4

Lea

Aku tidak bisa menahan senyum bodoh di wajahku, bahkan meski bekas tusukan jarum di perutku masih berdenyut dengan rasa nyeri. Itu tidak masalah, aku terlalu bahagia untuk peduli tentang itu.

"Menikah?" Leona mengucapkannya dengan pelan seolah dia mencoba merasakan rasa kata itu di bibir dan lidahnya. "Aku masih berpikir kalau ini hanya ilusi di kepalaku." Dia sedang menyetir, jarinya tegang, dan sekali lagi dia melirikku. Seolah dia tidak mengenaliku, seolah aku terlalu banyak berubah.

"Aku juga masih tidak percaya ini terjadi dan nyata," gumamku.

Dia tidak banyak bereaksi setelah Archer memberi tahunya kalau kami sepakat untuk menikah. Tidak ada ledakan marah tapi juga tidak ada siraman kegembiraan. Dia berada di ambang keduanya, aku bahkan berpikir dia mungkin pada akhirnya akan menyerangku dan memintaku untuk membatalkan ini. Aku harus mengingatkan diriku kalau dia kakakku, dia ingin aku bahagia, lebih dari siapa pun di dunia ini menginginkannya.

"Apa kamu yakin dengan ini?" tanyanya. Dia khawatir dan aku mengerti itu. Dia saudaraku, satu-satunya keluargaku yang masih tersisa, dia tidak ingin aku menyesal.

"Aku tidak pernah seyakin ini, Leona. Aku menginginkan ini, aku ingin bersamanya. Aku tahu ini terdengar agak gila setelah semua yang terjadi padaku. Tapi aku tahu apa yang aku inginkan. Jangan khawatir, oke?" ucapku. Aku berusaha untuk terdengar semeyakinkan mungkin, mencoba menenangkannya, meski diriku sendiri gugup dengan semua hal ini. Dunia seakan berubah, warna-warna menjadi berbeda, aku memiliki begitu banyak bayangan di kepalaku, semuanya terasa baru seolah aku melangkah ke dimensi lain yang asing. Aku belum pernah merasa memiliki sesuatu yang sangat aku inginkan, dan sekarang aku memilikinya di ujung jariku. Aku bahagia, sungguh aku bahagia tapi aku juga takut, aku takut jika aku melakukan hal yang salah dan semuanya tergelincir dari jariku.

Kadang-kadang aku membayangkan hal yang terlalu menyenangkan, lalu berkedip dan aku kembali ke ketakutan lamaku. Jika itu terjadi aku hanya harus mengingatkan diriku kalau aku sudah berhenti untuk lari. Itu mudah saat aku melihat Archer, atau saat dia menyentuhku, atau saat dia menciumku, tapi itu menjadi sedikit sulit saat aku sendirian. Tidak mudah membuat diriku percaya ini nyata, dan itu membuatku merasa sangat bersalah, aku merasa seperti aku mengkhianatinya. Aku janji untuk percaya padanya, tapi sekuat apa pun itu, rasa takut berhasil menyelinap. Aku tidak bisa mengontrol itu, seperti yang aku katakan aku terlalu rusak. Tiga hari ini aku tinggal di apartemen Leona, untuk menyiapkan semuanya, dan dalam dua hari lagi kami akan menikah. Tiga malam aku tidur di kamar sendirian, tiga malam aku menjerit karena mimpi buruk. Leona tahu dan aku memintanya untuk tidak memberi tahu Archer, dan mungkin karena itu Leona pikir aku tidak menginginkan pernikahan ini.

"Apa yang membuatmu menjerit tiap malam? Jika kamu bahagia kenapa kamu bermimpi buruk? Lea, aku kakakmu, kamu bisa menceritakan apa pun padaku. Aku tidak akan menghakimi, atau menyalahkan dirimu. Aku hanya akan mendengarkan jika itu yang kamu inginkan," ucapnya. Dia masih khawatir dan aku tidak bisa menyalahkannya untuk hal itu, bagaimanapun aku pernah menjadi tidak stabil, di tepi kegilaan, aku pernah ingin hidupku berakhir. Dia sudah melihat saat-saat tergelap dalam hidupku, dia satu orang, satu alasan yang membuatku masih mengikat benang ke dunia ini. Jika bukan karena Leona aku mungkin tidak akan berhenti untuk mencoba bunuh diri, aku berhenti hanya karena aku tahu itu mengoyaknya lebih parah dariku.

