91. Manusia Berencana Tuhan Berkehendak

"Ehm kamu serius nggak mau dijemput? Biar kita bareng ke bandara."

"Nggak perlu, Ris. Kita ketemu di bandara saja."

Haris angguk-angguk seraya mencubit-cubit bantal di pelukan. "Oke. Kalau gitu ya sudah. Kita ketemu di bandara saja."

"Iya."

"Sampai ketemu besok jam tujuh, Van. Jangan sampai telat."

"Iya, Ris, iya."

Setelah telepon berakhir, akhirnya luapan kebahagiaan Haris benar-benar pecah. Beruntung sekali kamarnya berukuran luas dan kedap suara. Alhasil jerit pekik bahagia itu tidak terdengar sampai keluar.

"Yes!" sorak Haris. "Akhirnya aku liburan juga dengan Vanny."

Haris sudah lupa kapan terakhir kali ia begitu semangat liburan seperti ini. Mungkin setelah ia menuntaskan pendidikan masternya, praktis ia tak pernah benar-benar bertemu masa liburan lagi.

Namun, semua berubah setelah Haris kembali bertemu Vanny. Cewek itu menyadarkan Haris betapa berharganya liburan dan cuti.

"Oh, Vanny. Akhirnya. Akhirnya."

Haris memang sangat senang menyambut hari liburannya, tapi ia tidak akan lalai. Ia memeriksa koper dan barang-barangnya sebelum tidur. Memastikan bahwa semua lengkap. Tak ada yang tertinggal satu pun.

Sekarang Haris bisa berbaring dengan tenang di tempat tidur. Menelentang rapi dengan selimut yang menutupi, kedua tangannya bersatu di atas dada dan mata menatap langit-langit. Bibirnya tersenyum dalam bayang menyenangkan dan susunan rencana di benak.

Sampai di Paris nanti, Haris akan mengurus cincin lamaran terlebih dahulu. Itu yang paling penting dan utama. Setelahnya barulah ia akan ....

"Hahaha!"

Tidak. Haris tidak sanggup melanjutkan imajinasinya. Yang berkaitan dengan makan malam romantis, iringan musik klasik, bunga mawar, kembang api, dan pemandangan Menara Eiffel.

"Astaga! Aku udah nggak sabar lagi!"

Dibutuhkan keteguhan besar untuk Haris memejamkan mata dan membaca doa. Bila menuruti euforia kebahagiaan, ingin sekali rasanya ia terus bermain-main dengan dunia khayalannya.

Ah. Seminggu bersama Vanny di Paris.

Hanya membayangkannya saja sudah membuat Haris tersenyum lebar. Apalagi kalau sudah jadi kenyataan? Tentu saja jawabannya adalah Haris senyum dengan lebih lebar lagi.

Sekar menahan ringisan. Senyum Haris bukan lagi terlihat menyenangkan. Alih-alih justru menakutkan.

Kenapa lama-lama senyum Haris jadi mirip senyum Joker sih?

Haris mengabaikan ekspresi aneh Sekar. Ia memeluk sang ibu dan berkata.

"Aku pergi liburan dulu, Ma."

Sekar menepuk punggung Haris. "Iya. Hati-hati di jalan."

"Siap, Ma," angguk Haris. "Mama dan Papa juga jangan lupa liburan."

Setelah berpamitan pada Sekar dan Arif, Haris segera pergi dengan disopiri Diman. Sepanjang perjalanan menuju bandara, siulan tak henti-hentinya melantun dari bibir Haris. Diman hanya geleng-geleng melihat kelakukan sang majikan, sudah maklum.

Tiba di bandara, Haris segera mengirim pesan pada Vanny. Sekadar mengabarkan bahwa dirinya telah sampai.

Haris menunggu di luar. Sengaja belum masuk dan melewati pemeriksaan tiket, ia menantikan kedatangan Vanny.

"Duh! Vanny mana sih?"

Haris sudah tak sabar. Jantungnya berdebar kencang dan napasnya kian memburu seiring waktu.

Satu titik menarik perhatian Haris sekitar lima menit kemudian. Tepatnya satu mobil hitam berkilat yang berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri.

Pintu mobil terbuka. Seorang cewek keluar dan langsung melambai pada Haris.

"Vanny."

