81. Nikmati Selagi Ada

Sabtu pagi yang cerah. Tapi, tidak secerah wajah Haris. Ketika ia bangun dari tidur dan suara Vanny seolah menggema di benaknya, manyun itu timbul.

Haris mencibir. Turun dari tempat tidur dengan bibir bawah yang maju. Menggerutu dengan suara yang dibuat-buat.

"Sabtu besok aku mau jalan sama Papa."

Pokoknya setiap Haris teringat hal tersebut, rasa kesal itu kembali muncul. Membuat Haris buru-buru menuju ke kamar mandi. Memilih untuk mengguyur sekujur tubuhnya dengan air dingin. Mandi dengan rencana yang sudah tersusun di benaknya.

"Hari ini aku harus dapat cincin."

Haris butuh sesuatu untuk menyibukkan diri. Ketimbang membiarkan otak dan rasa penasarannya terus bertanya-tanya.

'Vanny dan Papa mertua jalan ke mana ya?'

Sebenarnya kemarin itu sempat terbersit di benak Haris. Untuk menanyakan ke mana Vanny dan Bhakti ingin pergi. Tapi, keburu rasa kesal itu sudah mendidihkan kesabaran Haris yang tak seberapa. Pada akhirnya Haris hanya bisa nelangsa.

Haris memilih pakaian yang nyaman. Dengan handuk yang melingkari tubuh bagian bawahnya, ia mengucapkan tekad itu pada dirinya sendiri.

"Hari ini bukan cuma Vanny dan Papa mertua yang bakal happy-happy. Tapi, aku dan Mama juga bakal happy-happy."

Dan lalu, Haris menyadari sesuatu. Hingga alih-alih mengambil pakaian, ia justru mengusap ujung dagunya.

"Bener juga sih. Kalau aku udah nikah ntar aku pasti jarang sama Mama lagi. Kasihan Mama."

Haris membuang napas panjang. Merasa sedih juga. Tapi, ia lantas menenangkan diri.

"Makanya itu, Ris. Kamu harus cepat-cepat nikah sama Vanny. Biar bisa ngasih cucu buat temenin Mama."

Manyun yang bertengger di wajah Haris menghilang seketika. Tergantikan senyum malu-malu yang membuat pipinya memerah.

"Aku ini memang anak yang berbakti."

Lalu Haris pun tertawa terbahak-bahak.

Sementara itu, berjarak beberapa kilometer, Bhakti yang sudah bersiap memandang ponselnya yang berdering di atas nakas. Ia meninggalkan cermin. Beranjak demi meraih benda itu dan tertegun ketika melihat nama yang muncul di layarnya.

Adalah Tasya yang menghubunginya. Seseorang yang tidak Bhakti perkirakan akan meneleponnya kala itu. Bhakti seketika bimbang. Ragu apakah dirinya harus mengangkat panggilan tersebut atau tidak.

Namun, ketika panggilan pertama tidak sempat Bhakti angkat, maka panggilan kedua pun dengan cepat menyusul. Kali ini kebimbangan sedikit tergeser. Bhakti pun mengangkat panggilan tersebut.

"Halo."

Bhakti bisa menangkap kesiap kelegaan di seberang sana. Dan sedetik kemudian Tasya membalas sapaan itu.

"Halo, Papa."

Ketika mendengar suara Tasya, rasa bersalah seketika menyeruak di dada Bhakti. Ia sadar bahwa hubungannya dengan Widia sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Terlebih Arman sudah mengurus perceraian mereka. Perpisahan itu akan terjadi. Tapi, Bhakti melupakan Tasya. Bagaimanapun juga Tasya adalah anaknya.

"Tasya," lirih Bhakti menyebut nama putri keduanya itu. "Apa kabar? Ehm ... ada apa kamu telepon Papa?"

"Kabar aku baik, Pa. Tapi, Mama yang nggak baik. Karena itu aku telepon Papa."

