82. Pandangan Masing-Masing Mata
"Mama."
Pelan dan amat perlahan, suara Tasya terdengar bergetar. Tampak takut-takut melihat pada Widia ketika panggilannya diputuskan sebelah pihak oleh sang ayah. Widia membeku. Tidak bergerak. Tanpa bicara. Tapi, dari ekspresi yang terpancar dari wajahnya, Tasya jelas tau apa yang sedang dirasakan oleh Widia.
"D-dia lebih memilih pergi dengan Vanny dibandingkan melihat aku?"
Tasya memilih diam. Kali ini tidak mengatakan apa-apa selain menundukkan wajah. Melihat pada ponselnya. Dengan panggilan yang sudah berakhir. Dan semua perbincangan antara dirinya dengan Bhakti didengar langsung oleh Widia. Bahkan lebih dari itu. Widialah yang menyuruh Tasya untuk menghubungi sang ayah. Termasuk di dalamnya berbohong mengenai keadaan Widia.
"Ini semua gara-gara Vanny," geram Widia seraya meremas kedua tangannya. "Nggak anak nggak ibu, semua sama saja."
Tasya buru-buru menyisihkan ponselnya. Mendekati Widia. Berusaha untuk menenangkannya.
"Ma, tenang. Jangan marah-marah terus."
Widia mendengkus. "Bagaimana bisa Mama tenang, Sya? Bagaimana? Gara-gara Vanny, Papa jadi meninggalkan kita. Dan kamu nggak lupa kan? Gara-gara Vanny juga Haris nolak perjodohan dengan kamu."
"Mama."
Membuang napas dengan menggebu, Widia lantas bangkit dari duduknya. Ia menggeleng dengan penuh tekad.
"Ini nggak bisa dibiarkan. Aku harus ketemu sama Vanny. Aku harus menyadarkan Vanny kalau dia itu cuma anak rendahan."
Tasya buru-buru bangkit. Menahan tangan Widia.
"Mama, jangan."
Langkah Widia terhenti. Dengan mimik tak percaya, ia melihat pada tangan Tasya.
"Sya?"
Tasya menggeleng dengan penuh harapan. "Mama jangan pergi. Jangan temui Vanny."
Sepertinya Tasya salah bicara. Karena itulah satu-satunya alasan yang bisa diterima oleh akal Widia. Tapi, keseriusan dan pengharapan yang tercetak nyata di wajah Tasya jelas memberikan pemahaman yang sebaliknya.
"K-kamu melarang Mama?"
Tasya menggigit bibir bawahnya. Jelas bisa menebak pikiran apa yang saat ini tengah mengisi pikiran Widia. Terlebih karena sejurus kemudian Widia pun kembali bicara.
"Kamu nggak nyuruh Mama untuk menemui Vanny? Maksud kamu? Jangan bilang kalau kamu suka melihat Papa menelantarkan kita seperti ini."
"Nggak, Ma, nggak."
Menggeleng berulang kali, jelas bukan itu alasan Tasya. Melainkan karena ia tidak akan pernah lupa pertengkaran yang terjadi antara Bhakti dan Widia tempo hari.
"Aku cuma nggak mau Mama kenapa-napa. Aku nggak mau Papa marahin Mama lagi."
Ketakutan itu membuat genggaman tangan Tasya pada Widia semakin menguat. Tasya menatap pada ibunya. Dengan sorot permohonan.
"Aku mohon, Ma. Aku nggak mau lihat Mama sedih lagi."
Perkataan Tasya membuat sesuatu bergejolak di dalam dada Widia. Menimbulkan beragam emosi yang tak mampu ia tepis keberadaannya. Berikut dengan kilasan kejadian yang telah menimpanya.
Benar. Yang dikatakan oleh Tasya memang benar. Tapi, sayangnya semua itu dilihat dari sudut yang berbeda oleh Widia.
Bila Tasya melihat pilunya Widia ketika pertengkaran itu terjadi dan ia tidak ingin ibunya mengalami hal tersebut kembali, maka lain lagi dengan Widia. Karena pada saat bayangan itu melintas di benaknya, ia justru menyadari sesuatu. Bahwa Bhakti memang lebih memilih Vanny ketimbang keluarga mereka.
Maka bila Tasya merasakan ketakutan dengan kekhawatiran sang ibu kembali menangis, maka Widia justru merasakan kemarahan yang semakin membara. Rasa panas itu makin bergelora. Hingga mendorong ia pada satu tekad yang tak terbantahkan.