"Bagaimana kamu bisa percaya pada Lucas? Yakin kalau kamu tidak akan kehilangan dia. Aku terus memikirkan bagaimana akhirnya Archer akan pergi. Entah itu karena James membunuhnya." Suaraku rendah saat mengucapkan kalimat terakhirku. "Atau aku membuat kesalahan dan membuatnya sadar kalau aku tidak pernah cukup baik."

Leona menarik napas di kursinya, cukup keras untuk aku dapat mendengarnya. Kurasa dia tidak menduga pertanyaan itu. Aku berterima kasih karena sekarang dia sedang menyetir dan aku senang dia tidak bisa fokus untuk menatapku. Karena jika dia melihat mataku, dia akan melihat satu-satunya keluarga yang tersisa untuknya sudah terlalu rusak, dihancurkan, dan aku benci itu. Aku benci karena aku tidak bisa menerima seseorang mencintaiku.

Dia tertawa dengan gugup, bukan tawa mencemooh dan bukan juga tawa yang bahagia, itu tawa yang sedih, Leona tidak suka menangis. Dia selalu berpura-pura bahagia, setidaknya dia melakukan itu di depanku. "Aku tidak melakukannya, Lea. Setiap detik aku merasa aku akan kehilangan Lucas."

Apa? Tapi semua senyum, dan tekat keras kepalanya untuk tidak ingin pergi dari Lucas, itu seperti dia yakin Lucas tidak akan pernah pergi.

"Bagaimana?" tanyaku. Aku memilin jari-jariku, melihat jalanan di depan. Apakah aku harus melihat Leona? Pastikan Kalau dia tidak bohong?

"Yah, dia bertunangan dengan gadis lain, 'kan? Terkadang itu membuatku merasa seperti pencuri tapi aku mengingatkan diriku kalau mereka tidak pernah menginginkan itu. Lucas dan gadis itu tidak pernah memiliki perasaan apa pun. Tapi tetap saja, Lea. Aku tidak bisa membuang ketakutanku, kalau Lucas akan menyerah pada akhirnya. Setiap detik, setiap aku menarik napas, setiap aku mengingat semua itu aku ketakutan bahkan menggigil mungkin.

"Lalu kenapa aku tinggal? jawabannya sangat sederhana. Aku tidak bisa pergi, aku pikir menghabiskan waktu bersama Lucas selama beberapa menit jauh lebih baik dari hidup ratusan tahun. Aku takut tapi aku percaya padanya, dan bahkan jika pada akhirnya kami kalah, itu adalah pilihanku. Aku mempercayainya bahkan jika aku tidak percaya pada akhir bahagia untuk kami. Apa itu terdengar konyol?"

Aku kehilangan suaraku untuk beberapa saat. Leona mematikan mesin saat kami tiba di garasi, dia dapat melihatku sekarang, tanpa terbagi. Dia hanya fokus untuk melihatku. Melihat diriku yang membeku.

"Apa yang kamu rasakan tentang dia? Tentang pernikahan ini? Apa ini pilihanmu? Apa ini yang akan membuamu bahagia?" Leona melepaskan sabuk pengamannya, meraihku untuk sebuah pelukan. Kupikir dia menungguku untuk menjawab.

"Aku mencintainya, aku tahu itu dengan pasti Leona."

"Bagus," ucapnya. Dia melonggarkan pelukannya tapi belum melepaskanku.

"Aku sangat bahagia dengan pernikahan kami, aku bahkan tidak sabar, aku ingin melihatnya di ujung lorong panjang, menungguku," ucapku. Aku tidak pernah bicara sebanyak ini dengan Leona. Bukan karena aku tidak mempercayainya tapi aku pikir aku tidak perlu menambah bebannya, aku pikir aku bisa menangani perasaanku sendiri. Tapi setalah Leona mengatakan semua yang dia rasakan tentang hubungannya dengan Lucas. Aku tidak mungkin tidak mengatakan semua yang aku rasakan padanya.

"Tentu saja, kamu sangat menantikannya," gumamnya.

"Awalnya aku tidak tahu apakah aku memilih dengan benar. Apakah menyeretnya ke dalam kekacauan hidupku adalah hal yang benar. Tapi kemudian dia menginginkanku, aku tidak punya alasan menolaknya. Aku hanya akan menjadi bodoh jika aku menolaknya. Jadi, ya, ini pilihanku."

