8. Kumpulan Tanda Tanya Memalukan
"Aku yakin kalau ini akal-akalan Haris buat berduaan dengan kamu."
Suara Esti menggema di benak Vanny. Tak hanya sekali, tapi justru berkali-kali. Maka Vanny buru-buru menggelengkan kepala. Berusaha mengusir hal tersebut dari benaknya.
"Nggak nggak nggak," geleng Vanny. "Kamu kan tau kalau Esti itu suka ngomong yang aneh-aneh. Lagian masa sih? Nggak mungkin banget kan?"
"Apanya yang nggak mungkin?"
Satu suara mengejutkan Vanny. Sontak cewek itu terlonjak. Ia berbalik dan mendapati ada Haris. Satu tangannya menyeret koper.
Tampil dalam penampilan yang berbeda dengan biasanya, Haris memadukan celana jeans bewarna hitam dengan kemeja lengan pendek bewarna biru muda. Ia terlihat segar dan membuat Vanny tertegun untuk beberapa saat. Dan ketika pada akhirnya Vanny tersadar, ia buru-buru menghampiri Haris.
"B-Bapak sudah sampe?" tanya Vanny basa-basi dengan tergagap. "Sini saya bawain kopernya."
Vanny buru-buru mengambil alih koper Haris. Menyeretnya ke sisi tubuhnya dan memasang sikap siaga. Mengingatkan diri sendiri bahwa saat itu ia berperan sebagai sekretris yang menemani perjalanan dinas sang bos.
"Baru sampe beberapa menit yang lalu. Aku nelepon kamu dan nggak aktif. Aku jadinya harus muter-muter nyari kamu."
"Aaah! Kayaknya hp udah saya matiin, Pak. Kan mau naik pesawat."
"Check in aja belum eh hp udah kamu matiin aja. Kenapa nggak dari rumah kamu matiin?"
Vanny hanya bisa meringis. Bahkan ketika pada akhirnya mereka sudah melewati petugas pemeriksaan dan masuk ke bandara, ringisan itu masih bertahan.
Haris berjalan di depan Vanny. Membiarkan cewek itu di belakangnya dengan menyeret dua koper di kedua tangannya. Sekilas melirik, Haris lantas menghentikan langkah kakinya.
"Ups!"
Nyaris Vanny menabrak Haris yang berhenti tiba-tiba. Untung saja rem kakinya termasuk pakem. Tabrakan pun bisa dihindari walau tak urung mata Vanny membola kaget.
"Bapak kalau berenti jangan mendadak gitu," keluh Vanny. "Ini dua koper perlu dikondisikan."
Haris melirik pada dua koper berukuran 24 inci itu. Lalu tanpa diduga oleh Vanny, ia mengambil alih keduanya.
"Loh, Pak?"
"Biar aku yang bawa ini," ujar Haris seraya kembali melanjutkan langkah kakinya. "Kasihan juga lihat kamu. Bawa dua koper ke mana-mana kayak istri yang dipulangkan suami aja."
Di belakang Haris, Vanny mencibir. Sebelum ia menyusul cowok itu, ia menyempatkan untuk memperbaiki letak tas selempang yang menyelip di antara pinggang dan juga ranselnya. Terhimpit oleh beban tas ransel di pundaknya. Yang isinya memang lumayan banyak dan terasa cukup berat. Dan itu membuat Vanny terpikir sesuatu. Ehm ... mungkin yang dikatakan Haris ada benarnya juga. Dengan bawaan sebanyak itu sepertinya Vanny dan istri yang dipulangkan suami tidak ada bedanya.
Telah berada di dalam pesawat sekitar setengah jam kemudian, tentunya kursi bisnis yang menjadi tempat duduk Vanny dan Haris. Dengan Vanny di dekat jendela sementara Haris di sebelahnya.
"Aku dengar dari Bu Astrid katanya kamu mabuk udara ya? Bener?"
Mendapati pertanyaan itu, Vanny melihat bagaimana Haris yang tampak santai memegang satu majalah penerbangan. Membuka tiap lembarnya walau Vanny ragu apakah Haris benar-benar membacanya atau tidak. Mungkin saja Haris seperti anak-anak kecil pada umumnya kan? Membuka majalah atau buku hanya sekadar untuk melihat gambarnya saja.
"Ehm ... iya."
Sebenarnya tidak sama sekali. Vanny tidak mabuk udara. Yang tempo hari itu hanya akal-akalannya saja demi menciptakan alasan. Berharap bisa membuat Astrid luluh dan menerima permintaan pertukaran pekerjaan di antara mereka. Nyatanya gagal.
Hanya saja sekarang Vanny tidak bisa jujur. Biarlah ia tampil sebagai cewek masa kini yang mungkin memalukan. Masa naik pesawat saja mabuk?
Haris menutup majalah itu. Menoleh dan bertanya.
"Kamu udah minum obat?"
Mata Vanny mengerjap. "O-obat?"
"Iya," angguk Haris. "Obat. Biar kamu nggak mabuk. Kamu nggak mau kan muntah pas lagi di atas?"