Bhakti menarik napas sekilas ketika mendengar perkataan Tasya. Sepertinya ia bisa menerka ke mana arah pembicaraan itu menuju. Tapi, sebelum Bhakti membalas perkataan Tasya, satu ketukan membuat perhatian Bhakti tertarik ke pintu.

Daun pintu bergerak. Pintu membuka. Menampilkan Vanny yang telah siap. Ia tampak cantik dengan wajah yang berseri-seri.

"Papa sudah siap?" tanya Vanny. "Kita pergi sekarang?"

Bhakti mengerjap. Tersadar akan panggilan Tasya yang masih tersambung, ia pun buru-buru berkata.

"Sebentar. Papa ada telepon. Kamu tunggu bentar ya?"

Vanny bisa melihat keberadaan ponsel di telinga Bhakti. Ia mengangguk dan lalu langsung menutup pintu.

"Papa?"

Suara Tasya terdengar lagi. Berikut dengan pertanyaan yang mengikutinya.

"Papa mau pergi? Dengan ... Vanny?"

Bhakti mengangkat wajah demi bisa menarik udara dengan lebih leluasa. Ia lantas membenarkan pertanyaan itu.

"Iya, Sya. Hari ini Papa mau pergi dengan Vanny."

"T-tapi, Pa. Mama sakit."

Bhakti menguatkan hati. "Papa nggak bisa datang ke rumah lagi, Sya. Jadi Papa mohon kamu jaga Mama dengan sebaik mungkin."

"Papa, aku---"

"Sudah ya, Sya," potong Bhakti cepat. "Papa harus pergi sekarang. Vanny sudah menunggu Papa."

Bhakti tidak butuh persetujuan Tasya. Karena ia pun langsung memutuskan panggilan tersebut secara sepihak sedetik kemudian. Ia menaruh ponsel dalam saku celananya dan memeriksa penampilannya untuk yang terakhir kali.

Karena ini adalah kali pertama bagi Bhakti. Kali pertama bagi Bhakti bisa menghabiskan akhir pekan dengan Vanny. Berjalan berdua layaknya ayah dan putri pada umumnya.

Sesuatu yang tidak pernah berani Bhakti mimpikan sebelumnya. Tapi, ketika mimpi itu menjadi kenyataan, maka ia tidak akan menyia-nyiakannya. Dan ia menyadari dengan jelas bahwa bukan hanya dirinya yang antusias. Alih-alih Vanny pun demikian.

Membiarkan Tono mengemudikan mobil dengan tenang dan aman di jalanan, Bhakti dan Vanny duduk berdampingan di kursi penumpang. Sesekali mereka tampak berbincang-bincang. Tidak banyak memang. Tapi, setidaknya suasana perjalanan itu tidak sekaku yang sempat Bhakti bayangkan.

Tono melirik. Melihat sekilas melalui pantulan spion dalam. Dan seulas senyum muncul di wajahnya. Dalam hati ia turut berbahagia melihat pemandangan itu.

"Kita mau ke mana, Pa?"

Vanny tidak bisa menahan diri untuk bertanya. Dengan perasaan yang berdebar-debar, ia persis seperti anak pada umumnya. Yang akan selalu antusias ketika diajak pergi oleh orang tuanya.

"Papa mau mengajak kamu belanja."

Ketika mengatakan itu, terlihat jelas wajah Bhakti yang penuh semringah. Ia terlihat bangga. Tapi, Vanny justru sebaliknya. Menilik dari ekspresinya, Vanny seperti tidak mengira kalau Bhakti akan mengajaknya berbelanja.

Bhakti menangkap perubahan pada air wajah Vanny. Rasa penuh percaya diri Bhakti menghilang. Tergantikan dengan prasangka buruk yang dengan cepat mengisi pikirannya.

"K-kenapa?" tanya Bhakti khawatir. "Kamu nggak suka belanja?"

