85. Mencair Dan Biarkan Mengalir

Vanny pikir hidupnya sudah cukup melelahkan. Bayangan akhir pekan yang indah berantakan, ia tak bisa tidur nyanyak, dan paginya ia tak berselera makan.

Sempat berpikir untuk tidak masuk kerja, Vanny mendapati keyakinan bahwa akan lebih menyesakkan baginya bila berada di apartemen dengan tanda-tanda keberadaan Bhakti di sana. Berat, tapi akhirnya ia memutuskan untuk kerja dan tak lama kemudian ia justru berpikir.

Sepertinya lebih bagus lembur ketemu Haris selama 24 jam ketimbang harus ketemu Papa.

Begitulah pemikiran menyedihkan di benak Vanny. Sesuatu yang sempat membuat ia berpikir bahwa setidaknya masih ada tempat di mana ia dapat menghirup udara dengan damai. Tanpa ada drama keluarga yang membuat sesak di dada.

Namun, tunggu. Sepertinya takdir tidak benar-benar memberikan kesempatan untuk Vanny bisa lega barang sejenak.

Itu adalah ketika Vanny baru saja keluar dari ruang kerja Haris. Ia duduk di balik meja dengan lesu hingga Astrid mengurungkan niat untuk menyapa seperti biasa.

Vanny berniat untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda minggu lalu. Namun, satu langkah membuat perhatiannya tertarik ke seberang sana.

Ada Tasya melangkah. Berpenampilan modis seperti biasanya, ia mengenakan kacamata hitam yang membuat Astrid meringis.

Nggak takut kepentok pot bunga apa ya?

Namun, ketakutan Astrid dengan cepat berganti. Hanya butuh sedetik dan lantas kengerian yang lain langsung mengisi benaknya.

Astrid melotot. Horor melihat pada Tasya tatkala menyadari cewek itu menuju pada Vanny. Tidak perlu menebak, Astrid yakin bahwa kedatangan Tasya bukan untuk menemui Haris.

Gawat!

Tasya berhenti tepat di depan meja Vanny. Tanpa melepaskan kacamata yang bertengger di atas hidung, ia berkata tanpa tedeng aling-aling.

"Aku mau kita bicara sebentar, Van. Nggak lama. Mungkin cuma sepuluh menit saja."

Astrid bisa merasakan aura mencekam yang menguar. Membuat ia meneguk ludah dan melihat bergantian pada dua cewek itu.

"Oke."

Bola mata Astrid membesar saat mendengar satu kata itu. Berikut dengan berdirinya Vanny dari duduk.

"Ayo, kita ke sana saja," ajak Vanny menunjuk pada pantri.

Tasya mengangguk. Mengikuti langkah Vanny tanpa berbasa-basi sedikit pun pada Astrid.

Tidak. Tentu saja Astrid tidak butuh basa-basi Tasya. Alih-alih sebaliknya. Ia justru bersyukur ketika Tasya langsung berlalu dari sana. Lantaran itu memberinya kesempatan untuk segera menyambar telepon. Langsung menghubungi Haris.

*

Ada spot menarik di pantri. Agaknya memang diperuntukkan bagi kenyamanan sekretaris di sana. Berupa satu taman mini yang bisa digunakan untuk menyantaikan pandangan dan pikiran lantaran penatnya bekerja.

Di sanalah Vanny mengajak Tasya untuk duduk. Ia menyajikan secangkir teh untuk Tasya dan bertanya.

"Ada apa?"

Tasya menatap Vanny di balik kacamata hitamnya. Tak menjawab, malah ia balik bertanya.

"Bagaimana keadaan Papa?"

Vanny mengerjap. Tak bisa ditepis, pikiran sinis itu tercetus begitu saja di benaknya.

Ah. Dia khawatir dengan keadaan Papa setelah kejadian kemaren?

