3
Lea
Dia bersamaku. Itu yang penting. Aku benar bukan?
"Aku minta maaf," bisikku lemah. Aku tidak tahu lagi harus melakukan apa untuk menebus kesalahanku. Aku meninggalkannya dan aku tahu itu menyakitinya. Mungkin lebih buruk.
"Bukan masalah, aku mengerti," balasnya.Kami masih berpakaian lengkap, bahkan dia masih di sepatunya. Kami berbaring di ranjang yang aku tempati dua hari terakhir, tempat aku menjerit dan menangis saat mimpi buruk berdarah menjangkauku. Saat aku terbangun di tengah malam dengan keringat dingin yang membasahi seluruh kulitku.
Dia di sini sekarang. Aku mengulangnya di dalam kepalaku, menenangkan diriku sendiri.
"Kamu mengerti?" tanyaku, lebih pelan dari sebelumnya.
"Aku tahu semua ini tentang apa Lea. Tolong percaya padaku."
Rasa sakit di suaranya membuatku merasa sakit juga. Dia hanya ingin aku percaya, tapi aku selalu menghindar. Aku takut jika aku kehilangan semuanya saat aku sudah begitu percaya, tapi tidak memiliki itu sejak awal lebih menyakitkan. Aku menginginkan ini, aku ingin Archer, aku ingin hidup dengannya.
Menarik napas, aku meringkuk lebih dekat ke arahnya. Kepalaku di atas dadanya, lenganya melilitku. Bahkan saat dia masih berada di dalam setelannya dia terasa hangat, nyaman, rumah.
"Aku percaya padamu," gumamku. Intensitas detak jantungnya meningkat saat aku mengatakan itu. Ritme yang indah, aku tidak akan pernah bosan untuk mendengar ini. Juga tidak akan bosan dengan pergi tidur bersama rasa hangat kulitnya, suara detak dan helaan napasnya, dan aromanya. Lalu terbangun dengan semua itu memelukku. Menjadi milikku. Aku menginginkan semua itu.
"Kau tidak akan tahu seberapa takutnya aku saat tahu kamu pergi. Itu membuatku gila Lea, tolong jangan lakukan lagi!" Permohonan di dalam kata-katanya lebih tajam dari pisau. Aku bahkan hampir dapat merasakan itu merobek kulitku.
Aku ingin mengatakan 'tidak akan pernah' tapi aku sudah menipunya. Aku sudah mengatakan itu padanya malam itu tapi aku tetap pergi. Jadi kupikir kata-kata itu tidak akan ada artinya lagi untuknya.
"Maukah kau bertanya padaku lagi? Satu pertanyaan?" Aku melepaskannya, membiarkan dia duduk untuk melihatku, ke mataku. Aku berharap dia bisa melihat kalau aku serius dan aku tidak berbohong. Sementara dia duduk tegak, tinggi di atasku, aku bertahan di posisi meringkukku. Masih takut dengan apa yang akan aku katakan, langkah yang akan aku ambil, dan perubahan yang akan dibawanya.
"Apa pun, Lea." Dia tidak ragu. Itu membuatku merasa lebih bodoh lagi karena pergi darinya. Kesalahan yang aku tidak bisa tarik lagi.
"Kau dulu bertanya maukah aku menikah denganmu." Aku menggigit bibirku, takut tapi menginginkannya. Aku menginginkan ini. Bukankah aku?
Archer tidak memotongku, dan sepertinya dia mengerti tapi masih tetap diam. Entah ingin aku menyelesaikannya atau terlalu terkejut karena aku mengangkat topik ini. Kami baru saja kembali bertemu, mungkin aku seharusnya tidak mengatakannya? Mungkin ini terlalu cepat?
