80. Masing-Masing Ada Usaha

Sedikit terasa asing, memang. Bukan karena mereka sama-sama tidak nyaman dengan situasi itu. Melainkan karena keduanya masih canggung. Masih berusaha membiasakan diri untuk kembali akrab setelah dua puluh lima tahun hidup tanpa kehangatan.

Vanny melirik. Di sela-sela menikmati hidangan makan malam itu, ia berulang kali mencuri pandang pada Bhakti. Melihatnya diam-diam.

Memang. Sudah beberapa hari berlalu. Itu bukan yang pertama kalinya Vanny dan Bhakti makan di meja yang sama. Di apartemennya. Tapi, rasanya masih seperti mimpi bagi Vanny.

Vanny menelan makan malamnya. Masih tak percaya dengan hari-hari yang ia lalui belakangan ini. Semuanya masih terasa mimpi.

Namun, itu adalah kenyataan. Karena tidak akan ada mimpi yang senyata itu. Bahkan bukan hanya keberadaan Bhakti di meja makan saja yang bisa menjadi bukti. Alih-alih hal yang lainnya pula.

Beberapa hari yang lalu, setelah sehari dari kedatangan Bhakti ke sana, apartemen Vanny kedatangan orang-orang. Itu adalah suruhan Bhakti. Yang membawakan barang-barangnya.

Sekarang pakaian dan semua barang yang berkaitan dengan pekerjaan Bhakti sudah pindah ke sana. Dan itu adalah bukti nyata selanjutnya. Bahwa mulai dari hari itu, Vanny memang tinggal bersama dengan ayahnya.

Suara dehaman Bhakti menggugah kesadaran Vanny. Ia mengerjap. Buru-buru memalingkan wajah. Melihat pada semangkuk sop ayam yang ada di meja makan. Lantas bertanya pada Bhakti dengan gugup.

"I-ingin tambah, Pa?"

Bhakti hanya menjawab singkat seraya mengangguk. "Boleh."

Bukannya Bhakti tidak tau. Jelas ia bisa merasakan bahwa sedari tadi sang putri kerap memandang padanya. Itu sungguh adalah tatapan seorang anak yang membuat Bhakti kerap merasa susah menelan.

Bhakti melihat Vanny bangkit. Dengan telaten mengisi kembali piring Bhakti. Dan hanya Tuhan yang tau bahwa Bhakti sudah kenyang saat itu. Tapi, ia tidak ingin menolak kesempatan yang ada.

Melihat Vanny mengisi piringnya kembali membuat hati Bhakti tersentuh oleh aneka perasaan. Senang, bahagia, dan terharu. Membangkitkan kenangan indah yang dulu pernah ia alami. Bertahun-tahun yang lalu.

Ketika selesai makan malam, Bhakti melakukan satu kegiatan yang rutin ia lakukan belakangan ini. Berkeliling di seluruh ruangan. Hanya untuk melihat beragam foto yang menghiasi dinding. Tanpa dirinya.

Foto-foto itu hanya memuat Vanny dan Diah. Dan Bhakti tidak akan mempertanyakannya. Karena walau dulu mereka sempat berfoto bertiga, tapi Bhakti tau mengapa foto itu tidak turut terpajang di sana.

Tak apa. Bhakti tidak berharap lebih. Karena apa yang telah ia dapatkan hingga hari ini pun lebih dari yang berani ia harapkan.

Bisa meluluhkan dan mendapatkan maaf Vanny, itu mukjizat. Bisa tinggal bersama dengan Vanny, itu mukjizat. Dan bisa mengisi kamar yang digunakan oleh Diah dulu, itu lebih dari mukjizat.

Setiap malam ketika Bhakti masuk ke kamar itu ia merasa seperti ada Diah yang menyambutnya. Mungkin karena Vanny yang selalu merawat kamar itu dan memastikan tidak mengubah tatanannya sedikit pun hingga kesan Diah masih amat terasa. Atau mungkin bukan. Melainkan karena jauh di lubuk hati Bhakti yang terdalam, itulah yang ia harapkan.