Vanny butuh waktu sekitar lima detik untuk mengganti udara di paru-paru. Sepertinya oksigen yang baru adalah obat ampuh untuk meredakan sedikit gemetar di tubuh Vanny. Ia menunduk, lebih memilih untuk melihat ukiran di meja saat menjawab.

"Baik-baik saja."

"Oh," lirih Tasya. "Syukurlah kalau begitu. Aku cuma khawatir vertigo Papa kambuh. Biasanya Papa sering vertigo kalau lagi ada masalah."

Vanny diam saja. Namun, lagi-lagi pikiran sinis tak mampu ia tahan untuk kembali memberontak di benaknya.

Aku memang nggak tau apa-apa tentang Papa. Aku juga anak Papa, tapi Tasya memang lebih dekat sama Papa.

Wajah Vanny kian tertunduk. Bertanya-tanya apakah ibunya pernah merasakan cemburu seperti itu? Ketika menyadari bahwa sang suami menghabiskan waktu lebih banyak dengan wanita lain dan pada akhirnya ia tidak tahu apa-apa mengenai pria yang menikahinya.

"Jadi ..."

Vanny kembali menarik udara dalam-dalam. Ia menguatkan diri untuk setiap kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Bahkan bila itu keinginan Tasya agar ia merelakan Bhakti untuk kembali pada mereka.

"... ada apa kamu datang ke sini?"

Hening sejenak. Tidak seperti sebelumnya di mana Tasya dengan cepat merespon perkataan Vanny, sekarang ia seolah butuh waktu untuk berpikir. Pun ketika ia bicara, suaranya lantas terdengar bergetar.

"A-aku minta maaf," lirih Tasya. "Kak."

Semua pikiran picik dan ketegangan yang memerangkap tubuh Vanny, terjeda. Pun udara yang kerap keluar masuk mengisi paru-parunya seolah berhenti bergerak. Tertahan di dada dan Vanny mengerjap.

"Aku minta maaf untuk yang sudah Mama lakukan. Aku tau apa yang Mama lakukan nggak benar. Jadi aku minta maaf."

Sekali lagi, Vanny mengerjap. Perlahan dan nyaris seperti dirinya tak mampu, wajah Vanny terangkat. Ia menatap Tasya yang masih menyembunyikan matanya di balik lensa hitam tersebut.

"Beberapa hari yang lalu, Papa dan Mama ribut," ujar Tasya dengan wajah sendu. "Seumur aku hidup, baru pertama kali itu aku melihat Papa dan Mama bertengkar. Apalagi mereka bertengkar dengan sangat hebat."

Tasya tidak akan melupakan hari itu. Di mana semuanya meledak bak bom nuklir yang telah tertanam ribuan tahun. Layaknya peledak yang hanya membutuhkan satu sulutan untuk membuncahkan semua kemarahannya.

"Papa nggak pernah seperti itu. Papa nggak pernah membentak Mama. Papa pun nggak pernah membuat Mama menangis. Baru pertama itu."

Suara Tasya terdengar berubah. Tersendat dan tertahan berulang kali. Lantaran ada emosi yang berusaha ia tahan, tapi pada akhirnya tetap melaju dalam sebulir air yang mengalir di pipi.

Sekarang adalah Tasya yang tampak menundukkan wajah. Walau sudah membantengi diri dengan kacamata, tetap saja ia merasa tak sanggup untuk melihat Vanny.

"Selama ini Papa selalu datang ke makam. Papa selalu merayakan ulang tahun mendiang istri pertamanya. Papa selalu berusaha untuk tampil sebagus mungkin ketika bertemu dengan Kakak. Aku selalu berpikir bahwa terkadang Papa tega pada aku dan Mama, tapi sekarang aku malah berpikir sebaliknya."

Pertengkaran hari itu membuat Tasya melihat dari sudut yang berbeda. Lantaran mau dilihat dari mana pun, semua orang akan menduga yang sama. Bahwa adalah Widia yang telah merebut Bhakti dari Diah.