Mata Vanny kembali mengerjap. Bingung karena tidak mengira bahwa kebohongannya kala itu memberi kelanjutan tak terduga.
"Ck. Jangan bilang kalau kamu nggak minum obat."
Vanny meringis. "S-saya nggak tau kalau ada obat untuk mabuk udara."
"Mabuk udara itu termasuk ke dalam mabuk perjalanan. Semua jenis obat mabuk perjalanan ya bisa dong diminum. Kamu ini gimana coba."
"Oh. Iya iya."
Melihat ekspresi wajah Vanny yang tampak salah tingkah, Haris mengembuskan napas panjang. Ia taruh majalah ke tempat semula. Tangannya masuk ke saku celana, mengeluarkan sesuatu dan memberikannya pada Vanny.
Menyambut benda itu, Vanny bertanya.
"Ini apa, Pak?"
Haris tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Alih-alih ia justru mengangkat satu tangannya, memanggil seorang pramugari. Selagi pramugari itu mendekat, barulah ia menjawab pertanyaan Vanny.
"Obat mabuk perjalanan."
Di waktu yang tepat, pramugari tiba.
"Ada apa, Pak?"
Haris melirik pada Vanny sekilas. "Bisa tolong minta air, Mbak? Temen saya mau minum obat mabuk."
"Baik, Pak. Sebentar saya ambil dulu."
Ketika pramugari itu kembali datang dan menyerahkan sebotol air pada Haris, keadaan di pesawat mulai ramai. Penumpang semakin banyak yang datang dan menempati kursi masing-masing.
"Terima kasih."
"Sama-sama, Pak."
Haris membuka tutup botol dan menyerahkan air itu pada Vanny. "Buruan diminum. Bentar lagi kita mau terbang."
"I-iya."
Vanny menerima air itu dengan salah tingkah. Pun meminum obat mabuk perjalanan itu dengan canggung pula. Jujur, ia tidak mengira kalau Haris akan membawakannya obat.
"Itu sisa obatnya disimpan," kata Haris kemudian. "Buat balik ntar."
Hanya anggukan yang Vanny berikan untuk pesan itu. Tapi, ia benar-benar melakukannya. Menyimpan sisa obat tersebut di dalam tas selempang yang kebetulan ada di pangkuannya saat itu. Samar, Haris tersenyum melihatnya.
"Oke. Kalau gitu aku tenang. Kamu nggak bakal mendadak muntah selama penerbangan ntar."
Memang. Bahkan tanpa bantuan obat mabuk perjalanan pun Vanny sebenarnya tidak akan mabuk. Toh Vanny memang tidak mengidap penyakit itu. Tapi, ketika obat sudah masuk ke dalam sistem pencernaannya, mau tak mau obat itu memberikan efeknya.
Ketika pramugari memperagakan cara mengenakan sabuk pengaman, Vanny menguap. Sekali. Dua kali. Mencoba untuk bertahan agar tidak menguap pun rasanya percuma. Itu dorongan yang benar-benar tak tertahankan. Hingga akhirnya ia menyerah dan cewek itu merasa malu pula pada Haris di sebelahnya.
Astaga. Aku mau nanya sama Esti. Dia pernah nguap tiga kali di depan mantannya nggak sih?
Namun, tidak cukup tiga kali Vanny menguap. Bahkan setelah pesawat meninggalkan landasan dan terbang di atas sana, Vanny mendapati kantuk semakin tak tertahankan lagi melanda dirinya.
"Kalau ngantuk, tidur aja, Van. Sejam lumayan loh dipake buat tidur."
Vanny menggeleng. Menolak masukan Haris sementara matanya semakin berair. Dan ketika ia mencoba untuk bicara, Vanny sudah tak berdaya. Ia akhirnya menyerah melepaskan kesadarannya.
"Van?"
Haris meninggalkan majalah yang lagi-lagi ia baca. Ia menoleh dan mendapati mata Vanny yang sudah memejam. Samar, Haris terkekeh.
"Akhirnya tidur juga."
*
Rasanya benar-benar menyenangkan bisa mendapatkan tidur yang nyenyak. Yang bahkan tidak ada mimpi sedikit pun ia dapati. Semua tenang dan nyaman. Itulah yang terbersit di benak Vanny ketika pada akhirnya ia membuka mata.
Berkat silau cahaya matahari yang mengusik, kesadaran Vanny datang kembali. Ia mengerjap dua kali dan mengerang samar. Untuk beberapa saat, ia hanya menikmati pemandangan di luar jendela itu dengan senyum yang mengembang di bibirnya.
Di luar sana tampak cerah sekali. Matahari terlihat mulai sedikit bergeser. Menimbulkan kesan petang yang akan datang sebentar lagi. Dan ketika sinar matahari sudah tidak terlalu terik, orang-orang yang mendorong troli berisi koper terlihat bekerja dengan lebih bersemangat.
Eh?
Vanny mengerjapkan mata. Menyadari bahwa saat itu ia melihat pemandangan yang tidak ia harapkan. Alih-alih melihat awan-awan yang beterbangan, ia justru melihat para petugas bandara yang sedang berjibaku dengan bagasi para penumpang?