Bhakti akan duduk di tempat tidur. Mengusap bantalnya. Dan lalu air mata itu mengalir begitu saja.

Memang. Hanya enam tahun kebersamaan itu tercipta. Tapi, semua kenangan dan cinta yang ada benar-benar terpateri di dalam jiwa.

"Maafkan aku, Diah."

Bhakti mengusap air matanya. Memejamkan mata. Dan kala itu, wajah Diah akan muncul dalam benaknya. Sama seperti dulu hingga napas terakhir yang ia embuskan. Ia selalu tersenyum. Sepenuhnya menyadari jalan yang harus suaminya pilih. Tidak ingin menghujat takdir dan berusaha untuk tetap kuat, tapi jiwanya tetap saja menahan luka.

Maka dari itu Bhakti hanya bisa menjanjikan satu hal terakhir. Mengupayakannya sebagai bentuk penebusan akan salah dan dosa yang pernah ia perbuat. Untuk Vanny, ia akan mengusahakan apa pun.

Bhakti tau. Renggangnya hubungannya dengan Vanny tidak akan mudah dihapus dalam waktu singkat. Ia perlu mendekati Vanny secara perlahan. Dan Bhakti tidak merasa keberatan sama sekali. Ia akan memanfaatkan setiap detik yang ada sampai Haris nanti benar-benar datang melamarnya.

"Sabtu besok kamu ada acara?"

Memulai percakapan di pagi selanjutnya, Bhakti bertanya dengan harap-harap cemas. Ia bisa melihat bagaimana Vanny yang sontak mengurungkan niatnya untuk meraih gelas minum.

Vanny melihat Bhakti. "Acara?"

"Ehm ... mungkin ada pekerjaan kantor," ujar Bhakti menjelaskan maksud pertanyaannya. "Atau mungkin kamu ada kencan dengan Haris."

Vanny berusaha untuk menjaga ekspresi wajahnya ketika Bhakti menyinggung soal Haris. Sedikit menunduk, ia menggeleng.

"Nggak ada acara apa-apa, Pa."

Wajah Bhakti berseri-seri. "Kalau begitu bagaimana kalau Sabtu besok kita jalan?"

"Jalan?"

"Iya. Kita jalan."

Bhakti mengangguk dengan penuh semangat. Ia menaruh sejenak sendok dan garpunya di piring. Menjeda sarapannya ketika ia dengan amat antusias berkata pada Vanny.

"Kamu ada tempat yang mau dikunjungi? Bilang ke Papa. Sabtu besok Papa nggak ada kerjaan. Jadi kita bisa pergi ke mana pun kamu mau."

Untuk beberapa saat lamanya, Vanny hanya tertegun. Sungguh ia tidak pernah mengira bahwa Bhakti akan mengajaknya menghabiskan akhir pekan.

"Atau kalau kamu mau, kita bisa liburan sebentar," cetus Bhakti. "Papa bisa suruh Arman untuk mengecek landasan di bandara sekarang. Kamu bisa minta cuti sama Haris. Gimana?"

Vanny sontak terkesiap ketika mendengar hal tersebut. Walau keinginan untuk menikmati akhir pekan bersama dengan ayahnya meronta-ronta di hati Vanny, tapi apa yang Bhakti katakan tentu membuat ia terkejut.

"N-nggak, Pa," geleng Vanny cepat. "Nggak perlu. Kita jalan-jalan di sini aja."

Bukan Vanny ingin menolak. Tapi, itu terlalu tiba-tiba dan Vanny khawatir dirinya tidak mampu beradaptasi dengan semua perubahan yang amat membahagiakan itu. Biarkan pelan-pelan. Sedikit demi sedikit.

Namun, bagi Bhakti apa pun jawaban Vanny tidak akan menjadi masalah. Apakah Vanny ingin liburan di luar negeri atau hanya jalan-jalan di sini pun ia akan tetap bahagia. Walau tentu saja itu sedikit menimbulkan kebingungan bagi Bhakti.