Bukan Vanny yang merusak keluarga mereka. Perih, tapi Tasya tidak bisa melepaskan diri dari tudingan tersebut. Bahwa kebahagiaan yang ia rasakan selama ini adalah hasil dari memerah air mata orang lain.

"Aku benar-benar minta maaf."

Tasya memejamkan mata. Air mata semakin deras membasahi pipi dan napasnya menjadi payah.

Sementara Vanny yang tak menduga bahwa itulah tujuan Tasya mendatanginya hanya bisa terdiam. Ia membisu dalam seribu bahasa. Tak tahu harus berucap apa.

"K-Kakak rindu Papa kan?" tanya Tasya kemudian. "Selama ini Kakak ingin bersama dengan Papa kan?"

Rindu? Vanny tidak yakin bahwa ia pernah merindukan Bhakti. Mungkin karena logika Vanny mengira bahwa rindu adalah suatu keinginan bertemu untuk tatap jumpa yang tak terjadi setelah seminggu, sebulan atau setahun berpisah. Bukan bertahun-tahun.

"Y-ya."

Pada akhirnya, Vanny mengucapkannya. Satu kata yang tak pernah ia bayangkan akan ia katakan.

"Aku rindu, Sya," ujar Vanny. "Tiap malam aku harus nunggu Papa, tapi Papa nggak pernah pulang. Aku juga iri. Dengan teman-teman aku dan juga dengan kamu. Selama ini kamu disayang oleh Papa sementara aku nggak."

Vanny pikir dirinya akan merelakan begitu saja bila Tasya menginginkan Bhakti kembali. Namun, tidak. Sekarang ia yakin bahwa ia tidak akan melakukan itu.

"Aku juga anak Papa."

"Aku tau," angguk Tasya. "Selain itu, Papa juga rindu Kakak selama ini."

Vanny menggigit bibir bawah. Sebisa mungkin untuk bertahan, tapi pertahanannya runtuh pula. Air matanya turut luruh.

"Aku nggak minta yang muluk-muluk, Sya. Aku cuma ingin Papa ada. A-aku cuma ... cuma ...."

Vanny tak bisa menuntaskan perkataannya. Tercekik oleh kenyataan di balik satu kata 'cuma'.

Tidak. Bila itu mengenai orang tua, sepertinya tidak akan ada kata 'cuma'. Semuanya akan lebih dari sekadar 'cuma'.

"Aku tau," ucap Tasya kemudian. "Karena itu aku mohon."

Tasya meneguk pahit kemungkinan yang bisa saja sekarang berbalik terjadi padanya. Bhakti dan Widia kemungkinan besar akan benar-benar berpisah. Terlebih lagi setelah insiden memalukan yang terjadi kemarin.

"Aku mohon jangan larang aku ketemu Papa. Kalaupun kami harus bertemu diam-diam, aku mohon jangan larang aku."

Vanny seolah melihat pada pantulan dirinya sendiri. Seorang anak yang takut tidak mendapatkan kasih sayang ayahnya.

"Tentu saja," angguk Vanny tersenyum. "Aku nggak akan melarang. Kamu juga anak Papa."

Getir di pangkal tenggorokan Tasya berangsur memudar. Perlahan menghilang. Tergantikan oleh deraian air mata yang kembali menderas dan tak mampu ia tahan.

"Makasih. Makasih banyak."

Lantas entah siapa yang memulai atau siapa yang bergerak lebih dulu, nyatanya kedua anak yang terlahir dari rahim berbeda itu saling memeluk sama lain. Mereka sama menangis. Sama terisak dalam ketakutan yang serupa. Sama-sama tidak ingin kehilangan sang ayah.

Mungkin seperti yang orang sering katakan. Bahwa ayah adalah cinta pertama sang putri. Lantas siapa yang ingin kehilangan sosok itu?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top