"Kamu lihat kan, Sya?"
Suara Widia terdengar bergetar. Lebih dari cukup untuk menjadi tanda bagi Tasya bahwa emosi benar-benar sudah menguasi sang ibu.
"Papa selama ini nggak pernah marahin Mama. Selama ini Papa nggak pernah buat Mama sedih. Buat Mama nangis. Nggak pernah. Papa nggak pernah melakukan itu."
Jemari Widia naik. Mendarat di atas genggaman Tasya. Lalu ringisan itu keluar. Tampak perih dalam penuntutan rasa tidak terima.
"Tapi, semenjak ada Vanny di kehidupan kita, semuanya berubah, Sya."
"Mama."
"Semuanya berubah. Dan Mama nggak pernah akan terima."
Jari-jari Widia melepaskan genggaman Tasya. Ia abaikan permohonan sang putri. Melangkah dan dengan cepat menyambat ponselnya. Demi menghubungi seseorang.
"Jadi mereka sudah benar-benar pergi?"
Tasya tak berdaya memandang ibunya. Yang tampak bersikeras pada kemauannya. Dan Tasya tau. Ia tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah keinginan Widia.
"Kamu terus ikuti mereka. Kabarin mereka pergi ke mana."
Widia mengakhiri panggilan tersebut. Dengan cepat ia bersiap. Meraih tas dan kunci mobilnya. Tapi, sebelum ia meninggalkan kamar, Tasya menahannya. Pelan-pelan mengambil kunci mobil tersebut.
"Biar aku yang nyetir, Ma."
Untuk beberapa saat lamanya, Widia hanya diam menatap lekat pada Tasya. Tapi, permohonan Tasya berhasil meluluhkan hati Widia kali ini.
*
"Mama kemaren udah ngubungi temen Mama. Terus katanya di The Elegan baru masuk berlian baru. Kita lebih baik ke sana, Ris. Mumpung barangnya masih baru. Biar Vanny dapat yang ekslusif."
Haris hanya mengangguk. Tidak menolak ketika Sekar menarik tangannya. Menuju ke satu toko perhiasan khusus berlian.
"Seandainya aku tau bakal melamar Vanny dalam waktu dekat, pasti dari jauh-jauh hari aku pesan cincin, Ma."
Sekar mengangguk. "Mama tau. Kita harusnya langsung ke Paris. Desain khusus untuk Vanny. Karena gimanapun juga dia itu satu-satunya calon menantu Mama. Tapi, mau gimana lagi? Nasi udah jadi bubur. Yang penting kita lamar dulu Vanny."
"Iya," angguk Haris dengan wajah serius seraya mempertahankan tangan Sekar yang bertahan di tangan kirinya. "Itu yang paling penting."
Masuk ke toko berlian itu, seorang pelayan dengan hangat menyambut kedatangan mereka. Tak banyak berbasa-basi, Sekar pun dengan ringkas mengutarakan niat kedatangan mereka berdua.
"Kami mau nyari cincin untuk melamar, Mbak. Dan katanya ada item yang baru masuk ya?"
Pelayan itu tersenyum. Mengangguk dengan sopan sementara satu tangannya yang ditutupi sarung tangan terangkat. Mempersilakan.
"Mari, Bu. Saya tunjukkan koleksi baru kami."
Sekar dan Haris dibawa ke satu etalase khusus. Yang hanya berisi beberapa perhiasan saja. Dan salah satu di antaranya adalah cincin bermahkotakan berlian yang besar.
"Solitaire."
Suara Sekar terdengar lirih seraya menyambut cincin tersebut. Manggut-manggut dan memerhatikan detail potongan berlian tersebut. Termasuk mengamati butiran-butiran kecil berlian lain yang mengelilinginya.
"Tapi, ini solitaire bukan sembarang solitaire."
"Benar, Bu."
Pelayan mengangguk seraya tersenyum. Membenarkan perkataan Sekar, ia pun menambahkan.
"Koleksi pertama di sini, heart solitaire."
Inilah alasan mengapa Haris mengajak Sekar untuk memilih cincin lamaran. Karena Haris benar-benar buta soal perhiasan. Dan beruntung baginya. Sekar memang persis seperti wanita kebanyakan yang menyukai perhiasan. Satu dua hal tentang berlian dan potongan-potongannya jelas adalah hal yang sudah ia kuasai.
