9. Bukan Liburan Loh Ya!
Matahari sore yang terik menyambut kedatangan Haris dan Vanny di Bumi Rafflesia. Ketika mereka keluar dari bagian pemeriksaan bandara, sudah ada seorang pria paruh baya yang menyambut kedatangan keduanya. Berpenampilan rapi dan sederhana dalam paduan celana dasar bewarna hitam dan juga kaus polo yang bewarna senada. Cepat, Vanny berbisik pada Haris.
"Ini jemputan kita, Pak."
Haris mengangguk sekali. Mendapati pria paruh baya itu mengulurkan tangan. Menawarkan jabat perkenalan.
"Selamat datang di Bengkulu. Saya Joko."
Haris menyambut tangan Joko. "Haris, Pak."
Joko kemudian beralih pada Vanny. Gadis itu tersenyum seraya menyambut jabat tangannya.
"Vanny, Pak."
Joko mengangguk. "Ah, iya Mbak Vanny."
Setelah perkenalan yang singkat itu, Joko beralih pada dua koper yang berdiri di masing sisi tubuh Haris. Ia menunjuk.
"Ini aja bawaannya, Pak?"
Haris mengangguk. "Iya, Pak."
Joko mengambil alih kedua koper itu. Lantas berkata.
"Mari, Pak."
Sekitar lima menit kemudian, Haris dan Vanny sudah berada di dalam mobil bewarna hitam yang dikendarai oleh Joko. Keluar dari kawasan bandara Fatmawati Soekarno, mereka pun menuju ke hotel.
Itu adalah kali pertama bagi Haris untuk menjejakkan kaki di kota tersebut. Selama ini ia hanya sempat mengenal nama Bengkulu sekilas saja. Itu pun lantaran ia ingat pelajaran sejarah dulu. Mengenai siapa ibu negara pertama dan penjahit bendera pusaka Republik Indonesia. Ah, bila ada hal lain maka itu pastilah mengenai bunga Rafflesia Arnoldii yang diklaim sebagai bunga terbesar di dunia. Yang menjadi penyebab mengapa provinsi itu kerap dikenal dengan julukan Bumi Rafflesia.
"Gimana penerbangannya tadi, Pak? Lancar-lancar saja?"
Baru beberapa meter meninggalkan bandara, Joko membuka percakapan. Matanya sekilas melirik pada Haris yang duduk di kursi penumpang. Di sebelahnya, pria itu tampak duduk dengan santai.
Haris mengangguk. "Lancar, Pak. Kebetulan juga nggak ada insiden pecah ban di atas sana."
Joko tertawa. Begitu pula dengan Haris yang melayangkan lelucon itu. Di belakang, Vanny hanya tersenyum geli.
"Sudah pernah ke Bengkulu sebelumnya, Pak?"
"Belum pernah, Pak," jawab Haris. "Ini pertama kalinya saya datang ke sini." Lalu ia teringat pada Vanny. Ia melirik pada cewek itu melalui pantulan spion dalam. "Kalau kamu udah pernah ke sini, Van?"
"Belum pernah juga, Pak."
"Ckckck," decak Haris geleng-geleng kepala. "Aku pikir sudah pernah. Kalau sudah kan aku bisa minta temeni buat pergi ke tempat-tempat menarik di sini. Ehm ... kalau begitu apa boleh buat. Kita minta Pak Joko aja nanti buat anterin kita. Bisa kan ya, Pak?"
Joko tersenyum. "Tentu bisa, Pak," angguknya. "Nanti saya antar ke tempat-tempat wisata di sini. Bapak berapa lama ya?"
"Seminggu, Pak. Tapi, mungkin kerjaan saya selesai sekitar lima atau enam hari."
"Oh, baik, Pak. Nanti kalau misalnya kerjaannya sudah selesai, tinggal bilang saja. Saya siap ngantar ke mana pun juga."