Leona menangis pelan, hanya sebuah isakan. "Dia mencintaimu, aku tahu itu. Semua orang yang melihat kalian akan tahu itu. Kamu pantas mendapatkannya, kamu memilih dengan benar."

Aku menggigit lidahku, menahan diriku untuk tidak ikut menangis bersama Leona. Tapi pembenarannya sangat berarti bagiku, rasanya menyenangkan saat ada seseorang yang mengatakan kamu benar.

"Dan ya. Itu akan membantuku bahagia."

"Itu semua yang ingin aku dengar, Sayang. Kamu bahagia." Dia melepaskanku dan mengusap matanya dengan cepat. Tersenyum sangat cerah. "Sekarang aku bisa mengatakan aku bahagia dengan pernikahanmu. Apa pun yang kamu pilih aku akan berdiri untukmu."

"Terima kasih, Leona."

"Jadi kau sudah menghubungi Randall?"

Leona bertanya, mengubah subjek pembicaraan kami. Aku dengan senang menyambut itu. "Ya. Aku sudah memintanya."

"Dan?"

"Tentu saja dia mau. Dia bilang itu impiannya juga," jawabku. Leona tertawa.

"Yah, dia dan omong kosongnya. Padahal kupikir pada akhirnya kamu dan Randall akan bersama."

Aku memerah meski tentu saja aku tidak ingin merona hanya karena komentar semacam itu. "Dia menolakku sejak awal, Leona. Itu konyol, apa kita benar-benar membicarakan ini?"

"Itu tidak jadi masalah sekarang. Kau sudah menemukan priamu, dan semua akan menjadi lebih baik. Maksudku lihat dirimu! Beberapa bulan yang lalu aku akan mengernyitkan dahi jika ada yang memberi tahuku kalau adikku akan menikah. Sial! Aku bahkan mungkin akan bertaruh dengan semua tabunganku kalau itu lelucon. Kemudian boom! Dua hari lagi kau tidak akan menjadi Miss White. Aku mulai berpikir kalau dunia memang sedikit gila."

Aku tertawa, mengikutinya, senang memiliki waktu dengan kakakku. Kami jarang bersama akhir-akhir ini. "Ayolah, itu tidak semengejutkan itu."

"Tentu saja itu mengejutkan dan jujur Lea. Aku masih marah pada Archer tiap kali aku ingat saat menemukannya di ruang tamumu. Kalian telanjang dan gila. Dan dia hanya diam, dia tidak mencoba meyakinkanku kalau itu bukan hanya seks denganmu. Kemudian saat dia mencampakkanmu, tiga bulan kamu berantakan lagi. Dia sungguh tidak meninggalkan kesan yang baik." Aku meringis. Tidak bisa membela dia dari semua tuduhan Leona.

"Dia menyesal, dan kami memang tidak memulai hubungan kami dengan baik tapi dia mencoba. Dia berubah untukku jadi tolong, lupakan semua itu, Leona. Aku ingin satu-satunya keluargaku bisa menerima dia, aku hanya punya kamu. Aku membutuhkanmu," ucapku. Aku selalu membutuhkanmu, meski aku tidak pernah mengatakan itu sebelumnya.

"Aku tahu." Dia menyentuh pergelangan tangannya. Perban yang melilit di sana, menutupi tato pertama yang baru dia buat. "Orang berubah, aku selalu tahu itu. Dan setelah melihat betapa kacaunya dia saat kamu pergi, aku akan menjadi idiot jika tidak tahu kalau dia mencintaimu seperti kamu adalah hidupnya. Aku hanya bilang kesan pertamanya sangat buruk."

"Kesan pertama siapa?" ucap suara dari balik punggungku. Leona memutar matanya.

"Aku akan ada di kamarku jika kamu membutuhkanku," ucap Leona, kemudian dia menyingkir.

Tidak perlu berbalik untuk tahu siapa itu. Aku selalu mengenali suaranya. Itu hampir menjadi suara statis di kepalaku.

"Sangat merindukanmu," bisiknya. Dia memelukku dari belakang, mencium rambutku. Dia benci aku harus tinggal di sini tapi jika kami ingin pernikahan kami bisa berlangsung minggu ini. Aku harus menyiapkannya, Leona sangat membantu dan Sylvia juga. Untuk Sylvia itu berhasil mengalihkan pikirannya. Dia yang paling bersemangat untuk menyiapkan semua ini.