"Bisakah kau menanyakannya lagi?" lanjutku. Sengatan di mataku membuatku hampir menangis, aku sudah berada di tepi tangisanku. Kenapa aku begitu takut? Aku ingin seseorang menginginkanku lalu kenapa saat itu benar-benar terjadi, aku takut untuk memilikinya? Jauh di dalam, aku tahu jawabannya. Aku takut jika aku tidak bisa menjaganya, kehilangannya, yang terburuk? Aku takut merasakan sakit.
"Kamu tidak mempercayaiku," ucapnya. Melemparkan fakta yang sudah jelas di antara kami, dia nenolak melakukan apa yang aku minta.
Itu menyakitiku tapi diriku yang rusak merasa lega, aku tidak yakin bisa mengatakan 'ya' jika dia benar-benar bertanya.
"Aku melakukannya," balasku. Itu hampir tidak keluar dari mulutku. Terlalu lemah, sama sekali tidak meyakinkan.
"Kamu tidak Lea. Belum setidaknya," balasnya. Sekali lagi wajahnya murung, sakit hati. Kata maaf berada di ujung lidahku tapi aku menelannya kembali. Maaf tidak membuat rasa sakit berkurang, aku sudah belajar tentang itu.
"Kenapa kamu tidak menciumku?" Seperti biasa, aku lari, menghindar. Mengubah topik agar dia tidak menyerangku. "Kenapa tidak bercinta, aku merindukanmu, merindukan kita."
"Seks tidak menyelesaikan masalah, Lea." Itu hampir membuatku tertawa. Itu kata-kataku.
"Kau benar, tapi itu menyenangkan," balasku. Bibirnya berkedut, aku bertaruh dia menahan senyumnya dengan susah payah.
"Kalau begitu buat dirimu telanjang," gerutunya, senyum tergelincir di wajahnya. Aku meledak tertawa tapi dia menghentikanku dengan kata-kata yang mengikutinya. "Lea, aku tidak akan bertanya malam ini. Tapi nanti, aku pasti akan bertanya, dan kuharap saat itu kau sudah cukup percaya padaku untuk mengatakan 'ya' karena kamu ingin bukan karena kamu harus. Bukan karena kamu merasa bersalah dan merasa harus menebusnya untukku. Tapi karena itu membuatmu bahagia."
Itu membungkamku. Bagaimana gadis seperti diriku bisa memilikinya. Ini harus menjadi mimpi, tapi itu dia, di sini bersamaku, nyata. Aku tidak mungkin tidak mempercayainya.
"Ya, Archer. Aku bersedia," ucapku. Itu lebih pelan dari apa pun yang pernah aku katakan seumur hidupku tapi itu juga hal paling aku yakini seumur hidupku. Aku menendang ketakutanku, memegang erat apa yang aku miliki bersama Archer. Aku mencintainya dan aku tahu dia juga melakukannya. Aku tidak akan menyiksa kami lagi hanya karena masa laluku, jika ada itu harus selesai. Memudar. Hilang. Aku akan belajar untuk percaya, berhenti takut, aku tahu apa yang aku inginkan. A
"Lea, bukan seperti itu, ini tidak benar. Itu harusnya ada bunga, lilin, mungkin makan malam, dan aku membawa cincin," ucapnya tapi aku duduk, mencium pipinya dan itu cukup untuk menghentikannya bicara.
"Aku tidak mau menunggu kamu bertanya. Aku ingin bersamamu bahkan jika aku akan kehilangan kamu setelahnya. Entah besok, lusa, atau mungkin bertahun-tahun setelahnya. Aku lelah untuk lari dan ketakutan. Aku tidak bisa hidup dengan bayangan masa laluku lebih lama lagi, aku tidak mau, Archer."
Aku mengharapkan dia tersenyum atau memelukku, menarikku untuk sebuah ciuman yang panjang dan dalam tapi dia hanya membeku. Menatapku seperti aku adalah sebuah keajaiban. Lalu keheningan itu retak saat dia bergeser, jarinya menyentuh tulang pipiku, pelan tapi tegas dan kemudian dia menariku berdiri. Untuk yang kedua kalinya, malam ini dia berlutut di depanku. Dia tidak membawa cincin atau bunga, kami tidak dikelilingi lilin dan jelas kami tidak sedang makan malam romantis tapi saat kata-kata bergulir dari bibirnya, itu lebih manis dari madu.
