barusan ia coba sapa? Tapi, kenapa gadis itu hanya berdiri mematung di sana?

Secara refleks, Falke melompat dengan cepat. Tangan kirinya mengulur, mencoba menangkap gadis itu.

Namun sayang. Gadis itu telah sepenuhnya dimakan oleh makhluk buas tersebut.

Falke telah mendarat dari lompatan. Ia terdiam. Sadar akan darah yang bersimbah dari lengan kirinya. Ya. Dari tangannya yang putus akibat digigit oleh makhluk tadi.

Sorot mata Falke menajam. Dia menatap lekat-lekat makhluk aneh tadi. Namun belum sempat berbuat lebih, tiba-tiba gempa bumi datang. Tak lama setelah itu, Falke melihat adanya cahaya laser yang menyilaukan. Kemudian, semuanya menjadi gelap.

Sosok Falke ... sekarang tinggal kenangan.

•••

• Lem •

Lem. Kau harus bergerak.

Lem dengan cepat menarik dirinya ke atas jaring-jaring itu. Beberapa monster laba-laba sudah ada di kakinya.

"Cih." Di ambilnya monster itu, lalu digigitnya hingga badan monster kecil itu terbelah 2. Cairan hangat yang aneh langsung bermuncratan. Lem pun menatap monster-monster lainnya yang masih mengincarnya. Ia menyeringai lebar.

"Ayo!"

Beberapa monster kecil itu melompat ke arahnya. Dengan cepat, Lem menggenggamnya sehingga monster itu meledak dan mengeluarkan cairan. Beberapa monster itu juga ia bagi menjadi 2 dengan tangannya.

Salah satu monster itu melompat ke arah wajah Lem. Ia pun langsung menangkap monster laba-laba itu. Di tatapnya monster itu.

"Mati kau." Lem lalu menggigit kepala monster itu. Ia pun memuntahkan kepala itu.

"Kalian terlalu manis untukku.." Ucapnya dengan sebuah seringai dan tatapannya yang mengerikan.

"Aku tidak lemah!" Teriaknya. Namun tiba-tiba, sebuah cahaya yang menyilaukan membuatnya merasa buta.

"Apa-apaan.." Ia tidak bisa merasakan tubuhnya lagi.

•••

• Ophi •

Ophi berlari sekencang yang ia bisa. Monster aneh kini mengejarnya seakan ingin memakannya. Ophi ketakutan setengah mati. Detak jantungnya semakin menggila.

Ragu - ragu Ophi menoleh ke arah belakangnya. Monster itu masih setia mengejarnya. Monster dengan badan seperti Hulk berwajah menyeramkan kini semakin mendekat ke arahnya. Gigi runcing milik mosnter itu seolah siap mencabik - cabik badan Ophi. Ophi gemetaran, ia semakin ketakutan.

"Tolong!" teriang Ophi sekencang mungkin. Dilihatnya semua orang tengah bertarung melawan monster yang ternyata berjumlah cukup banyak.

Bukk...  Ophi terjatuh.

Monster di belakangnya tertawa dengan suara menggelegar. Ophi berbalik dan melihat sang monster mulai mendekat ke arahnya. Ia terduduk lemas memandang monster itu.

Aku masih ingin hidup. Ucapnya dalam hati.

Ophi mulai terisak kembali. Ia tak ingin mati. Ia tak ingin hidupnya berakhir di dalam perut sang monster.

Kemudian Ophi mulai mencari sesuatu alat ataupun apapun yang dapat membantunya menyingkirkan monster sialan itu. Dan akhirnya matanya tertuju pada tumlukan batu yang berada di dekatnya. Dengan segera ia merangkak menuju tumlukan batu tersebut. Diambilnya satu batu yang cukup besar dan langsung di lemparkannya ke arah sang monster.

"Makan nih!" teriak Ophi seraya melemparkan beberapa batu ke arah monster mengerikan tersebut. 

Beberapa lemparan dapat ditangkis sang monster dengan mudahnya. Namun ada satu lemparan yang mengenai mata kanan sang monster dan membutnya limbung. Sekali lagi Ophi melemparkan batu ke arah mata kiri monster tersebut dan tepat sasaran. Monster tersebut kini buta.