"Bukankah ada sesuatu yang harus kau kerjakan?"

"Tentu. Seperti menemuimu, kemudian menciummu, dan aku sangat ingin menyingkirkan kausmu," bisiknya serak. Dia mencium leherku, di balik telingaku, membuat tulang punggungku menggigil.

"Itu tidak akan berhasil," balasku.

Dia melepaskanku, memutar tubuhku untuk melihat wajahku. "Kenapa tidak? Aku punya waktu sekitar satu jam dari sekarang."

"Yah itu bagus. Kita bisa menggunakan itu untuk memilih gaun, cincin, aku bahkan belum menentukan bunga untuk dekorasi. Aku ingin ini sempurna meski ini bukan pesta besar."

"Aku sudah menyiapkan cincinnya," ucapnya ragu-ragu, gelisah, dan dia merona. Aku tidak pernah melihat Archer merona. "Dan aku tidak bertanya padamu sebelumnya."

"Sungguh?"

"Kita bisa memilih lagi, tentu saja." Aku berkedip dengan bingung.

"Apa maksudmu?"

"Jika kau tidak menyukainya, kita bisa memilih yang lain. Aku minta maaf, aku seharusnya bertanya." Dia menyelipkan tangannya ke saku. Aku tersenyum.

"Hai, aku bahkan belum melihatnya, dan aku tidak mungkin tidak menyukainya. Itu bukan tentang apa yang kau berikan tapi perasaan apa yang ada di dalam pemberian itu. Kau memilihnya untukku pasti karena sesuatu."

Dia mengangguk tapi masih tidak yakin. "Kupikir aku bodoh. Kau tidak akan menyukai ini. Kita akan membeli yang lain."

"Biarkan aku melihat, kau membawanya bukan?"

"Ya tapi—"

"Tujukan! Aku ingin melihat."

Dia mengangkat bahunya, terlihat kalah, mengeluarkan kotak beludru dari sakunya dan menyerahkannya padaku. Saat aku membukanya aku langsung mengenali cincin itu. "Ini?" Ada dua cincin. Warna emas murni dengan ukiran rantai yang terlalu familier untukku. Aku menyentuhnya. Mengeluarkan yang lebih kecil. Hanya untuk melihat kata-kata yang terukir di baliknya masih sama. "Kenapa?"

"Aku tahu itu bodoh," gumamnya. Dia bahkan tidak mendongak untuk melihatku.

"Kenapa cincin ini, Archer?" Apa dia masih berpikir seperti dulu? Aku miliknya dan dia memilikiku? Hanya dia memilikiku?

"Aku ingin memilikimu, semua yang ada pada dirimu. Baik atau buruk. Dan kamu pernah memakai cincin itu, itu terlihat cantik di jarimu. Aku hanya berpikir, itu sudah mengikat kita sejak awal. Aku sedikit merubah milikku." Dia mengaku, mengambil kotak dariku dan mengeluarkan cincin yang lain. "Dulu aku menulis 'Owner of Miss White' di baliknya." Dia memberikan itu padaku. "Tidak lagi sekarang."

Aku membaliknya, membaca ukiran di baliknya dan aku menangis. "Ini sangat cantik."

'Belong to Mrs. Black'

Aku memilikinya, dia ingin aku memilikinya.

"Ini sangat cantik, Archer. Sungguh."

"Kau menangis," ucapnya.

"Yah, kau tidak bisa menunjukkan cincin seperti ini kepada gadis dan berharap dia tidak akan menangis. Ini akan menjadi cincin terbaik." Aku memeluknya, mengabaikan nyeri di perutku karena tekanan kami. Itu akan sembuh, aku tersenyum memikirkan tinta baru di tubuhku. "Dan aku juga punya kejutan untukmu. Percayalah, sangat sulit menemukan hadiah pernikahan untuk seseorang yang memiliki segalanya."

Dia melihatku dengan tidak percaya. "Kau punya hadiah?"

"Tentu saja aku punya. Kau menghinaku Mr. Black!"

"Tidak. Aku tidak menghinamu, aku hanya jatuh cinta padamu Miss White."

"Itu, aku sudah tahu."

***

Pembaca yang budiman vote dan comment kalian sangat berarti bagi saya, jadi jika kalian menyukai cerita ini silahkan klik tanda bintang kecil yang ada di tiap akhir bab. Saya akan sangat menghargainya ....

Arum Sulistyani

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top