Sekar menaruh kembali cincin itu di atas etalase. Ia menggamit tangan Haris dan sang putra sedikit menunduk.
"Ini pilihan bagus, Ris. Mama jamin Vanny pasti suka."
Haris menoleh. "Beneran, Ma?"
"Iya," angguk Sekar. "Mama jamin."
Haris tentu saja percaya dengan perkataan ibunya. Hingga ia tidak berpikir dua kali untuk berkata pada pelayan.
"Aku ambil ini, Mbak."
Pelayan mengangguk. "Untuk pembayaran silakan ke sana, Pak."
Haris dan Sekar beranjak. Mengikuti seorang pelayan lainnya yang menuntun mereka ke meja pembayaran. Mengeluarkan dompet dan mengambil satu kartu dari dalam sana demi melunasi cincin senilai tiga digit tersebut, adalah suara bentakan yang sontak membuat Haris kaget.
"Diam!"
Kartu bewarna hitam itu lepas dari tangan Haris. Alih-alih langsung mengambil kartu itu, ia justru mengusap dadanya.
"Ya Tuhan. Siapa sih yang teriak-teriak di sini?"
Bukan hanya Haris, Sekar pun terlonjak pula. Hingga keduanya dengan kompak melihat keluar. Dan ada kerumbunan yang mengindikasikan bahwa dari sanalah bentakan itu berasal.
Haris geleng-geleng kelapa. Menunduk demi mengambil kartunya seraya menggerutu.
"Nggak punya adab. Buat orang kaget aja."
Haris lantas menyerahkan kartu tersebut. Menyelesaikan pembayaran hingga tuntas hanya untuk menyadari sesuatu yang aneh. Sekar tampak diam saja. Dengan pandangan yang masih tertuju ke luar. Dahinya tampak mengerut dengan ekspresi tengah berpikir.
"Ma?"
Sekar mengerjap. Dan Haris menatapnya bingung.
"Kenapa?"
"Ehm ...."
Sekar terlihat semakin kebingungan. Dan ketika Haris memasukkan kembali dompet ke saku celananya, ia berkata dengan putus asa.
"K-kok perasaan Mama ... itu kayak suara Vanny ya?"
Haris bersiap ingin mengambil alih cincinnya yang telah dikemas dengan rapi. Tapi, sebelum tangannya naik, ia sontak membeku ketika mendengar pertanyaan sang ibu.
"V-Vanny?"
Melirihkan nama itu, otak Haris dengan cepat berputar. Ingat dengan jelas bahwa hari itu Vanny dan Bhakti memang ingin jalan-jalan.
Bola mata Haris membesar. Ia yang semula tampak santai dengan seketika berubah mimik wajahnya.
'Ya Tuhan. Jangan-jangan ....'
Entah mengapa rasa takut itu langsung hadir. Karena bayangan itu dengan cepat langsung mengisi benak Haris. Mengingatkan dirinya dengan jelas bagaimana Vanny yang sebisa mungkin menyembunyikan wajahnya dari keramaian ketika ada pertemuan di hotel Granduta kala itu.
Vanny tidak ingin diketahui khalayak ramai kalau ia adalah putri Bhakti. Sebisa mungkin menarik diri untuk tidak menjadi pusat perhatian. Dan bagaimana bila itu yang saat ini tengah terjadi?
Haris melupakan cincin berliannya. Langsung beranjak dari sana hingga membuat Sekar tersentak.
"Haris!"
Namun, Haris sudah berlari meninggalkan toko berlian itu. Membiarkan Sekar seorang diri dengan kebingungan yang semakin menjadi-jadi. Terlebih lagi karena pelayan toko berniat menyerahkan cincin tersebut.
"Bentar, Mbak. Kami nanti ke sini lagi. Ada yang penting."
Sekar dengan cepat menyusul Haris. Berhasil. Karena kerumbunan di sana pun memberikan hambatan bagi Haris untuk bisa mencapai pusat keributan. Tapi, sayangnya kerumbunan itu tidak cukup untuk menahan suara yang kemudian terdengar. Dan suara itu membuat tubuh Haris berubah dingin.
"Apa Tante perempuan? Apa Tante ada hati?"
Tidak salah lagi. Itu memang suara Vanny.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top