"Lea Carla White, maukah kau menghabiskan sisa hidupmu bersamaku, menjadi milikku, percaya padaku? Maukah kau menikah denganku?" Dia mengambil tanganku, menungguku menjawab tapi aku rasa dia sudah memiliki jawabannya. Aku tidak menangis, aku tersenyum dan kupikir waktu berhenti saat itu. Momen itu membeku, aku membingkainya menyimpannya dengan baik di otakku. Satu kenangan baik untuk menggantikan satu kenangan mengerikan. Memudarkan masa lalu yang selama ini menjadi hantuku.
"Aku bersedia," ucapku. Kami tidak memiliki cincin untuk menyegel janji kami tapi saat Archer berdiri, tinggi di depanku, kami tidak butuh cincin. Kami hanya butuh satu sama lain.
"Terima kasih," bisiknya. Kemudian dia membungkuk untuk menciumku. Tidak ada keraguan darinya, bibirnya terasa akrab di bibirku. Kami sudah melakukan ini puluhan kali tapi tetap saja aku selalu terkejut dengan betapa baik rasa bibirnya di bibirku. Aku melihat bara di matanya, panas membakarku seperti biasa, dan sekarang aku merasa kami berpakaian terlalu banyak. Terlalu banyak penghalang untuk kulit kami yang terasa seperti api. Sentuhan jarinya di kulit lenganku yang terbuka, menghidupkanku. Jika aku ingin sedikit berlebihan untuk menggambarkanya aku akan mengatakan listrik mengalir di antara kami tapi bahkan aku rasa itu lebih dari seperti itu. Tidak mungkin bisa menggambarkannya, saat aku menyentuhnya dan aku tahu dia benar-benar akan menjadi milikku itu lebih dari segalanya yang pernah aku miliki atau bahkan pernah aku harapkan.
Kami akan menikah. Aku setuju untuk menikah. Dia akan menjadi suamiku. Suamiku. Itu terasa aneh bahkan jika itu hanya ada di dalam kepalaku. Masih terasa seperti mimpi, flicker, harapan yang berkedip di tepi kepercayaanku untuk menjadi kenyataan. Kemudian visi lain tertangkap olehku, diriku dengan perut yang membesar, Archer ada untuk memelukku. Aku mengingat Sylvia dan sedih untuknya kemudian Laura, aku harap semua juga berbeda untuknya. Aku membayangkan lebih jauh, membiarkan diriku berendam dalam bayangan yang membuatku bahagia. Anak-anak dengan rambut hitam atau pirang, mata hijau atau hitam seperti arang. Mereka cantik, dan kami mencintainya sama besarnya. Apakah Archer juga menginginkan yang aku inginkan? Apakah dia memikirkan hal yang sama saat ini? Untuk itu aku tidak tahu tapi melihat ke dalam mata hitamnya, aku cukup tahu dia menginginkanku. Itu cukup untuk saat ini. Satu langkah untuk satu waktu, aku memberi tahu diriku sendiri.
Archer tidak banyak bicara saat menyingkirkan potongan pakaianku. Kain linen dari kemejaku berakhir di lantai. Dua hari ini aku selalu kedinginan di sini, sendirian, menggigil dalam usaha untuk menyingkirkan mimpi burukku. Malam ini aku tidak merasakan dingin sedikit pun, panasnya cukup untukku. Cukup untuk membuatku percaya kalau tidak akan ada mimpi buruk untuk malam ini.
"Kau sempurna," bisiknya, dia menyelipkan rambutku di balik telinga. Aku meringis untuk menghindari dengusan yang sudah hampir terlepas dari bibirku. Aku adalah banyak hal, tapi bukan sempurna. Aku rusak, berantakan, bentuk kekacauan murni. Dia hanya tidak melihatnya.