Keriuhan khas bandara mendadak hilang dari indra pendengaran Haris. Orang-orang yang lalu-lalang seolah tembus pandang. Semua menghilang dari dunia dan hanya ada Vanny seorang.

Vanny tersenyum. Haris membalasnya. Ia bersiap menyambut kedatangan Vanny, tapi langkahnya terhenti.

"Haris!"

Haris mengerjap.

T-tunggu. Itu kenapa ada Esti?

Sebentar. Bukan hanya Esti. Alih-alih ada Tasya pula.

"Hah?"

Wajah Haris berubah. Ia bingung, tapi semua belum begitu memusingkan ketika ia melihat seorang pria paruh baya di sana.

Bhakti turut melambai pada Haris. Ia tersenyum lebar sementara senyum Haris sedari tadi menghilang sudah.

"Papa Mertua?"

*

Haris memejamkan mata. Ia menghirup udara dalam-dalam dan berusaha tenang ketika pesawat sudah lepas landas.

Sabar, Ris, sabar.

Haris berusaha sabar, tapi sepertinya susah. Lihat saja. Seorang pramugari datang dan menghampirinya lima menit kemudian.

"Excuse me, Sir. Do you need transquilliser?"

Haris mengangkat tangan. "No, I don't."

"Oh, okay."

Pramugari pergi dan Haris membuang napas panjang. Namun, dadanya kembali bergemuruh ketika tatapannya membentur Vanny.

"Kamu kenapa, Ris?" tanya Vanny. "Kamu nggak mabuk perjalanan kan?"

Haris tidak menjawab pertanyaan Vanny. Melainkan menatapnya dengan sorot yang tak mampu Vanny artikan.

Cuping hidung Haris kembang kempis. Wajahnya memerah. Keringat bercucuran.

Bisa-bisanya kamu, Van. Bisa-bisanya kamu bawa satu keluarga buat ikut kita liburan. Kenapa kamu nggak sekalian ajak satu RT hah?

Sekarang metode tarik napas, tahan, dan embuskan perlahan sudah tak mempan lagi untuk Haris. Sebanyak apa ia menarik oksigen, nyatanya ia tak bisa menenangkan diri. Pun selama apa ia menahannya di dada, juga tak bisa membuatnya lebih sabar.

Sebenarnya sempat terpikir di benak Haris untuk menahan napas selama setengah jam. Hanya saja ia khawatir kesabarannya akan langsung tembus ke akhirat sana.

"Ris."

Vanny sedikit beringsut di tempat duduknya. Tidak mendapatkan jawaban membuat perasaannya menjadi tak enak.

"Kamu kenapa? Kamu sakit? Masuk angin? Atau apa?"

Haris menatap Vanny tajam. Sorotnya mengerikan sehingga Vanny meneguk ludah.

"Aku kenapa?" tanya Haris dengan satire. "Serius kamu nanya aku kenapa setelah kamu ajak satu keluarga kamu buat liburan bareng kita? Kenapa kamu nggak ajak sepupu, keponakan, tante, om atau bahkan nenek kakek sekalian?"

Mulut Vanny membuka, tapi tak ada sepatah kata pun yang terucap. Agaknya ia butuh waktu untuk mencerna keadaan.

Vanny menutup mulut. "K-kamu ...."

"Kamu tega banget, Van," geram Haris seraya beringsut di tempat duduk. Bila ada hal yang ia syukuri dari penerbangan itu adalah ia dan Vanny bisa duduk bersama. Setidaknya ia bisa bicara sejujurnya. "Aku liburan itu buat menumpahkan semua kerinduan aku."

Bola mata Vanny membesar. Khawatir, ia melirik pada Bhakti yang kursinya terpisah. Pun demikian pula dengan Esti dan Tasya. Setidaknya kursi 1-2-1 itu memberikan kesempatan Vanny untuk bisa mencubit tangan Haris.

"Pikiran kamu, Ris."

Haris balas melotot. "Kamu nggak tau isi pikiran aku selama empat bulan ini cuma kamu? Makanya aku rela lembur tiap malam biar bisa liburan sama kamu?"

"I-itu-"

"Dan kamu udah mengacaukan semuannya."

Vanny tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya bisa meringis. Tak bisa berbuat apa-apa.

"Ah, astaga."

Mendadak Haris kepalanya benar-benar pusing sekarang. Ia memanggil pramugari dan meminta obat sakit kepala.