Keramahan Joko membuat Haris merasa nyaman. Setidaknya itu adalah hal yang bagus ketika ia mendapati bagaimana jalanan di kota Bengkulu terkadang membuatnya tidak nyaman. Beberapa kali Haris harus terlonjak kaget ketika mobil melewati jalanan yang tidak mulus. Terkadang mereka melewati jalan dengan lubang di mana-mana hingga Joko tak bisa menghindar dan terpaksa melintasinya begitu saja. Dan tak hanya itu, keberadaan polisi tidur yang memiliki tinggi lebih dari biasanya pun turut mewarnai perjalanan mereka.
"Harap dimaklumi ya, Pak. Namanya juga kota apa adanya."
"Iya, Pak. Nggak apa-apa kok. Apa adanya lebih baik dari pada ada apa-apanya," ujar Haris tersenyum seraya manggut-manggut. "Tapi, seenggaknya di sini jalanannya nggak macet."
"Kadang macet juga sih, Pak. Cuma memang nggak tiap saat. Cuma waktu-waktu tertentu saja. Dan kalau cuaca lagi panas gini emang jarang ada kendaraan. Pada males keluar rumah."
Mewarnai perjalanan itu dengan berbagai percakapan dan lelucon ringan, tak terasa pada akhirnya mereka sampai pula di hotel. Bernama RA Hotel, itu adalah satu-satunya hotel bintang empat yang ada di sana. Terletak di kawasan Tanah Patah, posisinya bisa dibilang lumayan dekat dengan pusat kota.
Joko menurunkan Haris dan Vanny di pelataran hotel. Tugasnya hari itu sudah selesai dan Vanny memastikan bahwa Joko selalu siap siaga dengan ponselnya. Khawatir bila mereka membutuhkan jasa pria paruh baya itu sewaktu-waktu.
Masuk ke hotel, Haris memilih untuk duduk di sofa yang tersedia sementara Vanny dengan cekatan langsung menuju ke resepsionis. Mengurus pemesanan kamar mereka dan tak butuh waktu lama untuk ia mendapatkan dua kunci kartu.
"Pak, mari."
Dibantu oleh seorang porter yang membawa koper mereka, Haris dan Vanny menaiki satu lift. Menuju ke kamar mereka yang berdampingan.
Vanny yang terus mengingatkan dirinya sendiri bahwa saat itu Haris adalah bosnya memastikan semua fasilitas di kamar cowok itu lengkap terpenuhi. Mengabaikan rasa letih dan kantuk yang masih tersisa, ia bertanya.
"Gimana, Pak? Ada yang kurang?"
Haris melihat seisi kamar. Lantaran adalah tipe eksekutif yang dipesan, tentu saja semuanya tampak mewah dan lengkap. Bahkan di satu tempat Haris menemukan brankas yang tidak ia perlukan dalam perjalanan dinasnya kali ini.
"Sepertinya nggak ada," jawab Haris seraya mengusap tangannya satu sama lain. "Bagus."
Vanny merasa lega. Begitu pula dengan porter yang masih berada di sana, berjaga-jaga bila tamu mereka mendapati sesuatu yang kurang berkenan.
"Kalau begitu, selamat beristirahat, Pak."
Akhirnya, Vanny bisa ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya yang terasa pegal di atas kasur yang empuk itu. Sungguhpun perjalanan udara hanya membutuhkan waktu yang sebentar, tapi tak urung juga rasa letih itu menjajah tubuhnya.
Membuang napas panjang, Vanny sengaja belum beranjak untuk mandi atau sekadar membongkar isi kopernya. Ia masih ingin bermalas-malasan. Dengan satu bantal di bawah kepala, ia pun hanyut dalam lamunannya.
Astaga. Mana pernah aku kepikiran kalau suatu saat aku bakal pergi berdua kayak gini sama Haris. Ckckck.
Kalau ingin jujur, tentu saja Vanny merasa canggung. Tapi, sekarang ia harus menepikan rasa canggung dan masa lalu di antara mereka. Nyatanya kepergian mereka adalah dalam rangka pekerjaan.
"Iya," angguk Vanny dengan penuh tekad. "Ini bukan kayak aku dan Haris lagi pergi liburan berdua atau semacamnya. Ini adalah perjalanan kantor."
Hanya saja, semakin Vanny mengatakan itu pada dirinya sendiri, semakin nelangsa pula ia. Sejujurnya, ia pun tak yakin.