"Karena kamu terlalu buta dengan cintamu atau kau hanya bodoh," balasku. Aku mengucapkannya sebagai lelucon tapi dia lebih tahu, dia tahu itu yang aku rasakan tentang diriku. Rusak, pecah, tidak layak.
"Mungkin keduanya tapi aku tidak peduli selama kau percaya dirimu sempurna." Aku berharap dia mendorongku melawan dinding. Menciumku dengan keras tapi dia mundur, memisahkan tubuh kami. Aku hampir merengek detik itu, merasa kehilangan. "Bisakah kamu percaya itu?"
Bisakah aku? Jawaban pertama yang muncul di otakku adalah aku tidak tahu. Tapi itu tidak benar, bukan itu jawabannya. Archer menginginkanku dan dia masih berdiri untuku setelah semuanya. Dia melihatku sempurna, tidak peduli apa pun, itu yang dia lihat. Jika aku percaya padanya aku juga akan percaya apa yang dia lihat. "Aku sempurna untukmu."
"Tidak sulit, bukan?" Aku tidak memiliki waktu untuk menjawab itu, aku memekik kecil saat dia mengangkatku, menjatuhkanku di ranjang dengan gerakan yang sama sekali jauh dari lembut.
"Kau hanya perlu memintaku berbaring, Mr. Black! Tidak perlu melemparku seperti karung," gerutuku sementara dia melepas setelannya. Aku melihat dengan rakus tubuhnya. Dada kemudian turun ke perutnya, saat celana itu menyingkir aku harus mengingatkan diriku kalau aku sudah melihatnya telanjang puluhan kali. Bukannya aku bisa bosan dengan itu.
"Di mana kesenangannya?" balasnya sambil menyeringai kekanakan. Dia naik, berguling di atasku, menekanku, tangannya mengunci tanganku. "Bagaimana aku harus mulai?"
"Apa kau sungguh menanyakan itu? Berhenti menggodaku!"
"Kau terlalu banyak memerintah sekarang," ucapnya. Bibirnya begitu dekat denganku, aku bahkan bisa merasakan hembusan napasnya saat ini, hangat, dan menggelitik wajahku.
"Kira-kira dari siapa aku belajar?" sindirku.
"Benar, dari siapa kau belajar? Dia harus mendapat hadiah." Aku memutar bola mataku.
"Archer," desisku. "Jika kau menungguku untuk mulai memohon, itu tidak akan terjadi!"
Alisnya naik dengan cantik, sebuah tantangan. "Aku pikir kamar tamu akan bagus." Dia mengangkat tumbuhnya, berat tubuhnya meninggalkanku. Aku hampir dapat merasakan udara dingin di sekelilingku sekarang.
"Kau tidak serius!" desisku.
"Aku lelah," balasnya tanpa dosa.
"Archer!" bentakku. Menarik lengannya, itu bahkan tidak menggerakkan tubuhnya.
"Apa yang kau inginkan?"
Aku mengerang. "Lagi? Kau ingin bermain di hal ini lagi?"
Senyum bocah lelakinya muncul. Aku tidak mungkin mengalahkannya, aku terlalu mencintai senyum itu.
"Apa yang kamu inginkan, Lea?"
"Kamu. Selalu kamu dan kamu tahu itu!" balasku. Aku berusaha agar nadaku terdengar jengkel tapi tetap, itu hanya bisa terdengar seperti aku mengatakan aku mencintainya dan hanya dia. Itu sebuah kebenaran.
"Dan itu juga selalu kamu Miss White," balasnya.
"Sejak kapan kamu punya begitu banyak suara?" gumamku. Itu dibungkam dengan bibirnya. Kali ini menekan bibirku dengan keras, tidak lagi bermain, dia mendorong lidahnya, aku membiarkannya mengambil lebih banyak. Saat ciuman itu turun aku merengek, ingin lebih banyak, selalu lebih banyak. "Aku tidak ingin menunggu!"