"Ya harusnya kamu ngomong sih, Ris," lirih Vanny seraya melihat Haris yang merebahkan kepala. "A-aku kan nggak mikir ke sana."

Kalau tidak ingat itu di pesawat, sepertinya Haris akan mencak-mencak. Persis seperti kebiasaannya. Untung, sedikit akal sehat Haris masih bekerja. Ia tidak ingin buat malu.

"Sekarang sudah mikir ke sana?"

Vanny hanya mengatupkan mulut rapat-rapat. Ia tak menjawab dan mendadak Haris bangkit duduk kembali.

"Oke, lupakan soal keluarga kamu," kata Haris dengan setitik harapan. "Apa kira-kira kamu bisa nginep di kamar aku?"

Rasa-rasanya Vanny ingin memanggil pramugari agar memberi Haris obat tidur saja. Ia melotot dan mendesis penuh penekanan.

"Kamu ngomong apa sih? Kalau didengar Esti dan Tasya gimana?"

Haris tidak peduli. "Bisa nggak?"

"Nggak bisa," delik Vanny. "Kamu nggak lihat ada Papa aku?"

Benar. Itu jawaban telak yang amat menohok. Haris tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa pasrah seraya kembali merebahkan kepala.

"Sudahlah. Percuma saja perjuangan aku selama ini."

Haris menutup mata dan agaknya obat sakit kepala yang diminumnya mulai bekerja. Nyeri mulai menghilang. Sebagai gantinya, ia mengantuk sekarang.

Tak butuh waktu lama, Haris pun tertidur sementara Vanny merenungi tindakannya. Wajar saja Haris uring-uringan.

Harusnya kan dia ngomong. Kalau dia ngomong, ya pasti aku nggak bakal ajak Papa, Tasya, dan Esti.

Nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan sekarang tak ada guna. Dalam hati, Vanny hanya bisa berdoa. Semoga saja nanti suasana perasaan Haris bisa membaik.

Mereka mendarat di Perancis setelah melalui sekitar 19 jam penerbangan. Tiba di hotel, Vanny berharap Haris sudah membaik. Namun, sepertinya belum.

Haris bersikap sopan dan baik, tapi hanya Vanny yang bisa merasakan perbedaan. Tak perlu ditanya, Haris pasti suntuk padanya.

Sampai di kamar, Vanny tidak langsung membersihkan diri. Melainkan ia mengirim pesan pada Haris.

Vanny:

Ris, kamu masih ngambek?

Ehm gimana kalau besok pagi kita jalan?

Habis sarapan gitu.

Haris Mantan Resek:

Kayaknya nggak bisa.

Kamu jalan sama keluarga kamu saja.

Vanny bengong. Sungguh tak mengira kalau Haris akan membalasnya seperti itu. Namun, ia tak menyerah.

Vanny:

Kalau makan siang gimana?

Haris Mantan Resek:

Sama.

Aku ada urusan.

"Wah!"

Vanny mengabaikan Esti yang memilih untuk langsung mandi. Sekarang ia merasa kesal juga dengan Haris.

Vanny:

Kalau makan malam?

Haris Mantan Resek:

Lihat sikon dulu.

Kalau memungkinkan, ya oke.

Vanny memejamkan mata dramatis. Terlepas dari apakah Haris mau membalasnya atau tidak, nyatanya Vanny memang merasa kesal sekarang.

"Dasar," geram Vanny. "Cowok tukang ngambek."

Sekarang gantian Vanny yang sibuk menarik napas dalam-dalam. Ia mencoba tenang dengan menanamkan pikiran positif di benak.

Itu cuma akal-akalan Haris saja. Dia nggak mungkin nggak mau jalan sama kamu.

Vanny yakin sekali. Haris tidak mungkin serius dengan pesannya. Namun, kenyataan menampar keesokan hari.

Astaga. Haris benar-benar tidak bergabung dengan mereka ketika sarapan. Mereka hanya sempat berpapasan sekilas dan Haris pergi setelah berbincang sejenak ala kadarnya.

"Van," bisik Esti. "Haris kenapa?"

Vanny mendengkus. "Nggak tau."

Sekarang Vanny benar-benar ingin meledak. Liburan menyenangkan hilang dari harapan dan itu lagi-lagi karena Haris yang mengabaikannya saat makan siang.