Tiba - tiba ada pisau yang terlempar ke depan kaki Ophi. Dengan segera ia pungut pisau tersebut dan dilemparkannya pisau itu hingga menusuk tepat di kepala sang monster. Akhirnya monster tersebut jatuh dengan pisau yang menancap di kepalanya. Ophi terlihat ketakutan namun juga lega. Kemudian Ophi bergegas lari menjauh dari monster tersebut.

Terasa guncangan yang membuat semua orang panik. Ophi melihat ke arah belakangnya. Kini ada monster aneh bermata tiga mengeluarkan laser. Belum sempat Ophi berlari menjauh, laser tersebut kini sudah membunuhnya.

•••

• Ryu •

Ryu dengan pribadinya yang lebih berani sudah mulai membunuh satu per satu monster yang menghampirinya. Ia juga masih setia melindungi gadis yang ada di belakangnya. Entah sudah berapa banyak yang ia habisi sekarang.

"Aku Ryu, siapa namamu?" tanyanya pada gadis itu sambil menusuk mata monster yang mirip anjing.

"Grace, namaku Grace," jawab gadis itu.

Ryu kehilangan fokus karena mendengar suara Grace yang begitu mirip dengan Kimi.

Monster bersisik ular muncul di samping Ryu, namun ia belum menyadarinya. Dengan sigap Grace memotong monster itu dengan pisau panjangnya.

Ryu bengong melihat aksi Grace, ia belum tahu kalau gadis itu juga psycho. Memperlihatkan wajah bodohnya yang masih bisa dibilang tampan.

Grace menepuk bahu Ryu dan berkata, "Kau bisa mengucapkan terimakasih nanti."

Ryu kembali memperhatikan Grace yang kembali menyerang beberapa monster lainnya, senyum terukir di bibirnya.

"Menarik," gumamnya pelan.

Ryu mengalihkan pandangannya dari gadis itu saat merasakan guncangan yang dahsyat. Ia menolehkan kepalanya, melihat sinar laser yang menyilaukan dari monster yang sangat besar.

Inikah akhir hidupnya? Baru saja ia kehilangan sahabat dan kekasihnya, ia akan mati? Belum sempat ia menyuarakan isi hatinya pada Grace, hidupnya telah berakhir? Ia mengakui niatnya saat itu terjun dari apartemennya hanya untuk bunuh diri. Tapi sekarang? Nyawanya harus terenggut di tempat asing penuh monster menjijikkan, sungguh tidak keren...

•••

• Haruta •

Ketika semua orang masuk ke dalam ruangan aneh itu, Haruta terdiam di sana. Ia masih berdiri di sana. Meneliti berbagai keanehan di sekitarnya. Berharap ada sedikit petunjuk mengapa dirinya bisa dikirimkan ke sini.

Tak sengaja, matanya menangkap sebuah objek mengkilat. Ia berjalan mendekat ke sana. Itu sebuah pedang metalik yang mengkilap. Pedang yang tajam.

Haruta mengambilnya. Ia mengayunkan pedang itu, yang entah mengapa terasa pas di genggamannya.

Setengah berlari ia kembali ke depan pintu itu. Menatapnya sejenak, lalu kembali melangkahkan kaki masuk. Dan, dengan perlahan ia berjalan di atas sarang laba-laba yang tipis. Haruta bisa saja jatuh. Maka dari itu dia memlih untuk berjalan hati-hati.

Baru setengah perjalanan, sebuah monster besar nan menyeramkan berada di hadapannya. Haruta cukup kaget, namun ekspresinya masih sama seperti tadiーtetap datar.

"Baiklah, kau yang pertama," gumam Haruta, lalu mulai melangkahkan kaki mendekat. Ia mengayunkan pedangnya, mampu membuat perut monster itu tergores sedikit.

Monster asing itu rupanya membalas. Ia mengibaskan tangannya, membuat Haruta terdorong. Nyaris saja Haruta terjatuh.

Haruta yang masih menggenggam pedangnya kembali bangkit. Akibat dari dorongan itu membuat kepalanya pusing. Tapi, ini masihlah belum seberapa.

Haruta berlari. Ia kembali menebas monster itu tanpa ampun. Wajahnya penuh keyakinan yang mendalam. Yakin bahwa ia mampu mengalahkan monster yang kekuatannya berkali-kali lipat dari dirinya.