Dia tertawa jauh di dalam, itu mirip dengan geraman. Kadang-kadang aku pikir dia terlalu banyak untuk aku tangani tapi setalah itu aku tidak peduli. Aku tidak peduli lagi apakah aku bisa atau aku akan gagal dan dia pergi. Aku mungkin benar-benar akan rusak setelah itu tapi mungkin itu taruhan yang sepadan. Saat dia mendorong di dalam diriku, aku hanya berpikir kalau kami melakukan hal yang benar. Apa yang kami pikir baik untuk kami.
"Jagan menutup matamu," desisnya. Suaranya kasar, termakan oleh gairahnya. Dia mendorong lebih keras dan tangannya mencengkeram pinggangku dengan erat.
"Aku tidak ingin melewatkan apa pun." Aku memeluknya, kuku-ku menggali punggungnya. Itu membuatku tertawa karena aku yakin itu akan berbekas. Dan pikiran aku menandai Archer sungguh menggelikan. Tapi dia tidak berbagi sentimen menggelikanku. Bibirnya kembali untuk bibirku. Lidah kami saling menyerang ingin merasakan lebih banyak. Pinggulnya bergerak lebih cepat, membenturku, aku tidak peduli apakah aku menjerit atau berteriak saat orgasme merobekku. Robbie mungkin mendengarnya tapi itu hal terakhir yang aku pedulikan. Yang ada di kepalaku hanya Archer di sini, aku akan kembali, aku tidak kehilangan dia. Dan aku tidak akan kehilangannya, tapi jika aku akan kehilangan dia, aku akan bertarung untuk mencegahnya. Dia tidak akan berjuang untuk kita sendirian lagi, aku akan bersamanya sekarang.
Saat dia menegang dalam pelepasannya, aku menariknya lebih erat. Jariku naik ke rambutnya, membelai rambut hitam selembut sutra miliknya. Dia menciumku lagi dan lagi seakan dia tidak akan pernah cukup. Aku tidak akan pernah cukup. Hingga dia berguling di sampingku, aku bergelung lebih dekat, tidak ingin jauh darinya lagi. Dia hangat dan semua kenyamanan yang dapat aku harapkan.
"Aku akan bicara dengan kakakmu begitu kita kembali ke Atlanta," ucapnya. Dia masih mencium wajahku.
"Tentu saja."
"Itu akan menjadi pesta pernikahan yang besar," ucapnya. Jarinya terpilin di rambutku. Senyumnya tidak pernah hilang.
"Tidak. Aku tidak ingin pesta, Archer."
"Lea ... itu harus menjadi sempurna, kamu pantas mendapatkannya." Matanya melihatku, hampir memohon.
"Tidak. Aku ingin itu menjadi upacara pernikahan yang kecil. Hanya keluarga dan teman. James masih di luar sana, dia bisa melakukan apa pun dan apa pun bisa terjadi di dalam kekacauan pesta." Aku dapat melihat dia ingin membantahku, ingin beradu lebih banyak argumen denganku. "Yang aku inginkan kamu, bukan pesta. Bukan uangmu. Itu kamu. Menikah denganmu."
"Apa pun yang kamu inginkan." Aku menciumnya kali ini. Bersemangat, liar, panas. Aku berada di atasnya, dapat merasakan miliknya mengeras kembali untuk melawan perutku.
"Dan aku selalu menginginkanmu, Mr. Black. Apa yang akan kau lakukan dengan itu?" Dia menyeringai, kejam, dan licik, lalu sekali lagi aku berada di bawahnya.
"Banyak hal Miss White. Sangat banyak hal." Matanya berkedip dengan janji.
***
Pembaca yang budiman vote dan comment kalian sangat berarti bagi saya, jadi jika kalian menyukai cerita ini silahkan klik tanda bintang kecil yang ada di tiap akhir bab. Saya akan sangat menghargainya ....
Arum Sulistyani
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top