"Arman."

Ketika Arman datang menjemput Bhakti pagi itu dan mobil sudah melaju di jalanan, Bhakti memanggilnya. Arman melirik pada spion dalam. Menatap Bhakti melalui pantulan di sana.

"Ya, Pak?"

Menarik napas sejenak, Bhakti lantas melayangkan pertanyaan yang tidak diantisipasi oleh sang asisten pribadi.

"Sabtu ini aku mau mengajak Vanny untuk jalan-jalan. Menurut kamu ke mana aku harus mengajaknya pergi?"

Arman diam sejenak. Jelas berusaha untuk mencari jawaban yang tepat. Karena tentu akan lebih mudah bila cowok seusianya yang bertanya tempat kencan romantis ketimbang menghadapi pertanyaan dari seorang ayah yang ingin mengajak jalan putrinya.

Bhakti sepertinya bisa menerka kebingungan Arman. Maka ia buru-buru mengubah pertanyaannya.

"Kira-kira apa yang disukai oleh anak seusia Vanny?"

Nah! Untuk pertanyaan itu sepertinya Arman lebih mudah untuk menjawabnya.

"Sepengatahuan saya ...," ujar Arman dengan yakin. "... belanja, Pak."

Bhakti mengerutkan dahi. "Belanja?"

"Ya, Pak. Setiap cewek suka belanja. Saya pikir Nona Vanny akan senang kalau diajak mengunjungi outlet fashion. Tas, sepatu, baju, atau mungkin perhiasan."

Bhakti merenungkan perkataan Arman. Teringat penampilan Vanny. Yang pergi bekerja dengan pakaian sederhana. Tanpa tas bermerek, sepatu biasa-biasa saja, dan tak ada perhiasan yang ia kenakan.

"Sepertinya kamu benar."

Bhakti manggut-manggut. Wajahnya seketika cerah. Karena khayalan betapa indahnya akhir pekan itu langsung mengisi benaknya.

"Aku akan mengajak Vanny belanja."

*

Bukannya Haris tidak senang melihat Vanny kembali dekat dengan Bhakti. Sungguh. Dari lubuk hati Haris yang terdalam, ia senang. Amat senang malah melihat kedekatan yang perlahan makin erat antara Vanny dan Bhakti. Tapi, bukan berarti tidak ada keluhan yang menyertainya.

"Papa kamu nggak ada kerjaan di mana gitu, Van? Ke luar kota apa? Atau mungkin ke luar negeri?"

Tiba-tiba menanyakan itu ketika istirahat siang berakhir, Vanny yang datang demi meminta tanda tangan Haris sontak terbengong-bengong. Ia memerhatikan Haris. Cowok itu tampak geram tanpa ada penyebab.

"Maksudnya?"

Haris membuang napas dengan wajah cemberut. Ia mengambil pena. Membubuhkan tanda tangannya di berkas yang Vanny sodorkan.

"Aku kangen kamu, Van."

Vanny mengerjap. "K-kita kan ketemu hampir tiap hari."

Pergerakan pena di tangan Haris berhenti di detik yang tepat. Bersamaan dengan perkataan itu meluncur dari bibir Vanny dan goresan tinta berakhir pada satu titik. Wajah Haris yang semula menunduk, pelan-pelan terangkat dengan amat dramatis.

Mata Haris menyipit. Menatap Vanny tanpa kedip. Dan berhasil membuat cewek itu meneguk ludah.

"Kenapa kamu liatin aku gitu?"

Haris menaruh pena di atas meja dengan gestur kesal. Sedikit bentuk pelampiasan.

"Serius, Van? Kamu beneran nanya begitu? Memangnya kamu nggak kangen aku apa?"

Senin sampai Jum'at Haris dan Vanny selalu bertemu. Bahkan ketika ada acara di luar, Vanny pun mendampingi Haris. Lantas bagaimana bisa Vanny merasa rindu?