*
Namun, sepertinya Vanny tidak benar-benar bisa menepikan rasa canggung itu. Ketika malam harinya mereka duduk berdua di meja makan yang sama, Haris dengan jelas melihatnya. Bagaimana wajah Vanny yang tampak kaku dan ia terlihat tidak bisa menikmati makanannya.
Haris menyuap nasi berikut dengan sebongkah brokoli berukuran kecil. Mengunyahnya perlahan dan penuh irama.
"Kenapa?"
Wajah Vanny terangkat. Spontan melihat pada Haris yang tampak amat menikmati makan malam itu.
"Kamu salah pilih menu?" tanya Haris. "Kayaknya kamu nggak benar-benar makan dari tadi."
Wajah Vanny tertunduk kembali. Melihat pada makan malamnya yang ternyata memang belum benar-benar ia sentuh. Bahkan nasi yang berbentuk setengah lingkaran itu baru terusik sedikit. Bentuknya pun nyaris bisa dibilang masih utuh.
"Ah, nggak," geleng Vanny. "Menunya enak kok."
"Kalau enak kenapa dari tadi nggak kamu makan?" tanya Haris lagi. Sendok di tangannya terangkat. Menunjuk pada menu lauk yang ia pilih. "Itu ikannya masih utuh gitu."
Ikan nila asam manis yang Vanny pilih memang masih utuh. Bahkan saking utuhnya, Haris yakin kalau ikan nila itu dilempar ke kolam, pasti ia akan langsung berenang lagi.
"Maaf, Pak."
Pada akhirnya hanya itu yang mampu Vanny ucapkan. Ia menarik napas dalam-dalam dan mulai benar-benar menikmati makan malamnya. Secuil, ia mengambil ikan nila itu. Mencicipinya dan menyukai rasanya.
Haris menyeringai. "Enak?"
"Iya," angguk Vanny sambil mengambil secuil lagi dengan ukuran yang lebih besar. "Enak. Rasa gurihnya pas."
"Aku cobain."
Sendok di tangan Haris terulur. Menuju pada ikan nila Vanny dan cewek itu hanya bisa mengerjap bengong. Melihat bagaimana Haris dengan santainya memotong ekor ikan nila itu dan memindahkannya ke piring.
Ehm ... s-sepertinya ada yang salah deh.
Vanny melihat Haris dengan berhati-hati memisahkan ikan itu dari tulangnya. Lalu menikmatinya.
T-tapi, apa ya?
Jakun Haris naik turun ketika ikan nila itu akhirnya meluncur di tenggorokannya. Masuk ke dalam sistem pencernaannya dan mata Vanny membola. Tersadar akan sesuatu.
"Kamu ngambil ekor aku, Ris?"
Nah, itulah yang terlewatkan oleh Vanny. Dari banyak bagian di tubuh seekor ikan, ekor adalah menjadi bagian yang paling disukai olehnya. Biasanya Vanny akan menyisakan bagian itu untuk dinikmati di akhir makannya. Tapi?
Mata Haris mengerjap. Sontak tangannya naik ke depan mulut. Kaget dengan perkataan Vanny, tapi juga kaget dengan cara cewek itu bertanya padanya. Haris ragu, apakah Vanny sadar atau tidak.
"Kamu mau makan ekornya, Van?"
Vanny mendengkus. Tidak menjawab pertanyaan itu sementara wajahnya jelas sekali terlihat kesal.
"Astaga," lirih Haris. "Aku nggak tau kalau kamu mau makan ekornya. Maaf."
"Lagian sih kalau nyicip bukan gitu caranya. Itu mah bukan nyicip namanya."
Menggerutu, Vanny tampak cemberut. Bibirnya benar-benar manyun dengan wajah yang tertekuk. Ia kesal dan ia---
Vanny mengerjap. Sepertinya ia baru saja tersadar akan sesuatu. Tersadar akan hal yang membuat tangannya naik seketika. Ia menutup mulut dengan bola mata yang membesar melihat pada Haris. Cowok itu tampak mengulum senyum.
"P-Pak."