Ingin menampik, tapi Bhakti bisa melihatnya dengan jelas. Bahwa wajah Vanny bukan menyiratkan ekspresi kebahagiaan. Dan itu bukanlah hal yang Bhakti harapkan.

"Papa pikir kamu suka belanja. K-karena Arman bilang semua anak perempuan suka belanja."

Vanny diam. Tidak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya tertegun dengan mata yang menatap pada Bhakti. Tanpa mengatakan sepatah kata pun dan bisa menangkap betapa cemasnya Bhakti.

"A-atau kamu mau ke mana? Kita pergi ke sana. Maaf, Van. Papa nggak tau kamu suka pergi ke mana."

Bhakti merutuk di dalam hati. Menyadari bahwa dirinya gegabah.

'Harusnya aku nggak bertanya dengan Arman. Seharusnya aku suruh Arman mencari tau dari sahabat Vanny.'

Namun, semua sudah terlambat. Bayangan akhir pekan yang indah menghilang sudah dari benak Bhakti.

"Aku suka, Pa."

Suara Vanny membuat semua kepanikan Bhakti terjeda. Ia tidak salah mendengar bukan? Karena Bhakti yakin Vanny tidak hanya mengatakan hal itu dengan kata-kata. Alih-alih dengan senyum pula di wajahnya.

"Aku suka belanja," kata Vanny cepat. Tersenyum semakin lebar. Tanpa sadar ada setitik genangan air muncul di sudut matanya. "Nggak ada anak perempuan yang nggak suka belanja." Ia mengangguk. "Aku suka belanja."

Vanny menarik napas. Berusaha menenangkan diri. Karena memang bukan karena dirinya yang tidak suka berbelanja. Setiap perempuan suka berbelanja. Tak terkecuali Vanny. Tapi, bila ada sesuatu yang membuat Vanny tertegun untuk beberapa saat yang lalu, maka itu adalah karena ia yang tidak mengira bahwa Bhakti akan mengajaknya belanja.

"Kita mau belanja di mana, Pa?"

Ada sesuatu yang asing. Tapi, anehnya terasa begitu tepat.

"Granduta Mall. Di sana ada banyak outlet fashion. Kamu bisa cari pakaian, tas, sepatu, atau perhiasan. Apa pun yang kamu mau."

Mengatakan hal yang nyaris sama persis dengan yang dikatakan Arman padanya, Bhakti bisa melihat binar-binar bahagia itu di mata Vanny. Putrinya tidak berbohong. Tidak berpura-pura senang hanya demi membahagiakan dirinya.

Karena Vanny memang senang. Dan itu jelas bukan karena Bhakti yang ingin mengajaknya berbelanja barang-barang mewah itu. Bukan. Melainkan karena hal lainnya. Lantaran ketika Bhakti mengatakan bahwa mereka akan berbelanja maka Vanny menyadari sesuatu.

Bahwa Bhakti tidak mengajaknya pergi ke ruangan pribadi restoran lagi. Bahwa Bhakti tidak mengajaknya pergi ke tempat yang tertutup lagi. Alih-alih Bhakti mengajak dirinya pergi ke tempat umum.

Sungguh Vanny tidak peduli seberapa elite mall yang akan mereka datangi. Melainkan Vanny amat bahagia ketika mereka tidak perlu bersembunyi lagi. Orang-orang akan bisa melihat mereka seperti ayah dan anak seperti yang lainnya. Dan itulah yang benar-benar membahagiakan untuk Vanny.

Sama halnya dengan Bhakti. Karena ketika perasaan asing yang tepat itu menyergap hatinya, mata yang mulai senja itu memindai. Bergerak. Mencari sumbernya. Dan ia menemukannya.

Pada satu titik di bawah sana. Entah sadar atau tidak. Tapi, Vanny menggenggam tangan Bhakti. Dan genggaman itu terasa amat hangat.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top