Dan Haris yang melihat Vanny tidak menjawab pertanyaan menjadi semakin geram. Ia bangkit dari duduknya. Buru-buru beranjak menghampiri Vanny. Meraih tangannya dan menyentaknya sehingga Vanny terjatuh dalam pelukannya.

"Haris."

"Aku tuh kangen mau peluk kamu begini, Van."

Kembali, Haris berhasil membuat Vanny meneguk ludah. Dan kali ini ditambah pula dengan menahan napas di dada.

"Ris."

Vanny berusaha untuk menjaga kewarasannya. Dan itu adalah hal yang sulit. Karena setelah kenekatan Haris mendatangi Bhakti bersama dengan orang tuanya, Vanny merasakan antisipasi dirinya terhadap Haris jauh melemah. Bahkan lebih parahnya Vanny bisa melihat bahwa ia pun lebih mudah luluh.

"Jangan gini," ujar Vanny mengingatkan. "Kita di kantor."

Haris tidak terima. Tapi, tidak bisa berbuat apa-apa ketika Vanny menarik diri dari pelukan itu.

"Makanya itu. Coba kalau Papa mertua nggak tinggal di apartemen sama kamu, kan aku bisa peluk kamu di apartemen," gerutu Haris dengan manyun.

Tak mau, tapi Vanny tidak bisa menahan gelinya. Sontak saja senyum lucu itu muncul di bibirnya. Dan hal itu membuat Haris melotot.

"Kamu malah ketawa?"

Vanny buru-buru menggeleng. "Nggak. Aku nggak ketawa."

"Bohong."

"Beneran," elak Vanny. Ia mengambil berkas yang tadi ditandatangani Haris. "Makasih."

Vanny sudah akan beranjak dari sana. Masih ada pekerjaan yang harus ia selesaikan. Tapi, Haris menahan langkahnya.

"Aku beneran kangen sama kamu, Van."

Kali ini Haris tidak mengatakannya dengan ekspresi merajuk ala anak manja. Tapi, ia mengatakannya dengan keseriusan seorang cowok yang merindukan kekasihnya. Dan itu membuat jantung Vanny bertalu-talu di dalam sana.

"Aku mau our time."

"Our time?"

Haris mengangguk. "Ya?"

Tidak langsung menyetujui, Vanny justru balik bertanya. "Kapan?"

"Sabtu?"

Jawaban Vanny membuat harapan Haris padam seketika. Ia menggeleng. Dengan wajah penuh sesal, berkata.

"Sabtu besok aku mau jalan sama Papa."

"Jalan sama Papa mertua?"

Vanny mengangguk. "Maaf, tapi kita pergi lain kali aja ya?"

Apa Haris bisa mengajukan banding? Bahkan bila Haris ingin, tapi nyatanya Vanny tidak memberikan kesempatan itu untuk Haris. Karena sejurus kemudian, Vanny langsung melepas tangannya dari genggaman Haris.

Vanny tersenyum. "Aku keluar. Lanjutin kerjaan kamu."

Haris melongo melihat kepergian Vanny. Persis seperti orang bodoh tatkala mendapati bagaimana Vanny yang begitu entengnya pergi tanpa memedulikan kerinduan yang sedang ia tahan.

"Aaargh!"

Haris menggeram dengan kedua tangan yang mengepal kuat. Mencak-mencak dengan geregetan.

"Oke, Van, oke. Kamu lebih milih Papa mertua timbang aku, jadi jangan salahkan aku ya."

Mata Haris menatap tajam pada pintu. Wajahnya tampak amat serius.

"Kamu nggak ngasih pilihan lain ke aku selain nikahi kamu secepatnya."

Haris menyingsingkan lengan kemejanya. Rasa kesalnya tergantikan ambisi yang tak main-main.

"Kamu jalan sama Papa mertua? Oke. Aku bakal jalan sama Mama buat nyari cincin lamaran."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top