"Kamu udah bangun?"
Satu pertanyaan itu membuat Vanny membolakan matanya. Suara itu terdengar amat dekat. Dan bukan hanya itu. Entah mengapa, tapi samar Vanny merasa ada embusan di kepalanya.
B-bentar deh.
Beringsut sedikit seraya menggigit bibir bawahnya, Vanny sontak membelalak. Apa yang matanya lihat membuat ia sontak berseru kaget. Ada tangan Haris tepat di bawah kepalanya. Melihat itu, tentu saja Vanny refleks bangun.
"Astaga!"
"Akhirnya kamu bangun juga."
Haris tampak mengembuskan napas lega seraya menggerakkan tangan kanannya yang terasa pegal berulang kali. Bahkan ia sampai memijatnya untuk beberapa saat.
Y-ya Tuhan. Aku tidur sandaran sama Haris?
Vanny meneguk ludah dengan wajah memerah. Gelagapan dan bingung, ia tak tau harus mengatakan apa pada cowok itu.
"P-Pak, saya minta maaf. Saya nggak sengaja. Saya nggak sadar kalau saya tidur sandaran sama Bapak."
Haris bangkit dari duduknya. Mendengkus geli sekilas, ia memberikan isyarat pada Vanny untuk beranjak dari sana.
"Ya pastilah kamu nggak sadar. Namanya juga kamu kan tidur. Mana ada orang yang sadar pas tidur?"
Vanny menggigit bibir bawahnya. Mengikuti langkah kaki Haris dari belakang, ia balas sapaan sopan pramugari seadanya saja. Rasa malu membuat ia tak yakin bisa melihat dunia untuk beberapa hari ke depan.
"M-maaf, Pak. Ini pasti gara-gara obat mabuk tadi. Biasanya saya nggak pernah tidur kayak gitu."
Haris mengangguk. Mereka sudah masuk ke bandara Fatmawati Soekarno dan bersiap untuk mengambil bagasi terlebih dahulu.
"Bagus. Itu tanda kalau obat mabuk itu ampuh. Buktinya kamu tidur nyenyak banget dan nggak mabuk dikit pun."
Vanny menundukkan wajah dalam-dalam. Merasa malu dengan perkataan Haris. Sementara cowok itu hanya mengulum senyum geli. Jelas ia menyadari frustrasi cewek itu.
"Ehm!"
Deheman Haris membuat Vanny mengangkat wajahnya. Cowok itu menunjuk ke seberang.
"Itu tas ransel kamu kan?"
Vanny melihat pada titik yang ditunjuk oleh Haris. Ia mengangguk. Memang itu adalah tas ranselnya.
"Dan itu di belakangnya koper aku."
Benar lagi. Di belakangnya adalah koper Haris.
"Bentar, Pak. Saya ambil dulu."
Gegas, Vanny menggunakan bagasi mereka sebagai alasan untuk lepas dari momen memalukan itu. Sungguh! Saat ini Vanny rasanya ingin mengubur dirinya hidup-hidup.
Gimana bisa aku sandaran sama Haris? Astaga! Pokoknya balik ntar aku mau nanya sama Esti. Dia pernah tidur sandaran sama mantan nggak sih?
Frustrasi dan rasanya ingin menggigit batu bata, Vanny hanya bisa menahan rutukan seraya mengambil bagasi mereka satu persatu. Tak butuh waktu lama, satu tas ransel dan dua koper sudah berkumpul semua.
Vanny dengan segera menyandang tas ranselnya. Bersiap untuk menyeret kedua koper di masing-masing tangannya, Vanny justru tertegun di detik selanjutnya. Ada satu sentuhan yang ia rasakan. Di rambutnya yang terurai.
"Nggak sakit rambut kamu kayak gini?"
Adalah Haris yang kemudian mengeluarkan rambut Vanny dari balik tas ranselnya. Terjepit oleh tas ransel itu ketika Vanny menyandangnya dengan asal-asalan. Haris yang melihatnya pun memutuskan untuk bertindak. Memastikan rambut sepunggung itu terurai dengan aman di atas tas ransel, alih-alih sebaliknya.
"E-eh?"
Vanny membeku. Hanya matanya yang bisa bergerak. Itu pun mengerjap-ngerjap seperti orang bodoh.
"Kamu udah ngubungi jemputan kita?" tanya Haris beranjak ke hadapan Vanny. "Kalau belum, buruan hubungi."
Tuntas mengatakan itu, Haris kemudian menunduk. Hanya untuk mengambil alih dua koper itu dari tangan Vanny. Menyeretnya dan beranjak dari sana.
Vanny tersadar. Buru-buru ia menyusul Haris seraya mengeluarkan tiket dari dalam tas selempangnya. Memperlihatkannya pada petugas keamanan sebelum pada akhirnya mereka keluar dari bandara.
Melangkah dengan di belakang Haris, Vanny tampak nelangsa. Lagi, ia berjanji akan bertanya pada Esti ketika pulang nanti.
Kamu masih diperhatiin sama mantan nggak sih?
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top