"Ehm," deham Bhakti. "Haris kenapa nggak gabung sama kita, Van?"

Vanny manyun. Ia menggeleng samar dan menjawab. "Nggak tau, Pa."

Anggap saja itu adalah jawaban paling aman yang bisa Vanny berikan pada Bhakti. Tidak mungkin sekali untuk Vanny menceritakan yang sebenarnya pada sang ayah. Bahwa Haris sedang merajuk lantaran rencana romantis liburan berduanya gagal total.

Namun, sejujurnya Vanny merasa bersalah pula terlepas dari sikap Haris. Ekspresi wajahnya menyiratkan hal tersebut dengan jelas. Tepat ketika ia melihat Haris keluar dari hotel.

Haris berdecak. Ia terus saja berjalan dan mengabaikan petugas keamanan yang tersenyum ramah padanya,. Dalam hati, ia mengumpat habis-habisan.

Rico udah batalin tur mobil kuno itu belum ya?

Di jadwal yang sudah ia rencanakan, Haris ingin mengajak Vanny berkeliling kota dengan menggunakan mobil kuno Citroen 2V. Bukan tanpa alasan, alih-alih sebaliknya. Selepas penerbangan panjang dan istirahat semalaman, agaknya menikmati udara bebas adalah pilihan tepat.

Haris sudah membayangkannya. Ia dan Vanny menaiki kendaraan roda empat yang antik. Bersama-sama melintasi jalanan Paris dan melihat keindahan cinta di mana-mana.

Uh! Hanya membayangkannya saja sudah berhasil membuat Haris melambung ke langit sana. Namun, sayangnya itu memang hanya sebatas bayangan saja.

Haris menggeram. Satu mobil berhenti tepat di depannya dan ia buru-buru masuk sebelum emosi membuatnya histeris di pelataran hotel.

Ting!

Rico Angkasa:

Sudah, Pak.

Semua seperti yang Bapak perintahkan.

Tur mobil antik, perjalanan limusin ke Normandia, dan dinner cruise di sungai Seine sudah saya batalkan.

Hanya dengan membaca pesan Rico saja dada Haris bergemuruh besar. Apalagi bila ia benar-benar merenungkan yang terjadi saat itu.

Y-ya Tuhan. Bukan mudah untuk reservasi itu semua. Astaga! Ini akhir tahun! Ini akhir tahun!

Haris buru-buru membuat napas panjang. Sepertinya rencana liburannya di Paris akan berubah sebentar lagi. Menjadi konsultasi kejiwaan pribadi.

Apa aku harus suruh Rico reservasi dokter jiwa saja ya?

Sempat terbersit di benak, tapi pesan Rico justru membuyarkan pemikiran satire itu. Haris mendeham dan membaca.

Rico Angkasa:

Bagaimana dengan reservasi di restoran Jules Verne, Pak?

Menurut saya itu terlalu sayang kalau harus dibatalkan juga.

Menara Eiffel langsung mengisi benak Haris. Di lantai duanya ada restoran yang menjadi tujuan utama para pasangan kekasih. Makanan lezat, anggur mahal, dan pemandangan indah, setidaknya tiga hal itulah yang menjadikan Jules Verne sebagai salah satu tempat yang tak boleh lupa dikunjungi ketika berada di Paris.

Oh, tentu saja. Haris tidak akan lupa akan sihir cinta yang mengisi atmosfer Menara Eiffel. Itu adalah maha karya dan keagungan yang tak boleh dilepas begitu saja.

Haris meneguk ludah. Tak langsung membalas pesan Rico, ia justru merenung.

Aku melamar Vanny di hadapan keluarganya? Y-ya Tuhan.

Bukan tidak bermaksud menghormati keluarga dan sahabat Vanny, tapi ini lain cerita. Haris sungguh tidak ingin membayangkan dirinya akan membawa rombongan ke retoran itu. Apalagi jelas sekali Rico melakukan reservasi hanya untuk dua orang.

Haris menggeleng. Ia tidak ingin membayangkan pemain orkestra menggesek alat musik dan justru Bhakti yang menatapnya.

Mobil berhenti. Bayang mengerikan itu lenyap dari benak Haris.

Tak langsung turun, Haris mengangkat wajah. Ia melihat satu gedung megah bernuansa klasik. Itu adalah satu-satunya hal pasti yang tak akan ia batalkan.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top