Haruta hampir menang. Monster itu tampak kelelahan. Namun tiba-tiba saja, kedua mata monster itu mengeluarkan sinar laser berbahaya. Bodohnya, Haruta tak menyadari itu!

Belum sempat Haruta menghindar, ia sudah terkena.

•••

• Yuka •

Sementara Yuka yang sedang berusaha membunuh satu monster (saja).

Ia menukik ketika cakaran monster hendak membelah tubuhnya jadi dua. Ia kemudian bergulir ke kanan biarpun sangat menyulitkan. Segera ia berdiri, kembali berkonsentrasi pada belatinya. Dia berderap maju kembali yang kemudian berhasil menghunjam perut monster itu. Merupakan sebuah kebetulan.

Dia menarik belatinya kembali kemudian menarik culanya sampai tubuh monster itu merunduk. Segera ia tancapkan belatinya pada kepala si monster dalam-dalam dan wujudnya seketika menghilang bagai kabut berbaur dengan udara.

Tetapi kelangsungan rasa bangganya hilang seketika.

"Yuka!" Namanya terpanggil begitu orang-orang juga tersebut. Ia refleks mengikuti mereka semua.

Namun ketika beberapa yang sadar harus mengikuti suara itu sedang berlari, mereka menoleh ke belakang mendapati pendar menyilaukan mata yang seketika … tak menyisakan satu pun dari mereka.

•••

• Freya •

Booomm!!! Sebuah suara menggelegar terdengar.

"Egh, sudah dimulai ya?"

Ia segera berdiri dan berbalik.

"Activating mutant mode. Codename : Camper 09." Ucapnya.

Ia berlari mendekati pintu besar itu, sepertinya semua sudah mati karena sesuatu yang menimbulkan suara menggelegar tadi.

Ada beberapa orang yang masih bertahan karena belum sempat memasuki pintu, Freya mendekati mereka yang terkapar dan terbatuk-batuk.

Shurrpp!! Sebuah panah ditembakkannya dan menancap di kepala seorang pemuda yg masih selamat itu dan seketika pemuda itu tewas.

"Brasta, eliminated." Ucapnya dingin.

Shurpp!! Panah lain menancap di dahi lelaki yang terduduk lemas. Ia kini tewas.

"Raito, eliminated." Ucapnya lagi dingin.

Sepertinya sudah tidak ada siapa2 lagi yg masih hidup di luar pintu selain dirinya, ia mencoba meneliti ke dalam pintu.

Terlihat seorang anak kecil sekarat yang merintih kesakitan.

Shurrpp!! Anak panah kembali ia tembakkan dari jarak dekat ke pelipis anak itu. Ia pun tewas bersimbah darah segar.

"Lem, eliminated."

Terlihat beberapa monster tidak menghiraukannya dan kembali ke tempat asal mreka.

Freya berbalik ke arah portal.

"Berpura-pura ikut membasmi monster untuk membunuh 13 orang target? Heh, terlalu mudah." Ia mngejek.

"Camper 09 pada HQ, semua target sudah dimusnahkan. Siapkan koordinat pendaratan ke Erebrium, Camper 09, out."

•••

• Grace •

Grace terduduk. Memperhatikan seorang lelaki yang tengah bertarung melawan monster demi melindunginya. Dia tersenyum kecil.

Hingga lelaki itu menanyakan namanya.

"Grace, namaku Grace."

Ia menjawab sambil tersenyum. Tepat saat lelaki tersebut memandanginya sehingga ia tak fokus pada sekitar. Seekor monster bersisik ular muncul dari belakang tubuhnya. Grace dengan refleks berdiri dan segera menebas kepala monster tersebut dengan pisau yang ia bawa sedari tadi.

Ia tersadar. Kakinya yang terkilir menjadi sembuh seketika. Grace melirik Ryu, nama lelaki itu, yang terbengong sehabis melihat aksinya. Grace kembali tersenyum.

"Kau bisa mengucapkan terimakasih nanti."

Sebuah goncangan besar meruntuhkan keseimbangannya hingga ia kembali terjatuh. Grace mendongak ke arah tebing dimana seekor monster yang amat besar tengah menatap orang-orang dalam ruangan ini. Kemudian... matanya menembakkan sinar laser. Grace tak dapat merasakan tubuhnya.