Haris menaruh sendok dan garpunya di piring. Menjeda sejenak makannya, ia memilih untuk menyandarkan punggung di kursi. Dengan kedua tangan yang lantas bersedekap di depan dada, ia berkata.
"Manggil Haris juga nggak apa-apa sih. Coba kamu panggil aku gitu lagi."
Di balik tangan yang menutupi mulutnya, Vanny menggigit bibir. Wajahnya terlihat salah tingkah. Lalu ia menggeleng.
"Nggak."
Dalam, Haris menarik napas sekali. "Kenapa? Lagian sekarang cuma ada kita berdua. Dan sekarang kita juga lagi nggak kerja. Lagi nggak di kantor. Jadi kayaknya sah-sah aja kalau kamu manggil nama aku."
Vanny kembali menggeleng. Matanya terlihat menyorotkan rasa ngeri.
"Maaf," cicit Vanny. "Saya keceplosan."
Mendapati Vanny yang kembali berbicara formal padanya setelah terlepas bicara santai, tentu saja Haris terkekeh. Tangannya terangkat. Memanggil seorang pelayan yang kebetulan melintas tak jauh dari meja mereka.
"Ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?"
Haris menunjuk ikan nila asam manis itu. "Saya pesan menu itu satu lagi."
Mata Vanny melotot. Ingin mencegah, tapi pelayan itu keburu mengangguk. Tepat sebelum ia beranjak dari sana.
"Baik, Pak. Mohon ditunggu sebentar."
Kembali menatap Vanny, senyum di wajah Haris tampak mengembang. Mungkin ia merasa sudah menyelesaikan masalah yang telah ia buat.
"Tungguin bentar, Van. Ikan kamu dalam perjalanan."
Tidak. Vanny tidak menginginkan ikan apa pun lagi.
"Nggak perlu, Pak," kata Vanny menolak. "I-ikan saya masih ada."
Haris bangkit dari posisi santainya. Ia mengambil piring ikan nila asam manis itu. Memindahkannya ke sisi piringnya.
"Ikan yang ini biar untuk aku aja. Kamu yang baru."
"Tapi---"
"Tapi, gimana kalau kamu manggil aku Haris aja kayak tadi? Nggak usah pake Bapak gitu?"
"Eh?"
"Di kantor okelah kalau kamu sopan gitu manggil aku," lanjut Haris seraya melanjutkan kembali makannya. "Tapi, di sini? Di saat kita cuma berdua? Ehm ... masa kamu manggil aku 'bapak' sih?"
Vanny meneguk ludah. Wajahnya terasa kaku, tapi ia masih sanggup untuk menggeleng. Jelas menolak ide itu.
"Kamu ini bener-bener deh, Van," keluh Haris. "Kalau kamu manggil aku 'bapak', apa itu artinya aku harus manggil kamu 'ibu'?"
Mata Vanny membelalak. Pertanyaan Haris membuat ia merinding. Buru-buru saja ia menggeleng. Kembali menolak ide yang ditawarkan oleh Haris padanya.
"Nggak gitu, Pak. Masalahnya mana mungkin saya manggil nama saja? Kan nggak sopan."
Sepertinya Haris belum bisa melanjutkan makannya sekarang. Baru satu suapan kembali masuk ke mulutnya, sendok dan garpu di tangannya kembali berhenti bergerak. Ditatapnya Vanny dengan lekat.
"Aku loh yang menilai kamu sopan atau nggak. Dan lagian ... aku heran aja."
Sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, Haris seolah-olah ingin melihat Vanny dengan jarak yang lebih dekat lagi. Itu terang saja adalah tindakan yang membuat Vanny meneguk ludah. Matanya mengerjap sekali, salah tingkah.
"Ini kebiasaan kamu atau gimana?" tanya Haris. Matanya bergerak dalam usaha untuk memaku tatapan Vanny. Lekat dan tanpa kedip. "Apa kamu emang manggil mantan kamu dengan sebutan 'bapak'?"
Astaga!
Melongo, Vanny tidak bisa berkata apa-apa. Sialan, tapi saat ini ia hanya berharap agar ikan nilanya bisa cepat sampai!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top