•••

• Ari •

Sekarang Ari terdiam menatap pintu besar berukir di hadapannya. Dia hanya terduduk dan mengamati tanpa melakukan apa-apa. Terdengar suara-suara aneh dari balik pintu. Hempasan pedang, tarikan panah, entah apa lagi, semuanya bercampur aduk.

Ari menatap kedua tangannya. Agak tembus pandang. Berarti dia masih hidup. Setidaknya itu yang ia rasakan walau denyut nadinya tidak ada di sini. Untunglah penculik jiwa itu tidak membawanya ke tempat yang lebih aneh dari ini.

Dia mulai berdiri sambil menepuk-nepuk pantatnya yang dikiranya kotor karena dimensi ini hanya ada tanah berwarna kemerahan. Dihelanya nafas panjang lalu berjalan mendekati pintu besar di hadapannya.

Ari menempelkan telinganya ke arah pintu. Dia tidak dapat menebak dengan jelas apa yang sedang terjadi di sana. Tapi rasa penasarannya, membuat Ari benar-benar ingin membuka pintu ini. Dia berharap sebuah petualangan besar menantinya di sana.

Saat Ari menempelkan kedua tangannya di pintu itu, terdengar ledakan besar dari sana. Seketika itu pula, hening pun tercipta. Tak ada lagi suara-suara yang saling bertubrukan menciptakan nada pertarungan yang tidak selaras.

Rasa penasaran Ari semakin memuncak setelah ledakan itu. Dia yakin sesuatu telah terjadi. Dan sesuatu itu pasti sesuatu yang berbahaya. Akhirnya dengan sekali hentakan, Ari membuka pintu di hadapannya.

Terlihat mayat-mayat yang bergelimpangan. Ada anak kecil, remaja, bahkan orang dewasa. Dari tampang mereka tidak ada yang berumur 30-an seperti dia. Ari hanya memiringkan kepala heran atas pemandangan di hadapannya.

Monster-monster di hadapan Ari pun berbeda dari tampang monster-monster astral yang biasa dia lihat. Berlendir, bertaring, bertanduk, dan lain sebagainya. Dia merasa baru saja terlempar ke planet lain.

Ari memutuskan untuk berjalan di antara mayat-mayat manusia dan monster itu. Terus berjalan lurus mencoba mencari ujung dari dunia di antara tebing ini. Saat dia sampai di hadapan sebuah monster merah bermata tiga, Ari mencoba mendekat dan mengulurkan tangannya berniat untuk menyapa.

“Kau yang memimpin tempat ini?” tanyanya frontal.

Monster itu menatap Ari kaget. Dia tidak menyangka masih ada manusia yang hidup setelah tembakan laser dahsyatnya.

“Benar,” jawab sang monster singkat. “Dan kau kenapa masih hidup?” tanya sang monster pada Ari.

Ari mengangkat bahu. “Entahlah,” jawabnya singkat.

Ari mendengar monster itu menghela nafas. Setidaknya, nafasnya tidak seperti singa penculik jiwa yang membawanya ke sini.

“Selamat, kau orang yang terpilih,” ujar monster itu. “Kaulah pemenang dari game ini,” lanjutnya

“Terpilih? Pemenang? Aku?” Ari bertanya bertubi. Dia merasa tidak melakukan apa-apa. Tapi tiba-tiba saja monster ini mengatakan hal aneh yang tidak dapat dipahaminya.

“Tolong sebutkan satu permintaanmu,” kata monster itu dengan nada memelas.

Ari tersenyum bahagia. “Aku hanya ingin kembali ke tubuhku dan pulang ke rumah dengan selamat,” ujar Ari.

Monster itu menggerakkan bagian tubuhnya—yang sepertinya adalah tangan. Menempelkannya di atas kepala Ari hingga membuat mata Ari terpejam.

Saat Ari membuka mata, di hadapannya duduk istrinya dengan derai air mata karena melihat suaminya yang sejak tadi tak kunjung sadar akhirnya membuka mata.

“Ika?”

“Ari!”

Ika memeluk Ari erat. Ari pun hanya mengelus punggung Ika pelan. Dia tersenyum, lalu mengatakan kalimat andalannya, “semua akan baik-baik saja.”

•••

•END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #npc2301